Share

5. Pasar

Author: Ajeng padmi
last update Last Updated: 2024-11-19 06:58:19

“Biar mbak ikut kamu ke pasar, Ni.”

“Mbak yakin aku masih bisa bawa kok, Mbak istirahat saja hari ini tidak ada pesanan.” 

Pagi ini Nirmala sudah rapi dengan kaos warna kuning dan celana jins, karena ulahnya kemarin yang membuat donat dengan jumlah yang banyak pagi ini Nia berniat menjual beberapa buah donat tentu saja setelah mereka membagi-bagikan pada para tetangga dan orang terdekat. Oh jangan lupakan juga anak-anak panti yang berada tak jauh dengan rumah mereka juga mendapat jatah. 

Entah mengapa donat yang dibuat Nirmala seolah tak ada habisnya. Akhirnya gadis itu memutuskan menjual sisanya dia memang mengakui donat buatan Nirmala enak tapi dia tak segila itu untuk memakan donat seminggu penuh seperti saran Nirmala.

“Mbak baik-baik saja, kamu akan kerepotan bawa ini semua.”

“Baiklah, terserah mbak Mala saja.”

Ini memang bukan pertama kalinya Nirmala membantu Nia berjualan di pasar  biasanya dia akan sekalian membeli bahan kue atau berbelanja kebutuhan, meski cenderung kaku dan tidak bisa seluwes Nia, tapi banyak juga pelanggan toko mereka yang lebih senang bisa bicara langsung dengan Nirmala terutama ibu-ibu yang memang senang membuat kue, dan Nirmala sendiri yang memang pada dasaranya bukan orang yang pelit membagi ilmu akan dengan senang hati menjawab pertanyaan ibu-ibu itu. 

Dari sanalah Nirmala membangun kepercaayan mereka, karena banyak dari mereka yang pada akhirnya memilih memesan kue saja dari pada membuat sendiri.

“Kue mbak Mala, lebih enak dan saya yakin bahan yang digunakan juga baik, jadi tak perlu khawatir lagi.”

Yah beragam alasan akan mereka kemukakan, dari yang sibuk tak sempat membuat atau memang karena alasan kepraktisan dan Nirmala akan maklum dengan hal itu, dan akan menjadi berkah tersendiri untuknya.

Jam delapan pagi pasar sudah penuh dengan orang-orang yang berlalu lalang baik itu pembeli yang mencari keperluannya atau pedagang yang menjajakan barang dagangannya. 

Pasar legi begitulah mereka menyebutnya, nama yang entah siapa yang memberikannya. Meski pasar itu tak hanya buka pada pasaran legi saja. 

Entahlah mungkin itu hanya sebuah nama julukan pada awalnya yang telah terlanjur melekat di benak semua orang sehingga sampai sekarang orang menyebut pasar itu dengan pasar legi. 

Dan jangan ditanya jam buka pasar legi karena pasar itu beroperasi 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu. Mereka tidak punya  hari libur yang tetap seperti para pegawai kantoran, kalau lelah mereka akan meliburkan dirinya sendiri tak ada yang melarang. 

“Tumben, La ikut ke pasar, biasanya Nia sendiri,” sapa seorang wanita paruh baya yang masih tetangga mereka, dan yang membuat Nirmala takjub adalah meski wanita itu bertubuh kecil dan usianya tak muda lagi tapi dia masih sanggup membawa tidak kurang dari dua puluh ikat kangkung di atas kepalanya belum lagi dia masih membawa tas rotan yang telah terisi berbagai kebutuhan. 

“Mbok Jah naik apa? biar tak bawakan tas rotannya.”

“Dijemput bapaknya anak-anak di depan, halah nggak usah La aku masih bisa bawa, sudah biasa ini, tanya Nia tuh.” Nirmala memandang Nia yang membenarkan perkataan mbok Jah.

“Mau belanja La kok ikut ke pasar?” tanya mbok Jah lagi karena Nirmala tak menjawab pertanyaannya.

