“Jangan khawatir, ibuku pasti akan menerimamu sebagai menantunya, kalian pasti akan cocok.”
Bisma menggenggam tangan Nirmala yang terasa dingin memasuki rumah mewah keluarganya. “Ma, kenalkan ini Nirmala.” Nirmala berusaha tersenyum semanis mungkin dan mengulurkan tangannya, tapi sampai tangan Nirmala pegal hanya lirikan sinis yang dia terima, “Ma,” tegur Bisma pada sang mama tapi wanita itu hanya menatap Nirmala dengan pongah. “Anak saya punya pekerjaan dan masa depan yang cerah, kamu pasti berusaha sangat keras untuk mengimbanginya.” Setelah apa yang terjadi lebih dari satu bulan yang lalu, dalam mimpipun Nirmala tak pernah membayangkan kalau akan didatangi wanita paruh baya masih cantik itu, sejak awal wanita itu memang tak ramah padanya yang hanya tukang kue. Saat itu Nirmala hanya sedikit heran ibu yang diceritakan Bisma dan wanita yang ditemuinya yang dikenalkan Bisma sebagai ibu memiliki sifat yang berbeda,masih berusaha berpikir positif mungkin saja ibu Bisma memang tak terlalu ramah pada orang yang baru kenal. Jawaban datang minggu berikutnya saat wanita itu bertamu ke rumah Nirmala. Derajat dan tingkat pendidikan yang jauh berbeda menjadi alasan klasik yang selama lima tahun menghantui Nirmala, hingga akhirnya dia menyerah satu bulan yang lalu saat yang ia harapkan mau berjuang bersama saling bergandengan tangan tak mau ia genggam. "Boleh masuk?" Dengan kaku Nirmala memberi jalan pada wanita itu untuk masuk. Tanpa dipersilahkan lagi kursi single yang terdekat dengan jendela menjadi pilihannya, dengan anggun dia duduk di sana meletakkan tas tangan berwarna hitam di atas pangkuannya. "Silahkan duduk Nirmala, santai saja, saya hanya ingin pesan kue,” kata wanita itu, Nirmala hanya bisa menggerutu dalam hati, ini padahal rumahnya. Meski masih kaku Nirmala berusaha untuk duduk dengan tenang di sofa panjang ruang tamu rumahnya, ini rumahnya tempat yang paling aman seluruh dunia tidak ada yang bisa menindasnya, semua akan baik-baik saja. Begitu yang Nirmala tanamkan dalam hati. "Siapa, Mbak?" Nia muncul dari ruang tengah, gadis itu hanya berdiri diam, dia tentu saja mengenali wanita paruh baya yang duduk dengan anggun di ruang tamu rumahnya. "Mau pesan kue apa, Bu?" tanya Nirmala mengabaikan pandangan bertanya adiknya, meski agak sedikit was-was Nirmala berusaha duduk tenang, meyakinkan dirinya bahwa wanita di depannya tak mampu berbuat hal yang buruk padanya. "Ibu dengar kamu pandai membuat berbagai kue basah, meski belum pernah coba, kata Bisma kue buatanmu sangat enak, jadi anggap saja ibu sedang berbagi kebahagiaan denganmu, buatkan lima jenis kue basah terserah yang penting enak masing-masing 100 buah dan akan langsung ibu bayar lunas." "Untuk kapan itu, Bu?" "Hari Minggu pekan depan." "Baik, Bu." Nia mencubit lengan kakaknya yang duduk di sofa panjang bersamanya, gadis itu tak habis pikir dengan kakaknya pesanan kue mereka full booked untuk dua minggu ke depan beberapa hari lalu mereka bahkan menolak pesanan kue dari seorang pelanggan. Apalagi kue yang dipesan tidak sedikit 5 jenis masing-masing 100 jadi mereka harus membuat 500 pcs dan kue basah bukan jenis kue yang bisa dibuat dua tiga hari sebelumnya. Kakaknya sudah gila rupanya. "Oh ya ibu dengar kamu dan Bisma sudah putus