Arletta sedikit mengangkat dagunya dan melanjutkan, “Kita harus memerhatikan besarnya gedung milik client tersebut serta kita harus menentukan budaya mana yang kental dengan Indonesia. Jika kita hanya menyebut nuansa Indonesia maka artinya luas. Indonesia kaya akan budaya. Setiap kota dari Indonesia memiliki budaya-budaya yang luar biasa indah. Di sini apa client tersebut menginginkan nuansa jawa atau menyerahkan sepenuhnya pada arsitek?”
Perkataan yang terlontar dari Arletta itu sukses membuat semua orang melihatnya. Sebuah pertanyaan yang menunjukan bahwa cara pandang Arletta sangatlah cerdas. Termasuk Keevan yang sempat terdiam kala mendengar ucapan Arletta.
Hening. Ruang meeting tersebut menjadi hening, tidak sama sekali ada yang bersuara. Sebagai karyawan baru, Arletta mampu membungkam karyawan lama. Cara sudut pandang Arletta menunjukkan bahwa cara berpikirnya cerdas dan teliti.
Keevan belum mengatakan apa pun. Pria itu menatap dalam pancaran mata tegas Arletta. Jika dulu dia melihat tatapan mata Arletta yang lemah lembut, kali ini dia sudah tidak lagi melihat pancaran mata lemah lembut milik Arletta.
Keevan segera menepis pikirannya, dan bersikap acuh tidak peduli. Pria itu tidak mau terjebak di dalam sebuah lingkaran api. Dia sedikit mengembuskan napas panjang, dia menganggap bahwa wanita yang ada di hadapannya adalah sosok wanita yang tak dia kenali.
“Alright, kau benar. Angga akan mengatur pertemuan dengan client kita secepatnya. Sekarang yang aku minta pada kalian semua, kita harus menyiapkan beberapa contoh gambar sebagai bahan referensi untuk mereka,” tukas Keevan datar dan penuh wibawa. Nada bicaranya seakan sama sekali tidak mengenal Arletta.
Arletta mengangguk. “Baik, Pak. Saya mengerti.”
“Baik, Pak Keevan.” Para manager dan arsitek mengeluarkan suara mereka.
“Meeting cukup sampai di sini. Kita lanjutkan minggu depan.” Keevan menutup meeting itu. Kemudian, para arsitek dan para manager pamit undur diri. Pun Arletta hendak pamit undur diri. Namun, tiba-tiba…
“Arletta. Kamu tetap di sini. Ada yang ingin aku bicarakan padamu,” tukas Keevan yang langsung membuat langkah kaki Arletta terhenti. Sialnya, dia ingin bersikap tidak peduli, tapi ketika Arletta berbalik—lidahnya tak tahan ingin meminta Arletta untuk berhenti.
Arletta bergeming di ambang pintu. Dia ingin sekali meninggalkan ruang meeting itu. Akan tetapi, Arletta harus tetap bersikap professional. Tujuannya di perusahaannya hanya untuk bekerja. Arletta telah meneguhkan hatinya, apa yang terjadi di masa lalu hanyalah sebuah mimpi buruk yang tak perlu lagi diingat. Kini Arletta berbalik—dia menatap Keevan dengan tatapan lekat.
“Ada apa, Pak Keevan?” tanya Arletta dengan suara tenang dan sopan. Manik mata wanita itu tak lepas menatap Keevan. Tatapan tersirat menatap penuh kesopanan pada bosnya. Dia telah memasang dinding penjulang tinggi membatasi dirinya dan Keevan.
“Angga, tinggalkan aku berdua dengan Arletta,” ucap Keevan tegas, dan raut wajah tanpa ekspresi. Dia mengusir Angga pergi, karena ingin bicara berdua dengan Arletta.
“Baik, Pak. Saya permisi.” Angga menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Keevan dan juga Arletta.