“Iya mbok sekalian mau lihat suasana pasar.”

Mbok Jah berlalu setelah berpamitan pada Nirmala dan Nia. “itu benar nggak berat apa Nia?’ tanya Nirmala masih memandang mbok Jah dengan takjub.

“Nggak tau, Mbak sudah biasa mungkin tiap hari angkat berat, yuk ah mbak.”

Hari sudah beranjak siang matahari juga menampakkan sinarnya yang garang, pasar semakin ramai oleh pembeli beberapa kali Nirmala yang akan mencari kebutuhan sehari-hari mereka harus ditunda dulu, Nia tampak kerepotan melayani pembeli sendirian. Ada yang sekedar hanya bertanya ini itu atau bahkan langsung memesan kue yang mereka inginkan. 

“Ini donatnya enak apa nggak Mbak?” seorang wanita muda melihat donat yang kemarin dibuat Nirmala. 

“Ya enak mbak masak nggak enak dijual sih.” Nia menjawab dengan lancarnya.

“Titipan apa,Mbak?” Nia melirik Nirmala sejenak yang hanya diam saja.

“Bukan ini kakak saya sendiri yang buat rasanya dijamin enak mbak. Silahkan coba ini edisi spesial nggak setiap hari dibuat makanya jarang ada di lapak saya.”

“Spesial gimana mbak waktu ulang tahun saja buatnya,” kata wanita itu sambil tersenyum.

“Ya bisa dibilang begitu mbak makanya mbak harus coba.”

“Iya deh, Mbak aku coba dua saja.” 

“Nggak nambah mbak besok sudah nggak ada edisi spesial, kalau nagih sulit carinya.”

“Kayak narkoba saja mbak nagih.” Mereka berdua tertawa.

“Ya sudah bungkus tiga, lapis legit dua sama makaroni pedasnya dua bungkus mbak.”

“Ok, Mbak dua puluh ribu semua.”wanita itu memberikan dua lembar uang sepuluh ribuan.

“Mbak lapis legitnya nggak ada lagi tinggal tiga ini saja?” seorang laki-laki muda tiba-tiba menghentikan obrolan mereka. Wajah meski terlihat lelah tapi tak bisa menyembunyikan ketampanannya. Beberapa wanita sampai terpesona melihatnya, kulitnya yang putih bersih membuat Nia serasa belum mandi tiga hari.

“Yah cuma itu mas. Masnya kurang pagi kesininya memang butuh banyak apa?”

“Enggak sih, Mbak suka saja dengan kue lapis legit di sini ibu saya  yang biasanya belikan.”

“Ibu mas siapa namanya?” tanya Nia penasaran.

“Mbaknya kepo, penasaran banget nih,” goda pemuda itu dengan tampang tengilnya. 

“Ya sapa tau saya kenal gitu, Mas.”

“Kalau kenal saya dikasih diskon ya, Mbak.”

“Walah malah minta diskon, ya sudah deh saya kasih diskon kalau pesan lebih dari seratus.”

“Bisa belang-belang muka saya mbak kalau makan kue lapis seratus sendirian.”

“Lah tadi katanya mau diskon ya beli segitu baru dapat diskon.”

“Emang berapa mbak diskonnya kalau beli seratus?” tanya pemuda itu iseng.

“Diskon seratus rupiah tiap biji, sama dapat tambahan dua biji lagi.”

“Ya elah mbak seratus rupiah mah cuma untuk beli permen itu.”

“Jangan salah seratus kali seratus itu sudah sepuluh ribu beli permen segitu sudah bisa buat manisan gigi, kalau masih kurang aku tambah senyum manis dari yang buat.”

“Emang mbaknya yang buat?”

“Ya bukanlah aku cuma ngejualin,  kenalin mbak cantik di sana yang bikin.” Tunjuk Nia pada Nirmala yang langsung melotot galak pada adiknya.