hubungan, tapi tidak masalah bukan kalau kamu datang ke rumah ibu hari minggu sekalian mengantar kue, yah mungkin kamu sudah mendengarnya Bisma sudah menemukan orang yang tepat sebagai pendamping hidupnya, dan ibu sangat setuju saat dia mau melamarnya langsung." Nyonya Arlin ibu Bisma tak memperhatikan atau mungkin tak perduli dengan wajah Nirmala yang sudah pias wanita itu terus saja berbicara, memuji calon menantunya yang setara dengan mereka. Nia menggenggam tangan kakaknya erat, dia sangat tau bagaimana perasaan kakaknya saat ini meski kesehariannya cuek dan dingin tapi kakaknya adalah wanita berhati paling lembut yang dia kenal. "Ibu hanya berharap kamu dapat menerimanya dengan ikhlas, hubungan kalian dulu toh tidak memiliki masa depan. Kamu anak baik tapi, ibu hanya ingin yang terbaik untuk anak ibu dan bersamamu bukan yang terbaik untuknya." Nirmala paham dengan alasan yang dikemukan oleh ibu mantan kekasihnya, atau pura-pura paham entahlah... Lima tahun bukan waktu yang singkat Nirmala sudah sangat terbiasa dengan adanya Bisma yang tiba-tiba datang, sekadar ngobrol, atau menjadi kritikus kue buatannya. "Mbak...." "Saya mengerti, Bu. Hubungan saya dan Bisma memang sudah berakhir, dan dia berhak menikah dengan siapapun yang dia inginkan." "Syukurlah kalau kamu tidak akan mengganggu Bisma lagi." "Kakak saya bukan pengganggu, anak anda yang datang mengemis cinta pada kakak saya dan setelah dapat mencampakkannya dengan mudah." Nia tak tahan lagi, dia ikut sakit hati kakaknya diremehkan, mereka memang hanya yatim piatu yang hidupnya mengandalkan tangan dan kaki sendiri, tak punya riwayat gelar berderet yang mengiringi namanya ataupun orang kuat yang siap pasang badan untuk mereka. "Anak saya tidak cinta dengan kakakmu dia hanya tersesat sesaat, kalau dia memang cinta dia akan bertahan meski semua menentang." Yah Meski tak setuju Nirmala mau tak mau harus menerima kenyataan itu, Bisma bisa dengan mudah menggantikannya dengan orang lain padahal mereka baru satu bulan tak bersama, begitu mengecewakan dan mengejutkan tentu saja. "Semoga saja anak ibu segera kena karmanya," gumam Nia pelan tapi masih bisa didengar dua orang yang berbagi ruangan dengannya. "Ap...." "Baiklah, Bu saya akan menerima pesanan ibu, untuk kue apa saja yang perlu saya buat ibu bisa menghubungi nomer ini." Nirmala dengan cepat menuliskan nomornya pada secarik kertas yang memang selalu tersedia di ruang tamu sekaligus mencegah kalimat balasan yang akan dilontarkan wanita paruh baya itu. "Ok, berapa saya harus membayar?" "Kue buatan saya Rp3.000,- tiap piecenya tapi anda tak perlu membayar lunas semua, cukup berikan uang muka sebagai tanda jadi." "Tak apa saya akan membayar lunas langsung saja takutnya kamu nggak ada uang untuk buat kuenya." Nirmala menggenggam tangan Nia kuat memberi isyarat tak perlu menanggapi wanita itu, lalu dengan senyum yang ia usahakan senatural mungkin dia menjawab. "Iya terserah ibu saja." Nyonya Arlin membuka dompetnya yang Nirmala tau harganya setara dengan uang makannya setahun, mengeluarkan puluhan lembar seratus ribuan dari sana. " Ini kamu bisa hitung dulu." "Baik, akan saya hitung." Nirmala mulai menghitung, sebenarnya tanpa menghitungpun dia akan percaya nyonya Arlin tak akan memberi