“Kamu suka film-nya?” Sembari berjalan keluar dari bioskop, Bastian bertanya.Dua jam sudah mereka menikmati film bergenre comedy romance.Film berjudul Other Than You yang dibintangi oleh aktor dan aktris papan atas itu bercerita mengenai dua orang yang awalnya tidak mengenal, lalu secara tidak sengaja bertemu di sebuah cafe melalui kesalahpahaman yang membuat keduanya beradu argumentasi, dan berakhir dengan rasa saling antipati diantara keduanya.Siapa sangka nasib berkata lain. Mereka bertemu kembali dalam sebuah acara pernikahan kerabat mereka. Dan yang membuat keadaan menjadi bertambah buruk, kedua mantan pacar mereka juga ikut menghadirinya. Alhasil keduanya berpura-pura menjadi sepasang kekasih, berusaha meyakinkan semua yang ada di sana bahwa mereka adalah pasangan kekasih, hingga akhirnya hubungan yang saling membenci berubah menjadi cinta.“Suka, lumayan menghibur,” jawab Kanaya sambil tertawa. Sisa-sisa ekspresi tawa saat menonton film itu masih terlihat. Ia terlihat senan
Ardyan menyodorkan amplop putih panjang kepada Bastian, lalu menyandarkan punggungnya ke dinding.Mereka berdua telah bergeser ke pinggir, mencari tempat lebih sepi untuk bicara.Bastian membuka amplop itu dan membaca isinya.“Itu rambutmu bukan Bas?” tanya Ardyan sambil memperhatikan raut wajah temannya itu saat melihat hasil positif pada laporan lab yang dibacanya.Bastian tidak menjawab. Ia menarik nafas dalam sembari melipat kembali kertas itu dan memasukkannya ke dalam amplop.Walaupun Bastian tidak menjawabnya, Ardyan tahu pasti jika rambut itu milik Bastian. Sebab ia memiliki database DNA Bastian. Dan DNA pada rambut itu cocok dengan milik Bastian.“Dari kadar obat yang terdeteksi, kelihatannya sudah beberapa kali kamu mengkonsumsi obat itu. Apa kamu tahu siapa yang meng-spike minumanmu?”Ardyan langsung menembak. Ia yakin Bastian tidak dengan sengaja meminum obat itu. Pasti ada seseorang yang dengan sengaja mencampur obat tidur itu dalam minuman sahabatnya.“Aku yakin kamu sud
Hari bertambah malam dan mereka semakin asik mengobrol. Samar terdengar suara lagu-lagu berkumandang dari olat list milik Fariz.Bastian, Kanaya, Ardyan, Fariz dan Clara. Indra tidak datang karena ia sedang bertugas.Untungnya Alea sudah tertidur sehingga mereka bisa dengan leluasa mengobrol.“Kalian sudah kemana saja tadi?” Clara melirik ke arah Bastian yang sedang mengobrol bersama suaminya dan Ardyan.Ia dan Kanaya sedang mengambil makanan dan minuman di atas meja.Kanaya menoleh sesaat mengikuti arah pandangan Clara, dan ia tersenyum.“Nonton,” jawab Kanaya pendek. Kedua bagian pipinya tampak bersemu merah muda saat menjawab.“Cie… kencan dong?” goda Clara sambil menyenggol bahu Kanaya.Kanaya mengulum senyum. “Bukan, hanya nonton saja.” “Bajunya udah couple-an masa bukan kencan? Ayolah!” ledek Clara lagi. Ia tertawa melihat wajah Kanaya yang semakin merona setiap kali ia menggodanya.Kanaya menyentuh jaket putih yang ia kenakan. Ia sampai lupa masih mengenakan jaket itu. Tapi ya
