Namaku Anita Larasati, dan saat ini usiaku 30 tahun. Aku menikah dengan A Hakam di saat usiaku masih 19 tahun. Di saat itu aku baru saja lulus SMA dan A Hakam melamarku karena kata dia tak ingin lama-lama ingin segera menghalalkan aku.
Aku dan A Hakam selisih usia 6 tahun, saat itu usia A Hakam sudah 25 tahun. Aku pikir punya suami yang lebih dewasa itu enak, aku bisa jadikan dia seperti Ayah, Kakak laki-laki, suami sekaligus teman curhat.Punya suami lebih dewasa pasti enak, aku bisa terus manja-manja sama dia layaknya anak kecil, ya aku kala itu membayangkan hal itu. Jadi, apakah lebih baik aku terima saja A Hakam? Tapi ... aku harus memberi tahu dia sesuatu sebelum dia mengambil keputusan menjadikan aku pendampingnya, seseorang yang ia genggam tangannya untuk berjalan bersama menuju Jannah.Aku sudah bilang kalau diriku ini ada kekurangan, aku ada penyakit Rabun Senja yakni di mana aku tidak akan bisa melihat secara baik jika situasi hari mulai menjelang gelap, maka aku pun tak bisa beraktivitas layaknya seperti orang normal pada umumnya.Aku tak ingin berbohong, aku tak ingin menyembunyikan kenyataan bahwa aku memang tidak terlahir normal seperti orang lain. Namun, A Hakam berkata kalau dia mau menerima aku apa adanya dan aku pun merasa tersanjung atas ketulusan yang ia miliki untukku.A Hakam dan keluarganya lantas datang ke rumah untuk lamaran dan membuat jadwal hari pernikahan yang jatuh pada tanggal 2 September 2012 kala itu. Aku bahagia, meski sejujurnya aku belum sepenuhnya jatuh cinta kepadanya.Namun, aku sangat yakin kalau rasa cinta akan tumbuh dengan sendirinya bersama berjalannya waktu kebersamaan kami dalam bahtera rumah tangga. Lagi pula aku rasa A Hakam itu orang yang baik, meski aku tahu sebelum denganku dia itu suka sekali mabuk-mabukan, dia juga suka ugal-ugalan di jalan, cara berpakian dan penampilannya ya seperti pemuda urakan.Akan tetapi, saat dia bersamaku, dia sudah membuktikan perubahan. A Hakam tidak lagi mabuk, tidak ugal-ugalan lagi di jalan, penampilannya juga sekarang agak mendingan. Dia juga mulai mencari pekerjaan, saat itu ia diajak kakaknya untuk kerja di Jakarta Utara.Hubungan kami memang cukup lama, kita sudah lama kenal memang, tapi tidak ada status pacaran. Sejujurnya dia sudah mengutarakan cinta di saat aku masih sekolah SMP, tapi aku tolak. Karena aku tidak mau pacar-pacaran, lebih baik kami berteman saja dan dia pun setuju. Kami berteman, teman tapi mesra istrilahnya. Jika ada yang main ke rumahku cowok lain, pasti dia larang.Di saat dia sedang ada di kota untuk bekerja A Hakam ini sudah menyuruh teman-teman sekampung untuk menjagaku dan teman-temannya itu solid banget sama dia. Sehingga tidak ada cowok lain yang berani mendekati aku, selain dia. Namun, aku masih punya satu teman cowok di sekolah. Dia namanya Asep, aku minta A Hakam tak usah cemburu, karena Asep hanyalah seorang teman.A Hakam pun menurut, dia benar-benar tak mau membuat aku marah. Dia bahkan mau melakukan banyak hal demi aku. Jadi, salahkah aku jika aku menganggap A Hakam cinta mati sama aku?