Nirmala tersenyum senang donat yang ia buat kemarin hampir habis hanya masih tersisa tiga buah, meski niatnya membuat donat hanya ingin sedikit mengalihkan rasa kesalnya tapi ternyata dia membuat kebanyakan, hah memang tidak ada baik-baiknya menyimpan rasa marah. Dia sadar bagaimanapun semua hal telah ada yang mengatur, jodoh, maut dan rejeki, sekeras apapun dia berusaha tak akan mampu mengubah apapun jika memang Bisma bukan jodohnya.
Yah saat pikirannya sedikit tenang dia akan menelaah perasaannya sendiri, membolak balik pikirannya sendiri. Dia memang bukan pribadi yang terbuka dengan seseorang, menjadi anak pertama sekaligus menjadi yatim piatu di usia yang sangat muda membuatnya harus mengemban tugas yang berat sebagai kepala keluarga. Meski Nia bukan anak manja yang hanya bisa bergantung padanya, tapi sekali lagi dia anak sulung dan hanya Nia yang dia punya sekarang jadi dia harus bisa mengcover semua masalah yang mereka hadapi, termasuk masalah hatinya. Nirmala tahu Nia sangat mengkhawatirkannya, dan dia tidak mau menambah beban adiknya. “Sudah selesai belanjanya, Mas? Ayo pulang sudah siang.” “Iya sebentar nunggu kembalian.” Nirmala melirik sekilas pemuda yang dari tadi menggodanya, seorang wanita cantik menghampirinya, sejenak Nirmala tertegun meski tadi menggodanya habis-habisan pemuda ini bersikap manis dan lembut pada wanita yang memanggilnya, dan terlihat jelas wanita itu lebih tua. “Kenalkan, mbak ini ibu saya. Bu Larasati.” Eh Ibu?Agak kaget juga Nirmala saat tiba-tiba pemuda itu memintanya berkenalan dengan ibunya, rileks La. mungkin mau pesan kue. Jangan baper dia masih anak-anak. “Ini yang namanya nak Nirmala tho,” kata ibu itu dengan senyum ramah. “Maaf, Ibu kenal saya?” Nirmala berusaha mengingat-ingat wanita cantik di depannya apa mereka memang pernah bertemu. “Bertemu langsung sih belum tapi, adikmu Nia sering cerita tentang kamu sampai meski saya belum pernah bertemu serasa kenal dekat.” Nirmala meringis Nia memang kadang suka keterlaluan , entah apa saja yang dia ceritakan tentang dirinya. “Semoga Nia tidak menceritakan hal aneh tentang saya.” Nirmala tersenyum tak enak. “Hahaha Nia cerita kalau kakaknya pintar membuat kue, saya sering beli di sini, ini anak lanang saya maunya cuma kue buatan nak Nirmala.” “Iya, Bu terima kasih.” “Tuhkan bener kita memang jodoh, kue saja saya sukanya buatan Nirmala.” Nirmala memandang malas pada pemuda di depannya kalau saja tidak ada ibunya yang ramah, sudah dia jejalkan semua donat. Tadi saja manggil mbak sekarang panggil nama saja nggak sopan, kenal saja tidak kok bilang jodoh mau jadi buaya pasar dia. “Hust kamu itu Dit … jangan buat nak Nirmala malu.” “Kok malu sih, Bu kan saya bicara terus terang ini bukan gombal tapi dari hati saya yang paling dalam.” Sang ibu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub mungkin sudah hafal dengan watak anaknya. “Nia kemana kok tumben nak Nirmala yang jualan?” tanya bu Lastri berusaha mengalihkan pembicaraan. “Nia ke depan bu memberikan kue pesanan pelanggan.” Nirmala memberikan dua lembar uang dua ribuan pada pemuda itu sebagai kembalian. “Ok terima kasih, Nirmala. Uang kembaliannya akan saya tabung buat beli maskawin buat kamu nanti semoga cepat terkumpul.” Nirmala sampai ternganga tak habis pikir dengan pemuda di depannya. “Dit kamu apaan sih.” Bu Lastri menabok lengan anaknya gemas “maaf ya Nirmala anak ini memang suka bercanda, kapan-kapan ibu akan pesan kue ke kamu, sekalian ibu pingin tau cara membuat kue. Boleh ibu minta nomer telpon