Atmosfir malam itu begitu syahdu. Ditambah suara musik yang mengalun merdu, membuat Bastian dan Kanaya merasakan desir-desir di tubuh mereka.“Kita pulang?” Suara berat Bastian terdengar diantara deru nafas yang mulai memburu. Tatapan matanya menghitam bulat penuh dengan hasrat terpendam.Kanaya tidak jauh berbeda. Ia merasa tubuhnya menghangat dan kedua matanya hanya fokus pada pria di hadapannya.Ia menjawab dengan anggukan.Melihat jawaban itu, Bastian menggenggam tangan Kanaya dan mengajaknya berjalan menemui Fariz dan Clara.“Sori Riz, Ra. Kami pamit pulang. Ini sudah malam.” Bastian bicara to the point.Fariz melirik jam tangannya. “Kok cepat-cepat? Belum juga jam 9.”Plok! Clara menepuk pundak suaminya. “Ngomong apa kamu Yang? Perempuan hamil itu perlu banyak istirahat!” Ia lalu memberi Kanaya yang wajahnya sedikit memerah, kedipan mata. Ia lalu berjalan menghampiri Kanaya. “Pulang dan bersenang-senanglah,” bisik Clara sambil ia cipika-cipiki dengannya. Kanaya tersipu dan ia
Bastian dan Kanaya sampai di Sunset Summit. Kanaya masuk ke dalam kamar dan meletakkan tasnya di atas meja. Ia lalu berbalik badan menghadap Bastian yang baru saja menutup pintu.“Bas, aku senang sekali malam ini. Terima kasih sudah mengajakku pergi.”Bastian mengerutkan keningnya dan berjalan menghampiri. “Kenapa mengatakan hal seperti itu?”Kanaya tersenyum, mengabaikan sekelebat rasa rasa sakit yang sempat ia rasakan di hatinya.Kanaya memberi Bastian kerlingan dan berbicara sembari mengulum senyuman. “Tidak boleh kalau aku berterima kasih?”Bastian meraih pinggang Kanaya dan mendekatkan dirinya dalam jarak yang intim.“Boleh, tapi aku tidak suka caramu mengatakannya.” Suara Bastian yang rendah itu terdengar serak, dan berkesan seksi di telinga Kanaya. Kanaya merasa ujung-ujung syarafnya berdesir. Bagaimana mungkin ia bisa merasakan hal itu hanya dengan mendengar suaranya saja? Apakah ini kerja hormon estrogen yang berlebih, ataukah daya pikat Bastian yang begitu besar terhadap
Pagi harinya, Elsie bangun dengan posisi tengkurap dan kepala berdenyut hebat. Ia meringis, merasakan pening di kepalanya akibat efek alkohol yang diminumnya tadi malam.Elsie benci hangover. Namun begitu ia tidak bisa berhenti sama sekali dari mengkonsumsi minuman beralkohol.Karena dengan meminum minuman beralkohol, ia merasa lebih lepas dan bebas.Perlahan Elsie mengangkat tubuhnya, bertumpu pada kedua siku sebelum memutar kepalanya ke arah berlawanan.“Aaarrgghh…” rintih Elsie sambil memijat kepalanya yang terasa berat, sembari menutup matanya dari sinar matahari pagi yang menembus tirai jendela.Perlahan ia mulai membuka matanya dan memperhatikan tempat di mana ia berada. Tidak hanya mengenali kamar itu sebagai apartemen Rico, ia juga mengenali pria yang tidur di sampingnya.Rico, selingkuhannya itu sedang terlelap, tidur hanya dengan menggunakan celana boxer miliknya.Tidak jauh berbeda dengan Rico, Elsie pun tidur hanya dengan menggunakan pakaian dalamnya saja.Perlahan, Elsie
Mobil yang ditumpangi mereka berhenti di depan sebuah rumah besar. Dan Elsie tahu benar rumah siapa itu.Dua orang pria memegang tangan Elsie, dan Elsie langsung menghempaskannya. Ia memberi mereka pelototan mata sebelum dengan sukarela berjalan masuk ke dalam rumah itu.Elsie tahu mereka tidak berani berbuat macam-macam padanya selama bos mereka tidak mengeluarkan perintah.Bagaimanapun Elsie sadar bos mereka punya kepentingan padanya. Itu sebabnya mereka membawanya ke rumah itu.“Elsie! Lihatlah dirimu!” seru Ravioli sambil tertawa lepas saat melihat penampilan seksi Elsie.Perempuan di hadapannya itu bisa berubah 180 derajat dari gaya kesehariannya sebagai Nyonya Bastian yang anggun, menjadi perempuan yang bergaya hidup bebas, sarat dengan dunia malam.Elsie berhenti di depan pria empat puluh tahunan itu, tidak menghiraukan ucapannya. “Apa maumu?”Ravioli tertawa. “Tidak perlu bersikap galak seperti itu Elsie. Bukankah kamu sudah bersenang-senang tadi malam?” Ravioli berjalan men
