Suara mesin printer terdengar tengah dioperasikan, seorang Office Girl tersenyum kala semua berkas yang harus ia print sudah selesai. "Alhamdulillah, kerjaan bu Widi sudah selesai. Sekarang di mana dia, ya? Aku mau buru-buru pulang, udah jam lima," gumamnya seraya melirik jam dinding, lantas ia merapikan kertas-kertas di atas meja dan meletakannya di tempat terpisah dengan berkas-berkas lain.
Seorang wanita dengan pakaian kantornya yang rapi pun datang menghampiri meja kerjanya yang tadi ia tinggal. "Udah selesai ngeprintnya, Nit?" tanya wanita itu.Wanita yang bernama Anita itu menoleh pada sumber suara lalu segera berdiri dari kursi yang semula ia duduki. "Oh, sudah selesai, Bu Wid. Ini semua filenya sudah saya print." Wanita bernama Anita itu mejawab dengan santun dan sopan.Widi pun melihat hasil pekerjaan Office Girl yang suka sekali membantu pekerjaan karyawan lain di sini jika sedang sangat sibuk, seperti saat ini. Widi tadi tiba-tiba sakit perut, padahal sebelum pulang atasan memintanya memberikan lembar laporan.Beruntung ada Anita yang setidaknya bisa dan mau membantu, karena wanita itu rupanya senang sekali belajar hal baru di luar pekerjaannya sebagai OG. Anita juga orangnya gampang diajari, sekali dikasih tahu langsung paham dan bisa."Wah, makasih ya, Nit. Ini aku mau kasih ke pak Bambang dulu," timpal Widi."Sama-sama, Bu. Mm, Bu, kalau begitu saya pamit dulu, mau laporan ke mbak Sekar," kata Anita.Widi lalu melihat jam dinding dan langsung mengerti. "Oh, udah jam lima ya? Ya udah nanti hati-hati di jalan, Nit," pesan Widi, karena dia tahu OG satu ini tidak bisa pulang lewat jam lima.Anita tersenyum seraya mengangguk kecil. "Terima kasih, Bu. Saya permisi dulu," pamit Anita seraya berlalu dan Widi pun mengangguk mempersilakan.Anita berjalan cepat menyusuri koridor-koridor kantor menuju pantry di mana Sekar berada. "Mbak Sekar," sapa Anita saat ia sampai di pantry dan benar Sekar yang menjabat menjadi kepala Office Girl senior ada di sana."Ya, Nit," jawab Sekar yang usianya sama seperti Widi, dia sudah bekerja sangat lama di kantor itu, sehingga dipercayai untuk menjadi kepala OG dan OB di sana. "Kamu mau pulang sekarang? Ya sudah buruan, takutnya keburu gelap," lanjutnya berkata.Sekar memang sudah tahu kendala Anita, selain Anita memiliki dua buah hati di rumah, Anita juga sudah jujur akan kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan berada di luar rumah pas hari sudah mulai gelap.Ya, Anita memiliki penyakit bawaan lahir, sejak kanak-kanak ia memiliki masalah rabun senja. Sehingga di saat hari mulai gelap, ruang gerak Anita terbatas tak seperti saat di siang hari.Sebenarnya bisa saja ia beraktivitas di malam hari, asalkan di dalam ruangan atau di tempat yang memiliki pencahayaan yang cukup layaknya di siang hari. Anita akan kesulitan beraktivitas di tempat gelap, bahkan dengan pencahayaan yang remang-remang saja dia sudah kewalahan.Berbeda pada mereka yang memiliki penglihatan normal, setidaknya mereka masih bisa beraktivitas dengan lancar di pencayaan yang minim, tapi tidak untuk Anita. Anita tidak tahu penyakit bawaannya ini bisa disembuhkan atau