“Bastian tidak pulang untuk melihat anaknya?” tanya Kanaya sambil memperhatikan ekspresi wajah Rizal. “Sepertinya begitu. Yang aku dengar kericuhan di Anabath cukup parah,” jawab Rizal sekenanya. Ia menghela nafas. “Kanaya, bagaimana kalau kamu melupakan hal ini sejenak? Maksudku, kamu perlu memulihkan kondisi tubuhmu. Selain itu, aku pikir tidak aman untukmu keluar dan menemui Bastian saat ini.” Rizal meraih lengan Kanaya dan berkata dengan penuh antusias. “Bagaimana kalau kita pergi ke luar kota untuk sementara waktu? Sampai suasana dan keadaan membaik?” “Aku tidak bisa melakukan itu!” tolak Kanaya dengan segera. Rizal berdecak. Ia tampak kecewa dan kesal sebelum kembali menatap Kanaya. “Kejadian malam itu. Apa kamu lupa dengan apa yang mereka lakukan padamu? Kamu—hampir tidak selamat malam itu!” Kanaya tidak pernah lupa apa yang dokter dan suster itu katakan. Tetapi ia tidak bisa percaya begitu saja sebelum bertanya langsung kepada Bastian. Ada banyak hal yang harus ia bica
“Kamu yakin? Bagaimana dengan Ayunda dan Laila? Kamu temukan di mana mereka?” “Negatif Bos, mereka bilang Ayunda sudah pulang ke apartemen di malam saat kejadian. Tapi setelah saya selidiki, mereka tidak ada di apartemen. Bahkan, mereka tidak pernah kembali ke apartemen setelah keluar dari rumah sakit,” lapor Heri dari seberang sambungan telepon. Sembari menghela nafas, Reno memijat ruang diantara kedua alisnya. Apa yang akan ia katakan pada Kanaya? Bahwa ibu dan Budenya menghilang di malam kejadian itu? Siapa kah yang membawa mereka? Apakah pihak Elsie, atau Bastian? Ia dan Heri begitu fokus menyelamatkan Kanaya malam itu, sehingga mereka lengah dan tidak memperhatikan Ayunda. Reno tidak menyangka jika hari itu akan terjadi berbagai macam hal. Ia pikir Kanaya akan baik-baik saja bersama Emran, yang notaben Bastian tugaskan untuk menjaga Kanaya. Sehingga ia tidak menyuruh anak buahnya untuk mengikuti mereka. Namun siapa menyangka jika Elsie dan Ravioli melancarkan aksinya har
“Minumlah,” Reno mendekatkan gelas ke bibir Kanaya, namun gadis itu menolaknya. Ia justru memalingkan wajahnya. Reno menghela nafas melihat sikap Kanaya. “Lepaskan aku. Biarkan aku pergi…” ucap Kanaya sambil meneteskan air mata. “Tidak, jika kamu masih bersikap seperti ini,” jawab Reno sambil menaruh gelas yang dipegangnya ke atas meja nakas. “Kamu bohong padaku…” ucap Kanaya dengan lirih. “Aku melakukan itu demi kebaikanmu.” Kanaya tetap memalingkan wajahnya. Bagaimana mungkin ia percaya pada pria di depannya itu? Entah sudah berapa kali Rizal berbohong padanya! “Makanlah, dan aku akan jawab semua pertanyaanmu,” ucap Reno sambil menatap wajah Kanaya yang tampak sangat lelah. Sejak semalam, Kanaya tidak mau makan dan minum. Beberapa kali sudah Kanaya mencoba kabur dari rumah itu, sehingga Reno terpaksa mengunci Kanaya dalam kamar dan tidak membiarkannya bergerak bebas. Kanaya melirik pria itu, namun ia tidak sepenuhnya percaya. “Baiklah. Fair enough,” ucap Reno sambil meng
Tok tok tok… Suara sepatu hak tinggi terdengar berjalan di atas lantai semen cor. Pemilik sepatu berhak tinggi itu masuk ke sebuah ruangan, dan di dalamnya duduk seorang pria. “Akhirnya kamu datang juga menemuiku.” Rico tersenyum miring pada perempuan yang datang. Perempuan itu mengenakan kaca mata hitam dan rambutnya ditutupi kerudung sekenanya. Perempuan itu tidak membalas senyuman Rico dan ia mengambil tempat duduk di kursi yang ada di seberang kursi Rico. “Bodohnya kamu Rico! Kenapa kamu melakukan ini?” “Apa? Menabrak Bastian? Hah! Elsie, aku puas menabrak suamimu itu!” sergah Rico dengan mendengus kesal. “Lihat apa yang dia lakukan pada hidupku! Kakiku cacat! Dia pantas mendapatkan itu! Hatusnya kuhabisi saja nyawanya!” tambah Rico dengan geram. Dari balik kaca matanya Elsie membelalakkan mata. Ia menaruh jari telunjuknya di ujung bibirnya. “Sssstttt….” Ia lalu melirik ke kanan dan ke kiri. Rico tampak kesal, namun ia tidak lagi berapi-api seperti tadi. “Apa yang kamu k
