“Biar mbak ikut kamu ke pasar, Ni.”
“Mbak yakin aku masih bisa bawa kok, Mbak istirahat saja hari ini tidak ada pesanan.” Pagi ini Nirmala sudah rapi dengan kaos warna kuning dan celana jins, karena ulahnya kemarin yang membuat donat dengan jumlah yang banyak pagi ini Nia berniat menjual beberapa buah donat tentu saja setelah mereka membagi-bagikan pada para tetangga dan orang terdekat. Oh jangan lupakan juga anak-anak panti yang berada tak jauh dengan rumah mereka juga mendapat jatah. Entah mengapa donat yang dibuat Nirmala seolah tak ada habisnya. Akhirnya gadis itu memutuskan menjual sisanya dia memang mengakui donat buatan Nirmala enak tapi dia tak segila itu untuk memakan donat seminggu penuh seperti saran Nirmala. “Mbak baik-baik saja, kamu akan kerepotan bawa ini semua.” “Baiklah, terserah mbak Mala saja.” Ini memang bukan pertama kalinya Nirmala membantu Nia berjualan di pasar biasanya dia akan sekalian membeli bahan kue atau berbelanja kebutuhan, meski cenderung kaku dan tidak bisa seluwes Nia, tapi banyak juga pelanggan toko mereka yang lebih senang bisa bicara langsung dengan Nirmala terutama ibu-ibu yang memang senang membuat kue, dan Nirmala sendiri yang memang pada dasaranya bukan orang yang pelit membagi ilmu akan dengan senang hati menjawab pertanyaan ibu-ibu itu. Dari sanalah Nirmala membangun kepercaayan mereka, karena banyak dari mereka yang pada akhirnya memilih memesan kue saja dari pada membuat sendiri. “Kue mbak Mala, lebih enak dan saya yakin bahan yang digunakan juga baik, jadi tak perlu khawatir lagi.” Yah beragam alasan akan mereka kemukakan, dari yang sibuk tak sempat membuat atau memang karena alasan kepraktisan dan Nirmala akan maklum dengan hal itu, dan akan menjadi berkah tersendiri untuknya. Jam delapan pagi pasar sudah penuh dengan orang-orang yang berlalu lalang baik itu pembeli yang mencari keperluannya atau pedagang yang menjajakan barang dagangannya. Pasar legi begitulah mereka menyebutnya, nama yang entah siapa yang memberikannya. Meski pasar itu tak hanya buka pada pasaran legi saja. Entahlah mungkin itu hanya sebuah nama julukan pada awalnya yang telah terlanjur melekat di benak semua orang sehingga sampai sekarang orang menyebut pasar itu dengan pasar legi. Dan jangan ditanya jam buka pasar legi karena pasar itu beroperasi 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu. Mereka tidak punya hari libur yang tetap seperti para pegawai kantoran, kalau lelah mereka akan meliburkan dirinya sendiri tak ada yang melarang. “Tumben, La ikut ke pasar, biasanya Nia sendiri,” sapa seorang wanita paruh baya yang masih tetangga mereka, dan yang membuat Nirmala takjub adalah meski wanita itu bertubuh kecil dan usianya tak muda lagi tapi dia masih sanggup membawa tidak kurang dari dua puluh ikat kangkung di atas kepalanya belum lagi dia masih membawa tas rotan yang telah terisi berbagai kebutuhan. “Mbok Jah naik apa? biar tak bawakan tas rotannya.” “Dijemput bapaknya anak-anak di depan, halah nggak usah La aku masih bisa bawa, sudah biasa ini, tanya Nia tuh.” Nirmala memandang Nia yang membenarkan perkataan mbok Jah. “Mau belanja La kok ikut ke pasar?” tanya mbok Jah lagi karena Nirmala tak menjawab pertanyaannya. “Iya mbok sekalian mau lihat suasana pasar.” Mbok Jah berlalu setelah berpamitan pada Nirmala dan Nia. “itu benar nggak berat apa Nia?’ tanya Nirmala masih memandang mbok Jah dengan takjub. “Nggak tau, Mbak sudah biasa mungkin tiap hari angkat