kamu?” Nirmala tersenyum menyebutkan sederatan angka, bu Lastri dengan sigap mengeluarkan ponselnya dan mencatat nomer itu. “itu nomer ibu disimpan ya.” “Yah aku nggak bawa ponsel, nomer baru lagi nggak hafal. Ibu ada nomerku yang baru?” kedua wanita itu memandang sang pemuda dengan bingung. “Nggak punya, nomer kamu sudah ibu hapus, lagian nomer setiap hari ganti.” “Ibu masak nggak punya nomer anaknya.” “Lah nomermu itu banyak, ibu pusing tiap telpon nomernya ganti?” “Banyak cewek-cewek yang telpon, bu makanya aku ganti. Ya udah deh nanti aku minta nomer Nirmala ke ibu nanti aku kirim pesan.” “Hah … buat apa kamu minta nomer Nirmala mau belajar buat kue juga? Kurang sibuk kamu?” “Siapa tau aku kangen bisa langsung telpon… ah sakit, Bu.” Pemuda itu meringis kesakitan saat telinga dijewer sang ibu, ibunya ini meski lembut jewerannya sakit juga. “kangen kuenya maksud aku bu. Duh merah kuping aku.” “Maaf ya La. Ya sudah ibu permisi dulu. Ayo, Dit pulang.” “Iya, Bu … ini mau pulang.” Nirmala hanya geleng-geleng kepala, jarang-jarang pemuda ganteng, bening, kinclong sepertinya mau repot-repot ke pasar menemani ibunya, pemuda itu pasti sayang banget sama ibunya, pasti juga nantinya akan sayang pada istrinya, eh … dia mikir apa sih kenapa jadi memuji-muji pemuda tengil itu. Sepertinya efek patah hati membuatnya berpikir melantur. Sudahlah. Lagipula apa tadi setiap hari nomer ganti, dia nyambi jadi juragan pulsa mungkin. Tuh kan kenapa dia jadi mikirin pemuda itu. Bisma saja yang kalem dan pendiam bisa cepat pindah ke lain hati apalagi pemuda tengil seperti dia. Sudahlah jangan ingat Bisma. Jangan ingat pemuda itu. Laki-laki itu buaya fokus saja dengan dagangannya. “Kenapa, mbak pusing kok geleng-geleng kepala, kalau sakit mbak pulang saja.” Nia yang baru datang mendekati kakaknya dengan penasaran, tadi pagi kakaknya baik-baik saja apa efek patah hati membuatnya sakit, apalagi akhir-akhir ini kakaknya jarang makan. Dia hanya memasak tanpa memakan hasil masakannya. “Mbak nggak papa, sudah diambil pesanannya?” “Sudah, mbak beneran nggak papa biar Nia saja yang belanja nanti atau kita beli masakan matang saja.” “Nggak papa Nia beneran, mbak cuma kesal saja dengan buaya pasar tadi.” “Hah … di pasar ada buayanya? Dimana? Kok Nia belum pernah ketemu.” Dari mulai hari pertama jualan di pasar sampai hari ini Nia belum pernah bertemu buaya di pasar jangankan bertemu dengar ceritanya saja belum pernah, apa kakaknya salah mengira ketemu cicak atau kadal jadi buaya. Ya ampun apa kakaknya sedang berhalusinasi efek patah hatinya. “Bukan Ni, bukan buaya yang besar itu.” Nirmala jadi bingung sendiri kenapa juga dia menanyakan pemuda itu pada Nia. “Lah buaya bagaimana maksud mbak.” “Laki-laki yang tadi kesini cari lapis legit.” Nia melongo lalu tertawa saat tau maksud kakaknya. “Oalah yang guwanteng itu tadi ya mbak, kenapa mbak naksir? kalau mas Bisma mah lewat kalau dibandingin sama dia … ups… maaf, mbak.” Nia merutuki mulut cablaknya bergaul sekian lama dengan orang pasar membuat rem mulutnya blong. “Tck … bukan itu mulutnya itu lho kok lemes banget, ibunya tadi juga kesini minta nomerku juga, katanya mau pesan kue.” “Hah… nomer pribadi mbak terus dikasih?” “Iyalah wong katanya mau pesan kue.” Nia menyipitkan matanya, tumben Nirmala mau memberikan nomernya pada orang yang tak dikenal. Untuk kepentingan usaha mereka ada nomer tersendiri yang mereka sediakan. Apa kakaknya benar-benar tertarik pada pemuda itu, tapi usianya bahkan di bawah Nia. Nia tau kakaknya sedang labil sekarang