Di ruang meeting yang megah itu hanya ada Arletta dan Keevan. Tampak jelas Keevan dan Arletta saling menatap satu sama lain. Sorot mata Keevan begitu dingin. Sedangkan Arletta menatap Keevan layaknya orang asing yang tak saling mengenal.
“Kenapa kamu bekerja di sini?” Suara Keevan bertanya dengan nada yang menginterogasi. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Arletta Pardipta—junior kampusnya—bekerja di perusahaan miliknya. Seakan dunia ini memang benar-benar sangat sempit.
Arletta belum mengeluarkan kata mendengar apa yang Keevan tanyakan. Sebuah pertanyaan yang sangat bodoh. Jika saja di awal dia tahu bahwa Mahardika Company adalah milik Keevan Danuarga, maka pasti Arletta tidak akan jadi melamar. Posisinya sekarang dirinya tidak bisa menghindar, karena dirinya butuh uang.
“Pak Keevan Danuarga. Saya adalah lulusan arsitek. Tentu yang saya cari adalah perusahaan arsitek. Dan kebetulan teman saya menawarkan saya bekerja di sini. Jujur saya tidak menyangka kalau Mahardika Company adalah milik Anda. Andai perusahaan ini menggunakan nama Danuarga maka saya pasti akan tahu kalau ini adalah perusahaan Anda,” Arletta menjawab dengan pelan, dan tersirat penuh ketegasan. Nada bicara Arletta begitu formal. Layaknya atasan dan bawahan.
Keevan tak mengindahkan penjelasan Arletta tadi. Pun dia tak berniat menjelaskan tentang Mahardika Company. Memang, tidak sangat jarang orang tahu Mahardika Company adalah miliknya. Mengingat Keevan menetap sementara di New York. Seluruh aktivitas di Mahardika Company selalu diurus Angga. Sedangkan Keevan selama masih berada di New York hanya mengawasi dari kejauhan.
Keevan mendekat pada Arletta. Tatapannya tak lepas menatap Arletta yang ada di hadapannya. “Kenapa kamu pindah dari rumahmu?” tanyanya lagi. Ini adalah pertanyaan yang sudah lama sekali ingin dia tanyakan.
Tentunya, ingatan Keevan kembali muncul tentang Arletta yang pindah rumah. Selama lima tahun Keevan meninggalkan New York, masih ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan Keevan. Termasuk Arletta yang pindah rumah tanpa memberitahu dirinya.
Di masa kuliah dulu, Arletta adalah gadis yang selalu menceritakan banyak hal pada Keevan. Hal itu yang membuat Keevan sedikit bingung. Kepindahan Arletta benar-benar mendadak. Dirinya saja sama sekali tidak tahu.
Senyuman samar di wajah Arletta terlukis mendengar apa yang diucapkan oleh Keevan. Tampak wajah Arletta berusaha untuk tenang. Senyuman itu hanyalah senyuman palsu yang Arletta tunjukan.
Hatinya sudah hancur berkeping-keping setelah kembali melihat Keevan. Arletta seakan dipermainkan oleh takdir. Arletta berharap tak lagi melihat Keevan. Tapi kenapa sekarang dia harus kembali dipertemukan? Dia membenci ini semua. Namun, hal yang Arletta ingat adalah dirinya telah berjanji untuk menjadi wanita yang tangguh dan tidak lemah.
“Saya pindah karena memang harus pindah dari rumah itu. Tidak ada alasan khusus,” jawab Arletta dengan sopan dan formal.
Keevan nampak tak suka mendengar ucapan formal Arletta, karena begitu asing di telinganya. Pria itu tetap terdiam dan mengamati wajah Arletta lalu bertanya kembali, “Kenapa kamu tidak bilang padaku kalau kamu pindah?”
Entah kenapa tiba-tiba Keevan mengeluarkan pertanyaan ini. Sungguh, Keevan sendiri tak mengerti kenapa harus dia ingin tahu urusan Arletta. Sudah jelas sejak dulu dia tak pernah peduli pada gadis itu. Tapi kenapa sekarang dia ingin tahu?