***Pernikahan pun tinggal menghitung minggu, tapi musibah bertubi-tubi terus berdatangan dari pihak keluarga A Hakam. Berawal dari atap rumah orang tua A Hakam yang runtuh kena angin puting beliung di bulan Maret, dan tak lama bapaknya A Hakam yang terserempet motor dan yang terakhir musibah terjadi menimpa A Hakam sendiri.A Hakam didiagnosis terkena Sindrom Nefrotik atau yang disebut penyakit ginjal bocor. Di mana kondisi ini terjadi karena rusaknya fungsi penyaringan organ ginjal, sehingga kondisi ini menyebabkan tubuh mengeluarkan protein di dalam urine.Gejala lain dari Sindrom Nefrotik ialah membengkaknya seluruh tubuh karena cairan yang tak dapat dikeluarkan lewat BAK. Inilah yang dialami A Hakam saat itu, saat-saat mendekati hari bahagia kami.Emak dan Abah sempat memperingatkanku. "Nit, mendekati pernikahan keluarga pihak laki-laki selalu saja tertimpa musibah. Mungkin Allah memberi petunjuk, Nit. Kalau kamu sama Hakam itu tidak jodoh, seharusnya dibatalkan saja, Cu."Namun, aku bingung. Saat itu aku hanya menunduk sedih. Aku memang belum mencintai A Hakam, tapi aku sangat sayang sama dia, aku juga sangat menghargai cintanya untukku. "Mak, aku hanya perempuan yang tak sempurna. A Hakam saja mau menerima aku apa adanya begini, Mak. Masa sih cuma karena A Hakam jatuh sakit aku memutuskan mundur? Nanti apa yang A Hakam pikirkan dan rasakan? Aku enggak mau nyakitin hati orang yang tulus mencintai aku, Mak.""Tapi, Nit ... sakit ginjal itu termasuk penyakit berat. Pengobatannya tidak sebulan dua bulan, tapi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ini bukan sakit batuk atau pilek, Nit. Emak khawatir kamu akan hidup sengsara jika menikah dengan orang sakit." Perkataan Emak ini diangguki oleh Abah.Aku lagi-lagi menunduk sedih, aku juga cemas akan hal itu. Namun, perasaan tidak enak dan takut melukai hati orang lain membuatku dilema. Aku berusaha berpikir positif saja saat itu, kalau semua ini hanyalah ujian menjelang pernikahan."Aku enggak bisa mundur, Mak. Pernikahan tinggal dua minggu lagi. Aku tidak mungkin mengundurkan diri hanya karena A Hakam sakit, perasaannya pasti terluka nanti."***Malam hari setelah pembicaraanku bersama dengan Emak dan Abah, A Hakam datang ke rumah dengan membawa beberapa sample kartu undangan pernikahan. Dia menyuruhku memilih, kartu undangan yang seperti apa yang aku inginkan.Karena aku sudah memahami kondisi keuangan A Hakam paska sakit dan pasti sudah mengeluarkan banyak uang untuk biyaya pengobatan, hingga aku pun memilih desain undangan yang sederhana saja. "Yang ini saja, A. Lebih simple, toh yang terpenting pesan di dalamnya bukan dari bagus jeleknya undangan," kataku kala itu.A Hakam tersenyum dan mensetujui pendapatku. "Baiklah, kita pilih ini saja, aa paling mau cetak dua ratus undangan saja, Neng."Aku mengangguk saja. "Terserah Aa."Tak diduga Emak datang dari dapur, dia lantas ikut bergabung duduk di ruang tamu bersama kami. Firasatku Emak pasti ingin membahas soal penundaan pernikahan, iya penundaan bahasa halus dari pembatalan pernikahan."Hakam," sapa Emak pada A Hakam, dan laki-laki di sampingku ini menyalami Emak seraya tersenyum."Gimana kabarnya, Mak?" tanya A Hakam."Sehat, Hakam ... kamu sendiri gimana? Sudah sehat? Emak tidak bisa ikut jenguk kamu ke rumah sakit waktu itu, tahu sendiri keadaan nenek-nenek mah sudah repot," kata Emak sebagai pembukaan pembicaraan nanti.A Hakam tampak tersenyum. "Tidak apa-apa, Mak. Hakam paham, kok."Emak lantas melirik aku, aku tahu Emak ingin mengatakan soal tadi siang yang dibahas dan aku pun hanya pasrah seraya ingin tahu juga jawaban dari A Hakam bagaimana. "Hakam ... waktu pernikahan memang sudah dekat, tapi sepertinya keadaan kamu belum sepenuhnya pulih. Apakah sebaiknya ditunda saja tunggu