Nirmala tersenyum senang donat yang ia buat kemarin hampir habis hanya masih tersisa tiga buah, meski niatnya membuat donat hanya ingin sedikit mengalihkan rasa kesalnya tapi ternyata dia membuat kebanyakan, hah memang tidak ada baik-baiknya menyimpan rasa marah. Dia sadar bagaimanapun semua hal telah ada yang mengatur, jodoh, maut dan rejeki, sekeras apapun dia berusaha tak akan mampu mengubah apapun jika memang Bisma bukan jodohnya.
Yah saat pikirannya sedikit tenang dia akan menelaah perasaannya sendiri, membolak balik pikirannya sendiri. Dia memang bukan pribadi yang terbuka dengan seseorang, menjadi anak pertama sekaligus menjadi yatim piatu di usia yang sangat muda membuatnya harus mengemban tugas yang berat sebagai kepala keluarga. Meski Nia bukan anak manja yang hanya bisa bergantung padanya, tapi sekali lagi dia anak sulung dan hanya Nia yang dia punya sekarang jadi dia harus bisa mengcover semua masalah yang mereka hadapi, termasuk masalah hatinya. Nirmala tahu Nia sangat mengkhawatirkannya, dan dia tidak mau menambah beban adiknya. “Sudah selesai belanjanya, Mas? Ayo pulang sudah siang.” “Iya sebentar nunggu kembalian.” Nirmala melirik sekilas pemuda yang dari tadi menggodanya, seorang wanita cantik menghampirinya, sejenak Nirmala tertegun meski tadi menggodanya habis-habisan pemuda ini bersikap manis dan lembut pada wanita yang memanggilnya, dan terlihat jelas wanita itu lebih tua. “Kenalkan, mbak ini ibu saya. Bu Larasati.” Eh Ibu?Agak kaget juga Nirmala saat tiba-tiba pemuda itu memintanya berkenalan dengan ibunya, rileks La. mungkin mau pesan kue. Jangan baper dia masih anak-anak. “Ini yang namanya nak Nirmala tho,” kata ibu itu dengan senyum ramah. “Maaf, Ibu kenal saya?” Nirmala berusaha mengingat-ingat wanita cantik di depannya apa mereka memang pernah bertemu. “Bertemu langsung sih belum tapi, adikmu Nia sering cerita tentang kamu sampai meski saya belum pernah bertemu serasa kenal dekat.” Nirmala meringis Nia memang kadang suka keterlaluan , entah apa saja yang dia ceritakan tentang dirinya. “Semoga Nia tidak menceritakan hal aneh tentang saya.” Nirmala tersenyum tak enak. “Hahaha Nia cerita kalau kakaknya pintar membuat kue, saya sering beli di sini, ini anak lanang saya maunya cuma kue buatan nak Nirmala.” “Iya, Bu terima kasih.” “Tuhkan bener kita memang jodoh, kue saja saya sukanya buatan Nirmala.” Nirmala memandang malas pada pemuda di depannya kalau saja tidak ada ibunya yang ramah, sudah dia jejalkan semua donat. Tadi saja manggil mbak sekarang panggil nama saja nggak sopan, kenal saja tidak kok bilang jodoh mau jadi buaya pasar dia. “Hust kamu itu Dit … jangan buat nak Nirmala malu.” “Kok malu sih, Bu kan saya bicara terus terang ini bukan gombal tapi dari hati saya yang paling dalam.” Sang ibu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub mungkin sudah hafal dengan watak anaknya. “Nia kemana kok tumben nak Nirmala yang jualan?” tanya bu Lastri berusaha mengalihkan pembicaraan. “Nia ke depan bu memberikan kue pesanan pelanggan.” Nirmala memberikan dua lembar uang dua ribuan pada pemuda itu sebagai kembalian. “Ok terima kasih, Nirmala. Uang kembaliannya akan saya tabung buat beli maskawin buat kamu nanti semoga cepat terkumpul.” Nirmala sampai ternganga tak habis pikir dengan pemuda di depannya. “Dit kamu apaan sih.” Bu Lastri menabok lengan anaknya gemas “maaf ya Nirmala anak ini memang suka bercanda, kapan-kapan ibu akan pesan kue ke kamu, sekalian ibu pingin tau cara membuat kue. Boleh ibu minta nomer telpon kamu?” Nirmala tersenyum menyebutkan