Kanaya begitu kelelahan, namun ia memaksakan diri mengangkat kepalanya untuk melihat bayi mungil yang masih berwarna kemerahan itu. Airmata menetes di pipi Kanaya melihat perawat tengah membersihkan putranya. Ingin rasanya ia mendekat, untuk melihat lebih jelas seperti apa putranya itu. Setelah dibersihkan, perawat melilitkan kain bedong di tubuh putranya dan menggendongnya. “Biarkan— aku melihatnya…” ucap Kanaya dengan suara parau. Ia menatap dengan penuh harap. Sambil menggendong bayi itu, perawat tersenyum miring. “Baiklah, tapi sebentar saja…” Perawat itu mendekat sementara bayi mungil itu masih menangis dengan suara melengking. Airmata Kanaya menetes tak berhenti kala menatap putranya itu. Kulitnya masih berwarna merah, dan rambutnya berwarna kecoklatan, persis seperti rambut Bastian. Dan wajahnya… Kanaya tersenyum melihat wajah anaknya. Tidak hanya Bastian yang mewarisi genetiknya di wajah anak mereka. Kanaya pun melihat versi kecil dirinya di wajah putranya itu.
Awalnya Kanaya tidak mengenali pria yang ada di hadapannya itu. Karena Rizal yang ada di hadapannya saat itu, tidak mengenakan kacamata seperti biasanya. Dan wajah Rizal kali ini tampak bersih, klinis, tanpa janggut ataupun kumis. “Iya, Kanaya, Ini aku!” balasa Rizal setengah berbisik. Ia segera menghampiri Kanaya, mengecek keadaannya. Perempuan yang bersama Rizal pun mengecek keadaan Kanaya seakan dia seorang dokter. “Rizal… mereka… mereka mengambil anakku…” ucap Kanya dengan bibir gemetar. Tangannya pun ikut gemetar sehingga pisau yang ada di tangannya terjatuh ke atas ranjang. “Tidak apa Kanaya. Tidak apa. Aku akan menyelamatkanmu. Semuanya akan baik-baik saja!” ucap Rizal sambil memeluk Kanaya, mencoba menenangkannya. “Kita harus cepat membawanya keluar dari sini. Dia butuh perawatan medis segera!” ujar perempuan yang datang bersama Rizal. Ucapan perempuan itu seakan menyadarkan Rizal jika mereka masih dalam keadaan yang belum benar-benar aman. “Biar aku buka!” Rizal seger
“Naya, di mana kamu sayang?” gumam Bastian sambil menatap langit malam dari jendela kaca ruangan perawatan tempat Kanaya berada sebelumnya. Bastian sangat khawatir. Dadanya terasa sesak, dan ia merasakan ketakutan mendalam di dasar hatinya. Semua rasa itu bukan hanya ia tujukan untuk Kanaya saja, tetapi juga kepada anaknya. Anak yang berada dalam kandungan Kanaya itu, begitu dekat pada waktu kelahirannya. Apakah dia sudah lahir? Bagaimana keadaan mereka berdua? Di mana mereka berdua saat ini? Berjam-jam sudah ia mencari, namun belum juga menemukan di mana mereka berada. Rumah sakit North Emerald bukanlah sebuah rumah sakit besar seperti ERC. Penjagaan serta fasilitas keamanannya sangatlah minim. Kamera CCTV hanya terdapat di lorong besar dan pintu masuk utama rumah sakit itu. Sehingga, jika kepergian Kanaya melalui pintu lain, maka akan sulit melacaknya. Mereka juga telah menemukan mobil yang dibawa oleh Emran untuk mengantar Kanaya, nasih terparkir di halaman rumah sakit. Na
Jay menunjukkan layar telepon genggamnya pada Bastian. Di layar telepon genggam itu ada sebuah rekaman CCTV yang menampilkan sebuah parkiran toserba yang terletak berseberangan dengan pintu belakang rumah sakit. Pintu belakang itu dipergunakan sebagai pintu keluar masuk mobil-mobil pengangkut logistik. “Kejadiannya siang tadi, tidak lama waktunya dari saat Ibu Kanaya mengirim pesan singkat kepada Bapak.” Jay menunjuk petunjuk waktu dalam rekaman itu. Ia lalu mulai memainkan rekaman itu. Terlihat sebuah mobil ambulance berjalan keluar melalui pintu itu. “Ambulance?” Kening Bastian berkerut. Ia heran mengapa ambulance keluar melalui pintu logistik? “Benar. Petugas—” Klontang! Terdengar benda jatuh dari arah belakang mereka. Seketika itu juga mereka berdua menoleh, mencari dengan seksama benda apa yang jatuh. Namun, mereka berdua tidak menemukan benda itu. “Apa kamu bilang tadi?” Bastian mengesampingkan hal itu dan ia lanjut fokus pada apa yang Jay temukan. Agar bisa menemukan Ka
