Sementara Anita di dalam angkot benar-benar bingung dan gugup, ini kali pertama ia berada jauh di luar rumah di saat hari sudah gelap begini. Dia sudah tak kenal jalanan, meski sejak tadi ia terus menatap ke arah luar dia tidak tahu ini sudah sampai mana.
Saat itu ia melihat mini market, sehingga ia bisa membaca tulisan besar yang terlihat terang. Seketika ia menghela napas lega ternyata pemberhentiannya belum terlewat. Iya, dia ingat kalau pemberhentiannya masih di depan, jadi lebih baik mungkin ia bilang sekarang sama supir. "Bang, Gang Ampera berhenti, ya!" pintanya, meski ia tahu masih agak jauh, tapi lebih baik ia bilang sekarang supaya tak terlewat jika ia tak bisa melihat tempat pemberhentiannya sendiri."Oke, Mbak. Masih ada di depan, Mbak," sahut si Supir."Iya, Pak. Enggak apa-apa," jawab Anita.Saat ini Anita hanya harap-harap cemas, di dalam angkot pun ia sudah tak bisa melihat jelas wajah-wajah penumpang lain. Wanita itu tak peduli, ia hanya terus fokus ke luar dan berdoa semoga ia bisa selamat sampai rumah saudaranya nanti."Bang Bang, kiri!" Seorang penumpang berseru dan mobil pun berhenti. Dua orang turun, menyisakan Anita dengan tiga penumpang lain.Angkot kembali melaju, tak lama penumpang lain berseru. Angkot kembali berhenti dan menurunkan seorang penumpang, setelah itu kembali melaju.Anita terlihat gelisah, ia terus memperhatikan ke luar dan rasanya tak mengenali jalanan yang di lalui ini. "Bang, jangan lupa Gang Ampera, ya!""Santai, Mbak. Saya masih ingat, kok," sahut Supir, sementara Anita mengangguk saja.Tak lama angkot perlahan berhenti tepat pada suatu gang, terlihat papan nama gang yang di atasnya terdapat lampu jalan berwarna kuning 'Gang Ampera'. "Nah, Mbak. Ini udah sampai," kata si Supir.Anita menatap ke luar mencoba mengenali lokasi, dan benar ini tempat pemberhentiannya. Anita segera turun dan memberikan ongkos seperti biasa. "Makasih ya, Bang," katanya ramah dan penuh rasa syukur karena ia pada akhirnya lebih dekat dengan rumah."Sama-sama, Mbak," jawab Supir lantas kembali menjalankan kendaraannya meninggalkan Anita.Anita melangkah dengan hati-hati memasuki gang, bersyukur di beberapa titik terdapat lampu-lampu jalan berwarna kuning sehingga ia masih bisa berjalan dengan baik. Anita cukup hafal dengan jalan ini, karena setiap hari ia melaluinya dengan jalan kaki sebelum ia ke jalan besar untuk mencari angkutan umum.Hati Anita was-was kala ia akan melewati salah satu rumah yang lampunya belum dinyalakan, begitu juga lampu jalannya sepertinya mati. Segera ia mengambil ponsel dan menyalakan senter, sayang jarak cahaya senter pendek saja, tapi lumayan membantu setidaknya ia takan tersandung atau terperosok jika ada apa-apa di jalan."Ya Allah, lindungi hamba sampai di rumah bibi," gumam Anita.Dia terus berjalan melewati gelap, meski kakinya sempat nyasar-nyasar terlalu sisi dan sempat hampir jatuh ke selokan yang ada di sisi jalan gang. Jujur saja jantungnya berdebar. "Ya Allah, aku harus berhati-hati," gumamnya lagi, seraya memegangi dadanya yang berdebar, Anita hampir saja menangis karena sungguh ia kepayahan dalam keadaan seperti ini."Syukurlah, itu pertigaannya, sebentar lagi sampai di rumah bibi," ucapnya lagi bermonolog.Saat ia melihat cahaya lampu jalan di depan, langkahnya ia percepat seolah tengah mengejar sesuatu. Ya, Anita sedang mengejar cahaya, seperti itulah istilahnya."Alhamdulillah," ungkapnya lagi penuh rasa syukur kala ia sampai di pertigaan dan berbelok kiri.Gelap, lagi-lagi ia menemukan jalan gelap yang