Mobil yang ditumpangi mereka berhenti di depan sebuah rumah besar. Dan Elsie tahu benar rumah siapa itu.Dua orang pria memegang tangan Elsie, dan Elsie langsung menghempaskannya. Ia memberi mereka pelototan mata sebelum dengan sukarela berjalan masuk ke dalam rumah itu.Elsie tahu mereka tidak berani berbuat macam-macam padanya selama bos mereka tidak mengeluarkan perintah.Bagaimanapun Elsie sadar bos mereka punya kepentingan padanya. Itu sebabnya mereka membawanya ke rumah itu.“Elsie! Lihatlah dirimu!” seru Ravioli sambil tertawa lepas saat melihat penampilan seksi Elsie.Perempuan di hadapannya itu bisa berubah 180 derajat dari gaya kesehariannya sebagai Nyonya Bastian yang anggun, menjadi perempuan yang bergaya hidup bebas, sarat dengan dunia malam.Elsie berhenti di depan pria empat puluh tahunan itu, tidak menghiraukan ucapannya. “Apa maumu?”Ravioli tertawa. “Tidak perlu bersikap galak seperti itu Elsie. Bukankah kamu sudah bersenang-senang tadi malam?” Ravioli berjalan men
Pagi harinya, Kanaya terbangun, dan hal pertama yang dilihatnya adalah Bastian. Suami sirinya itu tidur di sampingnya dengan nafas yang tenang.Kanaya menatap wajah tampan Bastian. Berapa kali pun ia menatapnya, atau dalam keadaan apa pun, bahkan saat rambutnya berantakan tak beraturan sepeerti pagi ini, ia tidak pernah bosan.Namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia merasa ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuatnya cemas, namun ia tidak tahu apa.Bastian tidur di sampingnya, masih memejamkan mata. Suasana minggu pagi di rumah mereka pun masih sunyi, tentram dan damai. Jika bisa berkata jujur, pagi ini begitu sempurna. Apa yang perlu untuk ia cemaskan?Bahkan, semalam begitu luar biasa.Berhubungan suami-istri dengan Bastian terasa selalu menggairahkan bagi Kanaya. Terlepas dari sikap Bastian yang lebih berhati-hati dan lebih menahan diri sejak kandungannya memasuki trisemester ketiga.Tetapi tadi semalam, mereka berdua teramat sangat bergairah, bahkan ia merasa jika ia sa
Indra keluar dari dalam kamar Kanaya dengan langkah cepat. Tanpa sepatah kata, ia langsung menghampiri Bastian di teras belakang rumah.Bastian beranjak dari duduknya melihat berjalan ke arahnya. Ia telah menunggu Indra sejak tadi, ingin mennayakan keadaan Kanaya dan bayi mereka. Namun sebelum Bastian sempat membuka mulut untuk bertanya, Indra mengayunkan tinjunya dan sebuah kepalan menghantam wajah Bastian!“Uughh!”Bastian terjengkang ke belakang, terhuyung, dan ia hampir terjatuh. Namun Bastian berhasil menyeimbangkan tubuhnya, sehingga ia tidak benar-benar roboh. Masih terkejut, ia menatap Indra dengan bingung.Jika dalam keadaan berbeda, Bastian sudah pasti akan membalasnya. Namun ada yang lebih dikhawtirkannya saat it“Apa yang—”Indra menghardiknya dengan nada penuh amarah. “Berengsek kamu, Bas! Egois! Kamu sadar nggak kalau kamu membahayakan nyawanya dan anak yang dikandungnya? Dia hampir keguguran karena ulahmu!”Bastian mengusap pipinya yang memerah. Ia mencerna ucapan Ind