jangan sampai itu dimanfaatkan orang tak bertanggung jawab. Yah Nirmala memang cantik, wajahnya yang imut membuat orang banyak salah mengira tentang umurnya, bahkan tak jarang banyak orang yang mengira Nirmala adik Nia. “Tadi mbak sempat kenalan nama ibunya bu Lastri, katanya kamu sering cerita tentang mbak, bener Ni?” “Eh bu Lastri ya, iya beliau sering beli kue disini, kayaknya dia pingin banget bisa buat kue tapi nggak punya waktu untuk ikut kayak kelas membuat kue, jadi dia tanya-tanya Nia ini buat sendiri apa tidak, terus Nia cerita deh kalau yang buat mbak Mala.” Nia memang mengenal baik bu Lastri, wanita paruh baya yang cantik dan ramah. Bu Lastri sering beli lapis legit dan jajan lain di lapak Nia, anaknya yang laki-laki penggemar berat lapis legit di sini tapi ini kali pertama anak bu Lastri sendiri yang beli. “Iya dia ingin lihat mbak buat kue katanya.” “Iya mungkin pingin buat lapis legit untuk anaknya, siapa namanya?” Nia memandang Nirmala dengan wajah menggoda. “Hah nama siapa?” “Ya anaknya bu Lastri kan tadi, mbak kenalan sama ibunya masak nggak kenalan sama anaknya juga?” “Nggaklah buat apa, wong dia cuma nyebut nama ibunya.” “Jadi yang ngenalin tadi laki-laki itu, seharusnya mbak tanya juga namanya?” “Hih buat apa? Nggak ada urusan juga.” Nia hanya menggeleng pasrah kakaknya memang polos, dan kadang tidak peka dengan sinyal yang dikirimkan laki-laki, kemarin-kemarin sih Nia masih bisa mengerti karena masih punya pacar sekarang kan sudah enggak, sepertinya Nia harus turun tangan. Tapi apa laki-laki itu serius dia masih terlalu muda untuk Nirmala …ah kenapa dia yang jadi pusing, biarlah semua mengalir seperti air.Saat ayahnya Nirmala memang masih di tahun akhir kuliahnya, tapi karena tak adanya biaya juga karena kebutuhan sehari-hari yang mendesak, cuti kuliah adalah pilihannya saat itu. Tapi bukan berarti keinginannya untuk melanjutkan pendidikan berhenti sampai di sana, lima tahun setelahnya Nirmala berhasil meraih gelar sarjana, tentu saja semua itu tak lepas dari dukungan Nia sebagai keluarga satu-satunya yang ia punya, ibunya telah berpulang dua tahun sebelumnya. Saat memutuskan melanjutkan pendidikannya lagi itu Nirmala bertemu Bisma, teman masa SMAnya. Lucunya meski mereka dulu teman seangkatan waktu SMA, tapi karena Nirmala telat melanjutkan kuliahnya jadilah dia harus memanggil Bisma dengan sebutan bapak. Yah tentu saja Bisma yang telah menyelesaikan strata duanya mengabdi di kampus tempat Nirmala belajar sebagai dosen. Sempat kagok juga Nirmala, di kampus harus memanggilnya dengan sebutan bapak sedangkan di luar kampus mereka adalah teman dan Bisma tak sudi dipanggil
Nirmala mengamati ponsel yang memang khusus untuk usahanya dengan heran, banyak pesanan kue yang masuk, dari event di kampus, acara hajatan sampai pengajian ibu-ibu. Nirmala tidak akan merasa heran kalau saja mereka tidak menyebutkan suatu nama yang tidak ingin lagi dia dengar. Bisma. Mereka memesan atas rekomendasi laki-laki itu, untuk apa dia masih mau membantunya. Bahkan kue untuk pertunangannyapun Nirmala yang harus buat, seolah Nirmala hanya kenalan yang kebetulan bisa membuat kue. “Kenapa, Mbak?” Nia yang sudah segar sehabis mandi sore menghampiri kakaknya yang duduk termenung sambil memegang ponsel. “Kita banyak pesanan,” gadis itu lalu beranjak ke dapur meninggalkan Nia yang kebingungan. Memang banyak pesan masuk, beberapa hanya bertanya kue apa yang bisa di pesan, berapa harganya dan lain-lain, tapi banyak juga yang langsung memesan dengan jumlah yang cukup banyak dan harinyapun berdekatan. “Apa mbak Jani kuwalahan
