"Gosong, Mbak!" teriak Nia saat melihat teflon yang digunakan untuk membuat kulit dadar gulung mengeluarkan asap.
"Eh... eh iya." Nirmala cepat mematikan kompor dan mengangkat kulit yang gosong. Satu sisinya sudah menghitam, Nirmala mendesah berat, dilihatnya jam sudah menunjukkan setengah tujuh pagi, dadar gulung sudah hampir setengah dari pesanan mereka buat. Dan belum bertambah lagi sejak tadi hampir sepuluh buah gosong tak bisa digunakan. Membuat kue bukan hanya perkara, menakar bahan sesuai resep dan mengerjakannya sesuai langkah-langkah yang tertulis, membuat kue disamping bakat dan kebiasaan juga memerlukan hati yang tenang dan fikiran yang fokus. "Mbak, apa sebaiknya aku saja yang menggoreng kulit dadar gulungnya, mbak yang bungkus."Nia menawarkan solusi, hanya menuangkan adonan yang telah dibuat Nirmala dalam teflon, meratakannya agar mereka memiliki ketebalan yang sama, sepertinya tidak sulit. "Nggak usah Nin kamu bantu bungkus saja sebentar lagi kamu juga harus ke pasar." "Mbak dari tadi ngelamun terus." Nia memandang kakaknya iba. "Aku mau libur dulu, Mbak capek." "Apa? kenapa tiba-tiba bagaimana dengan pelangganmu mereka bisa pindah ke orang lain kalau kamu libur." "Yaelah, Mbak kita bukan pegawai kantoran yang bekerja untuk orang, jadi kalau mau libur ya libur saja terserah kita." "Nia!" Nirmala memandang adiknya penuh peringatan. "Mbak baik-baik saja dan tidak akan melakukan hal yang merugikan diri sendiri kalau itu yang kamu cemaskan." "Iya baiklah... Nia berangkat jam delapan saja bantuin mbak buat kue," Nia mengangkat tangannya mencegah Nirmala protes lagi lalu melanjutkan "Jam segitu biasanya orderan datang mbak, jangan protes lagi. Nia juga sudah Wa Salwa kalau ada yang pesan kue kabari Nia." Salwa teman Nia di pasar usia yang sebaya dan lapak mereka yang berdekatan, membuat mereka cepat akrab, mereka sudah terbiasa menitipkan lapaknya jika ada urusan mendesak. "Baiklah, terserah setelah ini kamu sarapan dan siapkan dagangan." "Ok siap bos!" Nirmala bersiap kembali menuangkan adonan ke dalam teflon, bagaimanapun suasana hatinya pesanan harus dia selesaikan tepat waktu, dia tak mau membuat pelanggannya kapok memesan kue padanya hanya gara-gara kesalahan kecil, tidak mudah bagi mereka untuk membangun toko kue. Meski hanya lapak kecil di pasar, tapi bukan hal mudah untuk didapat. Beberapa tahun lalu setelah mendapat ijin sang ibu, mereka mulai usaha dengan berjualan di kantin sekolah Nia kala itu, hanya tiga puluh buah kue basah yang terdiri dari donat, dadar gulung dan kroket masing-masing 10 buah. "Kuenya laris anak-anak banyak yang suka," kata ibu kantin di hari pertama mereka berjualan. Dari situlah akhirnya kepercayaan diri Nirmala mulai tumbuh, tiap hari rutin dia membuat tiga puluh buah kue, belum berani banyak karena Nirmala juga harus bekerja di toko kue juga. Perjalanan mereka berdagang kue tidak selalu mulus banyak kendala yang harus mereka hadapi pernah suatu ketika datang pesanan 100 buah kue nagasari, sialnya pada hari kue itu akan diambil Nirmala jatuh sakit badannya panas, kepalanya seperti mau pecah saja, tapi pesanan tak mungkin dibatalkan. Akhirnya Nia nekat membuat kue tersebut dibawah arahan Nirmala. Nagasari memang berhasil dibuat sudah terbungkus rapi daun pisang, tapi saat baru diangkat dari kukusan tadi Nia mencicipinya satu, dan ternyata saat dibuka adonan tepungnya tidak mau pisah dengan daun pembungkus, entah dia sedang bertengkar dengan pisang di dalamnya atau apa, Nia tak tau. "Ah... mungkin saja itu masih panas," pikir Nia kala itu, dia tak mau membangunkan kakaknya yang baru saja minum obat dan tertidur pulas. "Bu, Nia Antar