membuat hati Anita kesal. Mungkin bagi orang lain ini hal sepele, tapi bagi Anita ini seperti perjuangan tersendiri. Beruntung, terdengar suara motor dari belakang.Tentu saja cahaya lampu sen motor itu bisa menerangi jalan, Anita tanpa pikir lama segera berjalan cepat menuju rumah saudaranya dengan lampu motor orang lain yang mengiringinya.Sampai, Anita kini sampai di depan pagar rumah sang Bibi di saat motor melewatinya. Anita menghela napas lega, dan segea membuka pintu gerbang rumah saudaranya.Rumah bibinya juga tak terang benderang seperti rumah kontrakannya yang sengaja ia pasang lampu neon di depan rumah dan si setiap ruangan. Sehingga Anita kembali mengarahkan senternya ke jalan yang akan ia lalui menuju pintu.Anita mengetuk pintu rumah itu sebanyak tiga kali, membuat orang yang di dalam segera menoleh. "Nah, itu mungkin mama kalian, biar nanti nenek bukakan dulu." Seorang wanita paruh baya berdiri dari kursi meninggalkan dua anak perempuan itu dan berjalan ke arah pintu.Pintu terdengar diketuk lagi. "Ya, sebentar!" jawab wanita paruh baya yang bisa disebut saja Marni, dia adalah adik dari mendiang ibunya Anita. "Nit, tumben kamu gelap begini baru sampai? Kamu tidak apa-apa?" tanya Marni seraya memegang kedua belah pundak Anita yang terlihat lunglai."Aku enggak kenapa-kenapa, Bi. Ceritanya panjang kenapa aku bisa baru pulang jam segini," jawab Anita lesu."Ya udah ayo masuk, Zahra sama Zihan nungguin kamu terus, apalagi Zihan dia sejak tadi nangis terus karena kamu enggak pulang-pulang," adu Marni.Anita segera masuk ruang tamu langsung disambut oleh kedua putrinya. "Mama!" seru keduanya lantas berlari menghambur kepada Anita."Mama kenapa baru pulang?" tanya Zahra si Kakak.Anita mengelus rambut lurus si Sulung. "Mama ada sedikit masalah tadi di jalan, jadinya pulang telat," jawab Anita seraya tersenyum."Mama, neng kangen," ungkap Zihan sang Adik, kali ini Anita menatap si kecil dengan rasa haru.Wanita itu lalu berjongkok di hadapan si Bungsu agar wajah mereka sejajar. "Mama juga kangen Neng, kangen Teteh juga. Zihan enggak nakal 'kan sama Nenek Marni?" tanya Anita seraya mengelus kepala Zihan yang memiliki rambut ikal seperti miliknya."Neng baik kok, Ma. Ya, 'kan, Nek?" Zihan lantas menatap pada sang Nenek."Iya, Neng Zihan sama Teteh Zahra juga baik, kok. Mereka nurut-nurut kok, Nit," jawab Marni.Anita tersenyum penuh syukur, tapi Zihan melihat ada luka memar di wajah ibunya. Anak kecil itu merasa heran, jari kecilnya pun menyentuh sudut bibir Anita dengan pelan. "Ininya Mama kenapa?" tanyanya polos.Anita sedikit bingung untuk menjawab pertanyaan si Kecil, tidak mungkin ia menjawab yang sejujurnya pada si Kecil. "Oh, ini? Tadi mama nabrak tihang listrik di depan," jawabnya asal. Hal itu juga mengundang perhatian Marni dan si anak Sulung untuk ikut serta memperhatikan wajah Anita. "Iya, bibir Mama kenapa? Kok, merah? Beneran karena nabrak tihang listrik?" sambung Zahra tentu anak usia 9 tahun itu sedikit tak percaya dengan ucapan sang Mama."Iya, Nit. Kenapa dengan wajahmu, kenapa ada luka memar begitu?" Marni menjadi cemas lantas melihat ke arah lutut Anita. "Ya Allah, Nit. Kaki kamu juga kenapa itu? Kenapa lecet-lecet begitu, Nak." Marni semakin histeris, membuat Anita takut kalau kedua putrinya menjadi ikut sedih dan panik."Bi, malam ini aku dan anak-anak nginep dulu di sini ya. Sudah gelap, aku takut nabrak-nabrak. Tadi saja penuh perjuangan untuk sampai ke sini," kata Anita mengalihkan pembicaraan.Marni yang paham pun segera memegang