“Baru pulang. Mbak?” jam sembilam malam Nirmala melangkahkan kaki memasuki ruang tamu rumahnya, Bisma hanya mengantarnya sampai pintu, tak ikut masuk hari sudah malam memang.“Iya, ini martabak manis buatmu, kamu nggak jadi keluar tadi?” Nirmala meletakkan bungkusan martabak yang berbau harum di atas meja makan, memperhatikan Nia sejanak yang menonton tivi, piyama berwarna hijau bergambar keropi sudah dia kenakan. Adiknya tadi mengatakan akan pergi ke acara reuni bersama teman-teman SMAnya yang diadalan di sebuah café.“Sudah, tadi pulang jam delapan.” Nirmala hanya menggangguk lalu melangkah ke dalam kamarnya.Satu bulan sudah dia menyandang status sebagai kekasih Bisma. Senyum manis selalu menghiasi wajahnya. Bahagianya jatuh cinta, apalagi Bisma adalah pacar pertama setelah dua puluh enam tahun. Sepulang mengajar Bisma biasanya mampir ke rumah Nirmala, tidak ada jadwal khusus memang sesempatnya saja, warna merah jamb
Nirmala sudah menyelesaikan makannya, dua piring nasi hangat amblas ke perut Nirmala, Gita sampai geleng-geleng kepala. Ini yang kata Nia tak mau makan. Herannya meski Nirmala banyak makan tubuhnya tak berubah gemuk, bahkan seingat Gita dari mulai sma tubuhnya hanya segitu tak bertambah tinggi ataupun lebar. Entah karena keturunan atau memang tiap hari dia harus kerja keras membuat kue.“Kamu ingat saat ayahmu meninggal, La?” tanya Gita tiba-tiba, membuat Nirmala yang masih mencari serpihan ayam dalam sambal mengangkat wajahnya.“Tentu saja, mbak itu salah satu hari paling buruk untukku. Kenapa mbak tiba-tiba menanyakan itu?”“Mbak tidak bermaksud mengingatkanmu pada kenangan sedih itu,” Gita memandang Nirmala sejenak lalu melanjutkan, “bagaimana perasaanmu sekarang apakah kehilangan Bisma sama sedihnya dengan kehilangan ayahmu?” tanya Gita hati-hati dia tau tak pantas rasanya menanyakan pertanyaan ini, Bisma bahkan bukan siapa-siapa Nirmala
Nirmala tersenyum sambil melambai pada Caca yang masih memberengut dalam gendongan ibunya. “Kalau mama libur saja, Ca ikut ke rumah tante.” Nirmala berkata mencoba memberi pengertian pada Caca buka apa-apa kalau dia nekat membawa Caca menginap di rumahnya tanpa sang ibu, bisa-bisa tengah malam anak itu nangis mencari ibunya.“Mbak gimana Caca nangis tuh?” Nirmala memandang kasihan pada Caca yang mulai menangis.“Udah nggak papa tinggal saja habis ini juga lupa.”Nirmala melambai sekali lagi pada Caca tak tega sebenarnya, Caca yang memang suka makan kue buatan Nirmala sangat mengidolakan sang tante dan akan menangis jika ditinggal. Begitupun Nirmala yang memang pada dasarnya sangat suka anak kecil, langsung dekat dengan Caca begitu lahir. Mengobrol bersama Caca meski kadang tak dimengerti oleh anak itu adalah hiburan tersendiri untuknya, apalagi tingkah polahnya yang lucu dan menggemaskan selalu bisa membuatnya tertawa.“Lain
Berbicara santai sambil menikmati camilan berdua memang sudah jarang mereka lakukan, kesibukan yang menggunung membuat mereka lebih memilih menghabiskan waktu santai dengan beristirahat. Kalaupun mereka berbincang itu selalu dilakakn sambil bekerja entah itu Nirmala sambil mengaduk adonan atau Nia sambil menimbang camilan yang akan mereka jual keesokan harinya.Hari-hari yang mereka lalui disibukkan dengan bekerja dan bekerja, tidak adanya orang tua membuat mereka bertekad untuk bisa hidup dengan kemampuan sendiri, masa muda yang kebanyakan gadis lain dihabiskan dengan belajar dan nongkrong bareng teman tidak bisa mereka lakukan. Waktu dengan membicarakan hal konyol berdua, sangat mahal harganya. Malam telah semakin tua, tapi kantuk belum juga menyapa, Nia bahkan sudah menghabiskan setengah toples keripik kentang, acara kesukaannyapun telah usai sejak tadi. Nirmala yang biasanya setelah tidak ada pekerjaan mengeram di kamar, kini malah menemani Nia begad
