Beranda / Romansa / Kesayangan BERONDONG / Kisahku 2 : Gosip Panas

Share

Kisahku 2 : Gosip Panas

Penulis: NityShu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Singkat cerita hari pernikahanku dan A Hakam pun digelar, dengan pesta sederhana dan seada-adanya saja. Karena sejujurnya keluargaku memang orang tak berpunya. Aku juga anak broken home, kedua orang tuaku sudah bahagia dengan keluarga baru mereka dan aku ditinggal bersama Emak dan Abah.

Namun, aku tidak pernah sedih. Aku cukup bahagia dengan adanya mereka saja, meski Emak terkadang terlalu cerewet, tapi aku tahu Emak sayang sama aku. Buktinya aku bisa tumbuh menjadi gadis seperti ini itu adalah berkat Emak dan Abah yang banting tulang pergi ke sawah untuk membesarkan aku juga menyekolahkan aku.

Aku maunya sih lulus sekolah ingin bekerja membantu Emak dan Embah lebih dulu belum mau menikah sebenarnya, tapi lagi-lagi karena keterbatasanku membuat Emak dan Abah khawatir. Jujur aku juga takut jika nanti bekerja lalu pulang malam hari, gimana .... Mau cari pekerjaan yang bisa siang hari saja, tapi aku bingung cari info sama siapa.

Aku tidak punya banyak relasi, aku juga tak punya pengalaman. Intinya aku takut .... Namun, A Hakam pernah berjanji, setelah kami menikah aku akan diajak bekerja di mana A Hakam bekerja juga. Iya, lebih baik begitu, aku menikah, terus bisa bekerja dan yang jagain suami sendiri, sudah halal kan aman.

"Saya terima nikah dan kawinnya Anita Larasati binti Wira dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan cincin dua gram dibayar tunai!" A Hakam berhasil mengucapkan ijab qabul dengan satu tarikan napas, aku tersenyum kala melihat tangan laki-laki di sampingku tampak berkeringat, dia pasti tadi grogi.

Alhamdulillah ... akhirnya akad nikah kami berjalan dengan lancar, kini kami sudah halal menjadi pasangan suami istri.

Acara pun dilanjut dengan pembacaan doa, bukan hanya A Hakam yang telah mengucapkan janji suci di depan penghulu juga saksi, terlebih pada Allah Subhanahu Wa Ta'alla. Begitupun aku, aku juga berdoa dan mengucapkan janjiku sendiri sebagai seorang istri, bahwa aku berjanji seberat apapun ujiannya, selelah apapun cobaannya, aku akan tetap berada di samping A Hakam suka maupun duka.

Aku tidak akan meninggalkan A Hakam, kecuali A Hakam yang ingin meninggalkan aku atau A Hakam memberi tanda-tanda ingin aku tinggalkan, barulah aku akan meninggalkannya.

Namun, aku sangat berharap. 'Ya Allah, semoga ini jadi yang pertama dan yang terakhir untukku.'

***

Ini adalah hari-hariku sebagai pengantin baru, semuanya memang terasa berbeda. Di saat kemarin aku bangun tidur tak ada siapa pun, kini aku akan melihat wajah A Hakam yang tidur di sampingku.

Di saat dulu aku hanya makan sendirian, kini ada A Hakam yang menemani. Di saat dulu aku ke mana-mana sendiri jalan kaki, sekarang ada A Hakam yang mengantarkan aku ke mana pun aku mau.

Sebulan telah berlalu, kami menjalani rumah tangga secara LDR. Karena A Hakam harus bekerja di Jakarta dan belum bisa ajak aku. Tak apa ... aku tetap bahagia, semoga A Hakam di kota selalu diberi kemudahan, kesehatan dan kelancaran dalam mencari rezeki.

Satu lagi, semoga penyakit A Hakam jangan kambuh-kambuh lagi, Ya Allah ....

Namun, di balik kebahagiaanku, ternyata di luar sana telah terembus kabar miring tentangku. Aku sempat sedih kala aku mendengarnya dari tukang sayur yang suka berjualan di sore hari. "Nita perutnya enggak besar-besar ya, Mak," kata si Mamang sayur pada Emak.

Aku dan Emak yang sedang berbelanja pun saling pandang, kami merasa bingung saja dengan apa yang dikatakan si Mamang. "Ya belum lah, Mang. Orang baru juga menikah satu bulan," jawab Emak.