“Apa maksudmu sulit? Yang harus kalian lakukan adalah menyenggolnya! Apa sesulit itu?” Elsie marah-marah pada orang yang ada di ujung sambungan telepon.“Begini Nona, perempuan itu, dia selalu dalam penjagaan. Dia tidak pernah sendiri. Dan lagi m, dia sedang berada di kamar VIP, jauh dari ruangan pasien lainnya. Sangat sulit bagi kami mendekatinya!”“Haaahh! Tidak becus!” Elsie mengakhiri pembicaraan itu dengan kesal, dan melemparkan telepon genggam itu kepada Rico yang duduk di sebelahnya.“Sabar Babe, beri waktu mereka untuk bekerja,” Rico menenangkan Elsie.Dia memegang bahu Elsie, dan kembali berkata. “Mungkin nanti setelah Kanaya pulang dari rumah sakit, kita akan lebih banyak punya kesempatan. Kamu tahu sendiri kan kalau dia ditempatkan di ruangan yang terpisah dan sulit dijangkau.”“Aaaarrrggghh!” Bukannya tambah tenang, Elsie justru semakin geram mendengarnya. Ia melempar bantalan sofa karena begitu kesal.Bastian memberitahunya jika Kanaya mengalami pendarahan, sehingga harus
Kanaya menatap Rizal yang tersenyum sembari berjalan menghampirinya. Kanaya tahu Rizal bukanlah seorang dokter. Lalu mengapa dia datang degan berpenampilan sebagai seorang dokter?Tidak salah lagi! Dia pasti sedang menyamar. Tetapi untuk apa? Menemui dirinya?“Mau apa kamu di sini?” Kanaya bertanya dengan tatapan curiga. Ia melirik ke arah pintu, berharap ada orang lain di sana. Sifa atau mungkin juga perawat yang datang untuk mengecek keadaannya.Namun sayangnya, ia tidak melihat siapa pun, artinya ia hanya berdua saja dengan Rizal di ruangan itu.“Aku hanya ingin melihat keadaanmu.” Rizal berhenti melangkah dalam jarak yang cukup wajar. Ia tersenyum dan lanjut berkata, “Aku dengar kamu sedang dirawat di sini. Itu sebabnya aku datang untuk melihat keadaanmu. Apa anakmu baik-baik saja?”Rizal menunjuk perut Kanaya dengan matanya.Kanaya menatap Rizal tidak berkedip, memperhatikannya dengan seksama.“Tidak perlu berbasa-basi. Katakan saja untuk apa kamu datang kesini,” ucap Kanaya. Ia
“Non, ini dimakan buahnya.” Sifa menyodorkan piring kecil berisi potongan buah apel kepada Kanaya.Kanaya menoleh saat merasakan sentuhan tangan Sifa di pundaknya, lalu pandangan matanya turun je tangan Sifa yang memegang garpu dengan potingan apel di ujungnya. Kanaya pun membuka mulutnya, membiarkan Sifa menyuapinya.Sejak di rawat di rumah sakit, Sifa sering kali menyuapinya makanan, walaupun ia udah mengatakan bisa memakannya sendiri.“Bengong terus dari tadi, Non. Mikirin Bapak ya?” tanya Sifa dengan nada menggoda.Kanaya tersenyum dan menggeleng. Ia kembali membuka mulut untuk menyantap apel yang disodorkan Sifa. “Tenang Non, nanti kalau sudah selesai kerjaannya, Bapak pasti datang.” Sifa terus bicara sementara Kanaya menyantap seyiap potong buah apel yanv ia sodorkan.Kenyataannya, bukan Bastian yang sedang ia pikirkan. Tetapi apa yang Rizal katakan padanya.Meskipun ia berusaha untuk tidak memikirkannya, namun harus diakuinya jika keinginan untuk memeluk dan menggendong anakny
“Maaf Bu Elsie, sebaiknya Anda—”“Tidak apa, Emran.” Kanaya memotong ucapan Emran, memberinya tatapan pengertian.Kanaya tidak ingin Emran mempertaruhkan pekerjaannya dengan keberaniannya menyinggung dan menentang Elsie untuk dirinya.Kanaya tidak tahu jika Emran adalah seorang bodyguard yang ditugaskan untuk melindunginya. Yang ia ketahui, Emran adalah seorang supir pribadi yang ditugaskan Bastian untuk ikut menjaganya saat Sifa tidak ditempat untuk menemaninya.Emran tidak lagi bicara. Namun ia tetap berdiri di tempatnya.“Kanaya, terima kasih. Tetapi sepertinya Emran kuatir aku melakukan sesuatu yang tidak seharusnya,” sindir Elsie sambil ia menoleh ke arah Emran, lalu Kanaya. Secara tidak langsung memaksa Kanaya untuk melakukan sesuatu.Kanaya mengerti maksud perkataan Elsie. Jika ia tidak menyuruh Emran keluar, Emran akan terkena getahnya dan dirinya pun akan dianggap telah kurang ajar karena terang-terangan mencurigai hendak berbuat sesuatu yang buruk. “Tidak apa, kamu bisa men