sederatan angka, bu Lastri dengan sigap mengeluarkan ponselnya dan mencatat nomer itu. “itu nomer ibu disimpan ya.” “Yah aku nggak bawa ponsel, nomer baru lagi nggak hafal. Ibu ada nomerku yang baru?” kedua wanita itu memandang sang pemuda dengan bingung. “Nggak punya, nomer kamu sudah ibu hapus, lagian nomer setiap hari ganti.” “Ibu masak nggak punya nomer anaknya.” “Lah nomermu itu banyak, ibu pusing tiap telpon nomernya ganti?” “Banyak cewek-cewek yang telpon, bu makanya aku ganti. Ya udah deh nanti aku minta nomer Nirmala ke ibu nanti aku kirim pesan.” “Hah … buat apa kamu minta nomer Nirmala mau belajar buat kue juga? Kurang sibuk kamu?” “Siapa tau aku kangen bisa langsung telpon… ah sakit, Bu.” Pemuda itu meringis kesakitan saat telinga dijewer sang ibu, ibunya ini meski lembut jewerannya sakit juga. “kangen kuenya maksud aku bu. Duh merah kuping aku.” “Maaf ya La. Ya sudah ibu permisi dulu. Ayo, Dit pulang.” “Iya, Bu … ini mau pulang.” Nirmala hanya geleng-geleng kepala, jarang-jarang pemuda ganteng, bening, kinclong sepertinya mau repot-repot ke pasar menemani ibunya, pemuda itu pasti sayang banget sama ibunya, pasti juga nantinya akan sayang pada istrinya, eh … dia mikir apa sih kenapa jadi memuji-muji pemuda tengil itu. Sepertinya efek patah hati membuatnya berpikir melantur. Sudahlah. Lagipula apa tadi setiap hari nomer ganti, dia nyambi jadi juragan pulsa mungkin. Tuh kan kenapa dia jadi mikirin pemuda itu. Bisma saja yang kalem dan pendiam bisa cepat pindah ke lain hati apalagi pemuda tengil seperti dia. Sudahlah jangan ingat Bisma. Jangan ingat pemuda itu. Laki-laki itu buaya fokus saja dengan dagangannya. “Kenapa, mbak pusing kok geleng-geleng kepala, kalau sakit mbak pulang saja.” Nia yang baru datang mendekati kakaknya dengan penasaran, tadi pagi kakaknya baik-baik saja apa efek patah hati membuatnya sakit, apalagi akhir-akhir ini kakaknya jarang makan. Dia hanya memasak tanpa memakan hasil masakannya. “Mbak nggak papa, sudah diambil pesanannya?” “Sudah, mbak beneran nggak papa biar Nia saja yang belanja nanti atau kita beli masakan matang saja.” “Nggak papa Nia beneran, mbak cuma kesal saja dengan buaya pasar tadi.” “Hah … di pasar ada buayanya? Dimana? Kok Nia belum pernah ketemu.” Dari mulai hari pertama jualan di pasar sampai hari ini Nia belum pernah bertemu buaya di pasar jangankan bertemu dengar ceritanya saja belum pernah, apa kakaknya salah mengira ketemu cicak atau kadal jadi buaya. Ya ampun apa kakaknya sedang berhalusinasi efek patah hatinya. “Bukan Ni, bukan buaya yang besar itu.” Nirmala jadi bingung sendiri kenapa juga dia menanyakan pemuda itu pada Nia. “Lah buaya bagaimana maksud mbak.” “Laki-laki yang tadi kesini cari lapis legit.” Nia melongo lalu tertawa saat tau maksud kakaknya. “Oalah yang guwanteng itu tadi ya mbak, kenapa mbak naksir? kalau mas Bisma mah lewat kalau dibandingin sama dia … ups… maaf, mbak.” Nia merutuki mulut cablaknya bergaul sekian lama dengan orang pasar membuat rem mulutnya blong. “Tck … bukan itu mulutnya itu lho kok lemes banget, ibunya tadi juga kesini minta nomerku juga, katanya mau pesan kue.” “Hah… nomer pribadi mbak terus dikasih?” “Iyalah wong katanya mau pesan kue.” Nia menyipitkan matanya, tumben Nirmala mau memberikan nomernya pada orang yang tak dikenal. Untuk kepentingan usaha mereka ada nomer tersendiri yang mereka sediakan. Apa kakaknya benar-benar tertarik pada pemuda itu, tapi usianya bahkan di bawah Nia. Nia tau kakaknya sedang labil sekarang jangan sampai itu dimanfaatkan orang tak bertanggung