Si Mamang tukang sayur tertawa jenaka. "Ya enggak, Mak. Orang-orang mah baru menikah sebulan pun perutnya langsung melendung," sahut si Mamang.

Aku dan Emak pun tersenyum, memang sedang fenomenal hal yang seperti itu, kebanyakan orang menikah karena si wanita sudah hamil lebih dulu.

"Itu mah beda cerita, Mang," timpal Emak seraya melanjutkan memilih sayur kangkung.

"Emak mah enggak tahu, di luar mah rame ngomongin cucu Emak loh, Mak. Saya kan tukang sayur keliling jadi tahu semua apa yang orang-orang bicarakan," kata si Mamang.

"Ngomongin apa sih, Mang? Mereka ngomongin apa soal Nita?" tanya Emak penasaran, aku juga sejujurnya ikut penasaran.

Orang-orang sebenarnya membicarakan apa tentangku? Karena aku merasa tidak punya masalah dengan siapa pun. Kenapa mereka menggosipkan aku di belakang?

"Mereka menduga kalau Anita hamil duluan," celetuk si Mamang.

"Astagfirullah .... " Aku dan Emak sontak kaget mendengarnya, kenapa orang di luar bisa berpikir demikian?

"Ya soalnya Nita nikahnya kayak buru-buru banget, Hakam kan masih sakit, badannya aja masih agak bengkak. Kok, dilanjutkan terus, Mak?" ungkap si Mamang.

Aku melirik pada Emak yang terlihat terdiam, aku tahu Emak menahan kesal saat ini. "Yeh, Mang! Asal kamu tahu, ya. Emak tuh sudah mengingatkan si Hakam, kalau dia itu masih sakit, sebaiknya pernikahannya ditunda nunggu dia benar-benar sembuh. Tapi, ya Hakam sendiri yang maksa mau lanjut menikah. Bukannya buru-buru nikah karena Cucu Emak hamil duluan!" Terdengar suara Emak sangat emosi.

"Udahlah, Mak. Enggak apa-apa, toh Nita enggak seperti yang mereka bicarakan, Mak. Biarkan saja orang mau bilang apa," kataku berusaha menenangkan Emak.

Ternyata benar firasat orang tua, menikah sekarang memang menimbulkan spekulasi buruk untukku.

"Emang begitu orang-orang ini, Mak. Bisanya ngomongin tanpa tahu kenyataannya. Maaf ya, Mak. Kalau saya salah ngomong," kata si Mamang.

Emak rupanya masih kesal, terlihat ia terus mengelus dada. Aku tersenyum pada si Mamang. "Ya udahlah, Mang. Enggak apa-apa, oya ini jadi berapa?" tanyaku meminta semua belanjaanku dan Emak dihitung sekalian.

"Iya, Neng. Ini semuanya jadi dua puluh lima ribu aja," jawab si Mamang.

"Oh, iya, ini uangnya, Mang." Aku memberikan uang lima puluh ribu pada si Mamang dan si Mamang segera mengambil kembalian lalu memberikannya padaku. "Makasih ya, Neng."

"Sama-sama, Mang." Aku dan Emak pun masuk ke rumah.

Emak dengan kesal meletakan dua ikat kangkung, cabe dan bumbu lainnya di atas bale begitu saja lalu ia duduk di tepian. "Ambilin wadah sana, Nit!" titah Emak dengan nada ketus padaku.

Aku pun menurut dan pergi ke dapur untuk mengambilkan wadah sayur lalu segera aku kembali ke depan. Aku memberikan wadah kepada Emak. "Duduk situ! Emak mau ngomong," pinta Emak.

Aku menurut dan duduk di kursi, sementara Emak mulai memetik kangkung untuk dibuat lauk. "Apa kata Emak, Nit. Di luar mah ternyata rame gosipin kamu, tega-teganya mereka menyangka kamu hamil duluan. Tentu saja Emak marah."

Aku tersenyum menanggapinya. "Kan pada kenyataannya aku enggak hamil duluan, Mak. Oya, A Hakam semalam kasih kabar kalau awal bulan ini aku mau diajak kerja sama A Hakam di kantor tempat A Hakam kerja."

Wajah Emak barulah terlihat mencair saat mendengar kabar bagus ini. "Syukurlah, Nit. Semoga lancar, semoga kamu bisa kerjanya ya, Cu."