tidak, karena kakek dan neneknya tidak pernah membawanya ke dokter untuk berobat.Mungkin karena keadaan ekonomi yang tidak memadai membuat kakek dan nenek Anita hanya bisa mengupayakan pengobatan tradisional saja, tapi tidak pernah ada yang berhasil.Anita sangat bersyukur bisa diterima bekerja di kantor ini dengan bantuan Sekar, Anita bisa mendapatkan keringanan bisa pulang lebih awal membersamai karyawan kantor biasa pada umumnya yakni di jam 5 sore."Terima kasih banyak loh, Mbak Sekar. Mbak baik sekali kepada saya." Anita tampak terharu.Sekar pun tersenyum. "Aku bangga sama kamu loh, Nit. Kamu wanita yang tangguh, kamu orang yang berani, kamu juga baik hati dan pekerja keras. Kisahmu membuatku memahami, dan juga ingin membuktikan pada siapa pun kaum lelaki yang hanya bisanya menghina dan tidak menghargai ketulusan pasangan hanya karena pasangannya tak sempurna.Kamu memang harus bisa membuktikan pada suamimu itu kalau meski kamu tak senormal orang lain, tapi kamu mampu hidup tanpa dia. Bahkan kamu pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik dari dia, karena kamu pantas bahagia, Nit." Sekar menepuk pundak Anita, membuat wanita itu semakin merasa diberi kekuatan kepercayaan diri untuk terus berjalan maju meniti masa depan.Anita sejujurnya tidak ingin memikirkan masalah percintaan lagi, karena sesungguhnya ia cukup merasa trauma dengan apa yang sudah ia alami sebelumnya.Ketulusannya, pengorbanannya, kebaikannya yang ia berikan sepenuh hati kepada Hakam--suaminya selama 11 tahun ternyata hanya dianggap bentuk kewajaran. Karena pada kenyataannya Hakam tidak pernah menganggap apa yang dilakukan Anita itu sebagai bentuk kasih sayang apalagi pengorbanan, melainkan dianggap karena Anita takut ditinggalkan oleh Hakam.Karena yang pria itu pikir, siapa yang mau menerima Anita? Wanita yang memiliki kelemahan, wanita yang tidak sempurna, wanita sederhana dari keluarga miskin. Kalau bukan Hakam yang mau jadi suaminya, siapa lagi?Tidak akan pernah ada laki-laki yang mau sama Anita, menerima apa adanya wanita itu seperti halnya Hakam yang begitu sudi mau menikahi Anita dengan segala kekurangannya.Sudah sepatutnya wanita itu berbakti padanya, mengabdi dengan separuh jiwanya, tanpa berhak meminta effort lebih dari Hakam yang merasa sudah sangat berjasa di dalam kehidupan seorang Anita yang terlahir tak sempurna.***Anita tampak keluar dari kantor bersama karyawan-karyawan lain yang juga akan pulang ke rumah mereka masing-masing. Anita tampak terburu-buru menuruni anak tangga dan berjalan melewati halaman kantor yang berpaving untuk menuju pinggir jalan."Semoga angkotnya tidak lama, sehingga aku tidak sampai kemalaman sampai kontrakan," gumamnya seraya terus berjalan cepat untuk menunggu angkutan umum di sisi jalan sana.Namun, tanpa diduga tampak seorang pria berambut gondrong dengan kumis dan jenggot di wajahnya tampak tersenyum kala melihat Anita. Segera ia turun dari motor bebeknya dan berjalan dengan langkah lebar menuju Anita."Anita!" Panggilan seorang pria yang berpengawakan tak terlalu tinggi dengan penampilan yang tak terawat itu.Tentu saja Anita kaget kala mendengar suara yang