jawab. Yah Nirmala memang cantik, wajahnya yang imut membuat orang banyak salah mengira tentang umurnya, bahkan tak jarang banyak orang yang mengira Nirmala adik Nia. “Tadi mbak sempat kenalan nama ibunya bu Lastri, katanya kamu sering cerita tentang mbak, bener Ni?” “Eh bu Lastri ya, iya beliau sering beli kue disini, kayaknya dia pingin banget bisa buat kue tapi nggak punya waktu untuk ikut kayak kelas membuat kue, jadi dia tanya-tanya Nia ini buat sendiri apa tidak, terus Nia cerita deh kalau yang buat mbak Mala.” Nia memang mengenal baik bu Lastri, wanita paruh baya yang cantik dan ramah. Bu Lastri sering beli lapis legit dan jajan lain di lapak Nia, anaknya yang laki-laki penggemar berat lapis legit di sini tapi ini kali pertama anak bu Lastri sendiri yang beli. “Iya dia ingin lihat mbak buat kue katanya.” “Iya mungkin pingin buat lapis legit untuk anaknya, siapa namanya?” Nia memandang Nirmala dengan wajah menggoda. “Hah nama siapa?” “Ya anaknya bu Lastri kan tadi, mbak kenalan sama ibunya masak nggak kenalan sama anaknya juga?” “Nggaklah buat apa, wong dia cuma nyebut nama ibunya.” “Jadi yang ngenalin tadi laki-laki itu, seharusnya mbak tanya juga namanya?” “Hih buat apa? Nggak ada urusan juga.” Nia hanya menggeleng pasrah kakaknya memang polos, dan kadang tidak peka dengan sinyal yang dikirimkan laki-laki, kemarin-kemarin sih Nia masih bisa mengerti karena masih punya pacar sekarang kan sudah enggak, sepertinya Nia harus turun tangan. Tapi apa laki-laki itu serius dia masih terlalu muda untuk Nirmala …ah kenapa dia yang jadi pusing, biarlah semua mengalir seperti air.Saat ayahnya Nirmala memang masih di tahun akhir kuliahnya, tapi karena tak adanya biaya juga karena kebutuhan sehari-hari yang mendesak, cuti kuliah adalah pilihannya saat itu. Tapi bukan berarti keinginannya untuk melanjutkan pendidikan berhenti sampai di sana, lima tahun setelahnya Nirmala berhasil meraih gelar sarjana, tentu saja semua itu tak lepas dari dukungan Nia sebagai keluarga satu-satunya yang ia punya, ibunya telah berpulang dua tahun sebelumnya. Saat memutuskan melanjutkan pendidikannya lagi itu Nirmala bertemu Bisma, teman masa SMAnya. Lucunya meski mereka dulu teman seangkatan waktu SMA, tapi karena Nirmala telat melanjutkan kuliahnya jadilah dia harus memanggil Bisma dengan sebutan bapak. Yah tentu saja Bisma yang telah menyelesaikan strata duanya mengabdi di kampus tempat Nirmala belajar sebagai dosen. Sempat kagok juga Nirmala, di kampus harus memanggilnya dengan sebutan bapak sedangkan di luar kampus mereka adalah teman dan Bisma tak sudi dipanggil
Nirmala mengamati ponsel yang memang khusus untuk usahanya dengan heran, banyak pesanan kue yang masuk, dari event di kampus, acara hajatan sampai pengajian ibu-ibu. Nirmala tidak akan merasa heran kalau saja mereka tidak menyebutkan suatu nama yang tidak ingin lagi dia dengar. Bisma. Mereka memesan atas rekomendasi laki-laki itu, untuk apa dia masih mau membantunya. Bahkan kue untuk pertunangannyapun Nirmala yang harus buat, seolah Nirmala hanya kenalan yang kebetulan bisa membuat kue. “Kenapa, Mbak?” Nia yang sudah segar sehabis mandi sore menghampiri kakaknya yang duduk termenung sambil memegang ponsel. “Kita banyak pesanan,” gadis itu lalu beranjak ke dapur meninggalkan Nia yang kebingungan. Memang banyak pesan masuk, beberapa hanya bertanya kue apa yang bisa di pesan, berapa harganya dan lain-lain, tapi banyak juga yang langsung memesan dengan jumlah yang cukup banyak dan harinyapun berdekatan. “Apa mbak Jani kuwalahan