Pagi harinya, Kanaya terbangun, dan hal pertama yang dilihatnya adalah Bastian. Suami sirinya itu tidur di sampingnya dengan nafas yang tenang.Kanaya menatap wajah tampan Bastian. Berapa kali pun ia menatapnya, atau dalam keadaan apa pun, bahkan saat rambutnya berantakan tak beraturan sepeerti pagi ini, ia tidak pernah bosan.Namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia merasa ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuatnya cemas, namun ia tidak tahu apa.Bastian tidur di sampingnya, masih memejamkan mata. Suasana minggu pagi di rumah mereka pun masih sunyi, tentram dan damai. Jika bisa berkata jujur, pagi ini begitu sempurna. Apa yang perlu untuk ia cemaskan?Bahkan, semalam begitu luar biasa.Berhubungan suami-istri dengan Bastian terasa selalu menggairahkan bagi Kanaya. Terlepas dari sikap Bastian yang lebih berhati-hati dan lebih menahan diri sejak kandungannya memasuki trisemester ketiga.Tetapi tadi semalam, mereka berdua teramat sangat bergairah, bahkan ia merasa jika ia sa
Elsi sadar betapa gugupnya Chandra dan bahkan Agni, mamanya. Namun ia sudah kepalang tanggung. Jika ia mundur dan mengatakan hal sebenarnya, ia akan terlibat perkara yang lebih berat. “Bastian, dia mengatakan—akan mencelakai Mamaku— kalau aku tidak membuat pengakuan itu…” Bukan hanya berkata bohong, namun Elsie juga membumbuinya dengan isak dan tangis.Hadirin kembali bersuara heboh.“Tidak mungkin Bastian melakukan hal seperti itu!”“Itu mungkin saja! Kamu tidak paham, bahwa sebagai orang kaya yang memiliki segalanya, dia bisa saja melakukan hal itu! Apalagi jika uang berbicara!”“Benar! Kamu tahu kan kalau Bastian sangat melindungi istrinya, Kanaya. Dia pasti akan melakukan apa saja demi membalaskan sakit hati istrinya itu!”“Walaupun dengan mengkambinghitamkan mantan istri?”Suara-suara sumbang terdengar memihak dan bahkan berempati pada kubu Elsie.Agni bahkan menangis tersedu-sedu sambil memegangi dadanya, membuat sandiwara Elsie itu semakin meyakinkan.Di sisi lain, Kanaya meng
Kanaya dan Bastian dengan bergandengan tangan mendatangi gedung Pengadilan Negeri bersama-sama dengan tim kuasa hukum mereka. Bersama mereka, Ezra, Jay dan beberapa anak buahnya menjaga kedua pasangan itu dari gangguan yang membahayakan ataupun membuat mereka tidak nyaman.Hanya tinggal beberapa menit saja sebelum jadwal sidang mereka di mulai saat mereka memasuki ruangan sidang. Sidang kasus penculikan itu dibuka untuk umum, sehingga ruangan sidang itu cukup banyak dihadiri oleh masyarakat yang menaruh perhatian besar pada kasus itu maupun dari media masa yang meliput jalannya sidang secara langsung.Keingintahuan publik pada apa yang terjadi dalam rumah tangga orang-orang kelas atas seperti Bastian begitu besar. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan Bastian-Kanaya serta berita yang menyangkut Elsie, mantan istri Bastian yang terlibat masalah hukum, sangat menarik perhatian publik sehingga media pun berlomba-lomba untuk mendapatkan informasi yang paling faktual dan terpercaya.B