berat, yuk ah mbak.” Hari sudah beranjak siang matahari juga menampakkan sinarnya yang garang, pasar semakin ramai oleh pembeli beberapa kali Nirmala yang akan mencari kebutuhan sehari-hari mereka harus ditunda dulu, Nia tampak kerepotan melayani pembeli sendirian. Ada yang sekedar hanya bertanya ini itu atau bahkan langsung memesan kue yang mereka inginkan. “Ini donatnya enak apa nggak Mbak?” seorang wanita muda melihat donat yang kemarin dibuat Nirmala. “Ya enak mbak masak nggak enak dijual sih.” Nia menjawab dengan lancarnya. “Titipan apa,Mbak?” Nia melirik Nirmala sejenak yang hanya diam saja. “Bukan ini kakak saya sendiri yang buat rasanya dijamin enak mbak. Silahkan coba ini edisi spesial nggak setiap hari dibuat makanya jarang ada di lapak saya.” “Spesial gimana mbak waktu ulang tahun saja buatnya,” kata wanita itu sambil tersenyum. “Ya bisa dibilang begitu mbak makanya mbak harus coba.” “Iya deh, Mbak aku coba dua saja.” “Nggak nambah mbak besok sudah nggak ada edisi spesial, kalau nagih sulit carinya.” “Kayak narkoba saja mbak nagih.” Mereka berdua tertawa. “Ya sudah bungkus tiga, lapis legit dua sama makaroni pedasnya dua bungkus mbak.” “Ok, Mbak dua puluh ribu semua.”wanita itu memberikan dua lembar uang sepuluh ribuan. “Mbak lapis legitnya nggak ada lagi tinggal tiga ini saja?” seorang laki-laki muda tiba-tiba menghentikan obrolan mereka. Wajah meski terlihat lelah tapi tak bisa menyembunyikan ketampanannya. Beberapa wanita sampai terpesona melihatnya, kulitnya yang putih bersih membuat Nia serasa belum mandi tiga hari. “Yah cuma itu mas. Masnya kurang pagi kesininya memang butuh banyak apa?” “Enggak sih, Mbak suka saja dengan kue lapis legit di sini ibu saya yang biasanya belikan.” “Ibu mas siapa namanya?” tanya Nia penasaran. “Mbaknya kepo, penasaran banget nih,” goda pemuda itu dengan tampang tengilnya. “Ya sapa tau saya kenal gitu, Mas.” “Kalau kenal saya dikasih diskon ya, Mbak.” “Walah malah minta diskon, ya sudah deh saya kasih diskon kalau pesan lebih dari seratus.” “Bisa belang-belang muka saya mbak kalau makan kue lapis seratus sendirian.” “Lah tadi katanya mau diskon ya beli segitu baru dapat diskon.” “Emang berapa mbak diskonnya kalau beli seratus?” tanya pemuda itu iseng. “Diskon seratus rupiah tiap biji, sama dapat tambahan dua biji lagi.” “Ya elah mbak seratus rupiah mah cuma untuk beli permen itu.” “Jangan salah seratus kali seratus itu sudah sepuluh ribu beli permen segitu sudah bisa buat manisan gigi, kalau masih kurang aku tambah senyum manis dari yang buat.” “Emang mbaknya yang buat?” “Ya bukanlah aku cuma ngejualin, kenalin mbak cantik di sana yang bikin.” Tunjuk Nia pada Nirmala yang langsung melotot galak pada adiknya. “Wah mau banget saya dapat senyum manis dari mbaknya yang itu,” “Jangan aneh-aneh kamu, Nin.” Nirmala memandang adiknya dengan tajam. “Senyum mbak dikit aja.” “Kamu mau beli apa lagi?” tanya Nirmala yang tidak menanggapi permintaan pemuda itu wajahnya dari tadi hanya terlihat datar tak ada senyum sama sekali yang bertengger di sana. “Mbak senyum gih biar banyak pelanggan.” Nia menyenggol lengan kakaknya. “Yah mbaknya lagi sariawan ternyata nggak mau senyum, ya sudah deh kalau sudah nggak sariawan jangan lupa senyum ke aku loh ya, jangankan seratus kue lapis seribupun akan aku beli demi senyum mbaknya.” Nirmala memutar bola matanya malas sedangkan Nia memalingkan mukanya ke samping menahan tawa geli yang akan menyembur. “Nih mas mau sekalian