kedua pundak anak kecil itu. "Iya, sudah. Kalau begitu Zahra ajak Zihan bobo di kamar, ya. Mama mau mandi terus makan dulu, nanti nyusul kalian ke kamar," titah Marni pada Zahra."Iya udah. Yuk, Zihan ke kamar sama teteh," ajak sang Kakak seraya memegang kedua pundak sang Adik.Zihan pun menurut, kedua anak kecil itu lantas masuk ke kamar dan menutup pintu. Marni lalu melihat Anita yang berangsur berdiri, lantas ia memegang kedua bahu sang Keponakan untuk mengajaknya duduk. "Ceritakan pada bibi, apa yang terjadi."Di luar tampak Hakam memarkir motor bebeknya tepat di depan pintu gerbang rumah Marni, pria itu segera turun dari kendaraan dan membuka gerbang dengan cukup tergesa-gesa. "Dia pasti ada di sini, aku cari dia di rumah kontrakannya tidak ada," gerutunya di sepanjang jalan menuju pintu.Sesampainya di depan pintu Hakam menggedornya beberapa kali, sehingga membuat Anita yang mau cerita masalahnya dengan Hakam di kantor tadi pun urung. "Siapa itu, Bi? Kenapa kasar sekali mengetuk pintunya?" tanya Anita."Bibi juga tidak tahu, Nit. Nanti coba bibi buka dulu," timpal Marni seraya bangun dari duduknya."Bi Marni, buka pintunya!" teriak Hakam dari luar."Iya, sebentar!" seru Marni seraya memutar kunci dan Hakam segera mendorong pintu hingga Marni terkejut saat Hakam menerobos masuk. "Hakam!""Anita!" teriak Hakam melewati Marni dan segera memburu Anita yang sedang duduk di kursi."A Hakam?" Anita yang terkejut segera berdiri.Hakam meraih tangan kanan Anita dan mencengkramnya membuat Anita sek
Namaku Anita Larasati, dan saat ini usiaku 30 tahun. Aku menikah dengan A Hakam di saat usiaku masih 19 tahun. Di saat itu aku baru saja lulus SMA dan A Hakam melamarku karena kata dia tak ingin lama-lama ingin segera menghalalkan aku.Aku dan A Hakam selisih usia 6 tahun, saat itu usia A Hakam sudah 25 tahun. Aku pikir punya suami yang lebih dewasa itu enak, aku bisa jadikan dia seperti Ayah, Kakak laki-laki, suami sekaligus teman curhat.Punya suami lebih dewasa pasti enak, aku bisa terus manja-manja sama dia layaknya anak kecil, ya aku kala itu membayangkan hal itu. Jadi, apakah lebih baik aku terima saja A Hakam? Tapi ... aku harus memberi tahu dia sesuatu sebelum dia mengambil keputusan menjadikan aku pendampingnya, seseorang yang ia genggam tangannya untuk berjalan bersama menuju Jannah.Aku sudah bilang kalau diriku ini ada kekurangan, aku ada penyakit Rabun Senja yakni di mana aku tidak akan bisa melihat secara baik jika situasi hari mulai menjelang gelap, maka aku pun tak bis
Singkat cerita hari pernikahanku dan A Hakam pun digelar, dengan pesta sederhana dan seada-adanya saja. Karena sejujurnya keluargaku memang orang tak berpunya. Aku juga anak broken home, kedua orang tuaku sudah bahagia dengan keluarga baru mereka dan aku ditinggal bersama Emak dan Abah.Namun, aku tidak pernah sedih. Aku cukup bahagia dengan adanya mereka saja, meski Emak terkadang terlalu cerewet, tapi aku tahu Emak sayang sama aku. Buktinya aku bisa tumbuh menjadi gadis seperti ini itu adalah berkat Emak dan Abah yang banting tulang pergi ke sawah untuk membesarkan aku juga menyekolahkan aku.Aku maunya sih lulus sekolah ingin bekerja membantu Emak dan Embah lebih dulu belum mau menikah sebenarnya, tapi lagi-lagi karena keterbatasanku membuat Emak dan Abah khawatir. Jujur aku juga takut jika nanti bekerja lalu pulang malam hari, gimana .... Mau cari pekerjaan yang bisa siang hari saja, tapi aku bingung cari info sama siapa.Aku tidak punya banyak relasi, aku juga tak punya pengalama