Arletta seperti mersakan tersiram alkohol di tubuhnya yang terluka. Benar-benar perih dan menyakitkan. Tatapan Keevan itu seakan melumpukan tubuh Arletta. Tak memungkiri bahwa Arletta merindukan Keevan. Bahkan sangat merindukan. Hanya saja ingatan Arleta berputar pada ucapan Keevan yang mengusirnya layaknya boneka yang tak layak lagi untuk digunakan.
“Pak Keevan Danuarga. Kita adalah dua orang asing yang dipertemukan di lingkup dunia pekerjaan. Dulu Anda adalah senior saat saya masih kuliah tapi itu sudah lama sekali. Sekarang kita adalah atasan dan bawahan. Saya harap Anda tidak perlu mempertanyakan hal-hal pribadi saya. Jika Anda ingin bertanya tentang pekerjaan maka tentu saya akan menjawabnya. Saya permisi, Pak keevan. Selamat pagi.” Arletta menundukan kepalanya ke arah Keevan—lalu dia pamit undur diri dari hadapan Keevan.
Keevan bergeming. Dia terdiam melihat perubahan sifat Arletta. Ada rasa sedikit terkejut. Tapi Keevan mengerti karena memang lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Dalam lima tahun banyak orang yang pasti berubah. Sorot mata Keevan tak henti menatap punggung Arletta yang mulai lenyap dari pandangannya. Tampak sepasang iris mata cokelat Keevan menunjukan ribuan penuh maksud yang sulit untuk diartikan.
Namun … Keevan tidak menyadari kalau bulir air mata Arletta menetes kala pergi meninggalkan ruang meeting itu. Terlihat jelas wajah Arletta muram dan tersirat penuh luka. Tepat dikala Arletta meninggalkan ruang meeting itu; Arletta seperti mencopot topeng sandiwara di wajahnya.
“Arletta? Kenapa kamu di dalam lama sekali? Apa Pak Keevan membicarakan sesuatu padamu?” Rima—rekan kerja Arletta—bertanya pada Arletta yang baru saja keluar dari ruang meeting. Padahal meeting sudah sejak tadi selesai, tetapi Arletta masih juga berada di ruang meeting itu.Arletta buru-buru menyeka air matanya kala melihat Rima menghampirnya. Dia tak ingin sampai Rima melihat dirinya menangis. Arletta memasang topeng pura-pura. Dia tidak mau sampai ada yang melihat kerapuhannya.“Ah … iya. Aku kan karyawan baru jadi Pak Keevan menanyakan sesuatu padaku,” dusta Arletta dengan senyuman yang sengaja dia buat-buat. Arletta tidak mungkin membiarkan orang lain tahu tentangnya.Kening Rima mengerut. Sorot mata wanita itu menatap mata Arletta yang merah seperti habis menangis. “Arletta, matamu kenapa? Apa kamu habis menangis?” tanyanya penasaran bercampur kebingungan melihat mata Arletta memerah.Arletta kembali menyeka matanya. “Tadi aku kelilipan. Di dalam banyak debu. Aku alergi debu, Rim
Arletta menjatuhkan tubuhnya kala dirinya baru saja tiba di apartemennya. Tangis Arletta pecah. Sejak bertemu lagi dengan Keevan; Arletta sudah menahan diri untuk tidak menangis. Arletta seakan dipermainkan oleh takdir. Tujuan Arletta menerima pekerjaan ini dari temannya karena dia benar-benar membutuhkan uang.Lima tahun terakhir Arletta banting tulang mencari uang. Setelah dia keluar dari rumah keluarganya; Arletta harus putus kuliah hampir dua tahun. Tahun lalu Arletta baru saja lulus kuliah. Setelah banyaknya perjuangan yang harus dia lalui akhirnya Arletta bisa menyelesaikan pendidikannya.Butuh perjuangan yang tak mudah untuk Arletta melewati badai kehidupannya. Jatuh bangun, dia lakukan sendiri. Tak terhitung banyaknya air mata yang sudah dia keluarkan demi bertahan sampai detik ini.Tak pernah Arletta sangka, dia akan kembali bertemu dengan Keevan. Karena memang terakhir Arletta mendengar Keevan tengah menempuh pendidikan S2 di New York. Tapi kenapa Keevan harus pulang ke Jaka