“Wah mau banget saya dapat senyum manis dari mbaknya yang itu,”

“Jangan aneh-aneh kamu, Nin.” Nirmala memandang adiknya dengan tajam.

“Senyum mbak dikit aja.”

“Kamu mau beli apa lagi?” tanya Nirmala yang tidak menanggapi permintaan pemuda itu wajahnya dari tadi hanya terlihat datar tak ada senyum sama sekali yang bertengger di sana.

“Mbak senyum gih biar banyak pelanggan.” Nia menyenggol lengan kakaknya.

“Yah mbaknya lagi sariawan ternyata nggak mau senyum, ya sudah deh kalau sudah nggak sariawan jangan lupa senyum ke aku loh ya, jangankan seratus kue lapis seribupun akan aku beli demi senyum mbaknya.” Nirmala memutar bola matanya malas sedangkan Nia memalingkan mukanya ke samping menahan tawa geli yang akan menyembur. 

“Nih mas mau sekalian donatnya mbak ini juga lho yang buat dijamin pasti nagih, ini buatnya spesial karena masnya beli hari ini.”

“Wah boleh deh kayaknya enak.”

“Tentu aja mas tapi ini khusus hari ini saja, besok udah nggak bikin.”

“Lah kenapa begitu, mbak?”

“Karena ini donat spesial, kalau dibuat tiap hari jadinya nggak spesial dong.”

“Ok deh, kalau begitu aku beli lapisnya tiga donatnya lima, sama cenil yang imut ini lima juga, ini udah beli banyak nggak ada bonus nih mbak, no hape mbaknya yang bikin juga nggak papa,” Kata pemuda itu dengan cengengesan.

“Brondong gila.” Desis Nirmala pelan mukanya sudah merah entah malu atau marah.

“Wah mbaknya kok tau saya brondong, tenang mbak meski saya brondong bisa jadi imam yang baik untuk mbaknya.” Nia tak mampu lagi menahan tawanya bahkan orang-orang yang ada di sekitar mereka juga terkikik geli. “saya bisa minta dibuatkan kue tiap hari.” Lanjutnya.

“Sudah semua dua puluh enam ribu, Mas,” kata Nia yang masih harus menahan tawanya. Pemuda itu menyerahkan tiga lembar uang sepuluh ribuan pada Nia.

“Sudah selesai belanjanya, Mas? Ayo pulang sudah siang.” Seorang wanita menepuk lengan pemuda itu.

“Iya, sebentar tunggu kembalian, cantik” kata pemuda itu lembut.

Hah ternyata benar pemuda itu memang buaya, untung tadi Nirmala nggak baper.

 

Related chapters

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   6. Buaya Pasar

    Nirmala tersenyum senang donat yang ia buat kemarin hampir habis hanya masih tersisa tiga buah, meski niatnya membuat donat hanya ingin sedikit mengalihkan rasa kesalnya tapi ternyata dia membuat kebanyakan, hah memang tidak ada baik-baiknya menyimpan rasa marah. Dia sadar bagaimanapun semua hal telah ada yang mengatur, jodoh, maut dan rejeki, sekeras apapun dia berusaha tak akan mampu mengubah apapun jika memang Bisma bukan jodohnya. Yah saat pikirannya sedikit tenang dia akan menelaah perasaannya sendiri, membolak balik pikirannya sendiri. Dia memang bukan pribadi yang terbuka dengan seseorang, menjadi anak pertama sekaligus menjadi yatim piatu di usia yang sangat muda membuatnya harus mengemban tugas yang berat sebagai kepala keluarga. Meski Nia bukan anak manja yang hanya bisa bergantung padanya, tapi sekali lagi dia anak sulung dan hanya Nia yang dia punya sekarang jadi dia harus bisa mengcover semua masalah yang mereka hadapi, termasuk masalah hatinya. Nirmala tahu Nia sanga