Ini adalah sisa nafkah pertama kali yang diberikan A Hakam yang dia berikan padaku sebelum berangkat ke Jakarta. Dia memberiku uang sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk satu bulan.Saat ini aku sudah menikah tentu saja aku tak ingin terus membebani Emak dan Abah, jadi uang tiga ratus ribu itu aku berikan sebagian kepada Abah untuk beli beras dan bantu bayar listrik sisanya buat aku beli lauk dan memenuhi kebutuhan pribadiku, seperti untuk membeli pembalut saja.Karena sisa uang ini tak cukup buat beli skincare atau untuk perawatan diri lainnya. Oke, aku syukuri ini semua, aku mencoba bersikap dewasa dan harus bisa memahami kondisi A Hakam.Aku tak butuh skincare, pakaian atau kebutuhan lain yang bersifat sekunder. Aku lebih memfokuskan pada kebutuhan primer lebih dulu seperti makanan, makanya aku lebih dulu sisihkan ke Abah untuk bantu beli beras, setidaknya aku tidak terlalu membebani."Tinggal lima puluh ribu, kira-kira A Hakam tanggal berapa ya pulangnya?" gumamku gelisah, karena u
Malam hari seperti biasa setelah Isya aku langsung berada di kamar, pukul 19:45 WIB A Hakam kirim pesan menggunakan salah satu aplikasi berkirim pesan berwarna hijau seperti biasa."Assalamu'alaikum istriku, lagi apa sekarang?" tanya A Hakam.Aku pun segera mengetik pesan balasan padanya. "Walaikumsalam, aku lagi tiduran aja, A. Aa lagi apa? Udah makan belum?" tanyaku kemudian, lantas segera aku kirim dan centang dua langsung berwarna biru.Kini tampak keterangan kontak A Hakam sedang mengetik dan tak lama pesan balasan masuk lagi. "Aa sudah makan tadi sama pak Boy di restoran pas ketemuan sama klien. Aa juga sekarang baru pulang, belum mandi."Aku pun tersenyum membaca pesan dari A Hakam, alhamdulillah dia di sana baik-baik aja, sehat dan sangat berkecukupan. "Oh, ya udah Aa mandi dulu aja, neng tungguin," balasku lagi."Nanti sajalah mandinya, aa capek, Neng. Mau langsung tidur aja," balas A Hakam."Oh, ya udah Aa tidur aja, neng juga mau tidur," balasku kemudian."Iya udah, mana do
Hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba, A Hakam pulang! Bahagianya aku, karena pada akhirnya ketemu sama suami tercinta. Tentu saja setelah sebulan lamanya tak bertemu secara fisik, kini pada akhirnya bisa merasakan pelukan hangatnya langsung."Besok beresin apa aja yang mau dibawa, Neng," kata A Hakam padaku yang sedang bersandar di pelukannya."Iya, paling bawa baju aja sih, A. Terus baju kerja neng gimana? Neng enggak punya baju yang pantes buat nanti kerja, A," ungkapku pada laki-laki yang kuanggap segalanya bagiku ini."Katanya ada baju-baju Bu Nissa yang udah enggak kepake, kata dia kayaknya muat kalau buat kamu," jawab A Hakam.Aku pun terdiam, tak masalah kalau menerima baju bekas orang lain yang terpenting 'kan masih layak pakai. "Mm, Bu Nissa itu siapa, A?" tanyaku penasaran."Bu Nissa itu istrinya Pak Boy." A Hakam lantas membelai rambutku."Oh, jadi bu Nissa itu istrinya bos ya, A?" tanyaku seraya tersenyum padanya.A Hakam mengangguk. "Mmh!" gumamnya sebagai jawaban. "Ya su
"Ini gado-gadonya, Neng." A Hakam memberikan kantung keresek padaku lalu aku segera menerimanya."Ya udah aku ke belakang dulu, Emak sama Abah pasti ada di sana," kataku seraya melenggang pergi ke belakang rumah, sementara A Hakam masuk rumah."Emak!" panggilku dengan senyum sumeringah saat menghampiri Emak dan Abah yang sedang duduk-duduk di bale berdua."Bawa apa itu, Neng?" tanya Emak saat melihat kantung pelastik di tanganku."Sarapan buat Emak sama Abah," jawabku seraya meletakan bungkusan itu di bale."Wah, kebetulan Emak tidak masak nasi goreng. Nih, Bah, kita makan," ajak Emak pada Abah. "Ambilin sendoknya, Neng," pinta Emak kepadaku.Aku mengangguk segera aku masuk rumah dan mengambilkan sendok serta air putih di dalam gelas besar, setelah itu aku cepat-cepat kembali ke belakang untuk memberikan ini semua."Oya, Mak. Aku mau ke dalam dulu, mau beres-beres baju," pamitku kemudian."Jadi dibawa ke Jakartanya, Nit?" tanya Emak lantas setelahnya menyuapkan makanan ke mulut."Jadi