“Elsie, katakan saja ada apa…” ucap Agni dengan pasrah. Putrinya itu telah divonis bersalah dalam sidang sebelumnya. Apalagi yang ia harapkan? Sejak kecil putrinya itu memang sulit diberitahu. Selalu saja melakukan segala sesuatu semaunya. Kalau saja putrinya itu selalu mendengarkan perkataannya, mungkin semua kesialan ini tidak akan terjadi! “Sepertinya aku membuat kesalahan…” ucap Elsie pelan sambil menatap bergantian mama dan pengacaranya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Agni. Sementara Chandra hanya bisa menghela nafas menyadari berita buruk yang akan Elsie sampaikan. “Aku—membuat pengakuan beberapa hari yang lalu,” jawabnya dengan gugup. “Apa maksudmu membuat pengakuan—beberapa hari yang lalu?” Agni tidak mengerti. Bagaimana mungkin Elsie membuat pengakuan tanpa ia atau pengacara mengetahuinya? “Bu Elsie, apa yang sudah Anda akui?” Chandra angkat bicara. Mendengar kata “pengakuan”, ia semakin ketar-ketir. Kliennya yang satu ini memang penuh kejutan dan membuat spot jantung
Rumah tahanan wanita. Elsie sedang bersiap-siap di selnya untuk menghadiri sidang dalam kasus penculikan Kanaya. Beberapa jam lagi persidangan itu akan di mulai. Ia tampak tidak bersemangat. Hal ini karena pengakuan yang terpaksa ia lakukan saat Bastian mendatanginya beberapa waktu yang lalu. Mantan suaminya itu mendesaknya untuk mengakui keterlibatannya dalam kasus penculikan itu. Kalau ia tidak melakukannya, Bastian akan memberikan bukti-bukti keterlibatannya dalam kasus yang lebih berat, yaitu keterlibatannya dalam tabrakan yang menewaskan Direktur Alex dan Dokter Tyo serta dua orang lainnya. Dan jika Bastian benar-benar menyerahkan bukti-bukti yang dia miliki, tuntutannya bukan lagi penjara, tetapi nyawanya juga akan menjadi taruhannya. Sebab, 4 nyawa melayang karena kejadian itu. Sedang membenahi penampilannya, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang memanggil namanya dengan berbisik. “Elsie! Elsie!” Elsie mengerutkan keningnya. Ia penasaran siapa yang memanggilnya,
Hampir satu jam sudah Indra berada di dalam ruangan operasi. Ia terpaksa harus melakukan tindakan operasi cesar demi keselamatan pasien dan bayi yang dikandungnya. Indra melepas baju terusan operasi serta atribut lainnya sebelum ia berjalan dari ruangan scrub klinik kesuburan miliknya itu. Indra melihat ke kanan dan ke kiri lorong di depan ruangan bersalin tempat ia terakhir bertemu Gita. Namun saat itu, ia tidak melihat gadis itu. Lorong itu tampak sunyi dan sepi, dan hanya ada seorang perawat yang sedang berjalan ke arahnya. “Kamu tahu di mana Gita—perempuan yang datang bersama saya?” tanya Indra pada perawat itu saat mereka berpapasan. “Dia di sana Dok, di ruang bermain anak,” tunjuk perawat itu ke satu arah. Indra hendak mengucapkan terima kasih dan pergi, saat perawat itu lanjut berkata, “Dok, teman Dokter itu tampaknya sangat menyukai anak-anak. Hanya perlu beberapa menit saja untuk dia menenangkan putranya Bu Lia. Padahal kita semua sudah mencoba menenangkannya sebelum
Indra masih tampak ragu.“Sepertinya kakak benar. Gak pa-pa kan Ndra kalau mobilmu diparkir di sini? Toh setelah konser kita kembali lagi ke sini, bagaimana?” Gita juga menyetujui usulan Ardyan. Dan ia berharap Indra mau menyetujuinya.“Baiklah. Kita naik mobilmu saja,” ucap Indra akhirnya menyetujui.Indra pun sebenarnya menyadari jika ide Ardyan itu lebih mudah dan efisien untuk mereka. Hanya saja, ia terbiasa membawa mobilnya sendiri. Terlebih jika ia dibutuhkan segera dalam keadaan emergency.Namun kali ini ia berkompromi demi acara mereka malam ini.“Begitu dong! Nurut sama kakak… kakak ipar maksudnya…” seloroh Ardyan sambil menunjuk dadanya.Ia hanya bercanda saja. Sebab jika ia dan Indra masing-masing menikahi Aliya dan Gita, bukankah ia akan menjadi ipar yang lebih tua untuk Indra?“Wooo… In your dream!” balas Indra dengan canda sambil dengan sengaja menyenggol bahu Ardyan dan berjalan menuju mobil.Mendengar hal itu mereka pun tertawa. Mereka berempat pun berangkat ke Emeral