    Last Updated : 2024-12-02
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   7. Bantuan Bisma

    Saat ayahnya Nirmala memang masih di tahun akhir kuliahnya, tapi karena tak adanya biaya juga karena kebutuhan sehari-hari yang mendesak, cuti kuliah adalah pilihannya saat itu. Tapi bukan berarti keinginannya untuk melanjutkan pendidikan berhenti sampai di sana, lima tahun setelahnya Nirmala berhasil meraih gelar sarjana, tentu saja semua itu tak lepas dari dukungan Nia sebagai keluarga satu-satunya yang ia punya, ibunya telah berpulang dua tahun sebelumnya. Saat memutuskan melanjutkan pendidikannya lagi itu Nirmala bertemu Bisma, teman masa SMAnya. Lucunya meski mereka dulu teman seangkatan waktu SMA, tapi karena Nirmala telat melanjutkan kuliahnya jadilah dia harus memanggil Bisma dengan sebutan bapak. Yah tentu saja Bisma yang telah menyelesaikan strata duanya mengabdi di kampus tempat Nirmala belajar sebagai dosen. Sempat kagok juga Nirmala, di kampus harus memanggilnya dengan sebutan bapak sedangkan di luar kampus mereka adalah teman dan Bisma tak sudi dipanggil

    Last Updated : 2024-12-02
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   8. Geprek Pedas

    Nirmala mengamati ponsel yang memang khusus untuk usahanya dengan heran, banyak pesanan kue yang masuk, dari event di kampus, acara hajatan sampai pengajian ibu-ibu. Nirmala tidak akan merasa heran kalau saja mereka tidak menyebutkan suatu nama yang tidak ingin lagi dia dengar. Bisma. Mereka memesan atas rekomendasi laki-laki itu, untuk apa dia masih mau membantunya. Bahkan kue untuk pertunangannyapun Nirmala yang harus buat, seolah Nirmala hanya kenalan yang kebetulan bisa membuat kue. “Kenapa, Mbak?” Nia yang sudah segar sehabis mandi sore menghampiri kakaknya yang duduk termenung sambil memegang ponsel. “Kita banyak pesanan,” gadis itu lalu beranjak ke dapur meninggalkan Nia yang kebingungan. Memang banyak pesan masuk, beberapa hanya bertanya kue apa yang bisa di pesan, berapa harganya dan lain-lain, tapi banyak juga yang langsung memesan dengan jumlah yang cukup banyak dan harinyapun berdekatan. “Apa mbak Jani kuwalahan

    Last Updated : 2024-12-03
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   9. Saat Kita Bersama

    “Baru pulang. Mbak?” jam sembilam malam Nirmala melangkahkan kaki memasuki ruang tamu rumahnya, Bisma hanya mengantarnya sampai pintu, tak ikut masuk hari sudah malam memang.“Iya,  ini martabak manis buatmu, kamu nggak jadi keluar tadi?” Nirmala meletakkan bungkusan martabak yang berbau harum di atas meja makan, memperhatikan Nia sejanak yang menonton tivi, piyama berwarna hijau bergambar keropi sudah dia kenakan. Adiknya tadi mengatakan akan pergi ke acara reuni bersama teman-teman SMAnya yang diadalan di sebuah café.“Sudah,  tadi pulang jam delapan.” Nirmala hanya menggangguk lalu melangkah ke dalam kamarnya.Satu bulan sudah dia menyandang status sebagai kekasih Bisma. Senyum manis selalu menghiasi wajahnya. Bahagianya jatuh cinta, apalagi Bisma adalah pacar pertama setelah dua puluh enam tahun. Sepulang mengajar Bisma biasanya mampir ke rumah Nirmala, tidak ada jadwal khusus memang sesempatnya saja, warna merah jamb

    Last Updated : 2024-12-03
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   10. Lepaskan