donatnya mbak ini juga lho yang buat dijamin pasti nagih, ini buatnya spesial karena masnya beli hari ini.” “Wah boleh deh kayaknya enak.” “Tentu aja mas tapi ini khusus hari ini saja, besok udah nggak bikin.” “Lah kenapa begitu, mbak?” “Karena ini donat spesial, kalau dibuat tiap hari jadinya nggak spesial dong.” “Ok deh, kalau begitu aku beli lapisnya tiga donatnya lima, sama cenil yang imut ini lima juga, ini udah beli banyak nggak ada bonus nih mbak, no hape mbaknya yang bikin juga nggak papa,” Kata pemuda itu dengan cengengesan. “Brondong gila.” Desis Nirmala pelan mukanya sudah merah entah malu atau marah. “Wah mbaknya kok tau saya brondong, tenang mbak meski saya brondong bisa jadi imam yang baik untuk mbaknya.” Nia tak mampu lagi menahan tawanya bahkan orang-orang yang ada di sekitar mereka juga terkikik geli. “saya bisa minta dibuatkan kue tiap hari.” Lanjutnya. “Sudah semua dua puluh enam ribu, Mas,” kata Nia yang masih harus menahan tawanya. Pemuda itu menyerahkan tiga lembar uang sepuluh ribuan pada Nia. “Sudah selesai belanjanya, Mas? Ayo pulang sudah siang.” Seorang wanita menepuk lengan pemuda itu. “Iya, sebentar tunggu kembalian, cantik” kata pemuda itu lembut. Hah ternyata benar pemuda itu memang buaya, untung tadi Nirmala nggak baper.Nirmala tersenyum senang donat yang ia buat kemarin hampir habis hanya masih tersisa tiga buah, meski niatnya membuat donat hanya ingin sedikit mengalihkan rasa kesalnya tapi ternyata dia membuat kebanyakan, hah memang tidak ada baik-baiknya menyimpan rasa marah. Dia sadar bagaimanapun semua hal telah ada yang mengatur, jodoh, maut dan rejeki, sekeras apapun dia berusaha tak akan mampu mengubah apapun jika memang Bisma bukan jodohnya. Yah saat pikirannya sedikit tenang dia akan menelaah perasaannya sendiri, membolak balik pikirannya sendiri. Dia memang bukan pribadi yang terbuka dengan seseorang, menjadi anak pertama sekaligus menjadi yatim piatu di usia yang sangat muda membuatnya harus mengemban tugas yang berat sebagai kepala keluarga. Meski Nia bukan anak manja yang hanya bisa bergantung padanya, tapi sekali lagi dia anak sulung dan hanya Nia yang dia punya sekarang jadi dia harus bisa mengcover semua masalah yang mereka hadapi, termasuk masalah hatinya. Nirmala tahu Nia sanga
Saat ayahnya Nirmala memang masih di tahun akhir kuliahnya, tapi karena tak adanya biaya juga karena kebutuhan sehari-hari yang mendesak, cuti kuliah adalah pilihannya saat itu. Tapi bukan berarti keinginannya untuk melanjutkan pendidikan berhenti sampai di sana, lima tahun setelahnya Nirmala berhasil meraih gelar sarjana, tentu saja semua itu tak lepas dari dukungan Nia sebagai keluarga satu-satunya yang ia punya, ibunya telah berpulang dua tahun sebelumnya. Saat memutuskan melanjutkan pendidikannya lagi itu Nirmala bertemu Bisma, teman masa SMAnya. Lucunya meski mereka dulu teman seangkatan waktu SMA, tapi karena Nirmala telat melanjutkan kuliahnya jadilah dia harus memanggil Bisma dengan sebutan bapak. Yah tentu saja Bisma yang telah menyelesaikan strata duanya mengabdi di kampus tempat Nirmala belajar sebagai dosen. Sempat kagok juga Nirmala, di kampus harus memanggilnya dengan sebutan bapak sedangkan di luar kampus mereka adalah teman dan Bisma tak sudi dipanggil
