Evan segera berjalan mendekat dengan langkah lebar, sontak membuat sebagian orang yang berada di sana merasa terkejut dan melihat ke arah Evan termasuk assistantnya yang bernama Jerry Yan. "Pak Evan!" seru sang Assistant kala ia bingung mau apa yang akan dilakukan Evan pada urusan rakyat jelata seperti mereka.
Namun, apa yang dilihatnya mengejutkan, Evan benar-benar menghampiri Anita dan Hakam yang sedang bermasalah. "Tolong jangan kasar pada wanita, Pak!" peringat Evan menunjuk Anita yang bersimpuh di bawah kaki Hakam seraya menangis.Tatapan pria itu terlihat marah, seolah tak terima jika makhluk lemah seperti ini diperlakukan seburuk itu. Hakam yang agak takut menghadapi Evan merasa sedikit canggung, dilihat dari penampilan orang tersebut tentu saja ia bukan orang biasa."Maaf, kamu itu siapa? Ini urusanku dengan dia, dia ini istri kurang ajar, tahu!" balas Hakam, meski ia agak takut, tapi ia berusaha mempertahankan harga dirinya.Evan melirik Anita di bawah, meski wanita itu tak membalas perkataan sang Suami. Namun, Evan tahu mungkin ada hal lain yang telah terjadi, jujur saja Evan lebih percaya air mata Anita dibanding ucapan pria di hadapannya. "Apapun itu, tak layak seorang pria memperlakukan wanita sekasar ini, apalagi Anda bilang dia istri Anda."Merasa apa yang Evan lakukan itu sudah berlebihan, masalahnya ini urusan rumah tangga dan Evan seharusnya jangan ikut campur. Atas pemikirannya Jerry pun memutuskan berjalan mendekat untuk mengingatkan bosnya itu. Namun, apa yang terjadi selanjutnya semakin mengejutkan, Evan tampak melayangkan tinjuan kepada pria itu."Sudah saya katakan, jangan kasar pada wanita! Lepaskan dia, dan pergilah!" usir Evan dengan suara tegas.Jerry melongo, begitu pun dengan beberapa orang yang melihat kejadian itu termasuk Sekar yang kebetulan melihatnya juga. "Ya Allah, Anita? Dia kenapa? Terus dia itu siapa? Apa dia suaminya Anita? Lantas kenapa, kenapa Pak Evan juga di sana?"Sekar yang datang terlambat memang hanya melihat adegan akhirnya saja tanpa tahu kronologi awal, tapi saat dia melihat keadaan Anita yang menyedihkan di tanah membuatnya merasa kasihan dan khawatir, hingga ia segera berlari menghampiri temannya itu. "Ya Allah, Anita, kamu kenapa begini?"Sekar melihat lutut Anita yang lecet dan merah-merah karena darah, sudut bibir wanita itu juga lebam merah seperti bekas tamparan. Siapa yang tidak marah jika sudah seperti ini? Seketika Sekar mengerti dan melihat ke arah Hakam yang sedang berhadapan dengan Evan."Apa Anda tuli? Saya bilang Anda pergi dari halaman kantor saya, sekarang!" Lagi Evan mengusir Hakam dengan tegas, membuat Hakam segera menyingkir dari hadapannya seraya memegangi pipi yang terlihat membengkak.Evan terus memandangi Hakam hingga pria itu menaiki motornya dan akhirnya pergi, barulah pria itu menoleh pada Anita yang kini ditemani oleh Sekar. "Anda tidak apa-apa?" Tanpa diduga Evan begitu baik hati menanyakan keadaan Anita.Anita yang masih sedih atas perlakuan Hakam mencoba untuk menghentikan tangisannya. Wanita itu menghapus air mata dengan punggung tangan meski sulit berhenti keluar. Dia pun mengangguk kecil seraya terus menunduk. "Saya tidak apa-apa, Pak. Terima kasih telah menolong saya," jawab Anita lirih.Melihatnya entah kenapa hati Evan merasa tersakiti juga, di sepanjang hidup Evan begitu sangat menghormati wanita terlebih kepada ibunya yang begitu sangat ia sayang. Baginya menyakiti wanita, itu sama saja ia menyakiti seorang Ibu.Sekar tersenyum senang, ia baru tahu sisi lain dari Evan yang selama ini selalu