    Nirmala sudah menyelesaikan makannya, dua piring nasi hangat amblas ke perut Nirmala, Gita sampai geleng-geleng kepala. Ini yang kata Nia tak mau makan. Herannya meski Nirmala banyak makan tubuhnya tak berubah gemuk, bahkan seingat Gita dari mulai sma tubuhnya hanya segitu tak bertambah tinggi ataupun lebar. Entah karena keturunan atau memang tiap hari dia harus kerja keras membuat kue.“Kamu ingat saat ayahmu meninggal, La?” tanya Gita tiba-tiba, membuat Nirmala yang masih mencari serpihan ayam dalam sambal mengangkat wajahnya.“Tentu saja, mbak itu salah satu hari paling buruk untukku. Kenapa mbak tiba-tiba menanyakan itu?”“Mbak tidak bermaksud mengingatkanmu pada kenangan sedih itu,” Gita memandang Nirmala sejenak lalu melanjutkan, “bagaimana perasaanmu sekarang apakah kehilangan Bisma sama sedihnya dengan kehilangan ayahmu?” tanya Gita hati-hati dia tau tak pantas rasanya menanyakan pertanyaan ini, Bisma bahkan bukan siapa-siapa Nirmala

    Last Updated : 2024-12-03
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   11. Umpan Buaya

    Nirmala tersenyum  sambil melambai pada Caca yang masih memberengut dalam gendongan ibunya. “Kalau mama libur saja, Ca ikut ke rumah tante.” Nirmala berkata mencoba memberi pengertian pada Caca buka apa-apa kalau dia nekat membawa Caca menginap di rumahnya tanpa sang ibu, bisa-bisa tengah malam anak itu nangis mencari ibunya.“Mbak gimana Caca nangis tuh?” Nirmala memandang kasihan pada Caca yang mulai menangis.“Udah nggak papa tinggal saja habis ini juga lupa.”Nirmala melambai sekali lagi pada Caca tak tega sebenarnya, Caca yang memang suka makan kue buatan Nirmala sangat mengidolakan sang tante dan akan menangis jika ditinggal. Begitupun Nirmala yang memang pada dasarnya sangat suka anak kecil, langsung dekat dengan Caca begitu lahir. Mengobrol bersama Caca meski kadang tak dimengerti oleh anak itu adalah hiburan tersendiri untuknya, apalagi  tingkah polahnya yang lucu dan menggemaskan selalu bisa membuatnya tertawa.“Lain

    Last Updated : 2024-12-03
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   12. Yang Benar Saja

    Berbicara santai sambil menikmati camilan berdua memang sudah jarang mereka lakukan, kesibukan yang menggunung membuat mereka lebih memilih menghabiskan waktu santai dengan beristirahat. Kalaupun mereka berbincang itu selalu dilakakn sambil bekerja entah itu Nirmala sambil mengaduk adonan atau Nia sambil menimbang camilan yang akan mereka jual keesokan harinya.Hari-hari yang mereka lalui disibukkan dengan bekerja dan bekerja, tidak adanya orang tua membuat mereka bertekad untuk bisa hidup dengan kemampuan sendiri, masa muda yang kebanyakan gadis lain dihabiskan dengan belajar dan nongkrong bareng teman tidak bisa mereka lakukan. Waktu dengan membicarakan hal konyol berdua, sangat mahal harganya. Malam telah semakin tua, tapi kantuk belum juga menyapa, Nia bahkan sudah menghabiskan setengah toples keripik kentang, acara kesukaannyapun telah usai sejak tadi. Nirmala yang biasanya setelah tidak ada pekerjaan mengeram di kamar, kini malah menemani Nia begad

    Last Updated : 2024-12-03
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   13. Tamu Malam Minggu