Pemuda itu akan mampir kesini, entah mengapa Nirmala jadi sedikit salah tingkah, ya ampun memangnya dia anak SMA, usianya bahkan sudah thirty something. Nggak masuk akal banget ini pasti efek patah hati, makanya dia baper saat ada yang memujinya.“Nia pulang jam berapa?” tanya bu Lastri, mereka sudah selesai makan dan menikmati teh buatan Nirmala.“Jam sembilan kadang juga jam sepuluh, Bu,” jawab Nirmala.“Kalau pagi kamu sendirian?” bu Lastri menyesap sedikit tehnya, “kamu sudah lama jualan kue?”“Eh iya, Bu sejak ibu masih ada.” Bu Lastri ini meski bertanya dengan lembut, tapi Nirmala merasa seperti ditanya petugas polisi sebagai tersangka, bukan berarti dia pernah menjadi tersangka tapi begitulah yang sering dia lihat di tivi.“Oh maaf orang tuamu sudah meninggal dua-duanya?”“Iya bu ayah meninggal saat saya berada di tahun terakhir kuliah, sedangkan ibu menyusul dua tahun setelahnya,” Nirmala ber
Halaman depan rumah Nirmala memang tak begitu luas tapi tertata dengan baik, keberadaan taman bunga yang cantik menjadi pemandangan yang sayang untuk dilewatkan. Dulu ayahnyalah yang membuat taman itu, untuk sang istri tentu saja. Mawar dan anggrek menjadi bunga yang banyak ditanam oleh ayahnya karena ibunya penggemar berat keduanya, di sore hari sang ibu akan menyajikan teh hangat dan camilan, lalu mengajak sang ayah duduk di teras depan. Bercanda dan bertengkar kecil yang membuat hubungan keduanya sangat indah di mata Nirmala.meski Nirmala maupun Nia bukan penggemar bunga tapi mereka tetap menjaga taman itu dengan baik. Mereka merasa cinta kedua orang tuanya tak pernah mati meski jasad keduanya sudah dipeluk bumi.Dan saat ini bunga mawar yang mereka tanam telah mekar dengan indahnya.“Kamu nyolong bungaku ya,” kata Nirmala dengan pandangan menuduh. Sedangkan yang dituduh hanya melongo bodoh, tak menyangka akan kena semprot
“Mama minta kita program bayi tabung.” Radit yang baru saja melipat sarungnya menoleh pada Nirmala yang masih berbalut mukena. “Untuk apa?” tanya Radit. Nirmala menghela napas, waktu setelah sholat subuh dia pilih karena hanya waktu itu yang selalu memungkinkan mereka untuk bersama, Radit yang kadang pulang sangat malam atau bahkan dini hari dan Nirmala yang sudah terlelap membuat tak ada waktu untuk sekedar bercakap-cakap. “Kok untuk apa? sudah lama kita belum punya anak? Memangnya mas tidak mau punya anak,” kata Nirmala kesal. Untuk bicara masalah ini dia sudah berlatih sepanjang malam tadi. Sejujurnya Nirmala juga tidak suka dengan ide itu, tapi dia sadar beberapa tahun menikah belum juga punya anak dan usianya juga bertambah tua. “Aku sudah akan punya anak.” “Hah!” kepala yang semula tertunduk penuh rasa bersalah langsung terangkat, matanya melebar. R