"Amiin, Mak. Akhirnya aku nanti bisa bantu Emak dan Abah," kataku senang.

Bab terkait

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 3 : Nafkah Pertama

    Ini adalah sisa nafkah pertama kali yang diberikan A Hakam yang dia berikan padaku sebelum berangkat ke Jakarta. Dia memberiku uang sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk satu bulan.Saat ini aku sudah menikah tentu saja aku tak ingin terus membebani Emak dan Abah, jadi uang tiga ratus ribu itu aku berikan sebagian kepada Abah untuk beli beras dan bantu bayar listrik sisanya buat aku beli lauk dan memenuhi kebutuhan pribadiku, seperti untuk membeli pembalut saja.Karena sisa uang ini tak cukup buat beli skincare atau untuk perawatan diri lainnya. Oke, aku syukuri ini semua, aku mencoba bersikap dewasa dan harus bisa memahami kondisi A Hakam.Aku tak butuh skincare, pakaian atau kebutuhan lain yang bersifat sekunder. Aku lebih memfokuskan pada kebutuhan primer lebih dulu seperti makanan, makanya aku lebih dulu sisihkan ke Abah untuk bantu beli beras, setidaknya aku tidak terlalu membebani."Tinggal lima puluh ribu, kira-kira A Hakam tanggal berapa ya pulangnya?" gumamku gelisah, karena u

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 4 : Dibandingkan

    Malam hari seperti biasa setelah Isya aku langsung berada di kamar, pukul 19:45 WIB A Hakam kirim pesan menggunakan salah satu aplikasi berkirim pesan berwarna hijau seperti biasa."Assalamu'alaikum istriku, lagi apa sekarang?" tanya A Hakam.Aku pun segera mengetik pesan balasan padanya. "Walaikumsalam, aku lagi tiduran aja, A. Aa lagi apa? Udah makan belum?" tanyaku kemudian, lantas segera aku kirim dan centang dua langsung berwarna biru.Kini tampak keterangan kontak A Hakam sedang mengetik dan tak lama pesan balasan masuk lagi. "Aa sudah makan tadi sama pak Boy di restoran pas ketemuan sama klien. Aa juga sekarang baru pulang, belum mandi."Aku pun tersenyum membaca pesan dari A Hakam, alhamdulillah dia di sana baik-baik aja, sehat dan sangat berkecukupan. "Oh, ya udah Aa mandi dulu aja, neng tungguin," balasku lagi."Nanti sajalah mandinya, aa capek, Neng. Mau langsung tidur aja," balas A Hakam."Oh, ya udah Aa tidur aja, neng juga mau tidur," balasku kemudian."Iya udah, mana do

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 5 : Bersyukur Punya Kamu

    Hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba, A Hakam pulang! Bahagianya aku, karena pada akhirnya ketemu sama suami tercinta. Tentu saja setelah sebulan lamanya tak bertemu secara fisik, kini pada akhirnya bisa merasakan pelukan hangatnya langsung."Besok beresin apa aja yang mau dibawa, Neng," kata A Hakam padaku yang sedang bersandar di pelukannya."Iya, paling bawa baju aja sih, A. Terus baju kerja neng gimana? Neng enggak punya baju yang pantes buat nanti kerja, A," ungkapku pada laki-laki yang kuanggap segalanya bagiku ini."Katanya ada baju-baju Bu Nissa yang udah enggak kepake, kata dia kayaknya muat kalau buat kamu," jawab A Hakam.Aku pun terdiam, tak masalah kalau menerima baju bekas orang lain yang terpenting 'kan masih layak pakai. "Mm, Bu Nissa itu siapa, A?" tanyaku penasaran."Bu Nissa itu istrinya Pak Boy." A Hakam lantas membelai rambutku."Oh, jadi bu Nissa itu istrinya bos ya, A?" tanyaku seraya tersenyum padanya.A Hakam mengangguk. "Mmh!" gumamnya sebagai jawaban. "Ya su