begitu ia kenal di telinganya, wanita itu menoleh dan melebarkan kelopak mata kala melihat Hakam hendak menghampirinya. Merasa takut Anita segera berlari, tapi ia terlambat karena Hakam kini mencekal pergelangan tangannya."Mau lari ke mana kamu, hah?! Dasar istri kurang ajar! Tidak tahu diri! Berani kamu membawa anak-anak dan pergi ninggalin aku! Kamu pikir kamu ini siapa?!" Hakam dengan suara berapi-api memarahi Anita di depan umum.Beruntung tak ada orang kantor yang ia kenal, meski ada di beberapa dari mereka memperhatikan dirinya dan Hakam yang ribut seperti ini. "A Hakam, lepasin aku, A! Aku Malu, aku mau pulang." Anita berusaha melepaskan tangannya dari genggaman kasar Hakam, tapi genggaman pria itu cukup kuat."Tidak bisa! Kamu harus ikut aku pulang ke rumah kita." Hakam dengan paksa menarik Anita menuju motor bututnya."Enggak, A! Aku enggak mau ikut kamu lagi! Aku udah mau cerai dari kamu, A!" pekik Anita seraya terus berusaha melepaskan diri.Mendengar lagi-lagi Anita berani mengucapkan kata cerai, membuat harga diri Hakam merasa terlukai. Pria itu berhenti berjalan dan berbalik badan.PLAK!Tamparan keras ia layangkan ke wajah Anita yang langsung menangis histeris, selama ini memang Hakam tak pernah kasar dan main tangan seperti ini. Ini yang pertama kalinya, dan Anita tak menyangka Hakam bisa melakukannya."Kamu pikir kamu ini begitu sempurna? Kamu ini hanya wanita yang terlahir cacat. Kenapa kamu tidak tahu diri, ada aku yang mau menerimamu apa adanya yang seperti ini!"Anita tidak membalas perkataan Hakam, wanita itu hanya menangis, menunduk seraya memegangi pipinya yang terasa panas. Sakit, tapi lebih sakit lagi rasa di dalam hatinya atas perkataan Hakam barusan.Hakam kembali memegang tangan Anita, tanpa aba-aba ia menariknya lagi hingga Anita yang sedang lemah langsung jatuh ke atas tanah berpaving itu. "Ah, Aa!" Anita menjerit kala merasakan sakit di lututnya.Namun, Hakam yang gelap mata tak peduli meski ia harus menyeret Anita agar segera sampai di dekat motornya. Kejadian itu dilihat oleh Evan Lee, pria tampan berpenampilan rapi itu terkejut saat melihat penganiyayaan di depan matanya.Anita tampak menghiba pada suaminya agar mau melepaskan. "A, sakit, A! Aku tak mau ikut pulang denganmu. Aaaahh!" jerit Anita."Kamu harus ikut!" Hakam terus menarik istrinya hingga menimbulkan beberapa luka lecet pada kaki wanita itu yang hanya mengenakan rok sepan hitam selutut.Namun, Hakam seperti tak punya hati, hingga terus memperlakukan istrinya seperti binatang, membuat Evan yang melihatnya merasa geram. "Hey, hentikan!"Evan segera berjalan mendekat dengan langkah lebar, sontak membuat sebagian orang yang berada di sana merasa terkejut dan melihat ke arah Evan termasuk assistantnya yang bernama Jerry Yan. "Pak Evan!" seru sang Assistant kala ia bingung mau apa yang akan dilakukan Evan pada urusan rakyat jelata seperti mereka.Namun, apa yang dilihatnya mengejutkan, Evan benar-benar menghampiri Anita dan Hakam yang sedang bermasalah. "Tolong jangan kasar pada wanita, Pak!" peringat Evan menunjuk Anita yang bersimpuh di bawah kaki Hakam seraya menangis.Tatapan pria itu terlihat marah, seolah tak terima jika makhluk lemah seperti ini diperlakukan seburuk itu. Hakam yang agak takut menghadapi Evan merasa sedikit canggung, dilihat dari penampilan orang tersebut tentu saja ia bukan orang biasa."Maaf, kamu itu siapa? Ini urusanku dengan dia, dia ini istri kurang ajar, tahu!" balas Hakam, meski ia agak takut, tapi ia berusaha mempertahankan harga dirinya.Evan melirik Anita di bawah, meski wanita itu tak m
