Pesawat Bastian baru saja mendarat di Bandar Udara Emerald City. Sembari berjalan keluar pintu pesawat, Bastian menyalakan ponselnya. Dan seketika itu juga berbagai notifikasi muncul di layar telepon genggamnya. Bastian membuka pesan pertama yang masuk, dari Ardyan-temannya yang mengatakan untuk segera menghubunginya. Ia pun segera menghubungi temannya itu, mengingat ia sendiri mengatakan pada Adryan untuk segera memberinya kabar jika terjadi sesuatu. “Bas!” Suara Ardyan terdengar entah antusias atau gugup atau panik. Yang jelas temannya itu tidak bisa mengontrol volume suaranya sehingga terdengar keras memanggilnya. “Ada apa Dy?” Bastian mengerutkan keningnya sembari ia berjalan menuruni tangga pesawat. “Bas, Kanaya…” Suara Ardyan bergetar. Barulah jelas bagi Bastian, Ardyan- temannya itu sedang panik. Bastian menghentikan langkahnya. “Kanaya? Ada apa dengannya?” Tiba-tiba saja Bastian diliputi perasaan tidak enak. Angin malam yang berhembus mengenai wajahnya terasa begitu din
Rosa datang ke Sunnyside Estate untuk mengembalikan beberapa barang Elsie yang ada di apartemennya. Saat ia datang, asisten rumah tangga yang sudah mengenalnya dengan baik mempersilahkannya untuk langsung masuk ke dalam kamar Elsie. Namun siapa sangka, saat ia masuk, ia tidak sengaja mendengar percakapan Elsie dengan Ravioli! Rosa mengelus dadanya, merasa lega saat ia berhasil keluar dari dalam kamar Elsie tanpa diketahui. Dengan bergegas ia berjalan keluar dari rumah besar itu dan pergi dengan cepat dari halaman rumah dengan mengendarai mobilnya. Setelah melewati pagar Sunnyside Estate, mobil yang dikendarainya berhenti di pinggir jalan. Tubuh Rosa masih bergidik mendengar rencana Elsie dan Ravioli untuk menghabisi Kanaya. Bagaimana mungkin Elsie tega melakukan hal seperti itu? Dulu saat ia masih ikut meledek dan membuli Kanaya bersama Elsie, ia pikir kekesalan Elsie hanya sebatas rasa kesal seorang istri pada madu suaminya. Namun semakin berjalannya waktu, perbuatan Elsie
“Aahhh…” Kanaya merintih pelan merasakan sakit di perutnya. Hawa dingin menghampiri tubuhnya, membuat syaraf-syarafnya terbangun. Kedua matanya masih sulit untuk dibuka, namun samar ia mendengar suara dua orang bercakap-cakap. “Sepertinya dia bisa melahirkan secara normal. Pembukaannya bertambah dengan cepat. Kita tidak perlu mengoperasinya.” “Kamu benar, sepertinya tidak lama lagi pembukaannya akan lengkap. Kita tunggu saja sampai dia siuman.” Kanaya tidak mengenali suara itu, namun sepertinya mereka tengah membicarakan dirinya. “Rasanya tidak sabar untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Mereka akan langsung membayar uangnya begitu bayinya lahir, kan?” “Ya, tapi jangan lupa selesaikan pekerjaan dulu. Kalau tidak, orang kaya itu tidak mau membayar pekerjaan kita!” “Baik. Aku minum kopi dulu sebentar. Biar tidak mengantuk…” “Ayo, aku juga perlu minum kopi.” Kanaya mendengar langkah kaki menjauh dan suasana menjadi hening. Ia tidak lagi mendengar suara kedua orang itu. Dengan seku
Kanaya begitu kelelahan, namun ia memaksakan diri mengangkat kepalanya untuk melihat bayi mungil yang masih berwarna kemerahan itu. Airmata menetes di pipi Kanaya melihat perawat tengah membersihkan putranya. Ingin rasanya ia mendekat, untuk melihat lebih jelas seperti apa putranya itu. Setelah dibersihkan, perawat melilitkan kain bedong di tubuh putranya dan menggendongnya. “Biarkan— aku melihatnya…” ucap Kanaya dengan suara parau. Ia menatap dengan penuh harap. Sambil menggendong bayi itu, perawat tersenyum miring. “Baiklah, tapi sebentar saja…” Perawat itu mendekat sementara bayi mungil itu masih menangis dengan suara melengking. Airmata Kanaya menetes tak berhenti kala menatap putranya itu. Kulitnya masih berwarna merah, dan rambutnya berwarna kecoklatan, persis seperti rambut Bastian. Dan wajahnya… Kanaya tersenyum melihat wajah anaknya. Tidak hanya Bastian yang mewarisi genetiknya di wajah anak mereka. Kanaya pun melihat versi kecil dirinya di wajah putranya itu.