Kanaya, Elsie, dan Sifa terkejut melihat Bastian melangkah masuk ke ruang perawatan tempat mereka berada. Bastian memutar pandangannya ke semua yang ada di sana, dan ia berhenti menatap Elsie. Dengan tatapan penuh selidik ia bertanya, “Elsie, apa yang kamu lakukan di sini?” Melihat Bastian ada di sana, tatapan mata Elsie meredup. Ia memegang lengan Bastian, merajuk dengan nada lembut. “Aku ke sini untuk menengok Kanaya. Mendengar dia mengalami pendarahan, aku sangat kuatir. Aku harap kedatanganku bisa menyemangatinya.” Bastian menaikkan alisnya, mempertanyakan kebenaran jawaban Elsie itu. “Kamu baik sekali Elsie, tetapi kenapa kamu membentak Sifa? Kamu harus ingat, ini di rumah sakit, dan Kanaya butuh ketenangan.” Kanaya butuh ketenangan? Apanitubyang selalu dipikirkan Bastian? Kanaya, Kanaya, dan Kanaya! umpat Elsie dalam hati. Elsie merasa sangat dongkol dengan perhatian Bastian yang begitu besar kepada Kanaya, akan tetapi ia berusaha menutupi perasaannya. “Aku tidak bermaksud
Elsi sadar betapa gugupnya Chandra dan bahkan Agni, mamanya. Namun ia sudah kepalang tanggung. Jika ia mundur dan mengatakan hal sebenarnya, ia akan terlibat perkara yang lebih berat. “Bastian, dia mengatakan—akan mencelakai Mamaku— kalau aku tidak membuat pengakuan itu…” Bukan hanya berkata bohong, namun Elsie juga membumbuinya dengan isak dan tangis.Hadirin kembali bersuara heboh.“Tidak mungkin Bastian melakukan hal seperti itu!”“Itu mungkin saja! Kamu tidak paham, bahwa sebagai orang kaya yang memiliki segalanya, dia bisa saja melakukan hal itu! Apalagi jika uang berbicara!”“Benar! Kamu tahu kan kalau Bastian sangat melindungi istrinya, Kanaya. Dia pasti akan melakukan apa saja demi membalaskan sakit hati istrinya itu!”“Walaupun dengan mengkambinghitamkan mantan istri?”Suara-suara sumbang terdengar memihak dan bahkan berempati pada kubu Elsie.Agni bahkan menangis tersedu-sedu sambil memegangi dadanya, membuat sandiwara Elsie itu semakin meyakinkan.Di sisi lain, Kanaya meng
Kanaya dan Bastian dengan bergandengan tangan mendatangi gedung Pengadilan Negeri bersama-sama dengan tim kuasa hukum mereka. Bersama mereka, Ezra, Jay dan beberapa anak buahnya menjaga kedua pasangan itu dari gangguan yang membahayakan ataupun membuat mereka tidak nyaman.Hanya tinggal beberapa menit saja sebelum jadwal sidang mereka di mulai saat mereka memasuki ruangan sidang. Sidang kasus penculikan itu dibuka untuk umum, sehingga ruangan sidang itu cukup banyak dihadiri oleh masyarakat yang menaruh perhatian besar pada kasus itu maupun dari media masa yang meliput jalannya sidang secara langsung.Keingintahuan publik pada apa yang terjadi dalam rumah tangga orang-orang kelas atas seperti Bastian begitu besar. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan Bastian-Kanaya serta berita yang menyangkut Elsie, mantan istri Bastian yang terlibat masalah hukum, sangat menarik perhatian publik sehingga media pun berlomba-lomba untuk mendapatkan informasi yang paling faktual dan terpercaya.B
