Di luar tampak Hakam memarkir motor bebeknya tepat di depan pintu gerbang rumah Marni, pria itu segera turun dari kendaraan dan membuka gerbang dengan cukup tergesa-gesa. "Dia pasti ada di sini, aku cari dia di rumah kontrakannya tidak ada," gerutunya di sepanjang jalan menuju pintu.
Sesampainya di depan pintu Hakam menggedornya beberapa kali, sehingga membuat Anita yang mau cerita masalahnya dengan Hakam di kantor tadi pun urung. "Siapa itu, Bi? Kenapa kasar sekali mengetuk pintunya?" tanya Anita."Bibi juga tidak tahu, Nit. Nanti coba bibi buka dulu," timpal Marni seraya bangun dari duduknya."Bi Marni, buka pintunya!" teriak Hakam dari luar."Iya, sebentar!" seru Marni seraya memutar kunci dan Hakam segera mendorong pintu hingga Marni terkejut saat Hakam menerobos masuk. "Hakam!""Anita!" teriak Hakam melewati Marni dan segera memburu Anita yang sedang duduk di kursi."A Hakam?" Anita yang terkejut segera berdiri.Hakam meraih tangan kanan Anita dan mencengkramnya membuat Anita seketika menjerit. "Siapa laki-laki di kantormu tadi? Pacar kamu? Berani kamu ya, Anita!" Anita menggeleng, dia mau menjelaskan, tapi Hakam tak memberi kesempatan. "Berani kamu bermain gila di saat kita belum resmi bercerai!"PLAK!"Hakam!" Marni menjerit saat melihat keponakannya ditampar begitu keras di hadapannya sendiri.Namun, Hakam seolah gelap mata karena cemburu buta, pria itu menjambak rambut Anita dan membanting wanita itu ke lantai hingga kening wanita itu membentur keramik. "Ya Allah, Aa ...! Astagfirullah ...." jerit Anita, ia tak kuasa lagi menahan sakit hati atas perlakuan Hakam padanya."Ya Allah, Anita!" Marni segera memeluk keponakannya dan berusaha menghentikan Hakam yang ingin kembali main tangan. "Hentikan, Hakam! Kamu tidak berhak menyakiti Anita lagi, selama ini dia sudah sabar menghadapi sikapmu, Hakam! Menerima kamu apa adanya meski kamu tidak pernah menghargainya!""Bi Marni, selama ini aku tidak pernah main tangan pada dia!" tunjuk Hakam pada Anita yang hanya menangis dan tertunduk sedih. "Tapi dia tidak tahu diri! Harusnya dia bersyukur ada laki-laki yang mau menikahi wanita tidak sempurna seperti dia! Tidak akan ada laki-laki lain yang sudi menerima dia apa adanya sepertiku!""Subhannallah, Hakam! Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, Hakam! Anita tak terlahir normal juga bukan kemauan dia, karena keadaan juga dia tidak pernah diobati. Harusnya kamu sebagai suami, kenapa tidak berupaya mengobati istrimu, beri dia makan-makanan bergizi. Bukannya malah kasih nafkah pas-pasan, terus banyak tingkah! Anita sudah ceritakan semuanya pada bibi, jadi bibi tahu selama 11 tahun ini Anita diperlakukan seperti apa olehmu.Kamu memang tidak menyakiti fisiknya, tapi hati dan pikirannyalah yang kamu rusak, Hakam! Semuanya Anita berpikir sendiri, uang yang kamu beri padanya tidak cukup, dan Anita harus berusaha sendiri demi menutupinya, apa kamu tahu semua itu, hah?! Kamu tahu, tapi kamu tidak pernah menghargai dia. Kamu seolah keenakan dibantu Anita terus!Terus, apa gunanya punya suami kalau apa-apa beli sendiri, apa-apa mikir sendiri? Apa gunanya?!"Hakam terdiam mendengar amarah Marni pada dirinya, dia tak bisa menjawab apa-apa selain hanya menunjuk Anita dengan tatapan mata tajam. "Akan aku pastikan jika ada laki-laki yang mendekati kamu, akan aku bunuh dia! Kamu juga, kalian berdua akan aku bunuh!"Mendengar hal itu Anita menangis histeris, tak menyangka kalau laki-laki yang hidup dengannya selama 11 tahun begitu tega mengancamnya. "Ya Allah, A! Ternyata kamu jahat, kamu sangat jahat, A!""Terserah!" Hakam mengibaskan tangan dan melangkah