“Baru pulang. Mbak?” jam sembilam malam Nirmala melangkahkan kaki memasuki ruang tamu rumahnya, Bisma hanya mengantarnya sampai pintu, tak ikut masuk hari sudah malam memang.“Iya, ini martabak manis buatmu, kamu nggak jadi keluar tadi?” Nirmala meletakkan bungkusan martabak yang berbau harum di atas meja makan, memperhatikan Nia sejanak yang menonton tivi, piyama berwarna hijau bergambar keropi sudah dia kenakan. Adiknya tadi mengatakan akan pergi ke acara reuni bersama teman-teman SMAnya yang diadalan di sebuah café.“Sudah, tadi pulang jam delapan.” Nirmala hanya menggangguk lalu melangkah ke dalam kamarnya.Satu bulan sudah dia menyandang status sebagai kekasih Bisma. Senyum manis selalu menghiasi wajahnya. Bahagianya jatuh cinta, apalagi Bisma adalah pacar pertama setelah dua puluh enam tahun. Sepulang mengajar Bisma biasanya mampir ke rumah Nirmala, tidak ada jadwal khusus memang sesempatnya saja, warna merah jamb
Nirmala sudah menyelesaikan makannya, dua piring nasi hangat amblas ke perut Nirmala, Gita sampai geleng-geleng kepala. Ini yang kata Nia tak mau makan. Herannya meski Nirmala banyak makan tubuhnya tak berubah gemuk, bahkan seingat Gita dari mulai sma tubuhnya hanya segitu tak bertambah tinggi ataupun lebar. Entah karena keturunan atau memang tiap hari dia harus kerja keras membuat kue.“Kamu ingat saat ayahmu meninggal, La?” tanya Gita tiba-tiba, membuat Nirmala yang masih mencari serpihan ayam dalam sambal mengangkat wajahnya.“Tentu saja, mbak itu salah satu hari paling buruk untukku. Kenapa mbak tiba-tiba menanyakan itu?”“Mbak tidak bermaksud mengingatkanmu pada kenangan sedih itu,” Gita memandang Nirmala sejenak lalu melanjutkan, “bagaimana perasaanmu sekarang apakah kehilangan Bisma sama sedihnya dengan kehilangan ayahmu?” tanya Gita hati-hati dia tau tak pantas rasanya menanyakan pertanyaan ini, Bisma bahkan bukan siapa-siapa Nirmala
Nirmala tersenyum sambil melambai pada Caca yang masih memberengut dalam gendongan ibunya. “Kalau mama libur saja, Ca ikut ke rumah tante.” Nirmala berkata mencoba memberi pengertian pada Caca buka apa-apa kalau dia nekat membawa Caca menginap di rumahnya tanpa sang ibu, bisa-bisa tengah malam anak itu nangis mencari ibunya.“Mbak gimana Caca nangis tuh?” Nirmala memandang kasihan pada Caca yang mulai menangis.“Udah nggak papa tinggal saja habis ini juga lupa.”Nirmala melambai sekali lagi pada Caca tak tega sebenarnya, Caca yang memang suka makan kue buatan Nirmala sangat mengidolakan sang tante dan akan menangis jika ditinggal. Begitupun Nirmala yang memang pada dasarnya sangat suka anak kecil, langsung dekat dengan Caca begitu lahir. Mengobrol bersama Caca meski kadang tak dimengerti oleh anak itu adalah hiburan tersendiri untuknya, apalagi tingkah polahnya yang lucu dan menggemaskan selalu bisa membuatnya tertawa.“Lain
Berbicara santai sambil menikmati camilan berdua memang sudah jarang mereka lakukan, kesibukan yang menggunung membuat mereka lebih memilih menghabiskan waktu santai dengan beristirahat. Kalaupun mereka berbincang itu selalu dilakakn sambil bekerja entah itu Nirmala sambil mengaduk adonan atau Nia sambil menimbang camilan yang akan mereka jual keesokan harinya.Hari-hari yang mereka lalui disibukkan dengan bekerja dan bekerja, tidak adanya orang tua membuat mereka bertekad untuk bisa hidup dengan kemampuan sendiri, masa muda yang kebanyakan gadis lain dihabiskan dengan belajar dan nongkrong bareng teman tidak bisa mereka lakukan. Waktu dengan membicarakan hal konyol berdua, sangat mahal harganya. Malam telah semakin tua, tapi kantuk belum juga menyapa, Nia bahkan sudah menghabiskan setengah toples keripik kentang, acara kesukaannyapun telah usai sejak tadi. Nirmala yang biasanya setelah tidak ada pekerjaan mengeram di kamar, kini malah menemani Nia begad