terlihat dingin, kaku dan cuek pada sekitar selain pada pekerjaan. Ternyata pria berusia 26 Tahun itu memiliki sisi hati yang lembut dan hangat, sungguh membuat orang yang melihatnya merasa terpesona."Terima kasih Pak Evan sudah menolong teman saya, Pak," kata Sekar dengan sopan.Evan mengalihkan pandangan kepada Sekar kala tadi entah kenapa otaknya seperti ngeblank saat melihat wajah sedih Anita. "Ah, i-iya, sama-sama." Beberapa detik hening, Sekar tampak fokus pada Anita yang masih berusaha menenangkan diri.Kejadian sore ini benar-benar membuatnya malu dan shock. Evan lalu mencoba untuk mencairkan suasana hening ini, tidak bisa ia pungkiri entah kenapa hatinya bergerak untuk membantu wanita malang itu padahal selama ini ia type orang yang tidak suka ikut campur urusan orang lain, apalagi orang yang tidak dia kenal."Ibu Sekar jika masih sibuk silakan kembali ke pekerjaannya, tinggalkan saja Mbak itu," kata Evan, karena ia tidak tahu nama dari wanita yang baru saja ia tolong, dia juga merasa kalau usia dia lebih muda di bawah Anita, jadi biar lebih sopan lebih baik ia memanggilnya 'Mbak' saja.Sekar menatap Evan yang masih berdiri, dia tak tega meninggalkan Anita sesungguhnya. "Tapi, teman saya--""Biar saya yang bantu mbaknya," sela Evan.Mendengar hal itu Sekar mengangguk, tapi Anita tampak tidak rela jika Sekar pergi dan malah dibantu oleh pria yang asing baginya, meski ia tahu kalau Evan adalah atasannya di kantor, justru hal itulah yang membuatnya tak enak hati. "Mbak Sekar--" Anita berusaha mencegah Sekar untuk pergi, tapi Sekar memang masih banyak pekerjaan di dalam sebelum ia harus pulang."Aku ke dalam dulu, Nit. Kamu sama Pak Evan aja ya," kata Sekar seraya tersenyum, entah senyum macam apa yang ditunjukan Sekar tadi membuat Anita mengerutkan kening.Sekar lalu pergi meninggalkan Anita dan Evan, tak lama Jerry datang menghampiri. "Mari saya bantu," tawar Jerry kepada Anita, tapi Evan segera mengulurkan tangan untuk mencegah."Tidak apa-apa, biar saya saja yang membantu dia. Kamu cukup ambilkan kotak P3K di mobil saya saja, Jer," pinta Evan.Mendengar hal itu Jerry mengurungkan niat untuk membantu Anita, dia lantas mengangguk dan pergi menuju mobil milik Evan. Evan perlahan berjongkok di hadapan Anita yang terus menundukkan wajahnya, ia terus meringis merasakan perih di kedua lututnya yang terluka."Maaf, Mbak. Mari ikut saya ke sana, saya akan bantu mengobati luka Anda," kata Evan seraya menunjuk ke arah kursi yang tersedia.Anita benar-benar tidak enak hati, masa OG diperlakukan seperti ini oleh atasan? Anita takut dianggap tidak sopan dan tidak tahu diri.Anita mengangkat wajahnya lantas menatap wajah oriental milik Evan yang memang sangat mempesona, setiap wanita yang memandangnya pasti akan jatuh cinta pada pria muda yang berkarismatik itu."Maaf, Pak. Saya mau langsung pulang saja, terima kasih atas kebaikan Bapak kepada saya, saya tidak akan melupakan kebikan Bapak ini. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, saya permisi." Setelah berkata-kata dengan susah payah Anita berusaha untuk berdiri, Evan hanya diam dan ikut berdiri menatap Anita yang tingginya hanya sebatas dadanya saja. "Permisi, Pak," ulangnya lalu berbalik badan.Evan tidak melarang, tapi saat langkah Anita tampak kesulitan hati Evan merasa tak tega. Segera ia melangkah mencegah Anita pergi dan memegang lengan wanita itu dengan hati-hati. "Tunggu dulu, Mbak. Kaki Anda terluka, Anda tidak bisa berjalan dengan baik, biar saya bantu lebih dulu."Jujur saja jantung Anita saat ini cukup tidak