kue dulu ya," pamit Nia saat akan mengantar kue ke rumah pemesan, dengan sepeda mini merahnya Nia bersemangat untuk sampai ke rumah pemesan apalagi kue yang dia bawa kali ini hasil buatannya sendiri. Tapi keesokan harinya bu Dara yang memesan nagasari datang marah-marah sambil membawa lima bungkus nagasari yang tersisa, dia bilang kuenya terlalu lembek dan sudah basi. Dan meminta semua uangnya kembali meski tak mengerti kenapa kue sudah hampir tak bersisa. "Maaf, mbak gara-gara Nia nggak bisa buat kue kita jadi rugi." "Sudah, Nia nggak papa mungkin kita disuruh istirahat dulu tidak jualan." "Tapi, Mbak uang kita untuk modal sudah tidak ada," Nia berkata lirih dipandangnya sang kakak dengan penuh rasa bersalah Nirmala memang memberikan semua uang bu Dara, uang yang akan mereka gunakan untuk modal berjualan besok. "Kita jualan lagi setelah Mbak gajian, tiga hari kita libur kamu kasih tahu ibu kantin ya biar nggak nunggu." Nia hanya mengangguk pasrah. "Sudah sana berangkat nanti telat sudah pamit ibu belum?" Sejak saat itu Nia tak mau membuat kue dia selalu takut kue buatannya akan merusak citra usaha mereka, meski Nirmala berkali-kali meyakinkan bahwa tidak semua orang berhasil membuat kue untuk pertama kali, bahkan banyak yang gagal sampai berkali-kali tapi pada akhirnya bisa juga membuat kue yang enak. Jam sudah separuh jalan menuju angka tujuh tak ada waktu lagi untuk bergalau ria, kulit dadar gulung harus sudah siap Nia yang bertugas menggulung sudah menunggunya dari tadi. Ayo semangat!! "Mbak bihunnya sudah aku tiriskan, tinggal dibuat adonan." "Iya ini dadar gulungnya tinggal dikit." Nirmala menggoreng kulit dadar gulung terakhir lalu memberikannya pada Nia. "Bentar mbak aku selesaikan gulung ini dulu setelah ini aku bantu masukin bahannya." Ember besar sudah disiapkan Nirmala, bihun telah direndam air panas, "nanasnya udah diblender belum, Nin?" "Oh iya belum mbak, blendernya kemarin bau hangus kayaknya ada yang konslet, nggak papa buat blender nanas?" "Jangan deh, bawa ke tukang service dulu, ya sudah kamu lanjutin bungkus sama kemas yang sudah jadi nanasnya biar aku parut saja." "Hah emang bisa, Mbak buat jus nanas dengan diparut?" "Ya bisalah jaman dulu belum ada blender ya diparut atau ditumbuk, lalu disaring ambil airnya jadi jus." Nirmala segera memotong nanas menjadi empat bagian ada empat buah yang harus dia parut karena dia akan membuat empat resep, memang sedikit memakan waktu tapi mau bagaimana lagi. "Sudah selesai Nin bungkusnya bantu potong-potong bihunnya mbak saring ini dulu." Sigap setelah jus nanas siap Nirmala memasukkan dalam ember besar mencampur bihun yang sudah direndam dan dipotong Nia tadi lalu jus nanas yang telah ia buat. "Masukin gulanya Nin biar mbak aduk," kata Nirmala setelah dia mencampur tepung agar-agar, tepung tapioka, vanili dan sedikit garam. "Ok." Setelah tercampur rata. Dibaginya menjadi tiga bagian ya adonan tersebut akan diwarnai dengan pewarna makanan tentu saja. Merah, kuning dan hijau kayak lampu lalu lintas. Setelah tercampur rata baru dikukus dalam dandang besar. “Sudah Nin kamu mandi dulu sana ini sudah selesai semua.” “Ok, Mbak Gita tadi telpon mbak suruh telpon balik katanya?” “Ada apa, Nin kenapa pakai telpon segala biasanya juga langsung kesini.” “Nggak tahu, kayaknya Caca deh yang mau ngomong.” Caca, anak kakak sepupu mereka yang baru berumur tiga tahun sangat dekat dengan Nirmala dan caca juga sangat suka makan kue buatan Nirmala. “Ya deh aku telpon … sana mandi.” Nirmala sudah menghubungi nomor Gita, dengan panggilan vidio dan diangkat pada dering ketiga, terlihat wajah Gita sedang menyuapi Caca di teras