Pemuda itu akan mampir kesini, entah mengapa Nirmala jadi sedikit salah tingkah, ya ampun memangnya dia anak SMA, usianya bahkan sudah thirty something. Nggak masuk akal banget ini pasti efek patah hati, makanya dia baper saat ada yang memujinya.“Nia pulang jam berapa?” tanya bu Lastri, mereka sudah selesai makan dan menikmati teh buatan Nirmala.“Jam sembilan kadang juga jam sepuluh, Bu,” jawab Nirmala.“Kalau pagi kamu sendirian?” bu Lastri menyesap sedikit tehnya, “kamu sudah lama jualan kue?”“Eh iya, Bu sejak ibu masih ada.” Bu Lastri ini meski bertanya dengan lembut, tapi Nirmala merasa seperti ditanya petugas polisi sebagai tersangka, bukan berarti dia pernah menjadi tersangka tapi begitulah yang sering dia lihat di tivi.“Oh maaf orang tuamu sudah meninggal dua-duanya?”“Iya bu ayah meninggal saat saya berada di tahun terakhir kuliah, sedangkan ibu menyusul dua tahun setelahnya,” Nirmala ber
Halaman depan rumah Nirmala memang tak begitu luas tapi tertata dengan baik, keberadaan taman bunga yang cantik menjadi pemandangan yang sayang untuk dilewatkan. Dulu ayahnyalah yang membuat taman itu, untuk sang istri tentu saja. Mawar dan anggrek menjadi bunga yang banyak ditanam oleh ayahnya karena ibunya penggemar berat keduanya, di sore hari sang ibu akan menyajikan teh hangat dan camilan, lalu mengajak sang ayah duduk di teras depan. Bercanda dan bertengkar kecil yang membuat hubungan keduanya sangat indah di mata Nirmala.meski Nirmala maupun Nia bukan penggemar bunga tapi mereka tetap menjaga taman itu dengan baik. Mereka merasa cinta kedua orang tuanya tak pernah mati meski jasad keduanya sudah dipeluk bumi.Dan saat ini bunga mawar yang mereka tanam telah mekar dengan indahnya.“Kamu nyolong bungaku ya,” kata Nirmala dengan pandangan menuduh. Sedangkan yang dituduh hanya melongo bodoh, tak menyangka akan kena semprot
Pukul sembilan malam Radit sampai di rumah orang tuanya, seharian ini dia disIbukkan dengan banyaknya pasien yang datang, saat ini memang sedang musim hujan banyak anak-anak yang terkenal flu dan batuk. Dan mereka datang berduyun-duyun ke rumah sakit tempat Radit bekerja. Melihat anak-anak yang terbaring lemah membuatnya selalu tak tega, jadi dia berusaha membantu mereka sebaik mungkin, dan inilah yang menyebabkannya sangat sIbuk dan sedikit melupakan persoalan tadi siang. “Kenapa malam sekali baru pulang, Dit. Kami sudah menunggumu dari tadi?” Bu Lastri langsung menyambut putranya saat mobil laki-laki itu berhenti di halaman rumah, sejak pukul lima sore tadi memang Bu Lastri sdah mengirimkan pesan pada Radit untuk segera pulang dan membahas masalah tadi siang. Radit hanya membacanya tak berkeinginan membalas, Ibunya bukan tipe Ibu-Ibu obsesif yang kalau anaknya tak membalas pesan akan langsung menelepon, Bu Lastri tipe Ibu yang simple, asalkan pesannya sudah tersampaikan dia tak a
Radit melajukan mobilnya dengan kencang, wajahnya sudah merah dan tangannya memegang kemudi dengan sangat kencang, kalau saja kemudi itu tak dibuat dengan bahan yang baik pasti sudah bengkok. “Pelankan mobilnya, Mas aku takut!” teriak suara dari penumpang belakang tapi mana mau Radit mendengarkan, dia malah menambah kecepatan mobilnya meliuk ke kanan dan ke kiri menyalip kendaraan lain di depannya. “Hentikan,Dit, kamu bisa membunuh kita semua!” teriak wanita paruh baya yang tadi datang bersama Radit. Tangannya terasa kebas mencengkeram erat besi pegangan di atap mobil. Tapi telinga dan hati Radit seolah tertutup dengan teriakan dua orang wanita yang semobil dengannya. Bahkan dia juga tak memperdulikan pengendara sepeda motor yang juga melaju kencang dari arah yang berlawanan, menyerempet bagian samping mobilnya. Mobil keluaran eropa yang biasanya dia sayang, seolah tak berharga lagi. yang dia tahu saat ini hanyalah ingin le