baik-baik saja, diperlakukan seperti ini oleh orang yang tidak biasa justru membuatnya sangat takut. "Ti-tidak apa-apa, Pak. Saya harus segera pulang."Anita melepaskan pegangan tangan Evan, lalu melanjutkan langkahnya meski terseok-seok. Rasanya ia ingin segera berlalu dari hadapan Evan entah kenapa, tapi Evan yang melihat seorang wanita keras kepala ini membuatnya sangat gemas padahal keadaannya sedang terluka, tapi sulit sekali diurus.Evan kembali mengejar Anita dan tanpa aba-aba ia menggendong Anita lantas membawanya ke arah kursi yang tersedia di depan bangunan kantor. "Aaah! Pak, turunkan saya!""Duduklah di sini!" Evan lantas mendudukkan Anita pada kursi panjang berbahan besi itu membuat Anita yang sejak tadi meronta-ronta seketika terdiam kala melihat Evan tampak menghela napas lelah.Tak lama Jerry datang dengan kotak P3K di tangannya. "Ini yang Pak Evan minta," kata Jerry seraya mengulurkan tangan.Segera Evan menerimanya. "Terima kasih," ucapnya lantas duduk di samping Anita, membuat wanita itu segera beringsut menjauh."Sama-sama, Pak," sahut Jerry lantas pria itu tetap berdiri di sana memperhatikan Evan yang sedang membuka kotak obat.Evan lalu mengambil kapas dan cairan anti septik, lantas satu tangannya yang lain terulur ingin meraih kaki Anita. Tentu saja wanita itu kaget dan menggeleng keras. "Biar saya sendiri yang mengobati, Pak."Tanpa menunggu lama Anita segera merampas kapas basah dari tangan Evan dan dengan hati-hati membersihkan lukanya sendiri. "Awh ...." Tak dapat dipungkiri luka di lututnya begitu sangat perih kala dibersihkan membuat air mata wanita itu
Sementara Anita di dalam angkot benar-benar bingung dan gugup, ini kali pertama ia berada jauh di luar rumah di saat hari sudah gelap begini. Dia sudah tak kenal jalanan, meski sejak tadi ia terus menatap ke arah luar dia tidak tahu ini sudah sampai mana.Saat itu ia melihat mini market, sehingga ia bisa membaca tulisan besar yang terlihat terang. Seketika ia menghela napas lega ternyata pemberhentiannya belum terlewat. Iya, dia ingat kalau pemberhentiannya masih di depan, jadi lebih baik mungkin ia bilang sekarang sama supir. "Bang, Gang Ampera berhenti, ya!" pintanya, meski ia tahu masih agak jauh, tapi lebih baik ia bilang sekarang supaya tak terlewat jika ia tak bisa melihat tempat pemberhentiannya sendiri."Oke, Mbak. Masih ada di depan, Mbak," sahut si Supir."Iya, Pak. Enggak apa-apa," jawab Anita.Saat ini Anita hanya harap-harap cemas, di dalam angkot pun ia sudah tak bisa melihat jelas wajah-wajah penumpang lain. Wanita itu tak peduli, ia hanya terus fokus ke luar dan berdoa
Di luar tampak Hakam memarkir motor bebeknya tepat di depan pintu gerbang rumah Marni, pria itu segera turun dari kendaraan dan membuka gerbang dengan cukup tergesa-gesa. "Dia pasti ada di sini, aku cari dia di rumah kontrakannya tidak ada," gerutunya di sepanjang jalan menuju pintu.Sesampainya di depan pintu Hakam menggedornya beberapa kali, sehingga membuat Anita yang mau cerita masalahnya dengan Hakam di kantor tadi pun urung. "Siapa itu, Bi? Kenapa kasar sekali mengetuk pintunya?" tanya Anita."Bibi juga tidak tahu, Nit. Nanti coba bibi buka dulu," timpal Marni seraya bangun dari duduknya."Bi Marni, buka pintunya!" teriak Hakam dari luar."Iya, sebentar!" seru Marni seraya memutar kunci dan Hakam segera mendorong pintu hingga Marni terkejut saat Hakam menerobos masuk. "Hakam!""Anita!" teriak Hakam melewati Marni dan segera memburu Anita yang sedang duduk di kursi."A Hakam?" Anita yang terkejut segera berdiri.Hakam meraih tangan kanan Anita dan mencengkramnya membuat Anita sek