kamu sembuh dulu."Namun, A Hakam dengan tegas langsung menjawab. "Hakam tidak mau menunda lagi, Mak. Mau sakit atau tidak, pernikahan akan terjadi di waktu dan tempat yang sudah direncanakan."Singkat cerita hari pernikahanku dan A Hakam pun digelar, dengan pesta sederhana dan seada-adanya saja. Karena sejujurnya keluargaku memang orang tak berpunya. Aku juga anak broken home, kedua orang tuaku sudah bahagia dengan keluarga baru mereka dan aku ditinggal bersama Emak dan Abah.Namun, aku tidak pernah sedih. Aku cukup bahagia dengan adanya mereka saja, meski Emak terkadang terlalu cerewet, tapi aku tahu Emak sayang sama aku. Buktinya aku bisa tumbuh menjadi gadis seperti ini itu adalah berkat Emak dan Abah yang banting tulang pergi ke sawah untuk membesarkan aku juga menyekolahkan aku.Aku maunya sih lulus sekolah ingin bekerja membantu Emak dan Embah lebih dulu belum mau menikah sebenarnya, tapi lagi-lagi karena keterbatasanku membuat Emak dan Abah khawatir. Jujur aku juga takut jika nanti bekerja lalu pulang malam hari, gimana .... Mau cari pekerjaan yang bisa siang hari saja, tapi aku bingung cari info sama siapa.Aku tidak punya banyak relasi, aku juga tak punya pengalama
Ini adalah sisa nafkah pertama kali yang diberikan A Hakam yang dia berikan padaku sebelum berangkat ke Jakarta. Dia memberiku uang sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk satu bulan.Saat ini aku sudah menikah tentu saja aku tak ingin terus membebani Emak dan Abah, jadi uang tiga ratus ribu itu aku berikan sebagian kepada Abah untuk beli beras dan bantu bayar listrik sisanya buat aku beli lauk dan memenuhi kebutuhan pribadiku, seperti untuk membeli pembalut saja.Karena sisa uang ini tak cukup buat beli skincare atau untuk perawatan diri lainnya. Oke, aku syukuri ini semua, aku mencoba bersikap dewasa dan harus bisa memahami kondisi A Hakam.Aku tak butuh skincare, pakaian atau kebutuhan lain yang bersifat sekunder. Aku lebih memfokuskan pada kebutuhan primer lebih dulu seperti makanan, makanya aku lebih dulu sisihkan ke Abah untuk bantu beli beras, setidaknya aku tidak terlalu membebani."Tinggal lima puluh ribu, kira-kira A Hakam tanggal berapa ya pulangnya?" gumamku gelisah, karena u
Malam hari seperti biasa setelah Isya aku langsung berada di kamar, pukul 19:45 WIB A Hakam kirim pesan menggunakan salah satu aplikasi berkirim pesan berwarna hijau seperti biasa."Assalamu'alaikum istriku, lagi apa sekarang?" tanya A Hakam.Aku pun segera mengetik pesan balasan padanya. "Walaikumsalam, aku lagi tiduran aja, A. Aa lagi apa? Udah makan belum?" tanyaku kemudian, lantas segera aku kirim dan centang dua langsung berwarna biru.Kini tampak keterangan kontak A Hakam sedang mengetik dan tak lama pesan balasan masuk lagi. "Aa sudah makan tadi sama pak Boy di restoran pas ketemuan sama klien. Aa juga sekarang baru pulang, belum mandi."Aku pun tersenyum membaca pesan dari A Hakam, alhamdulillah dia di sana baik-baik aja, sehat dan sangat berkecukupan. "Oh, ya udah Aa mandi dulu aja, neng tungguin," balasku lagi."Nanti sajalah mandinya, aa capek, Neng. Mau langsung tidur aja," balas A Hakam."Oh, ya udah Aa tidur aja, neng juga mau tidur," balasku kemudian."Iya udah, mana do
Hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba, A Hakam pulang! Bahagianya aku, karena pada akhirnya ketemu sama suami tercinta. Tentu saja setelah sebulan lamanya tak bertemu secara fisik, kini pada akhirnya bisa merasakan pelukan hangatnya langsung."Besok beresin apa aja yang mau dibawa, Neng," kata A Hakam padaku yang sedang bersandar di pelukannya."Iya, paling bawa baju aja sih, A. Terus baju kerja neng gimana? Neng enggak punya baju yang pantes buat nanti kerja, A," ungkapku pada laki-laki yang kuanggap segalanya bagiku ini."Katanya ada baju-baju Bu Nissa yang udah enggak kepake, kata dia kayaknya muat kalau buat kamu," jawab A Hakam.Aku pun terdiam, tak masalah kalau menerima baju bekas orang lain yang terpenting 'kan masih layak pakai. "Mm, Bu Nissa itu siapa, A?" tanyaku penasaran."Bu Nissa itu istrinya Pak Boy." A Hakam lantas membelai rambutku."Oh, jadi bu Nissa itu istrinya bos ya, A?" tanyaku seraya tersenyum padanya.A Hakam mengangguk. "Mmh!" gumamnya sebagai jawaban. "Ya su
"Ini gado-gadonya, Neng." A Hakam memberikan kantung keresek padaku lalu aku segera menerimanya."Ya udah aku ke belakang dulu, Emak sama Abah pasti ada di sana," kataku seraya melenggang pergi ke belakang rumah, sementara A Hakam masuk rumah."Emak!" panggilku dengan senyum sumeringah saat menghampiri Emak dan Abah yang sedang duduk-duduk di bale berdua."Bawa apa itu, Neng?" tanya Emak saat melihat kantung pelastik di tanganku."Sarapan buat Emak sama Abah," jawabku seraya meletakan bungkusan itu di bale."Wah, kebetulan Emak tidak masak nasi goreng. Nih, Bah, kita makan," ajak Emak pada Abah. "Ambilin sendoknya, Neng," pinta Emak kepadaku.Aku mengangguk segera aku masuk rumah dan mengambilkan sendok serta air putih di dalam gelas besar, setelah itu aku cepat-cepat kembali ke belakang untuk memberikan ini semua."Oya, Mak. Aku mau ke dalam dulu, mau beres-beres baju," pamitku kemudian."Jadi dibawa ke Jakartanya, Nit?" tanya Emak lantas setelahnya menyuapkan makanan ke mulut."Jadi
Jam menunjukan pukul 18:45 WIB, kami istirahat lebih dulu di tempat pemberhentian pada sebuah POM bensin. Kami turun dari kendaraan untuk mengisi bahan bakar, di saat malam begini aku tetap harus dekat dengan A Hakam karena kemampuan melihatku sudah tidak sebaik saat siang hari."Ayo, cepat naik, Neng," pinta A Hakam saat dia selesai mengisi bensin.Aku segera menurut naik dan kami melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan aku hanya memperhatikan suasana malam di kota besar ini, hanya terlihat gedung-gedung tinggi yang disinari lampu-lampu terang.Aku senang karena baru pertama kali merasakan suasana malam di luar rumah terlebih bersama A Hakam. Di sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara, karena aku tak ingin membuat konsentrasi A Hakam terganggu.Aku juga sedang fokus menikmati suasana saat ini sambil merasakan embusan angin malam yang kuat menerpa tubuh. Tak lama laju kendaraan memelan, aku merasa mungkin sudah dekat dengan lokasi yang nantinya akan kami jadikan tempat tinggal
"Aa mau ke mana?" tanyaku pada A Hakam yang mengeluarkan motor menuju halaman rumah."Kita cari sarapan dulu," jawabnya. "Kunci dulu pintunya," pintanya kemudian.Aku pun mengangguk dan mengambil kunci dari dalam dan segera mengunci pintunya. Segera aku menyusul A Hakam yang sudah ada di luar gerbang, aku tutup pintu gerbang dan segera naik ke motor yang dikendarai A Hakam.Senyumku terus mengembang di setiap perjalanan, bahagia sekali bisa jalan-jalan pagi begini sama suami sambil nyari sarapan. Bahagiaku memang sesederhana ini, asal keluar rumah ya aku anggap jalan-jalan."Mau sarapan apa, Neng?" tanyanya setelah kami sudah agak jauh dari tempat tinggal."Apa aja, terserah Aa," jawabku apa adanya. Namun, A Hakam memberiku opsi menu sarapan. "Soto ceker apa ketropak?" tanyanya kemudian."Mmm, kayaknya neng pengen ketropak deh, A." Aku tersenyum saat A Hakam menjawab oke.Laju motor terus menyusuri jalanan komplek, melewati taman dan sungai besar yang airnya hitam. Aku tak mengerti k