    Pemuda itu akan mampir kesini, entah mengapa Nirmala jadi sedikit salah tingkah, ya ampun memangnya dia anak SMA, usianya bahkan sudah thirty something. Nggak masuk akal banget ini pasti efek patah hati, makanya dia baper saat ada yang memujinya.“Nia pulang jam berapa?” tanya bu Lastri, mereka sudah selesai makan dan menikmati teh buatan Nirmala.“Jam sembilan kadang juga jam sepuluh, Bu,” jawab Nirmala.“Kalau pagi kamu sendirian?” bu Lastri menyesap sedikit tehnya, “kamu sudah lama jualan kue?”“Eh iya, Bu sejak ibu masih ada.” Bu Lastri ini meski bertanya dengan lembut, tapi Nirmala merasa seperti ditanya petugas polisi sebagai tersangka, bukan berarti dia pernah menjadi tersangka tapi begitulah yang sering dia lihat di tivi.“Oh maaf orang tuamu sudah meninggal dua-duanya?”“Iya bu ayah meninggal saat saya berada di tahun terakhir kuliah, sedangkan ibu menyusul dua tahun setelahnya,” Nirmala ber

    Last Updated : 2024-12-04

Latest chapter

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   87. Setitik Rasa

    Pukul sembilan malam Radit sampai di rumah orang tuanya, seharian ini dia disIbukkan dengan banyaknya pasien yang datang, saat ini memang sedang musim hujan banyak anak-anak yang terkenal flu dan batuk. Dan mereka datang berduyun-duyun ke rumah sakit tempat Radit bekerja. Melihat anak-anak yang terbaring lemah membuatnya selalu tak tega, jadi dia berusaha membantu mereka sebaik mungkin, dan inilah yang menyebabkannya sangat sIbuk dan sedikit melupakan persoalan tadi siang. “Kenapa malam sekali baru pulang, Dit. Kami sudah menunggumu dari tadi?” Bu Lastri langsung menyambut putranya saat mobil laki-laki itu berhenti di halaman rumah, sejak pukul lima sore tadi memang Bu Lastri sdah mengirimkan pesan pada Radit untuk segera pulang dan membahas masalah tadi siang. Radit hanya membacanya tak berkeinginan membalas, Ibunya bukan tipe Ibu-Ibu obsesif yang kalau anaknya tak membalas pesan akan langsung menelepon, Bu Lastri tipe Ibu yang simple, asalkan pesannya sudah tersampaikan dia tak a

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   86. Jangan Tinggalkan Aku

    Radit melajukan mobilnya dengan kencang, wajahnya sudah merah dan tangannya memegang kemudi dengan sangat kencang, kalau saja kemudi itu tak dibuat dengan bahan yang baik pasti sudah bengkok. “Pelankan mobilnya, Mas aku takut!” teriak suara dari penumpang belakang tapi mana mau Radit mendengarkan, dia malah menambah kecepatan mobilnya meliuk ke kanan dan ke kiri menyalip kendaraan lain di depannya. “Hentikan,Dit, kamu bisa membunuh kita semua!” teriak wanita paruh baya yang tadi datang bersama Radit. Tangannya terasa kebas mencengkeram erat besi pegangan di atap mobil. Tapi telinga dan hati Radit seolah tertutup dengan teriakan dua orang wanita yang semobil dengannya. Bahkan dia juga tak memperdulikan pengendara sepeda motor yang juga melaju kencang dari arah yang berlawanan, menyerempet bagian samping mobilnya. Mobil keluaran eropa yang biasanya dia sayang, seolah tak berharga lagi. yang dia tahu saat ini hanyalah ingin le