Samar Kanaya mendengar suara bayi menangis, dan ia melihat ke sekelilingnya, mencari dari mana suara itu berasal. “Ken-zo? Kenzo!” Kanaya memanggil nama yang ia sematkan pada putranya itu seraya langkah kakinya berjalan lebih cepat. Saat suara itu terdengar semakin jelas, ia akhirnya menemukannya… Bayi mungil itu berada beberapa meter darinya, tengah berada dalam gendongan Bastian. Kanaya berhenti melangkah dan memperhatikan interaksi anatara Bastian dan anak mereka. Wajah Bastian tampak begitu bahagia. Ia menatap bayi dalam gendongannya dengan penuh sukacita. Kanaya bisa mendengar Bastian berbicara dengan bayi itu, seperti yang kerap dia lakukan kala bayi itu masih berada di dalam kandungannya. Kanaya tersenyum mendengar celotehan dan tawa bayi itu menyahuti ucapan Papanya. Pemandangan inilah yang selalu ingin dilihatnya. Betapa bahagianya mereka bersama. Kanaya mulai melangkah maju. Ia ingin bergabung bersama mereka, menjadi bagian dari mereka. Ia juga ingin bi
Di layar telepon genggam itu terlihat sebuah foto yang dilihat dari angle-nya diambil secara candid. Di foto itu, Elsie sedang duduk di kursi roda sambil mengenakan kaca mata hitam. Beberapa orang laki-laki dan perempuan tampak berada di sekelilingnya. Tetapi bukan itu yang membuat Kanaya menahan nafas melihat layar itu. Adalah seorang bayi mungil yang berada di dekapan tangan Elsie, serta headline berita yang ada di atas foto itu. “Elsiana Zhiva, Istri Bastian Aryo Dwipangga, telah melahirkan anak pertama mereka secara prematur tidak lama setelah peristiwa North Emerald.” “Kanaya…” Tatapan mata Kanaya masih terpaku pada sosok bayi mungil di tangan Elsie saat Rizal memanggilnya. “Anakmu— Dia dalam keadaan baik-baik saja, seperti yang kamu lihat. Dan sesuai dengan rencana awal mereka, anak itu menjadi anak mereka setelah kamu melahirkannya,” ucap Rizal memaparkan dengan hati-hati. Tangan Kanaya seketik terasa lemas sehingga ia menurunkan telepon genggam itu di pangkuannya. Ia m
Kanaya tidak dapat beristirahat dengan tenang. Meskipun ia dilayani dan dirawat dengan baik di rumah itu, namun tetap saja hati dan pikirannya berada di tempat lain. Kanaya tidak bisa melupakan sosok bayi mungil yang ia lahirkan malam itu. Meskipun ia hanya bisa melihatnya sesaat, namun wajah mungil itu tidak bisa hilang dari ingatannya. Apa dia masih sering menangis? Tanpa disadari, telapak tangannya memegang perutnya. Dan setiap ia melakukan itu, semakin besar rasa rindu yang ia rasakan pada putranya itu. “Aaarrgghh…” Tidak sengaja tangannya menyentuh salah satu bukit kembarnya, dan ia sangat kesakitan. Air susunya sudah penuh kembali. Padahal baru beberapa jam yang lalu ia memompa asi miliknya itu. Terpaksa ia memompanya kembali. Sambil memompa, Kanaya kembali teringat anaknya. Bagaimana mungkin ia bisa lupa? Perpisahan mereka begitu tiba-tiba. Ia belum siap melepaskannya! Kanaya menundukkan wajahnya dan tidak sengaja melihat cincin di jari manisnya. Eternity Ring. Kanay
“Bastian tidak pulang untuk melihat anaknya?” tanya Kanaya sambil memperhatikan ekspresi wajah Rizal. “Sepertinya begitu. Yang aku dengar kericuhan di Anabath cukup parah,” jawab Rizal sekenanya. Ia menghela nafas. “Kanaya, bagaimana kalau kamu melupakan hal ini sejenak? Maksudku, kamu perlu memulihkan kondisi tubuhmu. Selain itu, aku pikir tidak aman untukmu keluar dan menemui Bastian saat ini.” Rizal meraih lengan Kanaya dan berkata dengan penuh antusias. “Bagaimana kalau kita pergi ke luar kota untuk sementara waktu? Sampai suasana dan keadaan membaik?” “Aku tidak bisa melakukan itu!” tolak Kanaya dengan segera. Rizal berdecak. Ia tampak kecewa dan kesal sebelum kembali menatap Kanaya. “Kejadian malam itu. Apa kamu lupa dengan apa yang mereka lakukan padamu? Kamu—hampir tidak selamat malam itu!” Kanaya tidak pernah lupa apa yang dokter dan suster itu katakan. Tetapi ia tidak bisa percaya begitu saja sebelum bertanya langsung kepada Bastian. Ada banyak hal yang harus ia bica
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un