Awalnya Kanaya tidak mengenali pria yang ada di hadapannya itu. Karena Rizal yang ada di hadapannya saat itu, tidak mengenakan kacamata seperti biasanya. Dan wajah Rizal kali ini tampak bersih, klinis, tanpa janggut ataupun kumis. “Iya, Kanaya, Ini aku!” balasa Rizal setengah berbisik. Ia segera menghampiri Kanaya, mengecek keadaannya. Perempuan yang bersama Rizal pun mengecek keadaan Kanaya seakan dia seorang dokter. “Rizal… mereka… mereka mengambil anakku…” ucap Kanya dengan bibir gemetar. Tangannya pun ikut gemetar sehingga pisau yang ada di tangannya terjatuh ke atas ranjang. “Tidak apa Kanaya. Tidak apa. Aku akan menyelamatkanmu. Semuanya akan baik-baik saja!” ucap Rizal sambil memeluk Kanaya, mencoba menenangkannya. “Kita harus cepat membawanya keluar dari sini. Dia butuh perawatan medis segera!” ujar perempuan yang datang bersama Rizal. Ucapan perempuan itu seakan menyadarkan Rizal jika mereka masih dalam keadaan yang belum benar-benar aman. “Biar aku buka!” Rizal seger
“Naya, di mana kamu sayang?” gumam Bastian sambil menatap langit malam dari jendela kaca ruangan perawatan tempat Kanaya berada sebelumnya. Bastian sangat khawatir. Dadanya terasa sesak, dan ia merasakan ketakutan mendalam di dasar hatinya. Semua rasa itu bukan hanya ia tujukan untuk Kanaya saja, tetapi juga kepada anaknya. Anak yang berada dalam kandungan Kanaya itu, begitu dekat pada waktu kelahirannya. Apakah dia sudah lahir? Bagaimana keadaan mereka berdua? Di mana mereka berdua saat ini? Berjam-jam sudah ia mencari, namun belum juga menemukan di mana mereka berada. Rumah sakit North Emerald bukanlah sebuah rumah sakit besar seperti ERC. Penjagaan serta fasilitas keamanannya sangatlah minim. Kamera CCTV hanya terdapat di lorong besar dan pintu masuk utama rumah sakit itu. Sehingga, jika kepergian Kanaya melalui pintu lain, maka akan sulit melacaknya. Mereka juga telah menemukan mobil yang dibawa oleh Emran untuk mengantar Kanaya, nasih terparkir di halaman rumah sakit. Na
Jay menunjukkan layar telepon genggamnya pada Bastian. Di layar telepon genggam itu ada sebuah rekaman CCTV yang menampilkan sebuah parkiran toserba yang terletak berseberangan dengan pintu belakang rumah sakit. Pintu belakang itu dipergunakan sebagai pintu keluar masuk mobil-mobil pengangkut logistik. “Kejadiannya siang tadi, tidak lama waktunya dari saat Ibu Kanaya mengirim pesan singkat kepada Bapak.” Jay menunjuk petunjuk waktu dalam rekaman itu. Ia lalu mulai memainkan rekaman itu. Terlihat sebuah mobil ambulance berjalan keluar melalui pintu itu. “Ambulance?” Kening Bastian berkerut. Ia heran mengapa ambulance keluar melalui pintu logistik? “Benar. Petugas—” Klontang! Terdengar benda jatuh dari arah belakang mereka. Seketika itu juga mereka berdua menoleh, mencari dengan seksama benda apa yang jatuh. Namun, mereka berdua tidak menemukan benda itu. “Apa kamu bilang tadi?” Bastian mengesampingkan hal itu dan ia lanjut fokus pada apa yang Jay temukan. Agar bisa menemukan Ka