Arletta tersenyum lembut dan membawa tangannya mengelus pipi bulat Keanu sambil berkata, “Papa nggak membuat Mama menangis, Sayang. Mata Mama merah karena debu.”Arletta memang membenci Keevan, bahkan dia selalu ingin menghindar dari Keevan, akan tetapi dia tak pernah menjelek-jelekan sosok Keevan di mata Keanu. Meskipun dia tidak akan memberi tahu Keevan tentang Keanu, tapi tetap saja dia tidak akan menjelek-jelekan Keevan di mata putranya.Alasan utama Arletta tak menjelek-jelekan Keevan di hadapan Keanu adalah karena dia tidak ingin meninggalkan jejak memori keburukan sosok ayah biologis putranya. Jika hal buruk yang diberi tahu, pasti Keanu akan sedih. Dan Arletta tidak pernah mungkin membiarkan putranya merasakan kesedihan.“Mama nggak bohong kan?” tanya Keanu sembari memiringkan kepalanya, menatap lekat Arletta, meminta ibunya untuk berkata jujur.“No, Sayang. Mama nggak bohong sama Keanu.” Arletta tersenyum rapuh. Dalam hati Arletta merasa bersalah karena harus membohongi putra
Pagi menyapa, Arletta sudah bersiap-siap untuk pergi ke supermarket. Wanita itu berpenampilan cantik dan segar, meski hanya memakai riasan tipis. Rambut messy bun menonjolkan leher jenjang nan indah. Ditambah dress polos berwarna navy dengan model tali spaghetti, membuat Arletta tampil sangat cantik.Sejatinya, Arletta memang sudah memiliki paras yang sangat cantik. Wanita itu tidak perlu lagi memakai riasan tebal hanya demi agar terlihat cantik. Dia sudah memiliki paras cantik secara natural.Arletta menatap ke cermin sebentar, melihat penampilannya sudah rapi. Matanya memang masih sedikit sembab. Untungnya, dia pintar merias di bagian mata, agar tidak terlalu sembab.Arletta ingin menata lagi hatinya. Sekalipun dia kembali dipertemukan dengan Keevan, tetap tidak akan mengubah apa pun. Wanita itu akan bersikap professional, menganggap Keevan hanyalah bos di mana dia bekerja.“Bu, biar saya saja yang pergi ke supermarket.” Mirna—pengasuh Keanu berucap dengan nada yang sopan pada Arlet
Sepanjang perjalanan, Arletta hanya diam dengan sorot mata yang membendung kemarahan tertahan. Hatinya hancur berkeping-keping dan tersayat, jika berada di dekat Keevan Danuarga. Tidak pernah dia sangka kalau dirinya akan kembali berada di dekat pria yang tak pernah ingin dia lihat lagi di muka bumi ini. Andai saja bukan karena membutuhkan uang, sudah pasti dia memilih untuk pergi sejauh mungkin.“Turunkan aku saja di sini.” Arletta berucap dengan nada dingin pada Keevan, tak melihat ke arah wanita itu sama sekali. Dia lebih memilih Keevan menurunkannnya di halte daripada harus berhenti di lobby apartemennya. Bukan tanpa alasan, Arletta takut kalau sampai Keevan melihat Keanu. Arletta tidak akan membiarkan itu sampai terjadi.“Kenapa kamu ingin berhenti di halte? Apartemenmu masih di ujung.” Keevan menatap Arletta dengan tatapan penuh curiga. Hatinya berat menurunkan Arletta di pinggir jalan.“Aku nggak mau ada yang melihat kalau aku dianter sama kamu,” tukas Arletta ketus, dan dingin