Aku dan A Hakam memasuki pintu kaca berwarna hitam ini, dan terlihat ruangan resepsionis yang tidak terlalu luas. Di dalamnya hanya ada meja resepsionis dan satu kursi tunggu saja."Duduk dulu di sini, Neng. Aa mau ke atas dulu," pamit A Hakam.Aku pun mengangguk dan A Hakam berjalan ke belakang, aku lihat suamiku berbelok kiri dan hilang dibalik dinding. Aku kembali memperhatikan ruangan resepsionis ini, ada satu AC di atas palafon dan ada cermin besar yang ditempel di dinding memberi kesan luas pada ruangan.Aku pun berdiri dan melihat pantulan diriku di sana. "Lumayan lah, sudah kayak karyawan baru yang mau melamar kerja," gumamku seraya tersenyum, aku lihat di TV juga begitu kalau kita mau melamar kerja seragamnya pakai hitam putih.Tak lama suara langkah kaki terdengar menuruni anak tangga di belakang, segera aku kembali duduk dan ternyata A Hakam yang datang. "Belum ada yang datang ya A jam segini kantornya masih sepi?" tanyaku."Udah ada pak Farid di atas tuh," jawab suamiku."
Semua orang tertawa karena obrolan kami pagi ini, aku tidak menyangka jika semenyenangkan ini. Orang-orang di sini baik dan ramah, tapi aku tidak tahu orang-orang yang lain bagaimana.Aku juga belum melihat bos kantor ini, kira-kira seperti apa beliau, ya?"Oya, Nit. Ini nanti kamu kerjanya di sini, jadi resepsionis. Nyambut tamu, terima telefon dan menyambungkan telefon. Nanti saya ajarkan cara pakai telefonnya bagaimana, terus juga catat absen karyawan keluar ke mana, jam berapa dan kembali ke kantor jam berapa. Itu bertujuan supaya ketika ada pertanyaan, kamu bisa tahu. Karyawan memang wajib harus laporan ke kamu nanti," jelas Bu Nissa.Aku hanya mengangguk-angguk mengerti, tinggal menunggu diajarkan cara pakai telefon saja. Karena ya memang aku tidak paham cara menggunakannya, kalimat bagaimana yang harus aku gunakan saat aku menyambut tamu, menerima telefon dan sebagainya.Jujur, aku bener-bener nol dalam hal ini. Intinya aku anggap ini adalah belajar kerja, bukan bekerja."Yo we
Aku dan A Hakam memasuki pintu kaca berwarna hitam ini, dan terlihat ruangan resepsionis yang tidak terlalu luas. Di dalamnya hanya ada meja resepsionis dan satu kursi tunggu saja."Duduk dulu di sini, Neng. Aa mau ke atas dulu," pamit A Hakam.Aku pun mengangguk dan A Hakam berjalan ke belakang, aku lihat suamiku berbelok kiri dan hilang dibalik dinding. Aku kembali memperhatikan ruangan resepsionis ini, ada satu AC di atas palafon dan ada cermin besar yang ditempel di dinding memberi kesan luas pada ruangan.Aku pun berdiri dan melihat pantulan diriku di sana. "Lumayan lah, sudah kayak karyawan baru yang mau melamar kerja," gumamku seraya tersenyum, aku lihat di TV juga begitu kalau kita mau melamar kerja seragamnya pakai hitam putih.Tak lama suara langkah kaki terdengar menuruni anak tangga di belakang, segera aku kembali duduk dan ternyata A Hakam yang datang. "Belum ada yang datang ya A jam segini kantornya masih sepi?" tanyaku."Udah ada pak Farid di atas tuh," jawab suamiku."