Sementara itu, di halaman parkir sebuah apartemen di pusat kota, Indra baru saja turun dari mobilnya. Ia baru saja selesai bekerja. Rambutnya masih terlihat basah setelah mandi dan berganti pakaian di klinik miliknya. Indra tampak sudah familiar dengan apartemen itu. Tanpa ragu ia memasuki lift dan naik ke lantai yang ia tuju tanpa ada kendala. Di depan sebuah unit apartemen, Indra merapikan rambut dan pakaiannya sebelum memencet bel di pintu. Tidak lama pintu terbuka, dan ia bertemu Aliya. “Halo Aliya, Gita-nya ada?” Bukan hal aneh bertemu Aliya di sana. Sebab, Gita dan Aliya tinggal di apartemen yang sama. Hanya saja Indra memang jarang bertemu Aliya setiap kali ia bertandang ke apartemen itu. Sebab sebagai seorang reporter, Aliya kerap pergi mencari berita. Aliya tersenyum dan membuka pintu lebih lebar untuknya. “Silahkan masuk, Dr. Indra. Gita ada di dalam.” Indra masuk ke dalam apartemen itu dan duduk dengan sopan, menunggu wanita yang kerap ditemuinya selama beberapa
“Tapi kamu tidak perlu kuatir, Yang. Mereka tidak akan menggunakannya untuk maksud jahat. Percayalah padaku,” ucap Kanaya meyakinkan suaminya itu. “Bagaimana kamu bisa yakin?” tanya Bastian sambil menatap Kanaya dan mengangkat satu alisnya. “Karena aku yang mengatakannya, Sayang…” jawab Kanaya. Ia menjadi gemas oleh sifat pencemburu Bastian, sehingga mencubit hidung mancung suaminya itu dengan gemas. Bastian mengaduh, tetapi ia tidak marah. Ia justru membalasnya dengan menggigit ujung hidung Kanaya dengan sama gemas sebelum menggesekkannya dengan ujung hidungnya sendiri. Mereka berdua tertawa dengan saling menatap. Bastian menghela nafas dan terus menatap lekat kedua mata almond di hadapannya. Menyelami keteduhan yang ia rasakan di sana. Entah bagaimana, ia percaya pada penilaian Kanaya, dan tidak lagi khawatir. “Tunggu apa lagi?” tanya Kanaya tiba-tiba, membuat Bastian mengangkat alisnya tidak mengerti. “Kapan kamu akan menghukumku?” Kanaya bertanya sambil menatap Bastian, s
Kanaya tersenyum dan meletakkan tangannya di punggung tangan Bastian. “Heri. Aku mendapatkannya dari Heri,” aku Kanaya akhirnya “Heri? Heri siapa? Asisten—Reno?” tanya Bastian memastikan. Sesaat ia tampak ragu saat menebaknya. Bastian mengetahui jika dulu Reno memata-matai kehidupan pribadinya, tetapi ia tidak terlalu yakin jika semua foto-foto ini didapat dari Reno. Kanaya mengangguk. Mengakui jika dari asisten pribadi Reno lah ia mendapat semua foto-foto itu. Ia ingat tadi sore saat baru selesai berbelanja bersama Clara, Heri menghubunginya melalui telepon. Dalam perjalanan pulang dari toko lingerie, Kanaya sedang memikirkan apa lagi yang akan dia buat nanti malam untuk “menemani” kejutanyang ia siapkan untuk Bastian. Kanaya ingin membuat waktu yang ia habiskan bersama Bastian menjadi lebih bermakna. Namun kejutan apa lagi yang bisa ia lakukan dengan waktu yang sedikit? Saat itulah Heri menghubunginya. *** flashback*** “Bu Kanaya…” “Ya? apa semua baik-baik saja?” Kanaya m