"Duduklah di sini!" Evan lantas mendudukkan Anita pada kursi panjang berbahan besi itu membuat Anita yang sejak tadi meronta-ronta seketika terdiam kala melihat Evan tampak menghela napas lelah.Tak lama Jerry datang dengan kotak P3K di tangannya. "Ini yang Pak Evan minta," kata Jerry seraya mengulurkan tangan.Segera Evan menerimanya. "Terima kasih," ucapnya lantas duduk di samping Anita, membuat wanita itu segera beringsut menjauh."Sama-sama, Pak," sahut Jerry lantas pria itu tetap berdiri di sana memperhatikan Evan yang sedang membuka kotak obat.Evan lalu mengambil kapas dan cairan anti septik, lantas satu tangannya yang lain terulur ingin meraih kaki Anita. Tentu saja wanita itu kaget dan menggeleng keras. "Biar saya sendiri yang mengobati, Pak."Tanpa menunggu lama Anita segera merampas kapas basah dari tangan Evan dan dengan hati-hati membersihkan lukanya sendiri. "Awh ...." Tak dapat dipungkiri luka di lututnya begitu sangat perih kala dibersihkan membuat air mata wanita itu
Sementara Anita di dalam angkot benar-benar bingung dan gugup, ini kali pertama ia berada jauh di luar rumah di saat hari sudah gelap begini. Dia sudah tak kenal jalanan, meski sejak tadi ia terus menatap ke arah luar dia tidak tahu ini sudah sampai mana.Saat itu ia melihat mini market, sehingga ia bisa membaca tulisan besar yang terlihat terang. Seketika ia menghela napas lega ternyata pemberhentiannya belum terlewat. Iya, dia ingat kalau pemberhentiannya masih di depan, jadi lebih baik mungkin ia bilang sekarang sama supir. "Bang, Gang Ampera berhenti, ya!" pintanya, meski ia tahu masih agak jauh, tapi lebih baik ia bilang sekarang supaya tak terlewat jika ia tak bisa melihat tempat pemberhentiannya sendiri."Oke, Mbak. Masih ada di depan, Mbak," sahut si Supir."Iya, Pak. Enggak apa-apa," jawab Anita.Saat ini Anita hanya harap-harap cemas, di dalam angkot pun ia sudah tak bisa melihat jelas wajah-wajah penumpang lain. Wanita itu tak peduli, ia hanya terus fokus ke luar dan berdoa
Di luar tampak Hakam memarkir motor bebeknya tepat di depan pintu gerbang rumah Marni, pria itu segera turun dari kendaraan dan membuka gerbang dengan cukup tergesa-gesa. "Dia pasti ada di sini, aku cari dia di rumah kontrakannya tidak ada," gerutunya di sepanjang jalan menuju pintu.Sesampainya di depan pintu Hakam menggedornya beberapa kali, sehingga membuat Anita yang mau cerita masalahnya dengan Hakam di kantor tadi pun urung. "Siapa itu, Bi? Kenapa kasar sekali mengetuk pintunya?" tanya Anita."Bibi juga tidak tahu, Nit. Nanti coba bibi buka dulu," timpal Marni seraya bangun dari duduknya."Bi Marni, buka pintunya!" teriak Hakam dari luar."Iya, sebentar!" seru Marni seraya memutar kunci dan Hakam segera mendorong pintu hingga Marni terkejut saat Hakam menerobos masuk. "Hakam!""Anita!" teriak Hakam melewati Marni dan segera memburu Anita yang sedang duduk di kursi."A Hakam?" Anita yang terkejut segera berdiri.Hakam meraih tangan kanan Anita dan mencengkramnya membuat Anita sek