Di kantor CEO Renowed Innovation. “Kamu yakin?” tanya Reno dengan tanpa berkedip. Pupilnya tampak membulat dan wajahnya begitu serius. “Itulah berita yang saya dapat dari salah seorang perawat di rumah sakit ERC,” jawab Heri yang berdiri di samping Reno. “Perawat? Bagaimana dia bisa memberitahukanmu berita ini?” tanya Reno dengan curiga. Kalau saja perawat itu membocorkan rahasia ini sejak beberapa hari yang lalu saat Bastian baru mengalami kecelakaan, ia mungkin tidak akan curiga. Tetapi ini sudah beberapa hari sejak Bastian di rawat di sana, dan dia baru bicara? “Sebenarnya dia bukan perawat Bapak Bastian, tetapi kekasihnya bekerja sebagai perawat di sana. Dan ia mendengar kekasihnya itu menceritakan jika kondisi Bapak Bastian sudah membaik,” terang Heri. “Terangkan apa yang dimaksud dengan membaik!” “Secara fisik, tubuh Bapak Bastian berangsur-angsur pulih, hanya saja—” Heri tampak ragu mengatakannya. “Katakan!” “Perawat itu mengatakan, jika Bapak Bastian tidak bisa meng
Seperti yang sudah Reno janjikan pada Kanaya, ia membawa Kanaya bersamanya ke Rumah Sakit ERC untuk melihat kepulangan Bastian dari rumah sakit itu. Dan seperti dugaan mereka, halaman depan rumah sakit itu tidak hanya ramai oleh pencari berita, dan reporter televisi, namun juga masyarakat yang mengelukan Bastian, pasangan suami istri Bastian dan Elsie, ataupun masyarakat yang sangat mengagumi keluarga Dwipangga. Hal ini tidak lain karena Azhar, Haidar dan Miranda juga akan berada di sana menjemput Bastian. Pengagum keluarga Dwipangga ini adalah bagian masyarakat yang memberikan perhatian penuh terhadap kecelakaan yang terjadi pada Bastian. Sehingga mereka menyambut baik dan antusias dengan kepulangan Bastian dari rumah sakit. Kanaya berada dalam sebuah kendaraan SUV yang terparkir di halaman depan rumah sakit itu bersama Reno, serta dua anak buah Reno lainnya. “Kamu lihat Kanaya? Ini alasan mengapa aku tidak mengijinkanmu bertemu langsung dengan Bastian. Kamu lihat pria yang ada
Rombongan Bastian berjalan menuju pintu lift, saat tiba-tiba seorang perawat yang sedang mendorong sebuah brankar rumah sakit tiba-tiba datang dari sisi kiri. Beberapa orang penjaga yang berada di depan rombongan Bastian tidak menyadari Hal itu, dan bahkan tidak sengaja tertabrak oleh brankar itu. Perawat pria itu tampak sangat terkejut dan berusaha memutar brankarnya agar tudak mengenai Bastian. Akan tetapi tindakannya justru membuatnya terpeleset dan akhirnya ia terjatuh mengenai kaki Bastian. “Aaah.. ma-maaf. Maaf saya tidak melihat,” ucap perawat itu sambil bersidekap. Wajahnya pucat pasi dan ia tampak sangat ketakutan. Beberapa orang penjaga langsung membangunkannya dan menyeretnya menjauhi Bastian. “Hei, apa-apaan ini? Kenapa kamu menabrak suamiku?!” Elsie terkejut dan segera mendekati Bastian. “Bas, sayang, kamu baik-baik saja?” Miranda, dan Haidar pun melakukan hal yang sama. Mereka mengkhawatirkan Bastian. “Tidak apa,” jawab Bastian sambil tersenyum kecil. Wajahnya mas
Di dalam mobil SUV, Kanaya dan Reno melihat semua kejadian yang terekam dalam kamera tersembunyi. Kanaya menyeka airmatanya, teringat bagaimana Bastian mengatakan dia tidak mengenali kalung itu tanpa sedikitpun emosi di wajah ataupun pancaran matanya. Apakah itu berarti Bastian benar-benar tidak lagi mempedulikannya? Bahkan saat ia menghilang, Bastian tidak menunjukkan sedikit saja rasa peduli, apalagi berusaha mencarinya?! Apakah ia sungguh tidak berarti apa-apa baginya? Apakah selama ini ia hanyalah sebuah alat reproduksi dan penghangat ranjangnya semata? Kanaya kembali merasakan sakit di hatinya. Tadinya ia mengira dengan melihat Bastian hari ini, akan ada harapan baru untuknya. Namun ternyata… Kenapa rasanya sakit sekali? Ia tidak hanya kehilangan putranya dengan cara yang tidak ia inginkan, tetapi juga berpisah dengan Bastian dengan cara seperti ini. Disamping Kanaya yang sedang merasakan kekecewaan, duduk Reno dengan kedua mata yang bersinar. Pertunjukan yang ia saksikan
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un