Nirmala mengamati ponsel yang memang khusus untuk usahanya dengan heran, banyak pesanan kue yang masuk, dari event di kampus, acara hajatan sampai pengajian ibu-ibu. Nirmala tidak akan merasa heran kalau saja mereka tidak menyebutkan suatu nama yang tidak ingin lagi dia dengar. Bisma. Mereka memesan atas rekomendasi laki-laki itu, untuk apa dia masih mau membantunya. Bahkan kue untuk pertunangannyapun Nirmala yang harus buat, seolah Nirmala hanya kenalan yang kebetulan bisa membuat kue. “Kenapa, Mbak?” Nia yang sudah segar sehabis mandi sore menghampiri kakaknya yang duduk termenung sambil memegang ponsel. “Kita banyak pesanan,” gadis itu lalu beranjak ke dapur meninggalkan Nia yang kebingungan. Memang banyak pesan masuk, beberapa hanya bertanya kue apa yang bisa di pesan, berapa harganya dan lain-lain, tapi banyak juga yang langsung memesan dengan jumlah yang cukup banyak dan harinyapun berdekatan. “Apa mbak Jani kuwalahan
“Baru pulang. Mbak?” jam sembilam malam Nirmala melangkahkan kaki memasuki ruang tamu rumahnya, Bisma hanya mengantarnya sampai pintu, tak ikut masuk hari sudah malam memang.“Iya, ini martabak manis buatmu, kamu nggak jadi keluar tadi?” Nirmala meletakkan bungkusan martabak yang berbau harum di atas meja makan, memperhatikan Nia sejanak yang menonton tivi, piyama berwarna hijau bergambar keropi sudah dia kenakan. Adiknya tadi mengatakan akan pergi ke acara reuni bersama teman-teman SMAnya yang diadalan di sebuah café.“Sudah, tadi pulang jam delapan.” Nirmala hanya menggangguk lalu melangkah ke dalam kamarnya.Satu bulan sudah dia menyandang status sebagai kekasih Bisma. Senyum manis selalu menghiasi wajahnya. Bahagianya jatuh cinta, apalagi Bisma adalah pacar pertama setelah dua puluh enam tahun. Sepulang mengajar Bisma biasanya mampir ke rumah Nirmala, tidak ada jadwal khusus memang sesempatnya saja, warna merah jamb
Nirmala sudah menyelesaikan makannya, dua piring nasi hangat amblas ke perut Nirmala, Gita sampai geleng-geleng kepala. Ini yang kata Nia tak mau makan. Herannya meski Nirmala banyak makan tubuhnya tak berubah gemuk, bahkan seingat Gita dari mulai sma tubuhnya hanya segitu tak bertambah tinggi ataupun lebar. Entah karena keturunan atau memang tiap hari dia harus kerja keras membuat kue.“Kamu ingat saat ayahmu meninggal, La?” tanya Gita tiba-tiba, membuat Nirmala yang masih mencari serpihan ayam dalam sambal mengangkat wajahnya.“Tentu saja, mbak itu salah satu hari paling buruk untukku. Kenapa mbak tiba-tiba menanyakan itu?”“Mbak tidak bermaksud mengingatkanmu pada kenangan sedih itu,” Gita memandang Nirmala sejenak lalu melanjutkan, “bagaimana perasaanmu sekarang apakah kehilangan Bisma sama sedihnya dengan kehilangan ayahmu?” tanya Gita hati-hati dia tau tak pantas rasanya menanyakan pertanyaan ini, Bisma bahkan bukan siapa-siapa Nirmala
Nirmala tersenyum sambil melambai pada Caca yang masih memberengut dalam gendongan ibunya. “Kalau mama libur saja, Ca ikut ke rumah tante.” Nirmala berkata mencoba memberi pengertian pada Caca buka apa-apa kalau dia nekat membawa Caca menginap di rumahnya tanpa sang ibu, bisa-bisa tengah malam anak itu nangis mencari ibunya.“Mbak gimana Caca nangis tuh?” Nirmala memandang kasihan pada Caca yang mulai menangis.“Udah nggak papa tinggal saja habis ini juga lupa.”Nirmala melambai sekali lagi pada Caca tak tega sebenarnya, Caca yang memang suka makan kue buatan Nirmala sangat mengidolakan sang tante dan akan menangis jika ditinggal. Begitupun Nirmala yang memang pada dasarnya sangat suka anak kecil, langsung dekat dengan Caca begitu lahir. Mengobrol bersama Caca meski kadang tak dimengerti oleh anak itu adalah hiburan tersendiri untuknya, apalagi tingkah polahnya yang lucu dan menggemaskan selalu bisa membuatnya tertawa.“Lain