Nirmala memasuki rumah mertuanya sore ini, pagi tadi Bu Lastri meneleponnya dan memintanya untuk ke mari.Mempunyai anak-anak yang telah beranjak dewasa membuat Bu Lastri kesepian itulah alasan beliau selalu meminta Nirmala datang ke rumahnya, meski wanita itu tak jarang juga memiliki kesibukan sendiri sehingga tak bisa memenuhi permintaan mertuanya.Berbeda untuk kali ini Bu Lastri tak mau mendengar apapun alasan Nirmala, bahkan menelepon berkali-kali untuk memastikan Nirmala bisa datang, saat ditanya ada apa beliau hanya mengatakan ada hal penting yang ingin dia katakan, membuat Nirmala sedikit was-was, apalagi hubungannya dengan Radit akhir-akhir ini agak merenggang.Radit yang lebih mementingkan pekerjaannya membuat Nirmala selalu snewen setiap hari, mereka paling hanya bertemu saat pagi hari, itu pun Radit akan buru-buru balik lagi ke rumah sakit. Tak ada lagi acara berbincang santai, atau pun membicarakan hal-hal konyol yang membuat me
Seminggu sudah Radit dibuat sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit, suaminya itu bahkan setiap hari pulang diatas jam dua belas malam dan akan berangkat lagi jam lima pagi. Mereka bahkan sudah jarang berkomunikasi bahkan lewat pesan singkat sekalipun. Kalau ditanya apa Nirmala tidak protes, jawabanya adalah sesering dia membuat kue. Tapi jawaban Radit tetap saja memintanya menunggu dengan alasan banyak pasienlah , atau akan ada seminar disuatu tempat, yang membuat Nirmala pusing sendiri dan akhirnya hanya membiarkan saja Radit dengan segala kesibukannya. Di rumah pun komunikasi mereka hanya seputaran Radit yang menanyakan baju ganti untuknya dan bekal sarapan di tiap pagi karena laki-laki itu tak akan sempat makan di rumah. Nirmala yang mengantar suaminya pergi kerja hanya menatap malas saat Radit berkata akan mengusahakan pulang secepatnya. Bukannya dia tak percaya lagi pada sang suami tapi sudah banyak k
Nirmala meregangkan tubuhnya yang meringkuk di atas ranjang. Dia menoleh ke samping, tak ada sosok yang selama dua tahun ini menemani tidurnya. "Apa tadi malam aku mimpi? tapi kok terasa nyata?" Nirmala segera memeriksa bagian samping ranjang, tidak terlalu dingin dan agak kusut, berarti tadi malam dia tidak mimpi lalu di mana sekarang suaminya? Apa sudah berangkat kerja, sepagi ini?Wanita itu bergerak malas, matanya masih sangat mengantuk, tadi malam dia menangis lama sekali, entah kenapa akhir-akhir ini dia berubah menjadi cengeng, matanya sudah pasti akan terlihat bengkak. Dengan malas Nirmala memaksakan diri untuk bangun, dia harus mengompres mukanya, akan banyak pertanyaan kalau dia muncul dengan wajah seperti itu.Benar saja matanya sebesar bola pimpong, dengan sebal dia menekan-nekan matanya dengan handuk hangat berharap matanya akan kembali seperti sedia kala. Nirmala keluar dari kamar d
Berpuluh-puluh pesan telah dia kirim tapi tak satupun yang diabalas oleh sang suami bahkan dibaca pun tidak. Nirmala sudah menyerah dengan langkah lemas dia memberekan semua, tak diperdulikannya perutnya yang sejak tadi belum terisi. Sekarang dia hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul sebelas malam, mungkin sang suami sebentar lagi akan pulang tapi Nirmala sudah tak perduli. Dia terlanjur kecewa. Selama satu jam dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang. Di kejauhan terdengar sirine yang berbunyi menandakan hari telah berganti. Nirmala semakin gelisah. Tidak biasanya Radit pulang selarut ini apa dia baik-baik saja? Apa perlu dia menyusul ke rumah sakit tempatnya bekerja? cuma jalan kaki sepuluh menit juga.Tapi Nirmala juga takut ini sudah tengah malam, kalau Radit sedang sibuk dengan pasiennya bagaimana? Dia akan sangat menganggu nanti. Hatinya berdebar tak nyaman akhi