Namaku Anita Larasati, dan saat ini usiaku 30 tahun. Aku menikah dengan A Hakam di saat usiaku masih 19 tahun. Di saat itu aku baru saja lulus SMA dan A Hakam melamarku karena kata dia tak ingin lama-lama ingin segera menghalalkan aku.Aku dan A Hakam selisih usia 6 tahun, saat itu usia A Hakam sudah 25 tahun. Aku pikir punya suami yang lebih dewasa itu enak, aku bisa jadikan dia seperti Ayah, Kakak laki-laki, suami sekaligus teman curhat.Punya suami lebih dewasa pasti enak, aku bisa terus manja-manja sama dia layaknya anak kecil, ya aku kala itu membayangkan hal itu. Jadi, apakah lebih baik aku terima saja A Hakam? Tapi ... aku harus memberi tahu dia sesuatu sebelum dia mengambil keputusan menjadikan aku pendampingnya, seseorang yang ia genggam tangannya untuk berjalan bersama menuju Jannah.Aku sudah bilang kalau diriku ini ada kekurangan, aku ada penyakit Rabun Senja yakni di mana aku tidak akan bisa melihat secara baik jika situasi hari mulai menjelang gelap, maka aku pun tak bis
Singkat cerita hari pernikahanku dan A Hakam pun digelar, dengan pesta sederhana dan seada-adanya saja. Karena sejujurnya keluargaku memang orang tak berpunya. Aku juga anak broken home, kedua orang tuaku sudah bahagia dengan keluarga baru mereka dan aku ditinggal bersama Emak dan Abah.Namun, aku tidak pernah sedih. Aku cukup bahagia dengan adanya mereka saja, meski Emak terkadang terlalu cerewet, tapi aku tahu Emak sayang sama aku. Buktinya aku bisa tumbuh menjadi gadis seperti ini itu adalah berkat Emak dan Abah yang banting tulang pergi ke sawah untuk membesarkan aku juga menyekolahkan aku.Aku maunya sih lulus sekolah ingin bekerja membantu Emak dan Embah lebih dulu belum mau menikah sebenarnya, tapi lagi-lagi karena keterbatasanku membuat Emak dan Abah khawatir. Jujur aku juga takut jika nanti bekerja lalu pulang malam hari, gimana .... Mau cari pekerjaan yang bisa siang hari saja, tapi aku bingung cari info sama siapa.Aku tidak punya banyak relasi, aku juga tak punya pengalama
Ini adalah sisa nafkah pertama kali yang diberikan A Hakam yang dia berikan padaku sebelum berangkat ke Jakarta. Dia memberiku uang sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk satu bulan.Saat ini aku sudah menikah tentu saja aku tak ingin terus membebani Emak dan Abah, jadi uang tiga ratus ribu itu aku berikan sebagian kepada Abah untuk beli beras dan bantu bayar listrik sisanya buat aku beli lauk dan memenuhi kebutuhan pribadiku, seperti untuk membeli pembalut saja.Karena sisa uang ini tak cukup buat beli skincare atau untuk perawatan diri lainnya. Oke, aku syukuri ini semua, aku mencoba bersikap dewasa dan harus bisa memahami kondisi A Hakam.Aku tak butuh skincare, pakaian atau kebutuhan lain yang bersifat sekunder. Aku lebih memfokuskan pada kebutuhan primer lebih dulu seperti makanan, makanya aku lebih dulu sisihkan ke Abah untuk bantu beli beras, setidaknya aku tidak terlalu membebani."Tinggal lima puluh ribu, kira-kira A Hakam tanggal berapa ya pulangnya?" gumamku gelisah, karena u