“Elsie, katakan saja ada apa…” ucap Agni dengan pasrah. Putrinya itu telah divonis bersalah dalam sidang sebelumnya. Apalagi yang ia harapkan? Sejak kecil putrinya itu memang sulit diberitahu. Selalu saja melakukan segala sesuatu semaunya. Kalau saja putrinya itu selalu mendengarkan perkataannya, mungkin semua kesialan ini tidak akan terjadi! “Sepertinya aku membuat kesalahan…” ucap Elsie pelan sambil menatap bergantian mama dan pengacaranya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Agni. Sementara Chandra hanya bisa menghela nafas menyadari berita buruk yang akan Elsie sampaikan. “Aku—membuat pengakuan beberapa hari yang lalu,” jawabnya dengan gugup. “Apa maksudmu membuat pengakuan—beberapa hari yang lalu?” Agni tidak mengerti. Bagaimana mungkin Elsie membuat pengakuan tanpa ia atau pengacara mengetahuinya? “Bu Elsie, apa yang sudah Anda akui?” Chandra angkat bicara. Mendengar kata “pengakuan”, ia semakin ketar-ketir. Kliennya yang satu ini memang penuh kejutan dan membuat spot jantung
Rumah tahanan wanita. Elsie sedang bersiap-siap di selnya untuk menghadiri sidang dalam kasus penculikan Kanaya. Beberapa jam lagi persidangan itu akan di mulai. Ia tampak tidak bersemangat. Hal ini karena pengakuan yang terpaksa ia lakukan saat Bastian mendatanginya beberapa waktu yang lalu. Mantan suaminya itu mendesaknya untuk mengakui keterlibatannya dalam kasus penculikan itu. Kalau ia tidak melakukannya, Bastian akan memberikan bukti-bukti keterlibatannya dalam kasus yang lebih berat, yaitu keterlibatannya dalam tabrakan yang menewaskan Direktur Alex dan Dokter Tyo serta dua orang lainnya. Dan jika Bastian benar-benar menyerahkan bukti-bukti yang dia miliki, tuntutannya bukan lagi penjara, tetapi nyawanya juga akan menjadi taruhannya. Sebab, 4 nyawa melayang karena kejadian itu. Sedang membenahi penampilannya, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang memanggil namanya dengan berbisik. “Elsie! Elsie!” Elsie mengerutkan keningnya. Ia penasaran siapa yang memanggilnya,
Hampir satu jam sudah Indra berada di dalam ruangan operasi. Ia terpaksa harus melakukan tindakan operasi cesar demi keselamatan pasien dan bayi yang dikandungnya. Indra melepas baju terusan operasi serta atribut lainnya sebelum ia berjalan dari ruangan scrub klinik kesuburan miliknya itu. Indra melihat ke kanan dan ke kiri lorong di depan ruangan bersalin tempat ia terakhir bertemu Gita. Namun saat itu, ia tidak melihat gadis itu. Lorong itu tampak sunyi dan sepi, dan hanya ada seorang perawat yang sedang berjalan ke arahnya. “Kamu tahu di mana Gita—perempuan yang datang bersama saya?” tanya Indra pada perawat itu saat mereka berpapasan. “Dia di sana Dok, di ruang bermain anak,” tunjuk perawat itu ke satu arah. Indra hendak mengucapkan terima kasih dan pergi, saat perawat itu lanjut berkata, “Dok, teman Dokter itu tampaknya sangat menyukai anak-anak. Hanya perlu beberapa menit saja untuk dia menenangkan putranya Bu Lia. Padahal kita semua sudah mencoba menenangkannya sebelum
Indra masih tampak ragu.“Sepertinya kakak benar. Gak pa-pa kan Ndra kalau mobilmu diparkir di sini? Toh setelah konser kita kembali lagi ke sini, bagaimana?” Gita juga menyetujui usulan Ardyan. Dan ia berharap Indra mau menyetujuinya.“Baiklah. Kita naik mobilmu saja,” ucap Indra akhirnya menyetujui.Indra pun sebenarnya menyadari jika ide Ardyan itu lebih mudah dan efisien untuk mereka. Hanya saja, ia terbiasa membawa mobilnya sendiri. Terlebih jika ia dibutuhkan segera dalam keadaan emergency.Namun kali ini ia berkompromi demi acara mereka malam ini.“Begitu dong! Nurut sama kakak… kakak ipar maksudnya…” seloroh Ardyan sambil menunjuk dadanya.Ia hanya bercanda saja. Sebab jika ia dan Indra masing-masing menikahi Aliya dan Gita, bukankah ia akan menjadi ipar yang lebih tua untuk Indra?“Wooo… In your dream!” balas Indra dengan canda sambil dengan sengaja menyenggol bahu Ardyan dan berjalan menuju mobil.Mendengar hal itu mereka pun tertawa. Mereka berempat pun berangkat ke Emeral