Namaku Anita Larasati, dan saat ini usiaku 30 tahun. Aku menikah dengan A Hakam di saat usiaku masih 19 tahun. Di saat itu aku baru saja lulus SMA dan A Hakam melamarku karena kata dia tak ingin lama-lama ingin segera menghalalkan aku.Aku dan A Hakam selisih usia 6 tahun, saat itu usia A Hakam sudah 25 tahun. Aku pikir punya suami yang lebih dewasa itu enak, aku bisa jadikan dia seperti Ayah, Kakak laki-laki, suami sekaligus teman curhat.Punya suami lebih dewasa pasti enak, aku bisa terus manja-manja sama dia layaknya anak kecil, ya aku kala itu membayangkan hal itu. Jadi, apakah lebih baik aku terima saja A Hakam? Tapi ... aku harus memberi tahu dia sesuatu sebelum dia mengambil keputusan menjadikan aku pendampingnya, seseorang yang ia genggam tangannya untuk berjalan bersama menuju Jannah.Aku sudah bilang kalau diriku ini ada kekurangan, aku ada penyakit Rabun Senja yakni di mana aku tidak akan bisa melihat secara baik jika situasi hari mulai menjelang gelap, maka aku pun tak bis
Singkat cerita hari pernikahanku dan A Hakam pun digelar, dengan pesta sederhana dan seada-adanya saja. Karena sejujurnya keluargaku memang orang tak berpunya. Aku juga anak broken home, kedua orang tuaku sudah bahagia dengan keluarga baru mereka dan aku ditinggal bersama Emak dan Abah.Namun, aku tidak pernah sedih. Aku cukup bahagia dengan adanya mereka saja, meski Emak terkadang terlalu cerewet, tapi aku tahu Emak sayang sama aku. Buktinya aku bisa tumbuh menjadi gadis seperti ini itu adalah berkat Emak dan Abah yang banting tulang pergi ke sawah untuk membesarkan aku juga menyekolahkan aku.Aku maunya sih lulus sekolah ingin bekerja membantu Emak dan Embah lebih dulu belum mau menikah sebenarnya, tapi lagi-lagi karena keterbatasanku membuat Emak dan Abah khawatir. Jujur aku juga takut jika nanti bekerja lalu pulang malam hari, gimana .... Mau cari pekerjaan yang bisa siang hari saja, tapi aku bingung cari info sama siapa.Aku tidak punya banyak relasi, aku juga tak punya pengalama
Ini adalah sisa nafkah pertama kali yang diberikan A Hakam yang dia berikan padaku sebelum berangkat ke Jakarta. Dia memberiku uang sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk satu bulan.Saat ini aku sudah menikah tentu saja aku tak ingin terus membebani Emak dan Abah, jadi uang tiga ratus ribu itu aku berikan sebagian kepada Abah untuk beli beras dan bantu bayar listrik sisanya buat aku beli lauk dan memenuhi kebutuhan pribadiku, seperti untuk membeli pembalut saja.Karena sisa uang ini tak cukup buat beli skincare atau untuk perawatan diri lainnya. Oke, aku syukuri ini semua, aku mencoba bersikap dewasa dan harus bisa memahami kondisi A Hakam.Aku tak butuh skincare, pakaian atau kebutuhan lain yang bersifat sekunder. Aku lebih memfokuskan pada kebutuhan primer lebih dulu seperti makanan, makanya aku lebih dulu sisihkan ke Abah untuk bantu beli beras, setidaknya aku tidak terlalu membebani."Tinggal lima puluh ribu, kira-kira A Hakam tanggal berapa ya pulangnya?" gumamku gelisah, karena u