rumah. “Halo, te…..” “Ya, Ca kenapa?” “Te, Caca bental lagi ulang tahun, itu yang ada banyak olang, bikinin tue ya te.” “Boleh.” “Nanti Caca kesitu milih tue sama mama te jangan pelgi-pelgi ya tunggu Caca.” “Ok, sayang.” “Dadah te salammikum.” “Waalaikum salam.” Nirmala tertawa Caca dan kelucuannya selalu bisa mengembalikan mood Nirmala. Ada saja tingkah polah anak itu yang membuat gemas. “Sudah, Mbak telpon mbak Gitanya?”Nia muncul dari pintu samping sudah segar sehabis mandi. “Sudah barusan.” “Ada apa mbak?” “Apa lagi si Caca minta buatin kue.” “Dasar monster kue.” Nirmala tertawa mendengar julukan Nia. Tapi tawa Nirmala harus terhenti saat telpon di tangannya berbunyi lagi. Hanya sederet nomer belum tersimpan, tapi Nirmala tau betul nomer siapa itu. Kenapa lagi dia telpon?Nirmala melongok layar ponsel yang dari tadi terus berbunyi, sederet nomer yang dia hafal betul terpampang di sana. Nomer yang dulu memang paling dinantinya, bahkan hari-harinya terasa tak lengkap jika pemilik nomer belum menghubunginya hari itu, tapi sekarang dia sangat tidak berharap nomer itu kembali menghubunginya. Hanya akan menambah sakit hatinya saja.“Siapa, Mbak dari tadi bunyi terus?”“Bukan siapa-siapa, orang iseng mungkin.” “Kenapa nggak diangkat mungkin aja pelanggan yang mau pesan kue.”“Kalau pelanggan jelas hubungi kamu bukan aku, sudahlah cuekin saja.” Nia hanya mengangkat bahu, suasana hati kakaknya memburuk lagi, padahal tadi sudah bisa tertawa ceria saat Caca menelpon.“Sudah , Nin kamu ke pasar saja cenilnya tinggal potong-potong nanti biar mbak yang bungkus.”“Mbak yakin?” Nirmala melototkan matanya pada sang adik, lama-lama dia jengkel juga pada Nia, dia hanya sedang patah hati karena ditinggal nikah bukan orang invalid. Oh ayolah dia tidak akan bertindak b
Nirmala melajukan motornya menembus keramaian jalan, jalan yang sudah dia lewati ribuan kali. Toko Ekonomi toko yang menjual bahan untuk membuat kue menjadi tujuannya. Harganya yang agak miring membuat toko ini tak pernah sepi pengunjung. Nirmala bahkan sudah kenal baik dengan pemiliknya, seorang wanita paruh baya keturunan tionghoa, Cik Mei biasa dia dipanggil, hanya hidup berdua dengan anaknya yang memiliki keterbelakangan mental. Tapi itu tak menyurutkan semangat wanita itu untuk mengais rejeki. “Orderan banyak ini, La?” “Lumayan Cik banyak yang pesan, musim hajatan.” “Syukur deh kalau begitu, mau cari apa sekarang?” “Terigu tiga kilo sama fermipan 3 bungkus, susu bubuk satu renceng sama margarin seperempat.” “Mau bikin donat? donat buatamu enak, tapi kok gak dijual di lapak adikmu. Jualanlah pasti banyak yang beli aku saja suka.” “Belum Cik, buat donat kalau lagi senggang saja.” “Nanti bagi aku sepuluh biji buat camilan sendiri.” “Beres, Cik.” Jalanan cukup lengang saat
“Biar mbak ikut kamu ke pasar, Ni.”“Mbak yakin aku masih bisa bawa kok, Mbak istirahat saja hari ini tidak ada pesanan.” Pagi ini Nirmala sudah rapi dengan kaos warna kuning dan celana jins, karena ulahnya kemarin yang membuat donat dengan jumlah yang banyak pagi ini Nia berniat menjual beberapa buah donat tentu saja setelah mereka membagi-bagikan pada para tetangga dan orang terdekat. Oh jangan lupakan juga anak-anak panti yang berada tak jauh dengan rumah mereka juga mendapat jatah. Entah mengapa donat yang dibuat Nirmala seolah tak ada habisnya. Akhirnya gadis itu memutuskan menjual sisanya dia memang mengakui donat buatan Nirmala enak tapi dia tak segila itu untuk memakan donat seminggu penuh seperti saran Nirmala.“Mbak baik-baik saja, kamu akan kerepotan bawa ini semua.”“Baiklah, terserah mbak Mala saja.”Ini memang bukan pertama kalinya Nirmala membantu Nia berjualan di pasar biasanya dia akan sekalian membeli bahan kue atau berbelanja kebutuhan, meski cenderung kaku dan t