“Nasha, aku peringatkan padamu ini terakhir kalinya kamu datang ke perusahaanku tanpa bilang padaku. Lain kali kalau kamu mau datang ke katorku, maka kamu harus bilang. Kamu tahu aku sibuk, Nasha. Bagaimana kalau tadi aku sedang bersama dengan client?”Suara Keevan menegur Nasha dengan begitu tegas dan penuh peringatan. Saat ini Keevan tengah mengantar Nasha ke apartemen wanita itu. Dia terpaksa meninggalkan kantor karena dia tidak mau kalau Nasha sampai membuat ulah.Keevan kesal melihat Nasha yang selalu datang, tanpa sama sekali bilang padanya. Pasalnya Nasha selalu memeluknya di depan muka umum. Tentu jika di hadapan client pasti dirinya malu akan sifat Nasha.Bibir Nasha tertekuk dalam kala mendengar ucapan Keevan. Wanita itu memeluk lengan Keevan seraya berkata manja, “Memangnya kamu nggak kangen aku?”Keevan mengembuskan napas berat, mengatur emosi dalam dirinya. “Turunlah, kalau memang aku menginginkanmu, maka aku akan mendatangi apartemenmu. Ingat apa yang aku katakan tadi. A
Keevan turun dari mobil, dan melangkah masuk ke dalam lobby perusahaannya—menuju lift pribadinya. Sesaat Keevan melirik arloji yang melingkar di tangannya sekilas—waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Artinya para karyawan sudah pulang semua.Hari ini setelah Keevan menemani keponakannya—pria itu memiliki meeting di luar bertemu dengan beberapa client-nya. Hal itu yang menyebabkan Keevan baru kembali ke kantornya sekarang. Sebenarnya Keevan bisa saja untuk langsung pulang ke apartemennya, namun ada beberapa pekerjaan yang ingin dia periksa.Ting!Pintu lift terbuka. Keevan melangkah keluar dari lift, dan hendak menuju ruang kerjanya; tiba-tiba langkah Keevan terhenti melihat Arletta tertidur dengan posisi kepala wanita itu bersandar di atas kertas yang ada sketsa gedung. Keevan yakin Arletta mulai merancang gedung yang sebelumnya dia minta Arletta untuk mengerjakan project baru.Keevan mengembuskan napas kasar. Pria itu sama sekali tidak mengira kalau Arletta akan sampai lembur demi p
“Mama.”Mata Keevan menatap bocah laki-laki yang tak asing di hadapannya itu berlari ke arah Arletta. Seketika sebutan ‘Mama’ membuat Keevan bungkam seribu bahasa. Tampak sepasang iris mata cokelat Keevan menatap lekat bocah laki-laki yang kini tengah memeluk Arletta. Degup jantung Keevan—entah kenapa tiba-tiba berdetak kencang seakan ingin melompat dari tempatnya.Keevan sempat memejamkan mata sebentar, meyakinkan diri bahwa apa yang dia lihat ini adalah salah, namun ternyata pria itu sama sekali tidak salah. Fungsi penglihatan dan pendengarannya masih sangat baik.“Mama? Mama ke mana saja? Keanu nggak bisa tidur kalau Mama nggak ada di samping Keanu. Mama kenapa pulang malam, Ma?” Keanu terus memeluk erat tubuh Arletta dengan begitu erat.Raut wajah Arletta memucat. Tubuhnya mematung kala Keanu memeluknya. Tenggorokan Arletta tercekat. Lidahnya kelu. Otak Arletta seolah tak mampu lagi merangkai kata-kata. Wanita itu hanya diam. Bahkan dia pun tak menjawab rengekan putranya itu. Buka