uang kurang dia hanya ingin memastikan. " Iya, Bu sudah tepat satu juta lima ratus.” "Tentu saja uang segitu bukan masalah untuk saya, apalagi ini untuk acara anak saya yang sudah saya tunggu-tunggu." Nirmala hanya diam dan mengabaikan nada sindiran dalam ucapan nyonya Arlin. Dengan anggun wanita itu bangkit sambil menenteng tas mewahnya. Nirmala dan Nia hanya mengawasi sampai wanita itu hilang dibalik pintu dan tak lama kemudian terdengar suara mobil meninggalkan pekarangan rumah mereka. "Apa Mbak yakin akan menerima orderannya? Dia jelas hanya ingin pamer." Nia memandang kakaknya yang masih diam tak bergerak. Dengan menghela nafas berat Nirmala menjawab "Pamer atau tidak itu bukan urusan kita, jualan kue itu pekerjaan kita, asal dia bayar lunas tidak ada masalah." "Tapi, Mbak bagaimana dengan perasaan mbak sendiri apa baik-baik saja? Kalau soal order kita tidak pernah kekurangan." "Mbak baik, Nia jangan khawatir." Nirmala menepuk punggung tangan adiknya menenangkan. "Lagi pula mbak sudah terlanjur terima, dan kita bisa sekalian promosi di acara mereka, kalangan orang-orang seperti mereka sering pesta dan semacamnya yang mengharuskannya memesan kue." Kakaknya memang benar jika itu alasannya orderan yang mereka lakukan terima hanya dari kalangan orang menengah ke bawah yang hanya pada saat tertentu saja butuh kue. Apalagi rencana mereka yang akan membuka toko kue bisa segera terlaksana jika ada orderan yang stabil. Tapi bagaimana dengan kakaknya sendiri benarkah dia baik-baik saja. "Sudah Nia, Mbak baik-baik saja sungguh, ayo lanjut kerja lagi, sebentar lagi kamu ke pasar." "Mbak..." Nia menegur kakaknya yang memandangi handle pintu, Nia tau seminggu sebelum mereka putus Bisma datang ke rumah ini dan Nirmala meminta tolong memasangkan handle pintu itu. Kakaknya tidak baik-baik saja, tidak mudah memang melupakan hubungan yang sudah terjalin lama, tapi dia tak bisa mendesak lagi, entah apa yang akan terjadi nanti? Apa Bisma dan keluarganya bermaksud mempermalukan kakaknya. Nia tak bisa membiarkan ini. “Baiklah mbak, tapi biar Nia yang mengantar nanti mbak di rumah saja.” “Tidak mbak akan ikut.” “Mbak mereka pasti berniat mempermalukan mbak.” “Menjadi tukang kue bukan hal yang memalukan Nia dan mereka harus tahu itu"Gosong, Mbak!" teriak Nia saat melihat teflon yang digunakan untuk membuat kulit dadar gulung mengeluarkan asap."Eh... eh iya." Nirmala cepat mematikan kompor dan mengangkat kulit yang gosong. Satu sisinya sudah menghitam, Nirmala mendesah berat, dilihatnya jam sudah menunjukkan setengah tujuh pagi, dadar gulung sudah hampir setengah dari pesanan mereka buat. Dan belum bertambah lagi sejak tadi hampir sepuluh buah gosong tak bisa digunakan.Membuat kue bukan hanya perkara, menakar bahan sesuai resep dan mengerjakannya sesuai langkah-langkah yang tertulis, membuat kue disamping bakat dan kebiasaan juga memerlukan hati yang tenang dan fikiran yang fokus."Mbak, apa sebaiknya aku saja yang menggoreng kulit dadar gulungnya, mbak yang bungkus."Nia menawarkan solusi, hanya menuangkan adonan yang telah dibuat Nirmala dalam teflon, meratakannya agar mereka memiliki ketebalan yang sama, sepertinya tidak sulit."Nggak usah Nin kamu bantu bungkus saja sebentar lagi kamu juga harus ke pasar.""