Malam hari seperti biasa setelah Isya aku langsung berada di kamar, pukul 19:45 WIB A Hakam kirim pesan menggunakan salah satu aplikasi berkirim pesan berwarna hijau seperti biasa."Assalamu'alaikum istriku, lagi apa sekarang?" tanya A Hakam.Aku pun segera mengetik pesan balasan padanya. "Walaikumsalam, aku lagi tiduran aja, A. Aa lagi apa? Udah makan belum?" tanyaku kemudian, lantas segera aku kirim dan centang dua langsung berwarna biru.Kini tampak keterangan kontak A Hakam sedang mengetik dan tak lama pesan balasan masuk lagi. "Aa sudah makan tadi sama pak Boy di restoran pas ketemuan sama klien. Aa juga sekarang baru pulang, belum mandi."Aku pun tersenyum membaca pesan dari A Hakam, alhamdulillah dia di sana baik-baik aja, sehat dan sangat berkecukupan. "Oh, ya udah Aa mandi dulu aja, neng tungguin," balasku lagi."Nanti sajalah mandinya, aa capek, Neng. Mau langsung tidur aja," balas A Hakam."Oh, ya udah Aa tidur aja, neng juga mau tidur," balasku kemudian."Iya udah, mana do
Semua orang tertawa karena obrolan kami pagi ini, aku tidak menyangka jika semenyenangkan ini. Orang-orang di sini baik dan ramah, tapi aku tidak tahu orang-orang yang lain bagaimana.Aku juga belum melihat bos kantor ini, kira-kira seperti apa beliau, ya?"Oya, Nit. Ini nanti kamu kerjanya di sini, jadi resepsionis. Nyambut tamu, terima telefon dan menyambungkan telefon. Nanti saya ajarkan cara pakai telefonnya bagaimana, terus juga catat absen karyawan keluar ke mana, jam berapa dan kembali ke kantor jam berapa. Itu bertujuan supaya ketika ada pertanyaan, kamu bisa tahu. Karyawan memang wajib harus laporan ke kamu nanti," jelas Bu Nissa.Aku hanya mengangguk-angguk mengerti, tinggal menunggu diajarkan cara pakai telefon saja. Karena ya memang aku tidak paham cara menggunakannya, kalimat bagaimana yang harus aku gunakan saat aku menyambut tamu, menerima telefon dan sebagainya.Jujur, aku bener-bener nol dalam hal ini. Intinya aku anggap ini adalah belajar kerja, bukan bekerja."Yo we
Aku dan A Hakam memasuki pintu kaca berwarna hitam ini, dan terlihat ruangan resepsionis yang tidak terlalu luas. Di dalamnya hanya ada meja resepsionis dan satu kursi tunggu saja."Duduk dulu di sini, Neng. Aa mau ke atas dulu," pamit A Hakam.Aku pun mengangguk dan A Hakam berjalan ke belakang, aku lihat suamiku berbelok kiri dan hilang dibalik dinding. Aku kembali memperhatikan ruangan resepsionis ini, ada satu AC di atas palafon dan ada cermin besar yang ditempel di dinding memberi kesan luas pada ruangan.Aku pun berdiri dan melihat pantulan diriku di sana. "Lumayan lah, sudah kayak karyawan baru yang mau melamar kerja," gumamku seraya tersenyum, aku lihat di TV juga begitu kalau kita mau melamar kerja seragamnya pakai hitam putih.Tak lama suara langkah kaki terdengar menuruni anak tangga di belakang, segera aku kembali duduk dan ternyata A Hakam yang datang. "Belum ada yang datang ya A jam segini kantornya masih sepi?" tanyaku."Udah ada pak Farid di atas tuh," jawab suamiku."