Berbicara santai sambil menikmati camilan berdua memang sudah jarang mereka lakukan, kesibukan yang menggunung membuat mereka lebih memilih menghabiskan waktu santai dengan beristirahat. Kalaupun mereka berbincang itu selalu dilakakn sambil bekerja entah itu Nirmala sambil mengaduk adonan atau Nia sambil menimbang camilan yang akan mereka jual keesokan harinya.Hari-hari yang mereka lalui disibukkan dengan bekerja dan bekerja, tidak adanya orang tua membuat mereka bertekad untuk bisa hidup dengan kemampuan sendiri, masa muda yang kebanyakan gadis lain dihabiskan dengan belajar dan nongkrong bareng teman tidak bisa mereka lakukan. Waktu dengan membicarakan hal konyol berdua, sangat mahal harganya. Malam telah semakin tua, tapi kantuk belum juga menyapa, Nia bahkan sudah menghabiskan setengah toples keripik kentang, acara kesukaannyapun telah usai sejak tadi. Nirmala yang biasanya setelah tidak ada pekerjaan mengeram di kamar, kini malah menemani Nia begad
Pemuda itu akan mampir kesini, entah mengapa Nirmala jadi sedikit salah tingkah, ya ampun memangnya dia anak SMA, usianya bahkan sudah thirty something. Nggak masuk akal banget ini pasti efek patah hati, makanya dia baper saat ada yang memujinya.“Nia pulang jam berapa?” tanya bu Lastri, mereka sudah selesai makan dan menikmati teh buatan Nirmala.“Jam sembilan kadang juga jam sepuluh, Bu,” jawab Nirmala.“Kalau pagi kamu sendirian?” bu Lastri menyesap sedikit tehnya, “kamu sudah lama jualan kue?”“Eh iya, Bu sejak ibu masih ada.” Bu Lastri ini meski bertanya dengan lembut, tapi Nirmala merasa seperti ditanya petugas polisi sebagai tersangka, bukan berarti dia pernah menjadi tersangka tapi begitulah yang sering dia lihat di tivi.“Oh maaf orang tuamu sudah meninggal dua-duanya?”“Iya bu ayah meninggal saat saya berada di tahun terakhir kuliah, sedangkan ibu menyusul dua tahun setelahnya,” Nirmala ber
“Mama minta kita program bayi tabung.” Radit yang baru saja melipat sarungnya menoleh pada Nirmala yang masih berbalut mukena. “Untuk apa?” tanya Radit. Nirmala menghela napas, waktu setelah sholat subuh dia pilih karena hanya waktu itu yang selalu memungkinkan mereka untuk bersama, Radit yang kadang pulang sangat malam atau bahkan dini hari dan Nirmala yang sudah terlelap membuat tak ada waktu untuk sekedar bercakap-cakap. “Kok untuk apa? sudah lama kita belum punya anak? Memangnya mas tidak mau punya anak,” kata Nirmala kesal. Untuk bicara masalah ini dia sudah berlatih sepanjang malam tadi. Sejujurnya Nirmala juga tidak suka dengan ide itu, tapi dia sadar beberapa tahun menikah belum juga punya anak dan usianya juga bertambah tua. “Aku sudah akan punya anak.” “Hah!” kepala yang semula tertunduk penuh rasa bersalah langsung terangkat, matanya melebar. R
Nirmala memasuki rumah mertuanya sore ini, pagi tadi Bu Lastri meneleponnya dan memintanya untuk ke mari.Mempunyai anak-anak yang telah beranjak dewasa membuat Bu Lastri kesepian itulah alasan beliau selalu meminta Nirmala datang ke rumahnya, meski wanita itu tak jarang juga memiliki kesibukan sendiri sehingga tak bisa memenuhi permintaan mertuanya.Berbeda untuk kali ini Bu Lastri tak mau mendengar apapun alasan Nirmala, bahkan menelepon berkali-kali untuk memastikan Nirmala bisa datang, saat ditanya ada apa beliau hanya mengatakan ada hal penting yang ingin dia katakan, membuat Nirmala sedikit was-was, apalagi hubungannya dengan Radit akhir-akhir ini agak merenggang.Radit yang lebih mementingkan pekerjaannya membuat Nirmala selalu snewen setiap hari, mereka paling hanya bertemu saat pagi hari, itu pun Radit akan buru-buru balik lagi ke rumah sakit. Tak ada lagi acara berbincang santai, atau pun membicarakan hal-hal konyol yang membuat me