keluar rumah, menaiki kendaraannya lalu meninggalkan rumah Marni."Aku menyesal ... aku menyesal dulu mau menikah denganmu, A ... bahkan aku menyesal kenapa Allah mempertemukan aku denganmu ...." Air mata Anita tak dapat terbendung, bukan ini yang dia inginkan.Dia hanya ingin berpisah secara baik-baik, dia pikir Hakam sudah tidak bisa memenuhi kewajiban sebagai seorang suami kepada istri. Jujur saja Anita juga sudah kehilangan perasaan, perasaan sabar dan lain-lain, membuat rumah tangga mereka semakin tidak karu-karuan.Wanita itu pikir mungkin lebih baik berpisah, karena dilanjutkan pun hanya menambah dosa, bukannya menambah pahala dan berkah. Namun, apa yang terjadi? Hakam malah bersikap demikian."Istigfar, Nit ... ada Zahra sama Zihan di kamar, tenangkan dirimu, Nak. Biarkan Hakam mau berkata apa, dia hanya bisa omong kosong seperti biasanya." Marni terus memeluk dan mengelus pundak Anita agar wanita itu bisa tenang.Anita menghentikan tangisnya, bibinya benar kalau di dalam ada anak-anak. Bagaimana kalau mereka dengar? Dia tidak boleh menyesali takdir, karena Hakam, terlahir juga dua bidadari kecil yang tak pernah ia sesali kehadirannya."Lebih baik kamu mandi, terus makan, ya." Marni memegang kedua pundak Anita dan menuntun wanita itu ke belakang untuk mandi, tanpa kedua orang dewasa itu tahu kalau si Bungsu melihat semua adegan barusan.Pintu kamar pun ditutup oleh bocah 5 tahun itu, lalu ia berlari ke atas tempat tidur menyusul sang Kakak yang sudah lebih dulu terlelap. "Ayah jahat!"***Anita baru saja selesai membersihkan diri, wanita itu keluar dari kamar mandi sudah dengan baju ganti milik bibinya. Rambutnya yang ikal terlihat basah, lebam di wajah wanita itu kini bertambah akibat serangan susulan.Marni yang sedang menyiapkan makanan di atas meja pun melirik ke arah Anita. "Ayo duduk, makan dulu," pinta Marni.Anita menggeleng pelan. "Aku enggak lapar, Bi. Mau langsung tidur aja," jawabnya lesu.Marni mengerti apa yang dirasakan Anita, pastilah wanita itu sedang tidak nafsu makan akibat kejadian hari ini. "Tapi, Nit--""Aku ke kamar dulu, Bi. Mau nyusul anak-anak," sela Anita, membuat Marni pun tak dapat mencegah lagi, Anita memang butuh merenung.Marni mengangguk dan membiarkan Anita berlalu, wanita itu pun masuk kamar dan melihat kedua putrinya sudah tertidur. Anita menutup pintu dan menghampiri ranjang, duduk di tepian dan menatap wajah-wajah polos mereka.Sejujurnya bukan permusuhan yang ia ingin dengan Hakam, dia ingin berpisah tanpa harus putus silaturahmi. Ada Zahra dan Zihan di antara mereka, seharusnya hubungan kekeluargaan tetap terjalin baik. Namun, sangat disayangkan, Hakam tidak bisa diajak bicara."A Hakam, terima kasih banyak. Pada akhirnya kamu menunjukan sifat aslimu yang selama ini kamu tutupi dariku. Kini aku tahu bagaimana kamu, A. Kamu sabar itu karena aku selalu diam, diam dan diam. Buktinya saat ini, ketika aku bersikap tegas padamu, kamu mampu menyakiti aku, mencaci maki aku, menghina, merendahkan dan mengancamku.Ternyata selama ini aku salah menilaimu, ternyata selama ini kamu tidak pernah mencintaiku secara tulus. Kini aku sadar, kalau aku hanya dimanfaatkan olehmu, kamu memanfaatkan kekurangan dan kelemahanku. Pantaslah, selama ini apa yang aku lakukan untukmu tak pernah kamu anggap.Pantaslah, selama ini apa yang aku korbankan tak pernah kamu hargai. Ternyata semua itu kamu anggap wajar, ternyata kamu anggap aku pantas berkorban, mau menerima kekuranganmu, memahami keadaanmu, itu karena kamu anggap aku hanyalah wanita tak sempurna yang tidak pantas menuntut lebih darimu.Kamu anggap diamku, ikhlasku, baikku padamu. Karena