"Aa mau ke mana?" tanyaku pada A Hakam yang mengeluarkan motor menuju halaman rumah."Kita cari sarapan dulu," jawabnya. "Kunci dulu pintunya," pintanya kemudian.Aku pun mengangguk dan mengambil kunci dari dalam dan segera mengunci pintunya. Segera aku menyusul A Hakam yang sudah ada di luar gerbang, aku tutup pintu gerbang dan segera naik ke motor yang dikendarai A Hakam.Senyumku terus mengembang di setiap perjalanan, bahagia sekali bisa jalan-jalan pagi begini sama suami sambil nyari sarapan. Bahagiaku memang sesederhana ini, asal keluar rumah ya aku anggap jalan-jalan."Mau sarapan apa, Neng?" tanyanya setelah kami sudah agak jauh dari tempat tinggal."Apa aja, terserah Aa," jawabku apa adanya. Namun, A Hakam memberiku opsi menu sarapan. "Soto ceker apa ketropak?" tanyanya kemudian."Mmm, kayaknya neng pengen ketropak deh, A." Aku tersenyum saat A Hakam menjawab oke.Laju motor terus menyusuri jalanan komplek, melewati taman dan sungai besar yang airnya hitam. Aku tak mengerti k
Jam menunjukan pukul 18:45 WIB, kami istirahat lebih dulu di tempat pemberhentian pada sebuah POM bensin. Kami turun dari kendaraan untuk mengisi bahan bakar, di saat malam begini aku tetap harus dekat dengan A Hakam karena kemampuan melihatku sudah tidak sebaik saat siang hari."Ayo, cepat naik, Neng," pinta A Hakam saat dia selesai mengisi bensin.Aku segera menurut naik dan kami melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan aku hanya memperhatikan suasana malam di kota besar ini, hanya terlihat gedung-gedung tinggi yang disinari lampu-lampu terang.Aku senang karena baru pertama kali merasakan suasana malam di luar rumah terlebih bersama A Hakam. Di sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara, karena aku tak ingin membuat konsentrasi A Hakam terganggu.Aku juga sedang fokus menikmati suasana saat ini sambil merasakan embusan angin malam yang kuat menerpa tubuh. Tak lama laju kendaraan memelan, aku merasa mungkin sudah dekat dengan lokasi yang nantinya akan kami jadikan tempat tinggal
"Ini gado-gadonya, Neng." A Hakam memberikan kantung keresek padaku lalu aku segera menerimanya."Ya udah aku ke belakang dulu, Emak sama Abah pasti ada di sana," kataku seraya melenggang pergi ke belakang rumah, sementara A Hakam masuk rumah."Emak!" panggilku dengan senyum sumeringah saat menghampiri Emak dan Abah yang sedang duduk-duduk di bale berdua."Bawa apa itu, Neng?" tanya Emak saat melihat kantung pelastik di tanganku."Sarapan buat Emak sama Abah," jawabku seraya meletakan bungkusan itu di bale."Wah, kebetulan Emak tidak masak nasi goreng. Nih, Bah, kita makan," ajak Emak pada Abah. "Ambilin sendoknya, Neng," pinta Emak kepadaku.Aku mengangguk segera aku masuk rumah dan mengambilkan sendok serta air putih di dalam gelas besar, setelah itu aku cepat-cepat kembali ke belakang untuk memberikan ini semua."Oya, Mak. Aku mau ke dalam dulu, mau beres-beres baju," pamitku kemudian."Jadi dibawa ke Jakartanya, Nit?" tanya Emak lantas setelahnya menyuapkan makanan ke mulut."Jadi