Samar Kanaya mendengar suara bayi menangis, dan ia melihat ke sekelilingnya, mencari dari mana suara itu berasal. “Ken-zo? Kenzo!” Kanaya memanggil nama yang ia sematkan pada putranya itu seraya langkah kakinya berjalan lebih cepat. Saat suara itu terdengar semakin jelas, ia akhirnya menemukannya… Bayi mungil itu berada beberapa meter darinya, tengah berada dalam gendongan Bastian. Kanaya berhenti melangkah dan memperhatikan interaksi anatara Bastian dan anak mereka. Wajah Bastian tampak begitu bahagia. Ia menatap bayi dalam gendongannya dengan penuh sukacita. Kanaya bisa mendengar Bastian berbicara dengan bayi itu, seperti yang kerap dia lakukan kala bayi itu masih berada di dalam kandungannya. Kanaya tersenyum mendengar celotehan dan tawa bayi itu menyahuti ucapan Papanya. Pemandangan inilah yang selalu ingin dilihatnya. Betapa bahagianya mereka bersama. Kanaya mulai melangkah maju. Ia ingin bergabung bersama mereka, menjadi bagian dari mereka. Ia juga ingin bi
Elsi sadar betapa gugupnya Chandra dan bahkan Agni, mamanya. Namun ia sudah kepalang tanggung. Jika ia mundur dan mengatakan hal sebenarnya, ia akan terlibat perkara yang lebih berat. “Bastian, dia mengatakan—akan mencelakai Mamaku— kalau aku tidak membuat pengakuan itu…” Bukan hanya berkata bohong, namun Elsie juga membumbuinya dengan isak dan tangis.Hadirin kembali bersuara heboh.“Tidak mungkin Bastian melakukan hal seperti itu!”“Itu mungkin saja! Kamu tidak paham, bahwa sebagai orang kaya yang memiliki segalanya, dia bisa saja melakukan hal itu! Apalagi jika uang berbicara!”“Benar! Kamu tahu kan kalau Bastian sangat melindungi istrinya, Kanaya. Dia pasti akan melakukan apa saja demi membalaskan sakit hati istrinya itu!”“Walaupun dengan mengkambinghitamkan mantan istri?”Suara-suara sumbang terdengar memihak dan bahkan berempati pada kubu Elsie.Agni bahkan menangis tersedu-sedu sambil memegangi dadanya, membuat sandiwara Elsie itu semakin meyakinkan.Di sisi lain, Kanaya meng
Kanaya dan Bastian dengan bergandengan tangan mendatangi gedung Pengadilan Negeri bersama-sama dengan tim kuasa hukum mereka. Bersama mereka, Ezra, Jay dan beberapa anak buahnya menjaga kedua pasangan itu dari gangguan yang membahayakan ataupun membuat mereka tidak nyaman.Hanya tinggal beberapa menit saja sebelum jadwal sidang mereka di mulai saat mereka memasuki ruangan sidang. Sidang kasus penculikan itu dibuka untuk umum, sehingga ruangan sidang itu cukup banyak dihadiri oleh masyarakat yang menaruh perhatian besar pada kasus itu maupun dari media masa yang meliput jalannya sidang secara langsung.Keingintahuan publik pada apa yang terjadi dalam rumah tangga orang-orang kelas atas seperti Bastian begitu besar. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan Bastian-Kanaya serta berita yang menyangkut Elsie, mantan istri Bastian yang terlibat masalah hukum, sangat menarik perhatian publik sehingga media pun berlomba-lomba untuk mendapatkan informasi yang paling faktual dan terpercaya.B
“Elsie, katakan saja ada apa…” ucap Agni dengan pasrah. Putrinya itu telah divonis bersalah dalam sidang sebelumnya. Apalagi yang ia harapkan? Sejak kecil putrinya itu memang sulit diberitahu. Selalu saja melakukan segala sesuatu semaunya. Kalau saja putrinya itu selalu mendengarkan perkataannya, mungkin semua kesialan ini tidak akan terjadi! “Sepertinya aku membuat kesalahan…” ucap Elsie pelan sambil menatap bergantian mama dan pengacaranya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Agni. Sementara