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   85. Bukan Cinderella

    "Aku mau tiga mangkuk es krim, tambahkan potongan strawberry yang besar dan kue coklat untuk kami, tolong cepat, ya Mbak siang ini panas banget," keluh Nia dengan senyuman manis di akhir kalimatnya."Segera, Mbak tunggu sebentar."Pelayan itu berlalu setelah mencatat pesanan Nia.Benar saja tak sampai sepuluh menit mereka menunggu pesanan sudah tersedia.Tiga mangkuk es krim, dengan saus strawberry dan ditambah potongan strawberry yang besar, terlihat sangat lezat.Nirmala memandangnya dengan berbinar, es krim strawberry tak pernah membuatnya bosan bahkan di saat suasana hatinya sedang tergores pisau tajam.Suasana cafe yang cozy membuat banyak pengunjung yang datang kemari."Lupakan diet dan mari habiskan es krim!""Yeiii lupakan jerawat juga, mari have fun!""Kalian serius mau menghabiskan es krim itu," Nirmala bertanya dengan wajah tak yakin, pasalnya dua wanita yang saat ini duduk bersamanya sangat anti makan es krim.Mbak Gita yang sejak melahirkan Caca menjadi gampang sekali gem

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   84. Tak Sama Lagi

    Nirmala menatap ke sekelilingnya dengan pandangan pias, orang-orang mulai berdatangan dan berbisik-bisik. Tentu saja kamu mereka biasanya tenang dan damai jarang sekali ada kejadian yang menghebohkan. Dan itu pun hanya seputar maling yang tertangkap warga saat mencuri atau tikus sebesar anak kambing yang nekat masuk rumah warga. Dan kali ini kedatangan wanita itu pasti sangat menggelitik rasa ingin tahu mereka apalagi posisi wanita itu yang berlutut di hadapan Nirmala dengan tangis yang berderai, pasti semua orang mengira bahwa Nirmala merebut suami orang dan istrinya sekarang datang memohon padanya. Ditambah lagi semua tetangganya sudah tahu tentang kabar pertunangannya dengan Radit, laki-laki tampan yang kaya raya, dan pastinya usianya jauh di bawah Nirmala, lengkap sudah penderitaannya.“Mbak, Mbaknya bangun dulu kita bicara di dalam saja.” Gita yang sejak tadi berdiri di samping Nirmala juga ikut membujuk, tak enak rasanya menjadi bahan tontonan warga sekitar. Dia memandang adi

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   83. Wanita Lain

    Seperti hari-hari sebelumnya pagi ini Nirmala sudah disibukkan dengan berbagai tepung dan bahan pembuatan kue. Dengan adanya tiga orang tambahan, membuat Nirmala bisa bernafas dengan lega. dia tak perlu lagi menolak pesanan karena dirasa masih mampu mengerjakannya. Tapi semangat Nirmala untuk terus bereksperimen dengan berbagai jenis kue tak pernah pudar. Dan sekarang dia malah mempunyai banyak waktu untuk melanjutkan hobinya itu. Apalagi menjelang hari pertunangannya, dia semakin sibuk saja di dapur baik Mbak Gita maupun budhe sudah melarang Nirmala ke dapur tapi yang namanya Nirmala tetap saja keras kepala.“Aku bertanggung jawab dalam produksi kue tokoku bagaimana mungkin aku tak ke dapur,” kata Nirmala suatu hari saat Gita datang berkunjung dan melihatnya yang sudah bermain dengan bahan-bahan kesayangannya itu di dapur.“Ya paling tidak kamu kurangi, buat apa kamu bayar tiga orang karyawan kalu ujung-ujungnya kamu sendiri yang harus turun tangan.”“Aku cuma bantu, Mbak biar cepa

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   82. Tak Datang

    Siang ini matahari memang tidak bersinar terlalu terik, meski tak hujan, tapi awan kelabu sudah mulai berjalan-jalan, menemani burung-burung yang terbang mencari makan. Siang ini memang tak terlalu panas tapi tidak demikian dengan suasana hati Nirmala, wanita itu sudah setengah jam mondar mandir di depan sebuah butik ternama, tangan kanannya memegang ponsel lalu menempelkannya ke telinga begitu dari tadi tapi tak ada jawaban dari seseorang yang dia hubungi di seberang sana. “Kemana orang ini, katanya bisa datang kenapa sekarang tak menjawab telepon?” keluhnya kesal. “Sudah jawab, La?” “Belum, Ma.”“Coba hubungi terus, kemana anak itu katanya bisa datang kok nggak ada kabar.”Nirmala tak bisa menjawab pertanyaan yang sama juga sudah dia tanyakan berkali-kali tapi hanya semilir angin yang menjawab. Dia kembali sibuk menelepon lagi. “Kamu ada nomer perawat yang membantunya? Mungkin sa