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 6 : Tidak Merasa Puas

    "Ini gado-gadonya, Neng." A Hakam memberikan kantung keresek padaku lalu aku segera menerimanya."Ya udah aku ke belakang dulu, Emak sama Abah pasti ada di sana," kataku seraya melenggang pergi ke belakang rumah, sementara A Hakam masuk rumah."Emak!" panggilku dengan senyum sumeringah saat menghampiri Emak dan Abah yang sedang duduk-duduk di bale berdua."Bawa apa itu, Neng?" tanya Emak saat melihat kantung pelastik di tanganku."Sarapan buat Emak sama Abah," jawabku seraya meletakan bungkusan itu di bale."Wah, kebetulan Emak tidak masak nasi goreng. Nih, Bah, kita makan," ajak Emak pada Abah. "Ambilin sendoknya, Neng," pinta Emak kepadaku.Aku mengangguk segera aku masuk rumah dan mengambilkan sendok serta air putih di dalam gelas besar, setelah itu aku cepat-cepat kembali ke belakang untuk memberikan ini semua."Oya, Mak. Aku mau ke dalam dulu, mau beres-beres baju," pamitku kemudian."Jadi dibawa ke Jakartanya, Nit?" tanya Emak lantas setelahnya menyuapkan makanan ke mulut."Jadi

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 7 : Malam Pertama di Jakarta

    Jam menunjukan pukul 18:45 WIB, kami istirahat lebih dulu di tempat pemberhentian pada sebuah POM bensin. Kami turun dari kendaraan untuk mengisi bahan bakar, di saat malam begini aku tetap harus dekat dengan A Hakam karena kemampuan melihatku sudah tidak sebaik saat siang hari."Ayo, cepat naik, Neng," pinta A Hakam saat dia selesai mengisi bensin.Aku segera menurut naik dan kami melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan aku hanya memperhatikan suasana malam di kota besar ini, hanya terlihat gedung-gedung tinggi yang disinari lampu-lampu terang.Aku senang karena baru pertama kali merasakan suasana malam di luar rumah terlebih bersama A Hakam. Di sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara, karena aku tak ingin membuat konsentrasi A Hakam terganggu.Aku juga sedang fokus menikmati suasana saat ini sambil merasakan embusan angin malam yang kuat menerpa tubuh. Tak lama laju kendaraan memelan, aku merasa mungkin sudah dekat dengan lokasi yang nantinya akan kami jadikan tempat tinggal

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 8 : Pergi Bekerja

    "Aa mau ke mana?" tanyaku pada A Hakam yang mengeluarkan motor menuju halaman rumah."Kita cari sarapan dulu," jawabnya. "Kunci dulu pintunya," pintanya kemudian.Aku pun mengangguk dan mengambil kunci dari dalam dan segera mengunci pintunya. Segera aku menyusul A Hakam yang sudah ada di luar gerbang, aku tutup pintu gerbang dan segera naik ke motor yang dikendarai A Hakam.Senyumku terus mengembang di setiap perjalanan, bahagia sekali bisa jalan-jalan pagi begini sama suami sambil nyari sarapan. Bahagiaku memang sesederhana ini, asal keluar rumah ya aku anggap jalan-jalan."Mau sarapan apa, Neng?" tanyanya setelah kami sudah agak jauh dari tempat tinggal."Apa aja, terserah Aa," jawabku apa adanya. Namun, A Hakam memberiku opsi menu sarapan. "Soto ceker apa ketropak?" tanyanya kemudian."Mmm, kayaknya neng pengen ketropak deh, A." Aku tersenyum saat A Hakam menjawab oke.Laju motor terus menyusuri jalanan komplek, melewati taman dan sungai besar yang airnya hitam. Aku tak mengerti k

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 9 : Aku Percaya A Hakam Setia

    Aku dan A Hakam memasuki pintu kaca berwarna hitam ini, dan terlihat ruangan resepsionis yang tidak terlalu luas. Di dalamnya hanya ada meja resepsionis dan satu kursi tunggu saja."Duduk dulu di sini, Neng. Aa mau ke atas dulu," pamit A Hakam.Aku pun mengangguk dan A Hakam berjalan ke belakang, aku lihat suamiku berbelok kiri dan hilang dibalik dinding. Aku kembali memperhatikan ruangan resepsionis ini, ada satu AC di atas palafon dan ada cermin besar yang ditempel di dinding memberi kesan luas pada ruangan.Aku pun berdiri dan melihat pantulan diriku di sana. "Lumayan lah, sudah kayak karyawan baru yang mau melamar kerja," gumamku seraya tersenyum, aku lihat di TV juga begitu kalau kita mau melamar kerja seragamnya pakai hitam putih.Tak lama suara langkah kaki terdengar menuruni anak tangga di belakang, segera aku kembali duduk dan ternyata A Hakam yang datang. "Belum ada yang datang ya A jam segini kantornya masih sepi?" tanyaku."Udah ada pak Farid di atas tuh," jawab suamiku."