kamu berpikir aku takut ditinggalkan? Dan takut kalau tidak ada laki-laki lain yang bisa menerimaku apa adanya? Ya Allah ... ternyata serendah itu aku di matamu, A ...."Anita menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan mencoba untuk meredam tangisnya agar tak terdengar anak-anak. Namun, tanpa ia duga ada sepasang tangan kecil yang melingkari lehernya dan memeluknya dari belakang. "Mama, jangan sedih ...."Anita terkejut saat ternyata putri bungsunya bangun. "Loh ... kok cantiknya mama bangun, Nak?" tanya Anita seraya tersenyum lembut.Mereka lalu saling pandang dengan tatapan sendu, Zihan mengulurkan tangan kanan dan menyentuh pipi Anita. "Mama ininya sudah sembuh?"Anita pun segera memeluk putri kecilnya seraya menahan air mata. "Sembuh, dong ... mama kan kuat."Namaku Anita Larasati, dan saat ini usiaku 30 tahun. Aku menikah dengan A Hakam di saat usiaku masih 19 tahun. Di saat itu aku baru saja lulus SMA dan A Hakam melamarku karena kata dia tak ingin lama-lama ingin segera menghalalkan aku.Aku dan A Hakam selisih usia 6 tahun, saat itu usia A Hakam sudah 25 tahun. Aku pikir punya suami yang lebih dewasa itu enak, aku bisa jadikan dia seperti Ayah, Kakak laki-laki, suami sekaligus teman curhat.Punya suami lebih dewasa pasti enak, aku bisa terus manja-manja sama dia layaknya anak kecil, ya aku kala itu membayangkan hal itu. Jadi, apakah lebih baik aku terima saja A Hakam? Tapi ... aku harus memberi tahu dia sesuatu sebelum dia mengambil keputusan menjadikan aku pendampingnya, seseorang yang ia genggam tangannya untuk berjalan bersama menuju Jannah.Aku sudah bilang kalau diriku ini ada kekurangan, aku ada penyakit Rabun Senja yakni di mana aku tidak akan bisa melihat secara baik jika situasi hari mulai menjelang gelap, maka aku pun tak bis
Singkat cerita hari pernikahanku dan A Hakam pun digelar, dengan pesta sederhana dan seada-adanya saja. Karena sejujurnya keluargaku memang orang tak berpunya. Aku juga anak broken home, kedua orang tuaku sudah bahagia dengan keluarga baru mereka dan aku ditinggal bersama Emak dan Abah.Namun, aku tidak pernah sedih. Aku cukup bahagia dengan adanya mereka saja, meski Emak terkadang terlalu cerewet, tapi aku tahu Emak sayang sama aku. Buktinya aku bisa tumbuh menjadi gadis seperti ini itu adalah berkat Emak dan Abah yang banting tulang pergi ke sawah untuk membesarkan aku juga menyekolahkan aku.Aku maunya sih lulus sekolah ingin bekerja membantu Emak dan Embah lebih dulu belum mau menikah sebenarnya, tapi lagi-lagi karena keterbatasanku membuat Emak dan Abah khawatir. Jujur aku juga takut jika nanti bekerja lalu pulang malam hari, gimana .... Mau cari pekerjaan yang bisa siang hari saja, tapi aku bingung cari info sama siapa.Aku tidak punya banyak relasi, aku juga tak punya pengalama
Ini adalah sisa nafkah pertama kali yang diberikan A Hakam yang dia berikan padaku sebelum berangkat ke Jakarta. Dia memberiku uang sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk satu bulan.Saat ini aku sudah menikah tentu saja aku tak ingin terus membebani Emak dan Abah, jadi uang tiga ratus ribu itu aku berikan sebagian kepada Abah untuk beli beras dan bantu bayar listrik sisanya buat aku beli lauk dan memenuhi kebutuhan pribadiku, seperti untuk membeli pembalut saja.Karena sisa uang ini tak cukup buat beli skincare atau untuk perawatan diri lainnya. Oke, aku syukuri ini semua, aku mencoba bersikap dewasa dan harus bisa memahami kondisi A Hakam.Aku tak butuh skincare, pakaian atau kebutuhan lain yang bersifat sekunder. Aku lebih memfokuskan pada kebutuhan primer lebih dulu seperti makanan, makanya aku lebih dulu sisihkan ke Abah untuk bantu beli beras, setidaknya aku tidak terlalu membebani."Tinggal lima puluh ribu, kira-kira A Hakam tanggal berapa ya pulangnya?" gumamku gelisah, karena u