Nirmala melongok layar ponsel yang dari tadi terus berbunyi, sederet nomer yang dia hafal betul terpampang di sana. Nomer yang dulu memang paling dinantinya, bahkan hari-harinya terasa tak lengkap jika pemilik nomer belum menghubunginya hari itu, tapi sekarang dia sangat tidak berharap nomer itu kembali menghubunginya. Hanya akan menambah sakit hatinya saja.“Siapa, Mbak dari tadi bunyi terus?”“Bukan siapa-siapa, orang iseng mungkin.” “Kenapa nggak diangkat mungkin aja pelanggan yang mau pesan kue.”“Kalau pelanggan jelas hubungi kamu bukan aku, sudahlah cuekin saja.” Nia hanya mengangkat bahu, suasana hati kakaknya memburuk lagi, padahal tadi sudah bisa tertawa ceria saat Caca menelpon.“Sudah , Nin kamu ke pasar saja cenilnya tinggal potong-potong nanti biar mbak yang bungkus.”“Mbak yakin?” Nirmala melototkan matanya pada sang adik, lama-lama dia jengkel juga pada Nia, dia hanya sedang patah hati karena ditinggal nikah bukan orang invalid. Oh ayolah dia tidak akan bertindak b
Nirmala melajukan motornya menembus keramaian jalan, jalan yang sudah dia lewati ribuan kali. Toko Ekonomi toko yang menjual bahan untuk membuat kue menjadi tujuannya. Harganya yang agak miring membuat toko ini tak pernah sepi pengunjung. Nirmala bahkan sudah kenal baik dengan pemiliknya, seorang wanita paruh baya keturunan tionghoa, Cik Mei biasa dia dipanggil, hanya hidup berdua dengan anaknya yang memiliki keterbelakangan mental. Tapi itu tak menyurutkan semangat wanita itu untuk mengais rejeki. “Orderan banyak ini, La?” “Lumayan Cik banyak yang pesan, musim hajatan.” “Syukur deh kalau begitu, mau cari apa sekarang?” “Terigu tiga kilo sama fermipan 3 bungkus, susu bubuk satu renceng sama margarin seperempat.” “Mau bikin donat? donat buatamu enak, tapi kok gak dijual di lapak adikmu. Jualanlah pasti banyak yang beli aku saja suka.” “Belum Cik, buat donat kalau lagi senggang saja.” “Nanti bagi aku sepuluh biji buat camilan sendiri.” “Beres, Cik.” Jalanan cukup lengang saat
“Biar mbak ikut kamu ke pasar, Ni.”“Mbak yakin aku masih bisa bawa kok, Mbak istirahat saja hari ini tidak ada pesanan.” Pagi ini Nirmala sudah rapi dengan kaos warna kuning dan celana jins, karena ulahnya kemarin yang membuat donat dengan jumlah yang banyak pagi ini Nia berniat menjual beberapa buah donat tentu saja setelah mereka membagi-bagikan pada para tetangga dan orang terdekat. Oh jangan lupakan juga anak-anak panti yang berada tak jauh dengan rumah mereka juga mendapat jatah. Entah mengapa donat yang dibuat Nirmala seolah tak ada habisnya. Akhirnya gadis itu memutuskan menjual sisanya dia memang mengakui donat buatan Nirmala enak tapi dia tak segila itu untuk memakan donat seminggu penuh seperti saran Nirmala.“Mbak baik-baik saja, kamu akan kerepotan bawa ini semua.”“Baiklah, terserah mbak Mala saja.”Ini memang bukan pertama kalinya Nirmala membantu Nia berjualan di pasar biasanya dia akan sekalian membeli bahan kue atau berbelanja kebutuhan, meski cenderung kaku dan t
Nirmala tersenyum senang donat yang ia buat kemarin hampir habis hanya masih tersisa tiga buah, meski niatnya membuat donat hanya ingin sedikit mengalihkan rasa kesalnya tapi ternyata dia membuat kebanyakan, hah memang tidak ada baik-baiknya menyimpan rasa marah. Dia sadar bagaimanapun semua hal telah ada yang mengatur, jodoh, maut dan rejeki, sekeras apapun dia berusaha tak akan mampu mengubah apapun jika memang Bisma bukan jodohnya. Yah saat pikirannya sedikit tenang dia akan menelaah perasaannya sendiri, membolak balik pikirannya sendiri. Dia memang bukan pribadi yang terbuka dengan seseorang, menjadi anak pertama sekaligus menjadi yatim piatu di usia yang sangat muda membuatnya harus mengemban tugas yang berat sebagai kepala keluarga. Meski Nia bukan anak manja yang hanya bisa bergantung padanya, tapi sekali lagi dia anak sulung dan hanya Nia yang dia punya sekarang jadi dia harus bisa mengcover semua masalah yang mereka hadapi, termasuk masalah hatinya. Nirmala tahu Nia sanga