Malam hari seperti biasa setelah Isya aku langsung berada di kamar, pukul 19:45 WIB A Hakam kirim pesan menggunakan salah satu aplikasi berkirim pesan berwarna hijau seperti biasa."Assalamu'alaikum istriku, lagi apa sekarang?" tanya A Hakam.Aku pun segera mengetik pesan balasan padanya. "Walaikumsalam, aku lagi tiduran aja, A. Aa lagi apa? Udah makan belum?" tanyaku kemudian, lantas segera aku kirim dan centang dua langsung berwarna biru.Kini tampak keterangan kontak A Hakam sedang mengetik dan tak lama pesan balasan masuk lagi. "Aa sudah makan tadi sama pak Boy di restoran pas ketemuan sama klien. Aa juga sekarang baru pulang, belum mandi."Aku pun tersenyum membaca pesan dari A Hakam, alhamdulillah dia di sana baik-baik aja, sehat dan sangat berkecukupan. "Oh, ya udah Aa mandi dulu aja, neng tungguin," balasku lagi."Nanti sajalah mandinya, aa capek, Neng. Mau langsung tidur aja," balas A Hakam."Oh, ya udah Aa tidur aja, neng juga mau tidur," balasku kemudian."Iya udah, mana do
Hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba, A Hakam pulang! Bahagianya aku, karena pada akhirnya ketemu sama suami tercinta. Tentu saja setelah sebulan lamanya tak bertemu secara fisik, kini pada akhirnya bisa merasakan pelukan hangatnya langsung."Besok beresin apa aja yang mau dibawa, Neng," kata A Hakam padaku yang sedang bersandar di pelukannya."Iya, paling bawa baju aja sih, A. Terus baju kerja neng gimana? Neng enggak punya baju yang pantes buat nanti kerja, A," ungkapku pada laki-laki yang kuanggap segalanya bagiku ini."Katanya ada baju-baju Bu Nissa yang udah enggak kepake, kata dia kayaknya muat kalau buat kamu," jawab A Hakam.Aku pun terdiam, tak masalah kalau menerima baju bekas orang lain yang terpenting 'kan masih layak pakai. "Mm, Bu Nissa itu siapa, A?" tanyaku penasaran."Bu Nissa itu istrinya Pak Boy." A Hakam lantas membelai rambutku."Oh, jadi bu Nissa itu istrinya bos ya, A?" tanyaku seraya tersenyum padanya.A Hakam mengangguk. "Mmh!" gumamnya sebagai jawaban. "Ya su
Semua orang tertawa karena obrolan kami pagi ini, aku tidak menyangka jika semenyenangkan ini. Orang-orang di sini baik dan ramah, tapi aku tidak tahu orang-orang yang lain bagaimana.Aku juga belum melihat bos kantor ini, kira-kira seperti apa beliau, ya?"Oya, Nit. Ini nanti kamu kerjanya di sini, jadi resepsionis. Nyambut tamu, terima telefon dan menyambungkan telefon. Nanti saya ajarkan cara pakai telefonnya bagaimana, terus juga catat absen karyawan keluar ke mana, jam berapa dan kembali ke kantor jam berapa. Itu bertujuan supaya ketika ada pertanyaan, kamu bisa tahu. Karyawan memang wajib harus laporan ke kamu nanti," jelas Bu Nissa.Aku hanya mengangguk-angguk mengerti, tinggal menunggu diajarkan cara pakai telefon saja. Karena ya memang aku tidak paham cara menggunakannya, kalimat bagaimana yang harus aku gunakan saat aku menyambut tamu, menerima telefon dan sebagainya.Jujur, aku bener-bener nol dalam hal ini. Intinya aku anggap ini adalah belajar kerja, bukan bekerja."Yo we
Aku dan A Hakam memasuki pintu kaca berwarna hitam ini, dan terlihat ruangan resepsionis yang tidak terlalu luas. Di dalamnya hanya ada meja resepsionis dan satu kursi tunggu saja."Duduk dulu di sini, Neng. Aa mau ke atas dulu," pamit A Hakam.Aku pun mengangguk dan A Hakam berjalan ke belakang, aku lihat suamiku berbelok kiri dan hilang dibalik dinding. Aku kembali memperhatikan ruangan resepsionis ini, ada satu AC di atas palafon dan ada cermin besar yang ditempel di dinding memberi kesan luas pada ruangan.Aku pun berdiri dan melihat pantulan diriku di sana. "Lumayan lah, sudah kayak karyawan baru yang mau melamar kerja," gumamku seraya tersenyum, aku lihat di TV juga begitu kalau kita mau melamar kerja seragamnya pakai hitam putih.Tak lama suara langkah kaki terdengar menuruni anak tangga di belakang, segera aku kembali duduk dan ternyata A Hakam yang datang. "Belum ada yang datang ya A jam segini kantornya masih sepi?" tanyaku."Udah ada pak Farid di atas tuh," jawab suamiku."