Malam hari seperti biasa setelah Isya aku langsung berada di kamar, pukul 19:45 WIB A Hakam kirim pesan menggunakan salah satu aplikasi berkirim pesan berwarna hijau seperti biasa."Assalamu'alaikum istriku, lagi apa sekarang?" tanya A Hakam.Aku pun segera mengetik pesan balasan padanya. "Walaikumsalam, aku lagi tiduran aja, A. Aa lagi apa? Udah makan belum?" tanyaku kemudian, lantas segera aku kirim dan centang dua langsung berwarna biru.Kini tampak keterangan kontak A Hakam sedang mengetik dan tak lama pesan balasan masuk lagi. "Aa sudah makan tadi sama pak Boy di restoran pas ketemuan sama klien. Aa juga sekarang baru pulang, belum mandi."Aku pun tersenyum membaca pesan dari A Hakam, alhamdulillah dia di sana baik-baik aja, sehat dan sangat berkecukupan. "Oh, ya udah Aa mandi dulu aja, neng tungguin," balasku lagi."Nanti sajalah mandinya, aa capek, Neng. Mau langsung tidur aja," balas A Hakam."Oh, ya udah Aa tidur aja, neng juga mau tidur," balasku kemudian."Iya udah, mana do
Hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba, A Hakam pulang! Bahagianya aku, karena pada akhirnya ketemu sama suami tercinta. Tentu saja setelah sebulan lamanya tak bertemu secara fisik, kini pada akhirnya bisa merasakan pelukan hangatnya langsung."Besok beresin apa aja yang mau dibawa, Neng," kata A Hakam padaku yang sedang bersandar di pelukannya."Iya, paling bawa baju aja sih, A. Terus baju kerja neng gimana? Neng enggak punya baju yang pantes buat nanti kerja, A," ungkapku pada laki-laki yang kuanggap segalanya bagiku ini."Katanya ada baju-baju Bu Nissa yang udah enggak kepake, kata dia kayaknya muat kalau buat kamu," jawab A Hakam.Aku pun terdiam, tak masalah kalau menerima baju bekas orang lain yang terpenting 'kan masih layak pakai. "Mm, Bu Nissa itu siapa, A?" tanyaku penasaran."Bu Nissa itu istrinya Pak Boy." A Hakam lantas membelai rambutku."Oh, jadi bu Nissa itu istrinya bos ya, A?" tanyaku seraya tersenyum padanya.A Hakam mengangguk. "Mmh!" gumamnya sebagai jawaban. "Ya su
"Ini gado-gadonya, Neng." A Hakam memberikan kantung keresek padaku lalu aku segera menerimanya."Ya udah aku ke belakang dulu, Emak sama Abah pasti ada di sana," kataku seraya melenggang pergi ke belakang rumah, sementara A Hakam masuk rumah."Emak!" panggilku dengan senyum sumeringah saat menghampiri Emak dan Abah yang sedang duduk-duduk di bale berdua."Bawa apa itu, Neng?" tanya Emak saat melihat kantung pelastik di tanganku."Sarapan buat Emak sama Abah," jawabku seraya meletakan bungkusan itu di bale."Wah, kebetulan Emak tidak masak nasi goreng. Nih, Bah, kita makan," ajak Emak pada Abah. "Ambilin sendoknya, Neng," pinta Emak kepadaku.Aku mengangguk segera aku masuk rumah dan mengambilkan sendok serta air putih di dalam gelas besar, setelah itu aku cepat-cepat kembali ke belakang untuk memberikan ini semua."Oya, Mak. Aku mau ke dalam dulu, mau beres-beres baju," pamitku kemudian."Jadi dibawa ke Jakartanya, Nit?" tanya Emak lantas setelahnya menyuapkan makanan ke mulut."Jadi