Jam menunjukan pukul 18:45 WIB, kami istirahat lebih dulu di tempat pemberhentian pada sebuah POM bensin. Kami turun dari kendaraan untuk mengisi bahan bakar, di saat malam begini aku tetap harus dekat dengan A Hakam karena kemampuan melihatku sudah tidak sebaik saat siang hari."Ayo, cepat naik, Neng," pinta A Hakam saat dia selesai mengisi bensin.Aku segera menurut naik dan kami melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan aku hanya memperhatikan suasana malam di kota besar ini, hanya terlihat gedung-gedung tinggi yang disinari lampu-lampu terang.Aku senang karena baru pertama kali merasakan suasana malam di luar rumah terlebih bersama A Hakam. Di sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara, karena aku tak ingin membuat konsentrasi A Hakam terganggu.Aku juga sedang fokus menikmati suasana saat ini sambil merasakan embusan angin malam yang kuat menerpa tubuh. Tak lama laju kendaraan memelan, aku merasa mungkin sudah dekat dengan lokasi yang nantinya akan kami jadikan tempat tinggal
Semua orang tertawa karena obrolan kami pagi ini, aku tidak menyangka jika semenyenangkan ini. Orang-orang di sini baik dan ramah, tapi aku tidak tahu orang-orang yang lain bagaimana.Aku juga belum melihat bos kantor ini, kira-kira seperti apa beliau, ya?"Oya, Nit. Ini nanti kamu kerjanya di sini, jadi resepsionis. Nyambut tamu, terima telefon dan menyambungkan telefon. Nanti saya ajarkan cara pakai telefonnya bagaimana, terus juga catat absen karyawan keluar ke mana, jam berapa dan kembali ke kantor jam berapa. Itu bertujuan supaya ketika ada pertanyaan, kamu bisa tahu. Karyawan memang wajib harus laporan ke kamu nanti," jelas Bu Nissa.Aku hanya mengangguk-angguk mengerti, tinggal menunggu diajarkan cara pakai telefon saja. Karena ya memang aku tidak paham cara menggunakannya, kalimat bagaimana yang harus aku gunakan saat aku menyambut tamu, menerima telefon dan sebagainya.Jujur, aku bener-bener nol dalam hal ini. Intinya aku anggap ini adalah belajar kerja, bukan bekerja."Yo we
Aku dan A Hakam memasuki pintu kaca berwarna hitam ini, dan terlihat ruangan resepsionis yang tidak terlalu luas. Di dalamnya hanya ada meja resepsionis dan satu kursi tunggu saja."Duduk dulu di sini, Neng. Aa mau ke atas dulu," pamit A Hakam.Aku pun mengangguk dan A Hakam berjalan ke belakang, aku lihat suamiku berbelok kiri dan hilang dibalik dinding. Aku kembali memperhatikan ruangan resepsionis ini, ada satu AC di atas palafon dan ada cermin besar yang ditempel di dinding memberi kesan luas pada ruangan.Aku pun berdiri dan melihat pantulan diriku di sana. "Lumayan lah, sudah kayak karyawan baru yang mau melamar kerja," gumamku seraya tersenyum, aku lihat di TV juga begitu kalau kita mau melamar kerja seragamnya pakai hitam putih.Tak lama suara langkah kaki terdengar menuruni anak tangga di belakang, segera aku kembali duduk dan ternyata A Hakam yang datang. "Belum ada yang datang ya A jam segini kantornya masih sepi?" tanyaku."Udah ada pak Farid di atas tuh," jawab suamiku."
