Pagi harinya, Kanaya terbangun, dan hal pertama yang dilihatnya adalah Bastian. Suami sirinya itu tidur di sampingnya dengan nafas yang tenang.Kanaya menatap wajah tampan Bastian. Berapa kali pun ia menatapnya, atau dalam keadaan apa pun, bahkan saat rambutnya berantakan tak beraturan sepeerti pagi ini, ia tidak pernah bosan.Namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia merasa ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuatnya cemas, namun ia tidak tahu apa.Bastian tidur di sampingnya, masih memejamkan mata. Suasana minggu pagi di rumah mereka pun masih sunyi, tentram dan damai. Jika bisa berkata jujur, pagi ini begitu sempurna. Apa yang perlu untuk ia cemaskan?Bahkan, semalam begitu luar biasa.Berhubungan suami-istri dengan Bastian terasa selalu menggairahkan bagi Kanaya. Terlepas dari sikap Bastian yang lebih berhati-hati dan lebih menahan diri sejak kandungannya memasuki trisemester ketiga.Tetapi tadi semalam, mereka berdua teramat sangat bergairah, bahkan ia merasa jika ia sa
Indra keluar dari dalam kamar Kanaya dengan langkah cepat. Tanpa sepatah kata, ia langsung menghampiri Bastian di teras belakang rumah.Bastian beranjak dari duduknya melihat berjalan ke arahnya. Ia telah menunggu Indra sejak tadi, ingin mennayakan keadaan Kanaya dan bayi mereka. Namun sebelum Bastian sempat membuka mulut untuk bertanya, Indra mengayunkan tinjunya dan sebuah kepalan menghantam wajah Bastian!“Uughh!”Bastian terjengkang ke belakang, terhuyung, dan ia hampir terjatuh. Namun Bastian berhasil menyeimbangkan tubuhnya, sehingga ia tidak benar-benar roboh. Masih terkejut, ia menatap Indra dengan bingung.Jika dalam keadaan berbeda, Bastian sudah pasti akan membalasnya. Namun ada yang lebih dikhawtirkannya saat it“Apa yang—”Indra menghardiknya dengan nada penuh amarah. “Berengsek kamu, Bas! Egois! Kamu sadar nggak kalau kamu membahayakan nyawanya dan anak yang dikandungnya? Dia hampir keguguran karena ulahmu!”Bastian mengusap pipinya yang memerah. Ia mencerna ucapan Ind
“Apa maksudmu sulit? Yang harus kalian lakukan adalah menyenggolnya! Apa sesulit itu?” Elsie marah-marah pada orang yang ada di ujung sambungan telepon.“Begini Nona, perempuan itu, dia selalu dalam penjagaan. Dia tidak pernah sendiri. Dan lagi m, dia sedang berada di kamar VIP, jauh dari ruangan pasien lainnya. Sangat sulit bagi kami mendekatinya!”“Haaahh! Tidak becus!” Elsie mengakhiri pembicaraan itu dengan kesal, dan melemparkan telepon genggam itu kepada Rico yang duduk di sebelahnya.“Sabar Babe, beri waktu mereka untuk bekerja,” Rico menenangkan Elsie.Dia memegang bahu Elsie, dan kembali berkata. “Mungkin nanti setelah Kanaya pulang dari rumah sakit, kita akan lebih banyak punya kesempatan. Kamu tahu sendiri kan kalau dia ditempatkan di ruangan yang terpisah dan sulit dijangkau.”“Aaaarrrggghh!” Bukannya tambah tenang, Elsie justru semakin geram mendengarnya. Ia melempar bantalan sofa karena begitu kesal.Bastian memberitahunya jika Kanaya mengalami pendarahan, sehingga harus
Kanaya menatap Rizal yang tersenyum sembari berjalan menghampirinya. Kanaya tahu Rizal bukanlah seorang dokter. Lalu mengapa dia datang degan berpenampilan sebagai seorang dokter?Tidak salah lagi! Dia pasti sedang menyamar. Tetapi untuk apa? Menemui dirinya?“Mau apa kamu di sini?” Kanaya bertanya dengan tatapan curiga. Ia melirik ke arah pintu, berharap ada orang lain di sana. Sifa atau mungkin juga perawat yang datang untuk mengecek keadaannya.Namun sayangnya, ia tidak melihat siapa pun, artinya ia hanya berdua saja dengan Rizal di ruangan itu.“Aku hanya ingin melihat keadaanmu.” Rizal berhenti melangkah dalam jarak yang cukup wajar. Ia tersenyum dan lanjut berkata, “Aku dengar kamu sedang dirawat di sini. Itu sebabnya aku datang untuk melihat keadaanmu. Apa anakmu baik-baik saja?”Rizal menunjuk perut Kanaya dengan matanya.Kanaya menatap Rizal tidak berkedip, memperhatikannya dengan seksama.“Tidak perlu berbasa-basi. Katakan saja untuk apa kamu datang kesini,” ucap Kanaya. Ia