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   81. Cincin Bermata Biru

    “Ayo turun, La.” tanpa diminta dua kali Nirmala langsung turun dari dalam mobil, dia berniat membantu sopir Bu Lastri untuk mengangkat barang belanjaan mereka tapi, laki-laki itu melarangnya jadi Nirmala hanya mengikuti Bu Lastri dari belakang.Rumah ini masih tetap sama seperti beberapa waktu lalu saat dia pertama kali datang kesini, asri dan elegan. Dan satu hal yang selalu dirasakan Nirmala saat memasuki rumah ini adalah misterius, entah mengapa dia merasa kalau rumah ini banyak menyimpan misteri di dalamnya.Mungkin karena ini rumah kuno, yang banyak menyimpan rahasia para pendahulunya.“Ayo masuk.” suara Bu Lastri menyadarkan Nirmala tujuannya datang ke rumah ini. Setelah membeli semua perlengkapan seserahan tadi Nirmala memang diminta ikut ke rumah Bu Lastri, beliau bilang ada sesuatu yang ingin dia berikan pada Nirmala dan sekalian membicarakan rencana pernikahannya. Bagaimanapun mereka tak bisa mengandal

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   80. Rempong

    Berbelanja dengan Radit memang sangat menyebalkan, tapi siapa mengira berbelanja dengan Emak Radit jauh lebih menyebalkan apalagi Nirmala tak bisa seenaknya mengeluh dia harus tetap tersenyum meski hatinya dongkol. Bagaimana tidak Nirmala harus rela berputar-putar tak tentu arah, bukan karena mereka nyasar seperti saat bersama Radit, bu Lastri jelas sering berbelanja di mall ini karena beliau sangat hafal letak toko-toko yang menjual barang yang diinginkan tapi di sinilah permasalahanya.“Kita cari tas dulu, La.” “Memang lamaran perlu tas juga, Bu bukannya cukup pakaian saja?”Bu Lastri berhenti dan memandang Nirmala sejenak lalu berkata, “mulai sekarang jangan panggil Bu tapi panggil Mama sebentar lagi kamu juga akan jadi anak mama jadi biasakan dari sekarang.”Nirmala tertegun memandang Bu Lastri dengan seksama, apakah Bu Lastri memang menerima dia sepenuhnya sebagai pendamping anaknya. Selama ini Ibu Radit me

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   79. Dua Anak Ayam

    “Bukannya kamu mau kerja kenapa ke sini?” tanya Nirmala yang heran melihat Radit mengajaknya turun di sebuah mall.“Masih ada waktu dua jam lagi,” kata Radit. “ Yuk turun.”Nirmala menghela nafas, kenapa Radit suka sekali mengambil keputusan sendiri, kalau memang mereka mampir ke sini untuk makan, lebih baik mereka mampir di warung makan atau café saja, lebih praktis mereka tak perlu berkeliling, apalagi mall yang mereka kunjungi terlihat penuh.Dia yang bukan wanita yang hobi ngemall tentu saja sangat tidak tertarik dengan konsep ini.“Kalau cuma mau makan kenapa nggak di resto saja lebih praktis, atau bisa aku masakin di rumah kamu, biar kamunya nggak telat nanti.” “Kita nggak cuma makan di sini, dan aku nggak mau kita berdua ada di rumahku sebelum sah ya, tar yang ketiganya setan.” Pipi Nirmala memerah mengingat momen saat mereka berdua di rumah Radit dulu. Aish kenapa diingatkan sih Nirmala kan jadi malu.

DMCA.com Protection Status