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 10 : Hari Pertama Bekerja

    Semua orang tertawa karena obrolan kami pagi ini, aku tidak menyangka jika semenyenangkan ini. Orang-orang di sini baik dan ramah, tapi aku tidak tahu orang-orang yang lain bagaimana.Aku juga belum melihat bos kantor ini, kira-kira seperti apa beliau, ya?"Oya, Nit. Ini nanti kamu kerjanya di sini, jadi resepsionis. Nyambut tamu, terima telefon dan menyambungkan telefon. Nanti saya ajarkan cara pakai telefonnya bagaimana, terus juga catat absen karyawan keluar ke mana, jam berapa dan kembali ke kantor jam berapa. Itu bertujuan supaya ketika ada pertanyaan, kamu bisa tahu. Karyawan memang wajib harus laporan ke kamu nanti," jelas Bu Nissa.Aku hanya mengangguk-angguk mengerti, tinggal menunggu diajarkan cara pakai telefon saja. Karena ya memang aku tidak paham cara menggunakannya, kalimat bagaimana yang harus aku gunakan saat aku menyambut tamu, menerima telefon dan sebagainya.Jujur, aku bener-bener nol dalam hal ini. Intinya aku anggap ini adalah belajar kerja, bukan bekerja."Yo we

Bab terbaru

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 10 : Hari Pertama Bekerja

    Semua orang tertawa karena obrolan kami pagi ini, aku tidak menyangka jika semenyenangkan ini. Orang-orang di sini baik dan ramah, tapi aku tidak tahu orang-orang yang lain bagaimana.Aku juga belum melihat bos kantor ini, kira-kira seperti apa beliau, ya?"Oya, Nit. Ini nanti kamu kerjanya di sini, jadi resepsionis. Nyambut tamu, terima telefon dan menyambungkan telefon. Nanti saya ajarkan cara pakai telefonnya bagaimana, terus juga catat absen karyawan keluar ke mana, jam berapa dan kembali ke kantor jam berapa. Itu bertujuan supaya ketika ada pertanyaan, kamu bisa tahu. Karyawan memang wajib harus laporan ke kamu nanti," jelas Bu Nissa.Aku hanya mengangguk-angguk mengerti, tinggal menunggu diajarkan cara pakai telefon saja. Karena ya memang aku tidak paham cara menggunakannya, kalimat bagaimana yang harus aku gunakan saat aku menyambut tamu, menerima telefon dan sebagainya.Jujur, aku bener-bener nol dalam hal ini. Intinya aku anggap ini adalah belajar kerja, bukan bekerja."Yo we

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 9 : Aku Percaya A Hakam Setia

    Aku dan A Hakam memasuki pintu kaca berwarna hitam ini, dan terlihat ruangan resepsionis yang tidak terlalu luas. Di dalamnya hanya ada meja resepsionis dan satu kursi tunggu saja."Duduk dulu di sini, Neng. Aa mau ke atas dulu," pamit A Hakam.Aku pun mengangguk dan A Hakam berjalan ke belakang, aku lihat suamiku berbelok kiri dan hilang dibalik dinding. Aku kembali memperhatikan ruangan resepsionis ini, ada satu AC di atas palafon dan ada cermin besar yang ditempel di dinding memberi kesan luas pada ruangan.Aku pun berdiri dan melihat pantulan diriku di sana. "Lumayan lah, sudah kayak karyawan baru yang mau melamar kerja," gumamku seraya tersenyum, aku lihat di TV juga begitu kalau kita mau melamar kerja seragamnya pakai hitam putih.Tak lama suara langkah kaki terdengar menuruni anak tangga di belakang, segera aku kembali duduk dan ternyata A Hakam yang datang. "Belum ada yang datang ya A jam segini kantornya masih sepi?" tanyaku."Udah ada pak Farid di atas tuh," jawab suamiku."