"Aku mau tiga mangkuk es krim, tambahkan potongan strawberry yang besar dan kue coklat untuk kami, tolong cepat, ya Mbak siang ini panas banget," keluh Nia dengan senyuman manis di akhir kalimatnya."Segera, Mbak tunggu sebentar."Pelayan itu berlalu setelah mencatat pesanan Nia.Benar saja tak sampai sepuluh menit mereka menunggu pesanan sudah tersedia.Tiga mangkuk es krim, dengan saus strawberry dan ditambah potongan strawberry yang besar, terlihat sangat lezat.Nirmala memandangnya dengan berbinar, es krim strawberry tak pernah membuatnya bosan bahkan di saat suasana hatinya sedang tergores pisau tajam.Suasana cafe yang cozy membuat banyak pengunjung yang datang kemari."Lupakan diet dan mari habiskan es krim!""Yeiii lupakan jerawat juga, mari have fun!""Kalian serius mau menghabiskan es krim itu," Nirmala bertanya dengan wajah tak yakin, pasalnya dua wanita yang saat ini duduk bersamanya sangat anti makan es krim.Mbak Gita yang sejak melahirkan Caca menjadi gampang sekali gem
Nirmala menatap ke sekelilingnya dengan pandangan pias, orang-orang mulai berdatangan dan berbisik-bisik. Tentu saja kamu mereka biasanya tenang dan damai jarang sekali ada kejadian yang menghebohkan. Dan itu pun hanya seputar maling yang tertangkap warga saat mencuri atau tikus sebesar anak kambing yang nekat masuk rumah warga. Dan kali ini kedatangan wanita itu pasti sangat menggelitik rasa ingin tahu mereka apalagi posisi wanita itu yang berlutut di hadapan Nirmala dengan tangis yang berderai, pasti semua orang mengira bahwa Nirmala merebut suami orang dan istrinya sekarang datang memohon padanya. Ditambah lagi semua tetangganya sudah tahu tentang kabar pertunangannya dengan Radit, laki-laki tampan yang kaya raya, dan pastinya usianya jauh di bawah Nirmala, lengkap sudah penderitaannya.“Mbak, Mbaknya bangun dulu kita bicara di dalam saja.” Gita yang sejak tadi berdiri di samping Nirmala juga ikut membujuk, tak enak rasanya menjadi bahan tontonan warga sekitar. Dia memandang adi
Seperti hari-hari sebelumnya pagi ini Nirmala sudah disibukkan dengan berbagai tepung dan bahan pembuatan kue. Dengan adanya tiga orang tambahan, membuat Nirmala bisa bernafas dengan lega. dia tak perlu lagi menolak pesanan karena dirasa masih mampu mengerjakannya. Tapi semangat Nirmala untuk terus bereksperimen dengan berbagai jenis kue tak pernah pudar. Dan sekarang dia malah mempunyai banyak waktu untuk melanjutkan hobinya itu. Apalagi menjelang hari pertunangannya, dia semakin sibuk saja di dapur baik Mbak Gita maupun budhe sudah melarang Nirmala ke dapur tapi yang namanya Nirmala tetap saja keras kepala.“Aku bertanggung jawab dalam produksi kue tokoku bagaimana mungkin aku tak ke dapur,” kata Nirmala suatu hari saat Gita datang berkunjung dan melihatnya yang sudah bermain dengan bahan-bahan kesayangannya itu di dapur.“Ya paling tidak kamu kurangi, buat apa kamu bayar tiga orang karyawan kalu ujung-ujungnya kamu sendiri yang harus turun tangan.”“Aku cuma bantu, Mbak biar cepa