Hari yang aku tunggu-tunggu pun tiba, A Hakam pulang! Bahagianya aku, karena pada akhirnya ketemu sama suami tercinta. Tentu saja setelah sebulan lamanya tak bertemu secara fisik, kini pada akhirnya bisa merasakan pelukan hangatnya langsung."Besok beresin apa aja yang mau dibawa, Neng," kata A Hakam padaku yang sedang bersandar di pelukannya."Iya, paling bawa baju aja sih, A. Terus baju kerja neng gimana? Neng enggak punya baju yang pantes buat nanti kerja, A," ungkapku pada laki-laki yang kuanggap segalanya bagiku ini."Katanya ada baju-baju Bu Nissa yang udah enggak kepake, kata dia kayaknya muat kalau buat kamu," jawab A Hakam.Aku pun terdiam, tak masalah kalau menerima baju bekas orang lain yang terpenting 'kan masih layak pakai. "Mm, Bu Nissa itu siapa, A?" tanyaku penasaran."Bu Nissa itu istrinya Pak Boy." A Hakam lantas membelai rambutku."Oh, jadi bu Nissa itu istrinya bos ya, A?" tanyaku seraya tersenyum padanya.A Hakam mengangguk. "Mmh!" gumamnya sebagai jawaban. "Ya su
Malam hari seperti biasa setelah Isya aku langsung berada di kamar, pukul 19:45 WIB A Hakam kirim pesan menggunakan salah satu aplikasi berkirim pesan berwarna hijau seperti biasa."Assalamu'alaikum istriku, lagi apa sekarang?" tanya A Hakam.Aku pun segera mengetik pesan balasan padanya. "Walaikumsalam, aku lagi tiduran aja, A. Aa lagi apa? Udah makan belum?" tanyaku kemudian, lantas segera aku kirim dan centang dua langsung berwarna biru.Kini tampak keterangan kontak A Hakam sedang mengetik dan tak lama pesan balasan masuk lagi. "Aa sudah makan tadi sama pak Boy di restoran pas ketemuan sama klien. Aa juga sekarang baru pulang, belum mandi."Aku pun tersenyum membaca pesan dari A Hakam, alhamdulillah dia di sana baik-baik aja, sehat dan sangat berkecukupan. "Oh, ya udah Aa mandi dulu aja, neng tungguin," balasku lagi."Nanti sajalah mandinya, aa capek, Neng. Mau langsung tidur aja," balas A Hakam."Oh, ya udah Aa tidur aja, neng juga mau tidur," balasku kemudian."Iya udah, mana do
Ini adalah sisa nafkah pertama kali yang diberikan A Hakam yang dia berikan padaku sebelum berangkat ke Jakarta. Dia memberiku uang sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk satu bulan.Saat ini aku sudah menikah tentu saja aku tak ingin terus membebani Emak dan Abah, jadi uang tiga ratus ribu itu aku berikan sebagian kepada Abah untuk beli beras dan bantu bayar listrik sisanya buat aku beli lauk dan memenuhi kebutuhan pribadiku, seperti untuk membeli pembalut saja.Karena sisa uang ini tak cukup buat beli skincare atau untuk perawatan diri lainnya. Oke, aku syukuri ini semua, aku mencoba bersikap dewasa dan harus bisa memahami kondisi A Hakam.Aku tak butuh skincare, pakaian atau kebutuhan lain yang bersifat sekunder. Aku lebih memfokuskan pada kebutuhan primer lebih dulu seperti makanan, makanya aku lebih dulu sisihkan ke Abah untuk bantu beli beras, setidaknya aku tidak terlalu membebani."Tinggal lima puluh ribu, kira-kira A Hakam tanggal berapa ya pulangnya?" gumamku gelisah, karena u
Singkat cerita hari pernikahanku dan A Hakam pun digelar, dengan pesta sederhana dan seada-adanya saja. Karena sejujurnya keluargaku memang orang tak berpunya. Aku juga anak broken home, kedua orang tuaku sudah bahagia dengan keluarga baru mereka dan aku ditinggal bersama Emak dan Abah.Namun, aku tidak pernah sedih. Aku cukup bahagia dengan adanya mereka saja, meski Emak terkadang terlalu cerewet, tapi aku tahu Emak sayang sama aku. Buktinya aku bisa tumbuh menjadi gadis seperti ini itu adalah berkat Emak dan Abah yang banting tulang pergi ke sawah untuk membesarkan aku juga menyekolahkan aku.Aku maunya sih lulus sekolah ingin bekerja membantu Emak dan Embah lebih dulu belum mau menikah sebenarnya, tapi lagi-lagi karena keterbatasanku membuat Emak dan Abah khawatir. Jujur aku juga takut jika nanti bekerja lalu pulang malam hari, gimana .... Mau cari pekerjaan yang bisa siang hari saja, tapi aku bingung cari info sama siapa.Aku tidak punya banyak relasi, aku juga tak punya pengalama