Saat ayahnya Nirmala memang masih di tahun akhir kuliahnya, tapi karena tak adanya biaya juga karena kebutuhan sehari-hari yang mendesak, cuti kuliah adalah pilihannya saat itu. Tapi bukan berarti keinginannya untuk melanjutkan pendidikan berhenti sampai di sana, lima tahun setelahnya Nirmala berhasil meraih gelar sarjana, tentu saja semua itu tak lepas dari dukungan Nia sebagai keluarga satu-satunya yang ia punya, ibunya telah berpulang dua tahun sebelumnya. Saat memutuskan melanjutkan pendidikannya lagi itu Nirmala bertemu Bisma, teman masa SMAnya. Lucunya meski mereka dulu teman seangkatan waktu SMA, tapi karena Nirmala telat melanjutkan kuliahnya jadilah dia harus memanggil Bisma dengan sebutan bapak. Yah tentu saja Bisma yang telah menyelesaikan strata duanya mengabdi di kampus tempat Nirmala belajar sebagai dosen. Sempat kagok juga Nirmala, di kampus harus memanggilnya dengan sebutan bapak sedangkan di luar kampus mereka adalah teman dan Bisma tak sudi dipanggil
Nirmala mengamati ponsel yang memang khusus untuk usahanya dengan heran, banyak pesanan kue yang masuk, dari event di kampus, acara hajatan sampai pengajian ibu-ibu. Nirmala tidak akan merasa heran kalau saja mereka tidak menyebutkan suatu nama yang tidak ingin lagi dia dengar. Bisma. Mereka memesan atas rekomendasi laki-laki itu, untuk apa dia masih mau membantunya. Bahkan kue untuk pertunangannyapun Nirmala yang harus buat, seolah Nirmala hanya kenalan yang kebetulan bisa membuat kue. “Kenapa, Mbak?” Nia yang sudah segar sehabis mandi sore menghampiri kakaknya yang duduk termenung sambil memegang ponsel. “Kita banyak pesanan,” gadis itu lalu beranjak ke dapur meninggalkan Nia yang kebingungan. Memang banyak pesan masuk, beberapa hanya bertanya kue apa yang bisa di pesan, berapa harganya dan lain-lain, tapi banyak juga yang langsung memesan dengan jumlah yang cukup banyak dan harinyapun berdekatan. “Apa mbak Jani kuwalahan
“Baru pulang. Mbak?” jam sembilam malam Nirmala melangkahkan kaki memasuki ruang tamu rumahnya, Bisma hanya mengantarnya sampai pintu, tak ikut masuk hari sudah malam memang.“Iya, ini martabak manis buatmu, kamu nggak jadi keluar tadi?” Nirmala meletakkan bungkusan martabak yang berbau harum di atas meja makan, memperhatikan Nia sejanak yang menonton tivi, piyama berwarna hijau bergambar keropi sudah dia kenakan. Adiknya tadi mengatakan akan pergi ke acara reuni bersama teman-teman SMAnya yang diadalan di sebuah café.“Sudah, tadi pulang jam delapan.” Nirmala hanya menggangguk lalu melangkah ke dalam kamarnya.Satu bulan sudah dia menyandang status sebagai kekasih Bisma. Senyum manis selalu menghiasi wajahnya. Bahagianya jatuh cinta, apalagi Bisma adalah pacar pertama setelah dua puluh enam tahun. Sepulang mengajar Bisma biasanya mampir ke rumah Nirmala, tidak ada jadwal khusus memang sesempatnya saja, warna merah jamb
“Mama minta kita program bayi tabung.” Radit yang baru saja melipat sarungnya menoleh pada Nirmala yang masih berbalut mukena. “Untuk apa?” tanya Radit. Nirmala menghela napas, waktu setelah sholat subuh dia pilih karena hanya waktu itu yang selalu memungkinkan mereka untuk bersama, Radit yang kadang pulang sangat malam atau bahkan dini hari dan Nirmala yang sudah terlelap membuat tak ada waktu untuk sekedar bercakap-cakap. “Kok untuk apa? sudah lama kita belum punya anak? Memangnya mas tidak mau punya anak,” kata Nirmala kesal. Untuk bicara masalah ini dia sudah berlatih sepanjang malam tadi. Sejujurnya Nirmala juga tidak suka dengan ide itu, tapi dia sadar beberapa tahun menikah belum juga punya anak dan usianya juga bertambah tua. “Aku sudah akan punya anak.” “Hah!” kepala yang semula tertunduk penuh rasa bersalah langsung terangkat, matanya melebar. R