Sejak pagi hari Nirmala sudah berkutat dengan berbagai macam bahan yang akan dia gunakan untuk membuat sebuah kue tart spesial. Dia sengaja membuat kue di rumahnya sendiri tidak di rumah yang dia tempati bersama Radit. Lagi pula dengan dia membuat kue di rumahnya ada Rina dan pegawai yang lain yang bisa membantu. Hari ini memang bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahannya dengan Radit yang berusia dua tahun, tak ada perayaan khusus memang dia hanya ingin makan malam bersama sang suami, berdua saja, untuk itu dia sudah memastikan berkali-kali pada Radit harus pulang kerja sebelum makan malam dan suaminya itu menyanggupi. Semoga saja memang terlaksana, sejak pembicaraan mereka beberapa hari memang belum ada perubahan sama sekali Radit tetap saja pulang sampai larut malam lalu pagi-pagi buta pergi lagi. Nirmala hanya perlu menunggu waktu satu bulan yang dijanjikan Radit.“Seneng banget yang mau makan malam
“Aku benar-benar minta maaf untuk siang tadi tapi jangan lagi mengatakan perpisahan, itu membuat aku kesakitan.”“Lalu untuk apa hubungan kita ini jika selama ini kamu seperti menjauhiku?”Radit menatap Nirmala tak mengerti. “Apa kamu masih nggak percaya sama aku dan lebih percaya pada Sazi?”“Apa hubungan permbicaraan kita dengan Sazi?” “Kejadian dua tahun yang lalu,” jawab Nirmala lirih. Mengingat kejadian itu seolah mengorek luka yang masih basah. Kehilangan memang bukan hal yang mudah untuk dilupakan apalagi dia harus kehilangan anak, meski wujudnya belum dapat dia lihat. Tapi rasa bersalah itu terus bercokol dalam hatinya, dan semakin kuat berakar saat sampai sekarang belum ada yang tumbuh di rahimnya. Tak ingin Radit tahu serapuh apa dirinya saat mengingat kejadian itu, Nirmala memutar tubuhnya membelakangi sang suami. Air matanya menetes tak bisa ditahan lagi. Radit menghela nafasnya sedih, kejadian dua tahun yang lalu juga masih membekas dalam ingatannya, bukan dia menyal
Nirmala memandang Radit tajam. “Kamu sok tahu banget ini, aku dari tadi juga istirahat. Sudahlah aku mau menyelesaikan ini kamu sebaiknya pulang dulu, Mas. Aku bisa tidur di sini besok pagi pasti kamu berangkat pagi sekali.” Nirmala menekankan ucapannya pada kata ‘pasti’ yang dia yakini sebagai kebiasaan Radit. Dia bukan sedang ingin membalas dendam atau membantah suaminya sekali lagi bukan, dia hanya ingin sekali dimengerti sekali saja. Kali ini dia ingin egois, tak mau menjadi orang yang pengertian, dia sudah lelah, sangat lelah dengan semua ini. Andai saja sang suami mau sedikit berbagi dengannya membicarakannya secara baik-baik mungkin Nirmala akan bisa mengerti. Hanya itu. Dia bukan ibu peri yang selalu bisa mengerti dan memaklumi dengan sikapnya. Sesekali dia juga ingin dimengerti dan dipahami. Dia wanita yang sudah bersuami jadi selayaknya kalau dia ingin seperti orang-orang lain yang bisa sesekali pergi dengan suaminya, menghabisk
Nirmala merebahkan tubuhnya yang lelah di sebuah sofa yang memang dia sedikan untuk tempat istirahat saat sibuk di toko. Belanja bersama Gita ternyata sama lelahnya dengan berbelanja dengan Bu Lastri, mertuanya. Nirmala harus rela diseret ke sana ke mari hanya untuk membeli sebuuah gaun yang diinginkan Gita. Meski begitu Nirmala senang pergi bersama gita hari ini sedikit banyak dia bisa melupakan masalahnya. “Mbak Mala, nggak pulang?” Mbak Ratna menyapa Nirmala yang masih duduk bersandar dengan nyaman. “Mbak Ratna duluan saja, masih ada yang harus aku kerjakan.” Mbak Ratna memandang sejenak pada Nirmala, tapi kemudian menelan kembali apapun kalimat yang sudah ada di ujung lidahnya.“Ya sudah, Mbak kalau begitu aku pamit, dulu . Mbak Mala benar nggak apa-apa ditinggal sendiri atau perlu saya hubungi Nia biar kemari.” “Lah buat apa wong saya cuma mau selesaikan cupcake saja, tenang saja, Mba