Jam menunjukan pukul 18:45 WIB, kami istirahat lebih dulu di tempat pemberhentian pada sebuah POM bensin. Kami turun dari kendaraan untuk mengisi bahan bakar, di saat malam begini aku tetap harus dekat dengan A Hakam karena kemampuan melihatku sudah tidak sebaik saat siang hari."Ayo, cepat naik, Neng," pinta A Hakam saat dia selesai mengisi bensin.Aku segera menurut naik dan kami melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan aku hanya memperhatikan suasana malam di kota besar ini, hanya terlihat gedung-gedung tinggi yang disinari lampu-lampu terang.Aku senang karena baru pertama kali merasakan suasana malam di luar rumah terlebih bersama A Hakam. Di sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara, karena aku tak ingin membuat konsentrasi A Hakam terganggu.Aku juga sedang fokus menikmati suasana saat ini sambil merasakan embusan angin malam yang kuat menerpa tubuh. Tak lama laju kendaraan memelan, aku merasa mungkin sudah dekat dengan lokasi yang nantinya akan kami jadikan tempat tinggal
"Aa mau ke mana?" tanyaku pada A Hakam yang mengeluarkan motor menuju halaman rumah."Kita cari sarapan dulu," jawabnya. "Kunci dulu pintunya," pintanya kemudian.Aku pun mengangguk dan mengambil kunci dari dalam dan segera mengunci pintunya. Segera aku menyusul A Hakam yang sudah ada di luar gerbang, aku tutup pintu gerbang dan segera naik ke motor yang dikendarai A Hakam.Senyumku terus mengembang di setiap perjalanan, bahagia sekali bisa jalan-jalan pagi begini sama suami sambil nyari sarapan. Bahagiaku memang sesederhana ini, asal keluar rumah ya aku anggap jalan-jalan."Mau sarapan apa, Neng?" tanyanya setelah kami sudah agak jauh dari tempat tinggal."Apa aja, terserah Aa," jawabku apa adanya. Namun, A Hakam memberiku opsi menu sarapan. "Soto ceker apa ketropak?" tanyanya kemudian."Mmm, kayaknya neng pengen ketropak deh, A." Aku tersenyum saat A Hakam menjawab oke.Laju motor terus menyusuri jalanan komplek, melewati taman dan sungai besar yang airnya hitam. Aku tak mengerti k
Semua orang tertawa karena obrolan kami pagi ini, aku tidak menyangka jika semenyenangkan ini. Orang-orang di sini baik dan ramah, tapi aku tidak tahu orang-orang yang lain bagaimana.Aku juga belum melihat bos kantor ini, kira-kira seperti apa beliau, ya?"Oya, Nit. Ini nanti kamu kerjanya di sini, jadi resepsionis. Nyambut tamu, terima telefon dan menyambungkan telefon. Nanti saya ajarkan cara pakai telefonnya bagaimana, terus juga catat absen karyawan keluar ke mana, jam berapa dan kembali ke kantor jam berapa. Itu bertujuan supaya ketika ada pertanyaan, kamu bisa tahu. Karyawan memang wajib harus laporan ke kamu nanti," jelas Bu Nissa.Aku hanya mengangguk-angguk mengerti, tinggal menunggu diajarkan cara pakai telefon saja. Karena ya memang aku tidak paham cara menggunakannya, kalimat bagaimana yang harus aku gunakan saat aku menyambut tamu, menerima telefon dan sebagainya.Jujur, aku bener-bener nol dalam hal ini. Intinya aku anggap ini adalah belajar kerja, bukan bekerja."Yo we
Aku dan A Hakam memasuki pintu kaca berwarna hitam ini, dan terlihat ruangan resepsionis yang tidak terlalu luas. Di dalamnya hanya ada meja resepsionis dan satu kursi tunggu saja."Duduk dulu di sini, Neng. Aa mau ke atas dulu," pamit A Hakam.Aku pun mengangguk dan A Hakam berjalan ke belakang, aku lihat suamiku berbelok kiri dan hilang dibalik dinding. Aku kembali memperhatikan ruangan resepsionis ini, ada satu AC di atas palafon dan ada cermin besar yang ditempel di dinding memberi kesan luas pada ruangan.Aku pun berdiri dan melihat pantulan diriku di sana. "Lumayan lah, sudah kayak karyawan baru yang mau melamar kerja," gumamku seraya tersenyum, aku lihat di TV juga begitu kalau kita mau melamar kerja seragamnya pakai hitam putih.Tak lama suara langkah kaki terdengar menuruni anak tangga di belakang, segera aku kembali duduk dan ternyata A Hakam yang datang. "Belum ada yang datang ya A jam segini kantornya masih sepi?" tanyaku."Udah ada pak Farid di atas tuh," jawab suamiku."