Nirmala memasuki rumah mertuanya sore ini, pagi tadi Bu Lastri meneleponnya dan memintanya untuk ke mari.Mempunyai anak-anak yang telah beranjak dewasa membuat Bu Lastri kesepian itulah alasan beliau selalu meminta Nirmala datang ke rumahnya, meski wanita itu tak jarang juga memiliki kesibukan sendiri sehingga tak bisa memenuhi permintaan mertuanya.Berbeda untuk kali ini Bu Lastri tak mau mendengar apapun alasan Nirmala, bahkan menelepon berkali-kali untuk memastikan Nirmala bisa datang, saat ditanya ada apa beliau hanya mengatakan ada hal penting yang ingin dia katakan, membuat Nirmala sedikit was-was, apalagi hubungannya dengan Radit akhir-akhir ini agak merenggang.Radit yang lebih mementingkan pekerjaannya membuat Nirmala selalu snewen setiap hari, mereka paling hanya bertemu saat pagi hari, itu pun Radit akan buru-buru balik lagi ke rumah sakit. Tak ada lagi acara berbincang santai, atau pun membicarakan hal-hal konyol yang membuat me
Seminggu sudah Radit dibuat sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit, suaminya itu bahkan setiap hari pulang diatas jam dua belas malam dan akan berangkat lagi jam lima pagi. Mereka bahkan sudah jarang berkomunikasi bahkan lewat pesan singkat sekalipun. Kalau ditanya apa Nirmala tidak protes, jawabanya adalah sesering dia membuat kue. Tapi jawaban Radit tetap saja memintanya menunggu dengan alasan banyak pasienlah , atau akan ada seminar disuatu tempat, yang membuat Nirmala pusing sendiri dan akhirnya hanya membiarkan saja Radit dengan segala kesibukannya. Di rumah pun komunikasi mereka hanya seputaran Radit yang menanyakan baju ganti untuknya dan bekal sarapan di tiap pagi karena laki-laki itu tak akan sempat makan di rumah. Nirmala yang mengantar suaminya pergi kerja hanya menatap malas saat Radit berkata akan mengusahakan pulang secepatnya. Bukannya dia tak percaya lagi pada sang suami tapi sudah banyak k
Nirmala meregangkan tubuhnya yang meringkuk di atas ranjang. Dia menoleh ke samping, tak ada sosok yang selama dua tahun ini menemani tidurnya. "Apa tadi malam aku mimpi? tapi kok terasa nyata?" Nirmala segera memeriksa bagian samping ranjang, tidak terlalu dingin dan agak kusut, berarti tadi malam dia tidak mimpi lalu di mana sekarang suaminya? Apa sudah berangkat kerja, sepagi ini?Wanita itu bergerak malas, matanya masih sangat mengantuk, tadi malam dia menangis lama sekali, entah kenapa akhir-akhir ini dia berubah menjadi cengeng, matanya sudah pasti akan terlihat bengkak. Dengan malas Nirmala memaksakan diri untuk bangun, dia harus mengompres mukanya, akan banyak pertanyaan kalau dia muncul dengan wajah seperti itu.Benar saja matanya sebesar bola pimpong, dengan sebal dia menekan-nekan matanya dengan handuk hangat berharap matanya akan kembali seperti sedia kala. Nirmala keluar dari kamar d
Berpuluh-puluh pesan telah dia kirim tapi tak satupun yang diabalas oleh sang suami bahkan dibaca pun tidak. Nirmala sudah menyerah dengan langkah lemas dia memberekan semua, tak diperdulikannya perutnya yang sejak tadi belum terisi. Sekarang dia hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul sebelas malam, mungkin sang suami sebentar lagi akan pulang tapi Nirmala sudah tak perduli. Dia terlanjur kecewa. Selama satu jam dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang. Di kejauhan terdengar sirine yang berbunyi menandakan hari telah berganti. Nirmala semakin gelisah. Tidak biasanya Radit pulang selarut ini apa dia baik-baik saja? Apa perlu dia menyusul ke rumah sakit tempatnya bekerja? cuma jalan kaki sepuluh menit juga.Tapi Nirmala juga takut ini sudah tengah malam, kalau Radit sedang sibuk dengan pasiennya bagaimana? Dia akan sangat menganggu nanti. Hatinya berdebar tak nyaman akhi