"Aa mau ke mana?" tanyaku pada A Hakam yang mengeluarkan motor menuju halaman rumah."Kita cari sarapan dulu," jawabnya. "Kunci dulu pintunya," pintanya kemudian.Aku pun mengangguk dan mengambil kunci dari dalam dan segera mengunci pintunya. Segera aku menyusul A Hakam yang sudah ada di luar gerbang, aku tutup pintu gerbang dan segera naik ke motor yang dikendarai A Hakam.Senyumku terus mengembang di setiap perjalanan, bahagia sekali bisa jalan-jalan pagi begini sama suami sambil nyari sarapan. Bahagiaku memang sesederhana ini, asal keluar rumah ya aku anggap jalan-jalan."Mau sarapan apa, Neng?" tanyanya setelah kami sudah agak jauh dari tempat tinggal."Apa aja, terserah Aa," jawabku apa adanya. Namun, A Hakam memberiku opsi menu sarapan. "Soto ceker apa ketropak?" tanyanya kemudian."Mmm, kayaknya neng pengen ketropak deh, A." Aku tersenyum saat A Hakam menjawab oke.Laju motor terus menyusuri jalanan komplek, melewati taman dan sungai besar yang airnya hitam. Aku tak mengerti k
Jam menunjukan pukul 18:45 WIB, kami istirahat lebih dulu di tempat pemberhentian pada sebuah POM bensin. Kami turun dari kendaraan untuk mengisi bahan bakar, di saat malam begini aku tetap harus dekat dengan A Hakam karena kemampuan melihatku sudah tidak sebaik saat siang hari."Ayo, cepat naik, Neng," pinta A Hakam saat dia selesai mengisi bensin.Aku segera menurut naik dan kami melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan aku hanya memperhatikan suasana malam di kota besar ini, hanya terlihat gedung-gedung tinggi yang disinari lampu-lampu terang.Aku senang karena baru pertama kali merasakan suasana malam di luar rumah terlebih bersama A Hakam. Di sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara, karena aku tak ingin membuat konsentrasi A Hakam terganggu.Aku juga sedang fokus menikmati suasana saat ini sambil merasakan embusan angin malam yang kuat menerpa tubuh. Tak lama laju kendaraan memelan, aku merasa mungkin sudah dekat dengan lokasi yang nantinya akan kami jadikan tempat tinggal
"Ini gado-gadonya, Neng." A Hakam memberikan kantung keresek padaku lalu aku segera menerimanya."Ya udah aku ke belakang dulu, Emak sama Abah pasti ada di sana," kataku seraya melenggang pergi ke belakang rumah, sementara A Hakam masuk rumah."Emak!" panggilku dengan senyum sumeringah saat menghampiri Emak dan Abah yang sedang duduk-duduk di bale berdua."Bawa apa itu, Neng?" tanya Emak saat melihat kantung pelastik di tanganku."Sarapan buat Emak sama Abah," jawabku seraya meletakan bungkusan itu di bale."Wah, kebetulan Emak tidak masak nasi goreng. Nih, Bah, kita makan," ajak Emak pada Abah. "Ambilin sendoknya, Neng," pinta Emak kepadaku.Aku mengangguk segera aku masuk rumah dan mengambilkan sendok serta air putih di dalam gelas besar, setelah itu aku cepat-cepat kembali ke belakang untuk memberikan ini semua."Oya, Mak. Aku mau ke dalam dulu, mau beres-beres baju," pamitku kemudian."Jadi dibawa ke Jakartanya, Nit?" tanya Emak lantas setelahnya menyuapkan makanan ke mulut."Jadi
Hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba, A Hakam pulang! Bahagianya aku, karena pada akhirnya ketemu sama suami tercinta. Tentu saja setelah sebulan lamanya tak bertemu secara fisik, kini pada akhirnya bisa merasakan pelukan hangatnya langsung."Besok beresin apa aja yang mau dibawa, Neng," kata A Hakam padaku yang sedang bersandar di pelukannya."Iya, paling bawa baju aja sih, A. Terus baju kerja neng gimana? Neng enggak punya baju yang pantes buat nanti kerja, A," ungkapku pada laki-laki yang kuanggap segalanya bagiku ini."Katanya ada baju-baju Bu Nissa yang udah enggak kepake, kata dia kayaknya muat kalau buat kamu," jawab A Hakam.Aku pun terdiam, tak masalah kalau menerima baju bekas orang lain yang terpenting 'kan masih layak pakai. "Mm, Bu Nissa itu siapa, A?" tanyaku penasaran."Bu Nissa itu istrinya Pak Boy." A Hakam lantas membelai rambutku."Oh, jadi bu Nissa itu istrinya bos ya, A?" tanyaku seraya tersenyum padanya.A Hakam mengangguk. "Mmh!" gumamnya sebagai jawaban. "Ya su
Malam hari seperti biasa setelah Isya aku langsung berada di kamar, pukul 19:45 WIB A Hakam kirim pesan menggunakan salah satu aplikasi berkirim pesan berwarna hijau seperti biasa."Assalamu'alaikum istriku, lagi apa sekarang?" tanya A Hakam.Aku pun segera mengetik pesan balasan padanya. "Walaikumsalam, aku lagi tiduran aja, A. Aa lagi apa? Udah makan belum?" tanyaku kemudian, lantas segera aku kirim dan centang dua langsung berwarna biru.Kini tampak keterangan kontak A Hakam sedang mengetik dan tak lama pesan balasan masuk lagi. "Aa sudah makan tadi sama pak Boy di restoran pas ketemuan sama klien. Aa juga sekarang baru pulang, belum mandi."Aku pun tersenyum membaca pesan dari A Hakam, alhamdulillah dia di sana baik-baik aja, sehat dan sangat berkecukupan. "Oh, ya udah Aa mandi dulu aja, neng tungguin," balasku lagi."Nanti sajalah mandinya, aa capek, Neng. Mau langsung tidur aja," balas A Hakam."Oh, ya udah Aa tidur aja, neng juga mau tidur," balasku kemudian."Iya udah, mana do
Ini adalah sisa nafkah pertama kali yang diberikan A Hakam yang dia berikan padaku sebelum berangkat ke Jakarta. Dia memberiku uang sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk satu bulan.Saat ini aku sudah menikah tentu saja aku tak ingin terus membebani Emak dan Abah, jadi uang tiga ratus ribu itu aku berikan sebagian kepada Abah untuk beli beras dan bantu bayar listrik sisanya buat aku beli lauk dan memenuhi kebutuhan pribadiku, seperti untuk membeli pembalut saja.Karena sisa uang ini tak cukup buat beli skincare atau untuk perawatan diri lainnya. Oke, aku syukuri ini semua, aku mencoba bersikap dewasa dan harus bisa memahami kondisi A Hakam.Aku tak butuh skincare, pakaian atau kebutuhan lain yang bersifat sekunder. Aku lebih memfokuskan pada kebutuhan primer lebih dulu seperti makanan, makanya aku lebih dulu sisihkan ke Abah untuk bantu beli beras, setidaknya aku tidak terlalu membebani."Tinggal lima puluh ribu, kira-kira A Hakam tanggal berapa ya pulangnya?" gumamku gelisah, karena u
Singkat cerita hari pernikahanku dan A Hakam pun digelar, dengan pesta sederhana dan seada-adanya saja. Karena sejujurnya keluargaku memang orang tak berpunya. Aku juga anak broken home, kedua orang tuaku sudah bahagia dengan keluarga baru mereka dan aku ditinggal bersama Emak dan Abah.Namun, aku tidak pernah sedih. Aku cukup bahagia dengan adanya mereka saja, meski Emak terkadang terlalu cerewet, tapi aku tahu Emak sayang sama aku. Buktinya aku bisa tumbuh menjadi gadis seperti ini itu adalah berkat Emak dan Abah yang banting tulang pergi ke sawah untuk membesarkan aku juga menyekolahkan aku.Aku maunya sih lulus sekolah ingin bekerja membantu Emak dan Embah lebih dulu belum mau menikah sebenarnya, tapi lagi-lagi karena keterbatasanku membuat Emak dan Abah khawatir. Jujur aku juga takut jika nanti bekerja lalu pulang malam hari, gimana .... Mau cari pekerjaan yang bisa siang hari saja, tapi aku bingung cari info sama siapa.Aku tidak punya banyak relasi, aku juga tak punya pengalama