“Non, ini dimakan buahnya.” Sifa menyodorkan piring kecil berisi potongan buah apel kepada Kanaya.Kanaya menoleh saat merasakan sentuhan tangan Sifa di pundaknya, lalu pandangan matanya turun je tangan Sifa yang memegang garpu dengan potingan apel di ujungnya. Kanaya pun membuka mulutnya, membiarkan Sifa menyuapinya.Sejak di rawat di rumah sakit, Sifa sering kali menyuapinya makanan, walaupun ia udah mengatakan bisa memakannya sendiri.“Bengong terus dari tadi, Non. Mikirin Bapak ya?” tanya Sifa dengan nada menggoda.Kanaya tersenyum dan menggeleng. Ia kembali membuka mulut untuk menyantap apel yang disodorkan Sifa. “Tenang Non, nanti kalau sudah selesai kerjaannya, Bapak pasti datang.” Sifa terus bicara sementara Kanaya menyantap seyiap potong buah apel yanv ia sodorkan.Kenyataannya, bukan Bastian yang sedang ia pikirkan. Tetapi apa yang Rizal katakan padanya.Meskipun ia berusaha untuk tidak memikirkannya, namun harus diakuinya jika keinginan untuk memeluk dan menggendong anakny
“Maaf Bu Elsie, sebaiknya Anda—”“Tidak apa, Emran.” Kanaya memotong ucapan Emran, memberinya tatapan pengertian.Kanaya tidak ingin Emran mempertaruhkan pekerjaannya dengan keberaniannya menyinggung dan menentang Elsie untuk dirinya.Kanaya tidak tahu jika Emran adalah seorang bodyguard yang ditugaskan untuk melindunginya. Yang ia ketahui, Emran adalah seorang supir pribadi yang ditugaskan Bastian untuk ikut menjaganya saat Sifa tidak ditempat untuk menemaninya.Emran tidak lagi bicara. Namun ia tetap berdiri di tempatnya.“Kanaya, terima kasih. Tetapi sepertinya Emran kuatir aku melakukan sesuatu yang tidak seharusnya,” sindir Elsie sambil ia menoleh ke arah Emran, lalu Kanaya. Secara tidak langsung memaksa Kanaya untuk melakukan sesuatu.Kanaya mengerti maksud perkataan Elsie. Jika ia tidak menyuruh Emran keluar, Emran akan terkena getahnya dan dirinya pun akan dianggap telah kurang ajar karena terang-terangan mencurigai hendak berbuat sesuatu yang buruk. “Tidak apa, kamu bisa men
Kanaya, Elsie, dan Sifa terkejut melihat Bastian melangkah masuk ke ruang perawatan tempat mereka berada. Bastian memutar pandangannya ke semua yang ada di sana, dan ia berhenti menatap Elsie. Dengan tatapan penuh selidik ia bertanya, “Elsie, apa yang kamu lakukan di sini?” Melihat Bastian ada di sana, tatapan mata Elsie meredup. Ia memegang lengan Bastian, merajuk dengan nada lembut. “Aku ke sini untuk menengok Kanaya. Mendengar dia mengalami pendarahan, aku sangat kuatir. Aku harap kedatanganku bisa menyemangatinya.” Bastian menaikkan alisnya, mempertanyakan kebenaran jawaban Elsie itu. “Kamu baik sekali Elsie, tetapi kenapa kamu membentak Sifa? Kamu harus ingat, ini di rumah sakit, dan Kanaya butuh ketenangan.” Kanaya butuh ketenangan? Apanitubyang selalu dipikirkan Bastian? Kanaya, Kanaya, dan Kanaya! umpat Elsie dalam hati. Elsie merasa sangat dongkol dengan perhatian Bastian yang begitu besar kepada Kanaya, akan tetapi ia berusaha menutupi perasaannya. “Aku tidak bermaksud
“Bas,” Elsie memanggil Bastian untuk mengalihkan perhatian pria itu kembali kepadanya. “Jadi, bagaimana menurutmu, Bas? Apa kamu setuju dengan usulanku?” tanya Elsie dengan tatapan penuh harap. Bastian menarik nafas dan kembali bertanya sembari menatap Elsie. “Elsie, kamu serius ingin Kanaya tinggal bersama kita?”Elsie menghela nafas, terlihat sedikit kesal karena Bastian masih menanyakan hal itu.Ia lalu mengangguk dengan meyakinkan. “Ya, tentu aku serius!”Elsie mempererat pegangan tangannya pada Bastian dan ia berkata. “Aku melakukan ini demi anak kita. Aku ingin memastikan anak kita baik-baik saja!”Bastian menatap Elsie cukup lama sebelum ia berkata pelan, “Aku tidak masalah dengan ini jika Kanaya setuju.” Ia kemudian menatap Kanaya, menunggu reaksinya. Elsie pun ikut menoleh, juga menanti jawaban Kanaya.Kanaya yang sejak beberapa menit yang lalu diam tidak merespon, menatap balik keduanya dengan rasa canggung, cemburu dan rasa yang bercampur aduk. Reputasi Bastian sebagai
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un