Sejak pagi hari Nirmala sudah berkutat dengan berbagai macam bahan yang akan dia gunakan untuk membuat sebuah kue tart spesial. Dia sengaja membuat kue di rumahnya sendiri tidak di rumah yang dia tempati bersama Radit. Lagi pula dengan dia membuat kue di rumahnya ada Rina dan pegawai yang lain yang bisa membantu. Hari ini memang bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahannya dengan Radit yang berusia dua tahun, tak ada perayaan khusus memang dia hanya ingin makan malam bersama sang suami, berdua saja, untuk itu dia sudah memastikan berkali-kali pada Radit harus pulang kerja sebelum makan malam dan suaminya itu menyanggupi. Semoga saja memang terlaksana, sejak pembicaraan mereka beberapa hari memang belum ada perubahan sama sekali Radit tetap saja pulang sampai larut malam lalu pagi-pagi buta pergi lagi. Nirmala hanya perlu menunggu waktu satu bulan yang dijanjikan Radit.“Seneng banget yang mau makan malam
“Aku benar-benar minta maaf untuk siang tadi tapi jangan lagi mengatakan perpisahan, itu membuat aku kesakitan.”“Lalu untuk apa hubungan kita ini jika selama ini kamu seperti menjauhiku?”Radit menatap Nirmala tak mengerti. “Apa kamu masih nggak percaya sama aku dan lebih percaya pada Sazi?”“Apa hubungan permbicaraan kita dengan Sazi?” “Kejadian dua tahun yang lalu,” jawab Nirmala lirih. Mengingat kejadian itu seolah mengorek luka yang masih basah. Kehilangan memang bukan hal yang mudah untuk dilupakan apalagi dia harus kehilangan anak, meski wujudnya belum dapat dia lihat. Tapi rasa bersalah itu terus bercokol dalam hatinya, dan semakin kuat berakar saat sampai sekarang belum ada yang tumbuh di rahimnya. Tak ingin Radit tahu serapuh apa dirinya saat mengingat kejadian itu, Nirmala memutar tubuhnya membelakangi sang suami. Air matanya menetes tak bisa ditahan lagi. Radit menghela nafasnya sedih, kejadian dua tahun yang lalu juga masih membekas dalam ingatannya, bukan dia menyal
Nirmala memandang Radit tajam. “Kamu sok tahu banget ini, aku dari tadi juga istirahat. Sudahlah aku mau menyelesaikan ini kamu sebaiknya pulang dulu, Mas. Aku bisa tidur di sini besok pagi pasti kamu berangkat pagi sekali.” Nirmala menekankan ucapannya pada kata ‘pasti’ yang dia yakini sebagai kebiasaan Radit. Dia bukan sedang ingin membalas dendam atau membantah suaminya sekali lagi bukan, dia hanya ingin sekali dimengerti sekali saja. Kali ini dia ingin egois, tak mau menjadi orang yang pengertian, dia sudah lelah, sangat lelah dengan semua ini. Andai saja sang suami mau sedikit berbagi dengannya membicarakannya secara baik-baik mungkin Nirmala akan bisa mengerti. Hanya itu. Dia bukan ibu peri yang selalu bisa mengerti dan memaklumi dengan sikapnya. Sesekali dia juga ingin dimengerti dan dipahami. Dia wanita yang sudah bersuami jadi selayaknya kalau dia ingin seperti orang-orang lain yang bisa sesekali pergi dengan suaminya, menghabisk
Nirmala merebahkan tubuhnya yang lelah di sebuah sofa yang memang dia sedikan untuk tempat istirahat saat sibuk di toko. Belanja bersama Gita ternyata sama lelahnya dengan berbelanja dengan Bu Lastri, mertuanya. Nirmala harus rela diseret ke sana ke mari hanya untuk membeli sebuuah gaun yang diinginkan Gita. Meski begitu Nirmala senang pergi bersama gita hari ini sedikit banyak dia bisa melupakan masalahnya. “Mbak Mala, nggak pulang?” Mbak Ratna menyapa Nirmala yang masih duduk bersandar dengan nyaman. “Mbak Ratna duluan saja, masih ada yang harus aku kerjakan.” Mbak Ratna memandang sejenak pada Nirmala, tapi kemudian menelan kembali apapun kalimat yang sudah ada di ujung lidahnya.“Ya sudah, Mbak kalau begitu aku pamit, dulu . Mbak Mala benar nggak apa-apa ditinggal sendiri atau perlu saya hubungi Nia biar kemari.” “Lah buat apa wong saya cuma mau selesaikan cupcake saja, tenang saja, Mba