Chandra hanya bisa menghela nafas menyadari berita buruk yang akan Elsie sampaikan. “Aku—membuat pengakuan beberapa hari yang lalu,” jawabnya dengan gugup. “Apa maksudmu membuat pengakuan—beberapa hari yang lalu?” Agni tidak mengerti. Bagaimana mungkin Elsie membuat pengakuan tanpa ia atau pengacara mengetahuinya? “Bu Elsie, apa yang sudah Anda akui?” Chandra angkat bicara. Mendengar kata “pengakuan”, ia semakin ketar-ketir. Kliennya yang satu ini memang penuh kejutan dan membuat spot jantung
Rumah tahanan wanita. Elsie sedang bersiap-siap di selnya untuk menghadiri sidang dalam kasus penculikan Kanaya. Beberapa jam lagi persidangan itu akan di mulai. Ia tampak tidak bersemangat. Hal ini karena pengakuan yang terpaksa ia lakukan saat Bastian mendatanginya beberapa waktu yang lalu. Mantan suaminya itu mendesaknya untuk mengakui keterlibatannya dalam kasus penculikan itu. Kalau ia tidak melakukannya, Bastian akan memberikan bukti-bukti keterlibatannya dalam kasus yang lebih berat, yaitu keterlibatannya dalam tabrakan yang menewaskan Direktur Alex dan Dokter Tyo serta dua orang lainnya. Dan jika Bastian benar-benar menyerahkan bukti-bukti yang dia miliki, tuntutannya bukan lagi penjara, tetapi nyawanya juga akan menjadi taruhannya. Sebab, 4 nyawa melayang karena kejadian itu. Sedang membenahi penampilannya, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang memanggil namanya dengan berbisik. “Elsie! Elsie!” Elsie mengerutkan keningnya. Ia penasaran siapa yang memanggilnya,
Hampir satu jam sudah Indra berada di dalam ruangan operasi. Ia terpaksa harus melakukan tindakan operasi cesar demi keselamatan pasien dan bayi yang dikandungnya. Indra melepas baju terusan operasi serta atribut lainnya sebelum ia berjalan dari ruangan scrub klinik kesuburan miliknya itu. Indra melihat ke kanan dan ke kiri lorong di depan ruangan bersalin tempat ia terakhir bertemu Gita. Namun saat itu, ia tidak melihat gadis itu. Lorong itu tampak sunyi dan sepi, dan hanya ada seorang perawat yang sedang berjalan ke arahnya. “Kamu tahu di mana Gita—perempuan yang datang bersama saya?” tanya Indra pada perawat itu saat mereka berpapasan. “Dia di sana Dok, di ruang bermain anak,” tunjuk perawat itu ke satu arah. Indra hendak mengucapkan terima kasih dan pergi, saat perawat itu lanjut berkata, “Dok, teman Dokter itu tampaknya sangat menyukai anak-anak. Hanya perlu beberapa menit saja untuk dia menenangkan putranya Bu Lia. Padahal kita semua sudah mencoba menenangkannya sebelum
Indra masih tampak ragu.“Sepertinya kakak benar. Gak pa-pa kan Ndra kalau mobilmu diparkir di sini? Toh setelah konser kita kembali lagi ke sini, bagaimana?” Gita juga menyetujui usulan Ardyan. Dan ia berharap Indra mau menyetujuinya.“Baiklah. Kita naik mobilmu saja,” ucap Indra akhirnya menyetujui.Indra pun sebenarnya menyadari jika ide Ardyan itu lebih mudah dan efisien untuk mereka. Hanya saja, ia terbiasa membawa mobilnya sendiri. Terlebih jika ia dibutuhkan segera dalam keadaan emergency.Namun kali ini ia berkompromi demi acara mereka malam ini.“Begitu dong! Nurut sama kakak… kakak ipar maksudnya…” seloroh Ardyan sambil menunjuk dadanya.Ia hanya bercanda saja. Sebab jika ia dan Indra masing-masing menikahi Aliya dan Gita, bukankah ia akan menjadi ipar yang lebih tua untuk Indra?“Wooo… In your dream!” balas Indra dengan canda sambil dengan sengaja menyenggol bahu Ardyan dan berjalan menuju mobil.Mendengar hal itu mereka pun tertawa. Mereka berempat pun berangkat ke Emeral