"Aa mau ke mana?" tanyaku pada A Hakam yang mengeluarkan motor menuju halaman rumah."Kita cari sarapan dulu," jawabnya. "Kunci dulu pintunya," pintanya kemudian.Aku pun mengangguk dan mengambil kunci dari dalam dan segera mengunci pintunya. Segera aku menyusul A Hakam yang sudah ada di luar gerbang, aku tutup pintu gerbang dan segera naik ke motor yang dikendarai A Hakam.Senyumku terus mengembang di setiap perjalanan, bahagia sekali bisa jalan-jalan pagi begini sama suami sambil nyari sarapan. Bahagiaku memang sesederhana ini, asal keluar rumah ya aku anggap jalan-jalan."Mau sarapan apa, Neng?" tanyanya setelah kami sudah agak jauh dari tempat tinggal."Apa aja, terserah Aa," jawabku apa adanya. Namun, A Hakam memberiku opsi menu sarapan. "Soto ceker apa ketropak?" tanyanya kemudian."Mmm, kayaknya neng pengen ketropak deh, A." Aku tersenyum saat A Hakam menjawab oke.Laju motor terus menyusuri jalanan komplek, melewati taman dan sungai besar yang airnya hitam. Aku tak mengerti k
Jam menunjukan pukul 18:45 WIB, kami istirahat lebih dulu di tempat pemberhentian pada sebuah POM bensin. Kami turun dari kendaraan untuk mengisi bahan bakar, di saat malam begini aku tetap harus dekat dengan A Hakam karena kemampuan melihatku sudah tidak sebaik saat siang hari."Ayo, cepat naik, Neng," pinta A Hakam saat dia selesai mengisi bensin.Aku segera menurut naik dan kami melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan aku hanya memperhatikan suasana malam di kota besar ini, hanya terlihat gedung-gedung tinggi yang disinari lampu-lampu terang.Aku senang karena baru pertama kali merasakan suasana malam di luar rumah terlebih bersama A Hakam. Di sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara, karena aku tak ingin membuat konsentrasi A Hakam terganggu.Aku juga sedang fokus menikmati suasana saat ini sambil merasakan embusan angin malam yang kuat menerpa tubuh. Tak lama laju kendaraan memelan, aku merasa mungkin sudah dekat dengan lokasi yang nantinya akan kami jadikan tempat tinggal
"Ini gado-gadonya, Neng." A Hakam memberikan kantung keresek padaku lalu aku segera menerimanya."Ya udah aku ke belakang dulu, Emak sama Abah pasti ada di sana," kataku seraya melenggang pergi ke belakang rumah, sementara A Hakam masuk rumah."Emak!" panggilku dengan senyum sumeringah saat menghampiri Emak dan Abah yang sedang duduk-duduk di bale berdua."Bawa apa itu, Neng?" tanya Emak saat melihat kantung pelastik di tanganku."Sarapan buat Emak sama Abah," jawabku seraya meletakan bungkusan itu di bale."Wah, kebetulan Emak tidak masak nasi goreng. Nih, Bah, kita makan," ajak Emak pada Abah. "Ambilin sendoknya, Neng," pinta Emak kepadaku.Aku mengangguk segera aku masuk rumah dan mengambilkan sendok serta air putih di dalam gelas besar, setelah itu aku cepat-cepat kembali ke belakang untuk memberikan ini semua."Oya, Mak. Aku mau ke dalam dulu, mau beres-beres baju," pamitku kemudian."Jadi dibawa ke Jakartanya, Nit?" tanya Emak lantas setelahnya menyuapkan makanan ke mulut."Jadi
Hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba, A Hakam pulang! Bahagianya aku, karena pada akhirnya ketemu sama suami tercinta. Tentu saja setelah sebulan lamanya tak bertemu secara fisik, kini pada akhirnya bisa merasakan pelukan hangatnya langsung."Besok beresin apa aja yang mau dibawa, Neng," kata A Hakam padaku yang sedang bersandar di pelukannya."Iya, paling bawa baju aja sih, A. Terus baju kerja neng gimana? Neng enggak punya baju yang pantes buat nanti kerja, A," ungkapku pada laki-laki yang kuanggap segalanya bagiku ini."Katanya ada baju-baju Bu Nissa yang udah enggak kepake, kata dia kayaknya muat kalau buat kamu," jawab A Hakam.Aku pun terdiam, tak masalah kalau menerima baju bekas orang lain yang terpenting 'kan masih layak pakai. "Mm, Bu Nissa itu siapa, A?" tanyaku penasaran."Bu Nissa itu istrinya Pak Boy." A Hakam lantas membelai rambutku."Oh, jadi bu Nissa itu istrinya bos ya, A?" tanyaku seraya tersenyum padanya.A Hakam mengangguk. "Mmh!" gumamnya sebagai jawaban. "Ya su
Malam hari seperti biasa setelah Isya aku langsung berada di kamar, pukul 19:45 WIB A Hakam kirim pesan menggunakan salah satu aplikasi berkirim pesan berwarna hijau seperti biasa."Assalamu'alaikum istriku, lagi apa sekarang?" tanya A Hakam.Aku pun segera mengetik pesan balasan padanya. "Walaikumsalam, aku lagi tiduran aja, A. Aa lagi apa? Udah makan belum?" tanyaku kemudian, lantas segera aku kirim dan centang dua langsung berwarna biru.Kini tampak keterangan kontak A Hakam sedang mengetik dan tak lama pesan balasan masuk lagi. "Aa sudah makan tadi sama pak Boy di restoran pas ketemuan sama klien. Aa juga sekarang baru pulang, belum mandi."Aku pun tersenyum membaca pesan dari A Hakam, alhamdulillah dia di sana baik-baik aja, sehat dan sangat berkecukupan. "Oh, ya udah Aa mandi dulu aja, neng tungguin," balasku lagi."Nanti sajalah mandinya, aa capek, Neng. Mau langsung tidur aja," balas A Hakam."Oh, ya udah Aa tidur aja, neng juga mau tidur," balasku kemudian."Iya udah, mana do
Ini adalah sisa nafkah pertama kali yang diberikan A Hakam yang dia berikan padaku sebelum berangkat ke Jakarta. Dia memberiku uang sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk satu bulan.Saat ini aku sudah menikah tentu saja aku tak ingin terus membebani Emak dan Abah, jadi uang tiga ratus ribu itu aku berikan sebagian kepada Abah untuk beli beras dan bantu bayar listrik sisanya buat aku beli lauk dan memenuhi kebutuhan pribadiku, seperti untuk membeli pembalut saja.Karena sisa uang ini tak cukup buat beli skincare atau untuk perawatan diri lainnya. Oke, aku syukuri ini semua, aku mencoba bersikap dewasa dan harus bisa memahami kondisi A Hakam.Aku tak butuh skincare, pakaian atau kebutuhan lain yang bersifat sekunder. Aku lebih memfokuskan pada kebutuhan primer lebih dulu seperti makanan, makanya aku lebih dulu sisihkan ke Abah untuk bantu beli beras, setidaknya aku tidak terlalu membebani."Tinggal lima puluh ribu, kira-kira A Hakam tanggal berapa ya pulangnya?" gumamku gelisah, karena u
Singkat cerita hari pernikahanku dan A Hakam pun digelar, dengan pesta sederhana dan seada-adanya saja. Karena sejujurnya keluargaku memang orang tak berpunya. Aku juga anak broken home, kedua orang tuaku sudah bahagia dengan keluarga baru mereka dan aku ditinggal bersama Emak dan Abah.Namun, aku tidak pernah sedih. Aku cukup bahagia dengan adanya mereka saja, meski Emak terkadang terlalu cerewet, tapi aku tahu Emak sayang sama aku. Buktinya aku bisa tumbuh menjadi gadis seperti ini itu adalah berkat Emak dan Abah yang banting tulang pergi ke sawah untuk membesarkan aku juga menyekolahkan aku.Aku maunya sih lulus sekolah ingin bekerja membantu Emak dan Embah lebih dulu belum mau menikah sebenarnya, tapi lagi-lagi karena keterbatasanku membuat Emak dan Abah khawatir. Jujur aku juga takut jika nanti bekerja lalu pulang malam hari, gimana .... Mau cari pekerjaan yang bisa siang hari saja, tapi aku bingung cari info sama siapa.Aku tidak punya banyak relasi, aku juga tak punya pengalama