"Aa mau ke mana?" tanyaku pada A Hakam yang mengeluarkan motor menuju halaman rumah."Kita cari sarapan dulu," jawabnya. "Kunci dulu pintunya," pintanya kemudian.Aku pun mengangguk dan mengambil kunci dari dalam dan segera mengunci pintunya. Segera aku menyusul A Hakam yang sudah ada di luar gerbang, aku tutup pintu gerbang dan segera naik ke motor yang dikendarai A Hakam.Senyumku terus mengembang di setiap perjalanan, bahagia sekali bisa jalan-jalan pagi begini sama suami sambil nyari sarapan. Bahagiaku memang sesederhana ini, asal keluar rumah ya aku anggap jalan-jalan."Mau sarapan apa, Neng?" tanyanya setelah kami sudah agak jauh dari tempat tinggal."Apa aja, terserah Aa," jawabku apa adanya. Namun, A Hakam memberiku opsi menu sarapan. "Soto ceker apa ketropak?" tanyanya kemudian."Mmm, kayaknya neng pengen ketropak deh, A." Aku tersenyum saat A Hakam menjawab oke.Laju motor terus menyusuri jalanan komplek, melewati taman dan sungai besar yang airnya hitam. Aku tak mengerti k
Jam menunjukan pukul 18:45 WIB, kami istirahat lebih dulu di tempat pemberhentian pada sebuah POM bensin. Kami turun dari kendaraan untuk mengisi bahan bakar, di saat malam begini aku tetap harus dekat dengan A Hakam karena kemampuan melihatku sudah tidak sebaik saat siang hari."Ayo, cepat naik, Neng," pinta A Hakam saat dia selesai mengisi bensin.Aku segera menurut naik dan kami melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan aku hanya memperhatikan suasana malam di kota besar ini, hanya terlihat gedung-gedung tinggi yang disinari lampu-lampu terang.Aku senang karena baru pertama kali merasakan suasana malam di luar rumah terlebih bersama A Hakam. Di sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara, karena aku tak ingin membuat konsentrasi A Hakam terganggu.Aku juga sedang fokus menikmati suasana saat ini sambil merasakan embusan angin malam yang kuat menerpa tubuh. Tak lama laju kendaraan memelan, aku merasa mungkin sudah dekat dengan lokasi yang nantinya akan kami jadikan tempat tinggal
"Ini gado-gadonya, Neng." A Hakam memberikan kantung keresek padaku lalu aku segera menerimanya."Ya udah aku ke belakang dulu, Emak sama Abah pasti ada di sana," kataku seraya melenggang pergi ke belakang rumah, sementara A Hakam masuk rumah."Emak!" panggilku dengan senyum sumeringah saat menghampiri Emak dan Abah yang sedang duduk-duduk di bale berdua."Bawa apa itu, Neng?" tanya Emak saat melihat kantung pelastik di tanganku."Sarapan buat Emak sama Abah," jawabku seraya meletakan bungkusan itu di bale."Wah, kebetulan Emak tidak masak nasi goreng. Nih, Bah, kita makan," ajak Emak pada Abah. "Ambilin sendoknya, Neng," pinta Emak kepadaku.Aku mengangguk segera aku masuk rumah dan mengambilkan sendok serta air putih di dalam gelas besar, setelah itu aku cepat-cepat kembali ke belakang untuk memberikan ini semua."Oya, Mak. Aku mau ke dalam dulu, mau beres-beres baju," pamitku kemudian."Jadi dibawa ke Jakartanya, Nit?" tanya Emak lantas setelahnya menyuapkan makanan ke mulut."Jadi
Hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba, A Hakam pulang! Bahagianya aku, karena pada akhirnya ketemu sama suami tercinta. Tentu saja setelah sebulan lamanya tak bertemu secara fisik, kini pada akhirnya bisa merasakan pelukan hangatnya langsung."Besok beresin apa aja yang mau dibawa, Neng," kata A Hakam padaku yang sedang bersandar di pelukannya."Iya, paling bawa baju aja sih, A. Terus baju kerja neng gimana? Neng enggak punya baju yang pantes buat nanti kerja, A," ungkapku pada laki-laki yang kuanggap segalanya bagiku ini."Katanya ada baju-baju Bu Nissa yang udah enggak kepake, kata dia kayaknya muat kalau buat kamu," jawab A Hakam.Aku pun terdiam, tak masalah kalau menerima baju bekas orang lain yang terpenting 'kan masih layak pakai. "Mm, Bu Nissa itu siapa, A?" tanyaku penasaran."Bu Nissa itu istrinya Pak Boy." A Hakam lantas membelai rambutku."Oh, jadi bu Nissa itu istrinya bos ya, A?" tanyaku seraya tersenyum padanya.A Hakam mengangguk. "Mmh!" gumamnya sebagai jawaban. "Ya su
Malam hari seperti biasa setelah Isya aku langsung berada di kamar, pukul 19:45 WIB A Hakam kirim pesan menggunakan salah satu aplikasi berkirim pesan berwarna hijau seperti biasa."Assalamu'alaikum istriku, lagi apa sekarang?" tanya A Hakam.Aku pun segera mengetik pesan balasan padanya. "Walaikumsalam, aku lagi tiduran aja, A. Aa lagi apa? Udah makan belum?" tanyaku kemudian, lantas segera aku kirim dan centang dua langsung berwarna biru.Kini tampak keterangan kontak A Hakam sedang mengetik dan tak lama pesan balasan masuk lagi. "Aa sudah makan tadi sama pak Boy di restoran pas ketemuan sama klien. Aa juga sekarang baru pulang, belum mandi."Aku pun tersenyum membaca pesan dari A Hakam, alhamdulillah dia di sana baik-baik aja, sehat dan sangat berkecukupan. "Oh, ya udah Aa mandi dulu aja, neng tungguin," balasku lagi."Nanti sajalah mandinya, aa capek, Neng. Mau langsung tidur aja," balas A Hakam."Oh, ya udah Aa tidur aja, neng juga mau tidur," balasku kemudian."Iya udah, mana do
Ini adalah sisa nafkah pertama kali yang diberikan A Hakam yang dia berikan padaku sebelum berangkat ke Jakarta. Dia memberiku uang sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk satu bulan.Saat ini aku sudah menikah tentu saja aku tak ingin terus membebani Emak dan Abah, jadi uang tiga ratus ribu itu aku berikan sebagian kepada Abah untuk beli beras dan bantu bayar listrik sisanya buat aku beli lauk dan memenuhi kebutuhan pribadiku, seperti untuk membeli pembalut saja.Karena sisa uang ini tak cukup buat beli skincare atau untuk perawatan diri lainnya. Oke, aku syukuri ini semua, aku mencoba bersikap dewasa dan harus bisa memahami kondisi A Hakam.Aku tak butuh skincare, pakaian atau kebutuhan lain yang bersifat sekunder. Aku lebih memfokuskan pada kebutuhan primer lebih dulu seperti makanan, makanya aku lebih dulu sisihkan ke Abah untuk bantu beli beras, setidaknya aku tidak terlalu membebani."Tinggal lima puluh ribu, kira-kira A Hakam tanggal berapa ya pulangnya?" gumamku gelisah, karena u
Singkat cerita hari pernikahanku dan A Hakam pun digelar, dengan pesta sederhana dan seada-adanya saja. Karena sejujurnya keluargaku memang orang tak berpunya. Aku juga anak broken home, kedua orang tuaku sudah bahagia dengan keluarga baru mereka dan aku ditinggal bersama Emak dan Abah.Namun, aku tidak pernah sedih. Aku cukup bahagia dengan adanya mereka saja, meski Emak terkadang terlalu cerewet, tapi aku tahu Emak sayang sama aku. Buktinya aku bisa tumbuh menjadi gadis seperti ini itu adalah berkat Emak dan Abah yang banting tulang pergi ke sawah untuk membesarkan aku juga menyekolahkan aku.Aku maunya sih lulus sekolah ingin bekerja membantu Emak dan Embah lebih dulu belum mau menikah sebenarnya, tapi lagi-lagi karena keterbatasanku membuat Emak dan Abah khawatir. Jujur aku juga takut jika nanti bekerja lalu pulang malam hari, gimana .... Mau cari pekerjaan yang bisa siang hari saja, tapi aku bingung cari info sama siapa.Aku tidak punya banyak relasi, aku juga tak punya pengalama