Sementara itu, di halaman parkir sebuah apartemen di pusat kota, Indra baru saja turun dari mobilnya. Ia baru saja selesai bekerja. Rambutnya masih terlihat basah setelah mandi dan berganti pakaian di klinik miliknya. Indra tampak sudah familiar dengan apartemen itu. Tanpa ragu ia memasuki lift dan naik ke lantai yang ia tuju tanpa ada kendala. Di depan sebuah unit apartemen, Indra merapikan rambut dan pakaiannya sebelum memencet bel di pintu. Tidak lama pintu terbuka, dan ia bertemu Aliya. “Halo Aliya, Gita-nya ada?” Bukan hal aneh bertemu Aliya di sana. Sebab, Gita dan Aliya tinggal di apartemen yang sama. Hanya saja Indra memang jarang bertemu Aliya setiap kali ia bertandang ke apartemen itu. Sebab sebagai seorang reporter, Aliya kerap pergi mencari berita. Aliya tersenyum dan membuka pintu lebih lebar untuknya. “Silahkan masuk, Dr. Indra. Gita ada di dalam.” Indra masuk ke dalam apartemen itu dan duduk dengan sopan, menunggu wanita yang kerap ditemuinya selama beberapa
“Tapi kamu tidak perlu kuatir, Yang. Mereka tidak akan menggunakannya untuk maksud jahat. Percayalah padaku,” ucap Kanaya meyakinkan suaminya itu. “Bagaimana kamu bisa yakin?” tanya Bastian sambil menatap Kanaya dan mengangkat satu alisnya. “Karena aku yang mengatakannya, Sayang…” jawab Kanaya. Ia menjadi gemas oleh sifat pencemburu Bastian, sehingga mencubit hidung mancung suaminya itu dengan gemas. Bastian mengaduh, tetapi ia tidak marah. Ia justru membalasnya dengan menggigit ujung hidung Kanaya dengan sama gemas sebelum menggesekkannya dengan ujung hidungnya sendiri. Mereka berdua tertawa dengan saling menatap. Bastian menghela nafas dan terus menatap lekat kedua mata almond di hadapannya. Menyelami keteduhan yang ia rasakan di sana. Entah bagaimana, ia percaya pada penilaian Kanaya, dan tidak lagi khawatir. “Tunggu apa lagi?” tanya Kanaya tiba-tiba, membuat Bastian mengangkat alisnya tidak mengerti. “Kapan kamu akan menghukumku?” Kanaya bertanya sambil menatap Bastian, s
Kanaya tersenyum dan meletakkan tangannya di punggung tangan Bastian. “Heri. Aku mendapatkannya dari Heri,” aku Kanaya akhirnya “Heri? Heri siapa? Asisten—Reno?” tanya Bastian memastikan. Sesaat ia tampak ragu saat menebaknya. Bastian mengetahui jika dulu Reno memata-matai kehidupan pribadinya, tetapi ia tidak terlalu yakin jika semua foto-foto ini didapat dari Reno. Kanaya mengangguk. Mengakui jika dari asisten pribadi Reno lah ia mendapat semua foto-foto itu. Ia ingat tadi sore saat baru selesai berbelanja bersama Clara, Heri menghubunginya melalui telepon. Dalam perjalanan pulang dari toko lingerie, Kanaya sedang memikirkan apa lagi yang akan dia buat nanti malam untuk “menemani” kejutanyang ia siapkan untuk Bastian. Kanaya ingin membuat waktu yang ia habiskan bersama Bastian menjadi lebih bermakna. Namun kejutan apa lagi yang bisa ia lakukan dengan waktu yang sedikit? Saat itulah Heri menghubunginya. *** flashback*** “Bu Kanaya…” “Ya? apa semua baik-baik saja?” Kanaya m