Sementara itu, di halaman parkir sebuah apartemen di pusat kota, Indra baru saja turun dari mobilnya. Ia baru saja selesai bekerja. Rambutnya masih terlihat basah setelah mandi dan berganti pakaian di klinik miliknya. Indra tampak sudah familiar dengan apartemen itu. Tanpa ragu ia memasuki lift dan naik ke lantai yang ia tuju tanpa ada kendala. Di depan sebuah unit apartemen, Indra merapikan rambut dan pakaiannya sebelum memencet bel di pintu. Tidak lama pintu terbuka, dan ia bertemu Aliya. “Halo Aliya, Gita-nya ada?” Bukan hal aneh bertemu Aliya di sana. Sebab, Gita dan Aliya tinggal di apartemen yang sama. Hanya saja Indra memang jarang bertemu Aliya setiap kali ia bertandang ke apartemen itu. Sebab sebagai seorang reporter, Aliya kerap pergi mencari berita. Aliya tersenyum dan membuka pintu lebih lebar untuknya. “Silahkan masuk, Dr. Indra. Gita ada di dalam.” Indra masuk ke dalam apartemen itu dan duduk dengan sopan, menunggu wanita yang kerap ditemuinya selama beberapa
“Tapi kamu tidak perlu kuatir, Yang. Mereka tidak akan menggunakannya untuk maksud jahat. Percayalah padaku,” ucap Kanaya meyakinkan suaminya itu. “Bagaimana kamu bisa yakin?” tanya Bastian sambil menatap Kanaya dan mengangkat satu alisnya. “Karena aku yang mengatakannya, Sayang…” jawab Kanaya. Ia menjadi gemas oleh sifat pencemburu Bastian, sehingga mencubit hidung mancung suaminya itu dengan gemas. Bastian mengaduh, tetapi ia tidak marah. Ia justru membalasnya dengan menggigit ujung hidung Kanaya dengan sama gemas sebelum menggesekkannya dengan ujung hidungnya sendiri. Mereka berdua tertawa dengan saling menatap. Bastian menghela nafas dan terus menatap lekat kedua mata almond di hadapannya. Menyelami keteduhan yang ia rasakan di sana. Entah bagaimana, ia percaya pada penilaian Kanaya, dan tidak lagi khawatir. “Tunggu apa lagi?” tanya Kanaya tiba-tiba, membuat Bastian mengangkat alisnya tidak mengerti. “Kapan kamu akan menghukumku?” Kanaya bertanya sambil menatap Bastian, s
Kanaya tersenyum dan meletakkan tangannya di punggung tangan Bastian. “Heri. Aku mendapatkannya dari Heri,” aku Kanaya akhirnya “Heri? Heri siapa? Asisten—Reno?” tanya Bastian memastikan. Sesaat ia tampak ragu saat menebaknya. Bastian mengetahui jika dulu Reno memata-matai kehidupan pribadinya, tetapi ia tidak terlalu yakin jika semua foto-foto ini didapat dari Reno. Kanaya mengangguk. Mengakui jika dari asisten pribadi Reno lah ia mendapat semua foto-foto itu. Ia ingat tadi sore saat baru selesai berbelanja bersama Clara, Heri menghubunginya melalui telepon. Dalam perjalanan pulang dari toko lingerie, Kanaya sedang memikirkan apa lagi yang akan dia buat nanti malam untuk “menemani” kejutanyang ia siapkan untuk Bastian. Kanaya ingin membuat waktu yang ia habiskan bersama Bastian menjadi lebih bermakna. Namun kejutan apa lagi yang bisa ia lakukan dengan waktu yang sedikit? Saat itulah Heri menghubunginya. *** flashback*** “Bu Kanaya…” “Ya? apa semua baik-baik saja?” Kanaya m