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 8 : Pergi Bekerja

    "Aa mau ke mana?" tanyaku pada A Hakam yang mengeluarkan motor menuju halaman rumah."Kita cari sarapan dulu," jawabnya. "Kunci dulu pintunya," pintanya kemudian.Aku pun mengangguk dan mengambil kunci dari dalam dan segera mengunci pintunya. Segera aku menyusul A Hakam yang sudah ada di luar gerbang, aku tutup pintu gerbang dan segera naik ke motor yang dikendarai A Hakam.Senyumku terus mengembang di setiap perjalanan, bahagia sekali bisa jalan-jalan pagi begini sama suami sambil nyari sarapan. Bahagiaku memang sesederhana ini, asal keluar rumah ya aku anggap jalan-jalan."Mau sarapan apa, Neng?" tanyanya setelah kami sudah agak jauh dari tempat tinggal."Apa aja, terserah Aa," jawabku apa adanya. Namun, A Hakam memberiku opsi menu sarapan. "Soto ceker apa ketropak?" tanyanya kemudian."Mmm, kayaknya neng pengen ketropak deh, A." Aku tersenyum saat A Hakam menjawab oke.Laju motor terus menyusuri jalanan komplek, melewati taman dan sungai besar yang airnya hitam. Aku tak mengerti k

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 7 : Malam Pertama di Jakarta

    Jam menunjukan pukul 18:45 WIB, kami istirahat lebih dulu di tempat pemberhentian pada sebuah POM bensin. Kami turun dari kendaraan untuk mengisi bahan bakar, di saat malam begini aku tetap harus dekat dengan A Hakam karena kemampuan melihatku sudah tidak sebaik saat siang hari."Ayo, cepat naik, Neng," pinta A Hakam saat dia selesai mengisi bensin.Aku segera menurut naik dan kami melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan aku hanya memperhatikan suasana malam di kota besar ini, hanya terlihat gedung-gedung tinggi yang disinari lampu-lampu terang.Aku senang karena baru pertama kali merasakan suasana malam di luar rumah terlebih bersama A Hakam. Di sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara, karena aku tak ingin membuat konsentrasi A Hakam terganggu.Aku juga sedang fokus menikmati suasana saat ini sambil merasakan embusan angin malam yang kuat menerpa tubuh. Tak lama laju kendaraan memelan, aku merasa mungkin sudah dekat dengan lokasi yang nantinya akan kami jadikan tempat tinggal

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 6 : Tidak Merasa Puas

    "Ini gado-gadonya, Neng." A Hakam memberikan kantung keresek padaku lalu aku segera menerimanya."Ya udah aku ke belakang dulu, Emak sama Abah pasti ada di sana," kataku seraya melenggang pergi ke belakang rumah, sementara A Hakam masuk rumah."Emak!" panggilku dengan senyum sumeringah saat menghampiri Emak dan Abah yang sedang duduk-duduk di bale berdua."Bawa apa itu, Neng?" tanya Emak saat melihat kantung pelastik di tanganku."Sarapan buat Emak sama Abah," jawabku seraya meletakan bungkusan itu di bale."Wah, kebetulan Emak tidak masak nasi goreng. Nih, Bah, kita makan," ajak Emak pada Abah. "Ambilin sendoknya, Neng," pinta Emak kepadaku.Aku mengangguk segera aku masuk rumah dan mengambilkan sendok serta air putih di dalam gelas besar, setelah itu aku cepat-cepat kembali ke belakang untuk memberikan ini semua."Oya, Mak. Aku mau ke dalam dulu, mau beres-beres baju," pamitku kemudian."Jadi dibawa ke Jakartanya, Nit?" tanya Emak lantas setelahnya menyuapkan makanan ke mulut."Jadi

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 5 : Bersyukur Punya Kamu

    Hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba, A Hakam pulang! Bahagianya aku, karena pada akhirnya ketemu sama suami tercinta. Tentu saja setelah sebulan lamanya tak bertemu secara fisik, kini pada akhirnya bisa merasakan pelukan hangatnya langsung."Besok beresin apa aja yang mau dibawa, Neng," kata A Hakam padaku yang sedang bersandar di pelukannya."Iya, paling bawa baju aja sih, A. Terus baju kerja neng gimana? Neng enggak punya baju yang pantes buat nanti kerja, A," ungkapku pada laki-laki yang kuanggap segalanya bagiku ini."Katanya ada baju-baju Bu Nissa yang udah enggak kepake, kata dia kayaknya muat kalau buat kamu," jawab A Hakam.Aku pun terdiam, tak masalah kalau menerima baju bekas orang lain yang terpenting 'kan masih layak pakai. "Mm, Bu Nissa itu siapa, A?" tanyaku penasaran."Bu Nissa itu istrinya Pak Boy." A Hakam lantas membelai rambutku."Oh, jadi bu Nissa itu istrinya bos ya, A?" tanyaku seraya tersenyum padanya.A Hakam mengangguk. "Mmh!" gumamnya sebagai jawaban. "Ya su