Seminggu sudah Radit dibuat sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit, suaminya itu bahkan setiap hari pulang diatas jam dua belas malam dan akan berangkat lagi jam lima pagi. Mereka bahkan sudah jarang berkomunikasi bahkan lewat pesan singkat sekalipun. Kalau ditanya apa Nirmala tidak protes, jawabanya adalah sesering dia membuat kue. Tapi jawaban Radit tetap saja memintanya menunggu dengan alasan banyak pasienlah , atau akan ada seminar disuatu tempat, yang membuat Nirmala pusing sendiri dan akhirnya hanya membiarkan saja Radit dengan segala kesibukannya. Di rumah pun komunikasi mereka hanya seputaran Radit yang menanyakan baju ganti untuknya dan bekal sarapan di tiap pagi karena laki-laki itu tak akan sempat makan di rumah. Nirmala yang mengantar suaminya pergi kerja hanya menatap malas saat Radit berkata akan mengusahakan pulang secepatnya. Bukannya dia tak percaya lagi pada sang suami tapi sudah banyak k
Nirmala meregangkan tubuhnya yang meringkuk di atas ranjang. Dia menoleh ke samping, tak ada sosok yang selama dua tahun ini menemani tidurnya. "Apa tadi malam aku mimpi? tapi kok terasa nyata?" Nirmala segera memeriksa bagian samping ranjang, tidak terlalu dingin dan agak kusut, berarti tadi malam dia tidak mimpi lalu di mana sekarang suaminya? Apa sudah berangkat kerja, sepagi ini?Wanita itu bergerak malas, matanya masih sangat mengantuk, tadi malam dia menangis lama sekali, entah kenapa akhir-akhir ini dia berubah menjadi cengeng, matanya sudah pasti akan terlihat bengkak. Dengan malas Nirmala memaksakan diri untuk bangun, dia harus mengompres mukanya, akan banyak pertanyaan kalau dia muncul dengan wajah seperti itu.Benar saja matanya sebesar bola pimpong, dengan sebal dia menekan-nekan matanya dengan handuk hangat berharap matanya akan kembali seperti sedia kala. Nirmala keluar dari kamar d
Berpuluh-puluh pesan telah dia kirim tapi tak satupun yang diabalas oleh sang suami bahkan dibaca pun tidak. Nirmala sudah menyerah dengan langkah lemas dia memberekan semua, tak diperdulikannya perutnya yang sejak tadi belum terisi. Sekarang dia hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul sebelas malam, mungkin sang suami sebentar lagi akan pulang tapi Nirmala sudah tak perduli. Dia terlanjur kecewa. Selama satu jam dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang. Di kejauhan terdengar sirine yang berbunyi menandakan hari telah berganti. Nirmala semakin gelisah. Tidak biasanya Radit pulang selarut ini apa dia baik-baik saja? Apa perlu dia menyusul ke rumah sakit tempatnya bekerja? cuma jalan kaki sepuluh menit juga.Tapi Nirmala juga takut ini sudah tengah malam, kalau Radit sedang sibuk dengan pasiennya bagaimana? Dia akan sangat menganggu nanti. Hatinya berdebar tak nyaman akhi