"Aa mau ke mana?" tanyaku pada A Hakam yang mengeluarkan motor menuju halaman rumah."Kita cari sarapan dulu," jawabnya. "Kunci dulu pintunya," pintanya kemudian.Aku pun mengangguk dan mengambil kunci dari dalam dan segera mengunci pintunya. Segera aku menyusul A Hakam yang sudah ada di luar gerbang, aku tutup pintu gerbang dan segera naik ke motor yang dikendarai A Hakam.Senyumku terus mengembang di setiap perjalanan, bahagia sekali bisa jalan-jalan pagi begini sama suami sambil nyari sarapan. Bahagiaku memang sesederhana ini, asal keluar rumah ya aku anggap jalan-jalan."Mau sarapan apa, Neng?" tanyanya setelah kami sudah agak jauh dari tempat tinggal."Apa aja, terserah Aa," jawabku apa adanya. Namun, A Hakam memberiku opsi menu sarapan. "Soto ceker apa ketropak?" tanyanya kemudian."Mmm, kayaknya neng pengen ketropak deh, A." Aku tersenyum saat A Hakam menjawab oke.Laju motor terus menyusuri jalanan komplek, melewati taman dan sungai besar yang airnya hitam. Aku tak mengerti k
Jam menunjukan pukul 18:45 WIB, kami istirahat lebih dulu di tempat pemberhentian pada sebuah POM bensin. Kami turun dari kendaraan untuk mengisi bahan bakar, di saat malam begini aku tetap harus dekat dengan A Hakam karena kemampuan melihatku sudah tidak sebaik saat siang hari."Ayo, cepat naik, Neng," pinta A Hakam saat dia selesai mengisi bensin.Aku segera menurut naik dan kami melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan aku hanya memperhatikan suasana malam di kota besar ini, hanya terlihat gedung-gedung tinggi yang disinari lampu-lampu terang.Aku senang karena baru pertama kali merasakan suasana malam di luar rumah terlebih bersama A Hakam. Di sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara, karena aku tak ingin membuat konsentrasi A Hakam terganggu.Aku juga sedang fokus menikmati suasana saat ini sambil merasakan embusan angin malam yang kuat menerpa tubuh. Tak lama laju kendaraan memelan, aku merasa mungkin sudah dekat dengan lokasi yang nantinya akan kami jadikan tempat tinggal
"Ini gado-gadonya, Neng." A Hakam memberikan kantung keresek padaku lalu aku segera menerimanya."Ya udah aku ke belakang dulu, Emak sama Abah pasti ada di sana," kataku seraya melenggang pergi ke belakang rumah, sementara A Hakam masuk rumah."Emak!" panggilku dengan senyum sumeringah saat menghampiri Emak dan Abah yang sedang duduk-duduk di bale berdua."Bawa apa itu, Neng?" tanya Emak saat melihat kantung pelastik di tanganku."Sarapan buat Emak sama Abah," jawabku seraya meletakan bungkusan itu di bale."Wah, kebetulan Emak tidak masak nasi goreng. Nih, Bah, kita makan," ajak Emak pada Abah. "Ambilin sendoknya, Neng," pinta Emak kepadaku.Aku mengangguk segera aku masuk rumah dan mengambilkan sendok serta air putih di dalam gelas besar, setelah itu aku cepat-cepat kembali ke belakang untuk memberikan ini semua."Oya, Mak. Aku mau ke dalam dulu, mau beres-beres baju," pamitku kemudian."Jadi dibawa ke Jakartanya, Nit?" tanya Emak lantas setelahnya menyuapkan makanan ke mulut."Jadi
Hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba, A Hakam pulang! Bahagianya aku, karena pada akhirnya ketemu sama suami tercinta. Tentu saja setelah sebulan lamanya tak bertemu secara fisik, kini pada akhirnya bisa merasakan pelukan hangatnya langsung."Besok beresin apa aja yang mau dibawa, Neng," kata A Hakam padaku yang sedang bersandar di pelukannya."Iya, paling bawa baju aja sih, A. Terus baju kerja neng gimana? Neng enggak punya baju yang pantes buat nanti kerja, A," ungkapku pada laki-laki yang kuanggap segalanya bagiku ini."Katanya ada baju-baju Bu Nissa yang udah enggak kepake, kata dia kayaknya muat kalau buat kamu," jawab A Hakam.Aku pun terdiam, tak masalah kalau menerima baju bekas orang lain yang terpenting 'kan masih layak pakai. "Mm, Bu Nissa itu siapa, A?" tanyaku penasaran."Bu Nissa itu istrinya Pak Boy." A Hakam lantas membelai rambutku."Oh, jadi bu Nissa itu istrinya bos ya, A?" tanyaku seraya tersenyum padanya.A Hakam mengangguk. "Mmh!" gumamnya sebagai jawaban. "Ya su
Malam hari seperti biasa setelah Isya aku langsung berada di kamar, pukul 19:45 WIB A Hakam kirim pesan menggunakan salah satu aplikasi berkirim pesan berwarna hijau seperti biasa."Assalamu'alaikum istriku, lagi apa sekarang?" tanya A Hakam.Aku pun segera mengetik pesan balasan padanya. "Walaikumsalam, aku lagi tiduran aja, A. Aa lagi apa? Udah makan belum?" tanyaku kemudian, lantas segera aku kirim dan centang dua langsung berwarna biru.Kini tampak keterangan kontak A Hakam sedang mengetik dan tak lama pesan balasan masuk lagi. "Aa sudah makan tadi sama pak Boy di restoran pas ketemuan sama klien. Aa juga sekarang baru pulang, belum mandi."Aku pun tersenyum membaca pesan dari A Hakam, alhamdulillah dia di sana baik-baik aja, sehat dan sangat berkecukupan. "Oh, ya udah Aa mandi dulu aja, neng tungguin," balasku lagi."Nanti sajalah mandinya, aa capek, Neng. Mau langsung tidur aja," balas A Hakam."Oh, ya udah Aa tidur aja, neng juga mau tidur," balasku kemudian."Iya udah, mana do
Ini adalah sisa nafkah pertama kali yang diberikan A Hakam yang dia berikan padaku sebelum berangkat ke Jakarta. Dia memberiku uang sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk satu bulan.Saat ini aku sudah menikah tentu saja aku tak ingin terus membebani Emak dan Abah, jadi uang tiga ratus ribu itu aku berikan sebagian kepada Abah untuk beli beras dan bantu bayar listrik sisanya buat aku beli lauk dan memenuhi kebutuhan pribadiku, seperti untuk membeli pembalut saja.Karena sisa uang ini tak cukup buat beli skincare atau untuk perawatan diri lainnya. Oke, aku syukuri ini semua, aku mencoba bersikap dewasa dan harus bisa memahami kondisi A Hakam.Aku tak butuh skincare, pakaian atau kebutuhan lain yang bersifat sekunder. Aku lebih memfokuskan pada kebutuhan primer lebih dulu seperti makanan, makanya aku lebih dulu sisihkan ke Abah untuk bantu beli beras, setidaknya aku tidak terlalu membebani."Tinggal lima puluh ribu, kira-kira A Hakam tanggal berapa ya pulangnya?" gumamku gelisah, karena u
Singkat cerita hari pernikahanku dan A Hakam pun digelar, dengan pesta sederhana dan seada-adanya saja. Karena sejujurnya keluargaku memang orang tak berpunya. Aku juga anak broken home, kedua orang tuaku sudah bahagia dengan keluarga baru mereka dan aku ditinggal bersama Emak dan Abah.Namun, aku tidak pernah sedih. Aku cukup bahagia dengan adanya mereka saja, meski Emak terkadang terlalu cerewet, tapi aku tahu Emak sayang sama aku. Buktinya aku bisa tumbuh menjadi gadis seperti ini itu adalah berkat Emak dan Abah yang banting tulang pergi ke sawah untuk membesarkan aku juga menyekolahkan aku.Aku maunya sih lulus sekolah ingin bekerja membantu Emak dan Embah lebih dulu belum mau menikah sebenarnya, tapi lagi-lagi karena keterbatasanku membuat Emak dan Abah khawatir. Jujur aku juga takut jika nanti bekerja lalu pulang malam hari, gimana .... Mau cari pekerjaan yang bisa siang hari saja, tapi aku bingung cari info sama siapa.Aku tidak punya banyak relasi, aku juga tak punya pengalama