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 4 : Dibandingkan

    Malam hari seperti biasa setelah Isya aku langsung berada di kamar, pukul 19:45 WIB A Hakam kirim pesan menggunakan salah satu aplikasi berkirim pesan berwarna hijau seperti biasa."Assalamu'alaikum istriku, lagi apa sekarang?" tanya A Hakam.Aku pun segera mengetik pesan balasan padanya. "Walaikumsalam, aku lagi tiduran aja, A. Aa lagi apa? Udah makan belum?" tanyaku kemudian, lantas segera aku kirim dan centang dua langsung berwarna biru.Kini tampak keterangan kontak A Hakam sedang mengetik dan tak lama pesan balasan masuk lagi. "Aa sudah makan tadi sama pak Boy di restoran pas ketemuan sama klien. Aa juga sekarang baru pulang, belum mandi."Aku pun tersenyum membaca pesan dari A Hakam, alhamdulillah dia di sana baik-baik aja, sehat dan sangat berkecukupan. "Oh, ya udah Aa mandi dulu aja, neng tungguin," balasku lagi."Nanti sajalah mandinya, aa capek, Neng. Mau langsung tidur aja," balas A Hakam."Oh, ya udah Aa tidur aja, neng juga mau tidur," balasku kemudian."Iya udah, mana do

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 3 : Nafkah Pertama

    Ini adalah sisa nafkah pertama kali yang diberikan A Hakam yang dia berikan padaku sebelum berangkat ke Jakarta. Dia memberiku uang sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk satu bulan.Saat ini aku sudah menikah tentu saja aku tak ingin terus membebani Emak dan Abah, jadi uang tiga ratus ribu itu aku berikan sebagian kepada Abah untuk beli beras dan bantu bayar listrik sisanya buat aku beli lauk dan memenuhi kebutuhan pribadiku, seperti untuk membeli pembalut saja.Karena sisa uang ini tak cukup buat beli skincare atau untuk perawatan diri lainnya. Oke, aku syukuri ini semua, aku mencoba bersikap dewasa dan harus bisa memahami kondisi A Hakam.Aku tak butuh skincare, pakaian atau kebutuhan lain yang bersifat sekunder. Aku lebih memfokuskan pada kebutuhan primer lebih dulu seperti makanan, makanya aku lebih dulu sisihkan ke Abah untuk bantu beli beras, setidaknya aku tidak terlalu membebani."Tinggal lima puluh ribu, kira-kira A Hakam tanggal berapa ya pulangnya?" gumamku gelisah, karena u

  • Kesayangan BERONDONG   Kisahku 2 : Gosip Panas

    Singkat cerita hari pernikahanku dan A Hakam pun digelar, dengan pesta sederhana dan seada-adanya saja. Karena sejujurnya keluargaku memang orang tak berpunya. Aku juga anak broken home, kedua orang tuaku sudah bahagia dengan keluarga baru mereka dan aku ditinggal bersama Emak dan Abah.Namun, aku tidak pernah sedih. Aku cukup bahagia dengan adanya mereka saja, meski Emak terkadang terlalu cerewet, tapi aku tahu Emak sayang sama aku. Buktinya aku bisa tumbuh menjadi gadis seperti ini itu adalah berkat Emak dan Abah yang banting tulang pergi ke sawah untuk membesarkan aku juga menyekolahkan aku.Aku maunya sih lulus sekolah ingin bekerja membantu Emak dan Embah lebih dulu belum mau menikah sebenarnya, tapi lagi-lagi karena keterbatasanku membuat Emak dan Abah khawatir. Jujur aku juga takut jika nanti bekerja lalu pulang malam hari, gimana .... Mau cari pekerjaan yang bisa siang hari saja, tapi aku bingung cari info sama siapa.Aku tidak punya banyak relasi, aku juga tak punya pengalama

DMCA.com Protection Status