Sejak pagi hari Nirmala sudah berkutat dengan berbagai macam bahan yang akan dia gunakan untuk membuat sebuah kue tart spesial. Dia sengaja membuat kue di rumahnya sendiri tidak di rumah yang dia tempati bersama Radit. Lagi pula dengan dia membuat kue di rumahnya ada Rina dan pegawai yang lain yang bisa membantu. Hari ini memang bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahannya dengan Radit yang berusia dua tahun, tak ada perayaan khusus memang dia hanya ingin makan malam bersama sang suami, berdua saja, untuk itu dia sudah memastikan berkali-kali pada Radit harus pulang kerja sebelum makan malam dan suaminya itu menyanggupi. Semoga saja memang terlaksana, sejak pembicaraan mereka beberapa hari memang belum ada perubahan sama sekali Radit tetap saja pulang sampai larut malam lalu pagi-pagi buta pergi lagi. Nirmala hanya perlu menunggu waktu satu bulan yang dijanjikan Radit.“Seneng banget yang mau makan malam
“Aku benar-benar minta maaf untuk siang tadi tapi jangan lagi mengatakan perpisahan, itu membuat aku kesakitan.”“Lalu untuk apa hubungan kita ini jika selama ini kamu seperti menjauhiku?”Radit menatap Nirmala tak mengerti. “Apa kamu masih nggak percaya sama aku dan lebih percaya pada Sazi?”“Apa hubungan permbicaraan kita dengan Sazi?” “Kejadian dua tahun yang lalu,” jawab Nirmala lirih. Mengingat kejadian itu seolah mengorek luka yang masih basah. Kehilangan memang bukan hal yang mudah untuk dilupakan apalagi dia harus kehilangan anak, meski wujudnya belum dapat dia lihat. Tapi rasa bersalah itu terus bercokol dalam hatinya, dan semakin kuat berakar saat sampai sekarang belum ada yang tumbuh di rahimnya. Tak ingin Radit tahu serapuh apa dirinya saat mengingat kejadian itu, Nirmala memutar tubuhnya membelakangi sang suami. Air matanya menetes tak bisa ditahan lagi. Radit menghela nafasnya sedih, kejadian dua tahun yang lalu juga masih membekas dalam ingatannya, bukan dia menyal
Nirmala memandang Radit tajam. “Kamu sok tahu banget ini, aku dari tadi juga istirahat. Sudahlah aku mau menyelesaikan ini kamu sebaiknya pulang dulu, Mas. Aku bisa tidur di sini besok pagi pasti kamu berangkat pagi sekali.” Nirmala menekankan ucapannya pada kata ‘pasti’ yang dia yakini sebagai kebiasaan Radit. Dia bukan sedang ingin membalas dendam atau membantah suaminya sekali lagi bukan, dia hanya ingin sekali dimengerti sekali saja. Kali ini dia ingin egois, tak mau menjadi orang yang pengertian, dia sudah lelah, sangat lelah dengan semua ini. Andai saja sang suami mau sedikit berbagi dengannya membicarakannya secara baik-baik mungkin Nirmala akan bisa mengerti. Hanya itu. Dia bukan ibu peri yang selalu bisa mengerti dan memaklumi dengan sikapnya. Sesekali dia juga ingin dimengerti dan dipahami. Dia wanita yang sudah bersuami jadi selayaknya kalau dia ingin seperti orang-orang lain yang bisa sesekali pergi dengan suaminya, menghabisk
Nirmala merebahkan tubuhnya yang lelah di sebuah sofa yang memang dia sedikan untuk tempat istirahat saat sibuk di toko. Belanja bersama Gita ternyata sama lelahnya dengan berbelanja dengan Bu Lastri, mertuanya. Nirmala harus rela diseret ke sana ke mari hanya untuk membeli sebuuah gaun yang diinginkan Gita. Meski begitu Nirmala senang pergi bersama gita hari ini sedikit banyak dia bisa melupakan masalahnya. “Mbak Mala, nggak pulang?” Mbak Ratna menyapa Nirmala yang masih duduk bersandar dengan nyaman. “Mbak Ratna duluan saja, masih ada yang harus aku kerjakan.” Mbak Ratna memandang sejenak pada Nirmala, tapi kemudian menelan kembali apapun kalimat yang sudah ada di ujung lidahnya.“Ya sudah, Mbak kalau begitu aku pamit, dulu . Mbak Mala benar nggak apa-apa ditinggal sendiri atau perlu saya hubungi Nia biar kemari.” “Lah buat apa wong saya cuma mau selesaikan cupcake saja, tenang saja, Mba