Siang ini matahari memang tidak bersinar terlalu terik, meski tak hujan, tapi awan kelabu sudah mulai berjalan-jalan, menemani burung-burung yang terbang mencari makan. Siang ini memang tak terlalu panas tapi tidak demikian dengan suasana hati Nirmala, wanita itu sudah setengah jam mondar mandir di depan sebuah butik ternama, tangan kanannya memegang ponsel lalu menempelkannya ke telinga begitu dari tadi tapi tak ada jawaban dari seseorang yang dia hubungi di seberang sana. “Kemana orang ini, katanya bisa datang kenapa sekarang tak menjawab telepon?” keluhnya kesal. “Sudah jawab, La?” “Belum, Ma.”“Coba hubungi terus, kemana anak itu katanya bisa datang kok nggak ada kabar.”Nirmala tak bisa menjawab pertanyaan yang sama juga sudah dia tanyakan berkali-kali tapi hanya semilir angin yang menjawab. Dia kembali sibuk menelepon lagi. “Kamu ada nomer perawat yang membantunya? Mungkin sa
“Ayo turun, La.” tanpa diminta dua kali Nirmala langsung turun dari dalam mobil, dia berniat membantu sopir Bu Lastri untuk mengangkat barang belanjaan mereka tapi, laki-laki itu melarangnya jadi Nirmala hanya mengikuti Bu Lastri dari belakang.Rumah ini masih tetap sama seperti beberapa waktu lalu saat dia pertama kali datang kesini, asri dan elegan. Dan satu hal yang selalu dirasakan Nirmala saat memasuki rumah ini adalah misterius, entah mengapa dia merasa kalau rumah ini banyak menyimpan misteri di dalamnya.Mungkin karena ini rumah kuno, yang banyak menyimpan rahasia para pendahulunya.“Ayo masuk.” suara Bu Lastri menyadarkan Nirmala tujuannya datang ke rumah ini. Setelah membeli semua perlengkapan seserahan tadi Nirmala memang diminta ikut ke rumah Bu Lastri, beliau bilang ada sesuatu yang ingin dia berikan pada Nirmala dan sekalian membicarakan rencana pernikahannya. Bagaimanapun mereka tak bisa mengandal
Berbelanja dengan Radit memang sangat menyebalkan, tapi siapa mengira berbelanja dengan Emak Radit jauh lebih menyebalkan apalagi Nirmala tak bisa seenaknya mengeluh dia harus tetap tersenyum meski hatinya dongkol. Bagaimana tidak Nirmala harus rela berputar-putar tak tentu arah, bukan karena mereka nyasar seperti saat bersama Radit, bu Lastri jelas sering berbelanja di mall ini karena beliau sangat hafal letak toko-toko yang menjual barang yang diinginkan tapi di sinilah permasalahanya.“Kita cari tas dulu, La.” “Memang lamaran perlu tas juga, Bu bukannya cukup pakaian saja?”Bu Lastri berhenti dan memandang Nirmala sejenak lalu berkata, “mulai sekarang jangan panggil Bu tapi panggil Mama sebentar lagi kamu juga akan jadi anak mama jadi biasakan dari sekarang.”Nirmala tertegun memandang Bu Lastri dengan seksama, apakah Bu Lastri memang menerima dia sepenuhnya sebagai pendamping anaknya. Selama ini Ibu Radit me
“Bukannya kamu mau kerja kenapa ke sini?” tanya Nirmala yang heran melihat Radit mengajaknya turun di sebuah mall.“Masih ada waktu dua jam lagi,” kata Radit. “ Yuk turun.”Nirmala menghela nafas, kenapa Radit suka sekali mengambil keputusan sendiri, kalau memang mereka mampir ke sini untuk makan, lebih baik mereka mampir di warung makan atau café saja, lebih praktis mereka tak perlu berkeliling, apalagi mall yang mereka kunjungi terlihat penuh.Dia yang bukan wanita yang hobi ngemall tentu saja sangat tidak tertarik dengan konsep ini.“Kalau cuma mau makan kenapa nggak di resto saja lebih praktis, atau bisa aku masakin di rumah kamu, biar kamunya nggak telat nanti.” “Kita nggak cuma makan di sini, dan aku nggak mau kita berdua ada di rumahku sebelum sah ya, tar yang ketiganya setan.” Pipi Nirmala memerah mengingat momen saat mereka berdua di rumah Radit dulu. Aish kenapa diingatkan sih Nirmala kan jadi malu.