Nirmala tersenyum senang donat yang ia buat kemarin hampir habis hanya masih tersisa tiga buah, meski niatnya membuat donat hanya ingin sedikit mengalihkan rasa kesalnya tapi ternyata dia membuat kebanyakan, hah memang tidak ada baik-baiknya menyimpan rasa marah. Dia sadar bagaimanapun semua hal telah ada yang mengatur, jodoh, maut dan rejeki, sekeras apapun dia berusaha tak akan mampu mengubah apapun jika memang Bisma bukan jodohnya. Yah saat pikirannya sedikit tenang dia akan menelaah perasaannya sendiri, membolak balik pikirannya sendiri. Dia memang bukan pribadi yang terbuka dengan seseorang, menjadi anak pertama sekaligus menjadi yatim piatu di usia yang sangat muda membuatnya harus mengemban tugas yang berat sebagai kepala keluarga. Meski Nia bukan anak manja yang hanya bisa bergantung padanya, tapi sekali lagi dia anak sulung dan hanya Nia yang dia punya sekarang jadi dia harus bisa mengcover semua masalah yang mereka hadapi, termasuk masalah hatinya. Nirmala tahu Nia sanga
Saat ayahnya Nirmala memang masih di tahun akhir kuliahnya, tapi karena tak adanya biaya juga karena kebutuhan sehari-hari yang mendesak, cuti kuliah adalah pilihannya saat itu. Tapi bukan berarti keinginannya untuk melanjutkan pendidikan berhenti sampai di sana, lima tahun setelahnya Nirmala berhasil meraih gelar sarjana, tentu saja semua itu tak lepas dari dukungan Nia sebagai keluarga satu-satunya yang ia punya, ibunya telah berpulang dua tahun sebelumnya. Saat memutuskan melanjutkan pendidikannya lagi itu Nirmala bertemu Bisma, teman masa SMAnya. Lucunya meski mereka dulu teman seangkatan waktu SMA, tapi karena Nirmala telat melanjutkan kuliahnya jadilah dia harus memanggil Bisma dengan sebutan bapak. Yah tentu saja Bisma yang telah menyelesaikan strata duanya mengabdi di kampus tempat Nirmala belajar sebagai dosen. Sempat kagok juga Nirmala, di kampus harus memanggilnya dengan sebutan bapak sedangkan di luar kampus mereka adalah teman dan Bisma tak sudi dipanggil
Nirmala mengamati ponsel yang memang khusus untuk usahanya dengan heran, banyak pesanan kue yang masuk, dari event di kampus, acara hajatan sampai pengajian ibu-ibu. Nirmala tidak akan merasa heran kalau saja mereka tidak menyebutkan suatu nama yang tidak ingin lagi dia dengar. Bisma. Mereka memesan atas rekomendasi laki-laki itu, untuk apa dia masih mau membantunya. Bahkan kue untuk pertunangannyapun Nirmala yang harus buat, seolah Nirmala hanya kenalan yang kebetulan bisa membuat kue. “Kenapa, Mbak?” Nia yang sudah segar sehabis mandi sore menghampiri kakaknya yang duduk termenung sambil memegang ponsel. “Kita banyak pesanan,” gadis itu lalu beranjak ke dapur meninggalkan Nia yang kebingungan. Memang banyak pesan masuk, beberapa hanya bertanya kue apa yang bisa di pesan, berapa harganya dan lain-lain, tapi banyak juga yang langsung memesan dengan jumlah yang cukup banyak dan harinyapun berdekatan. “Apa mbak Jani kuwalahan
“Baru pulang. Mbak?” jam sembilam malam Nirmala melangkahkan kaki memasuki ruang tamu rumahnya, Bisma hanya mengantarnya sampai pintu, tak ikut masuk hari sudah malam memang.“Iya, ini martabak manis buatmu, kamu nggak jadi keluar tadi?” Nirmala meletakkan bungkusan martabak yang berbau harum di atas meja makan, memperhatikan Nia sejanak yang menonton tivi, piyama berwarna hijau bergambar keropi sudah dia kenakan. Adiknya tadi mengatakan akan pergi ke acara reuni bersama teman-teman SMAnya yang diadalan di sebuah café.“Sudah, tadi pulang jam delapan.” Nirmala hanya menggangguk lalu melangkah ke dalam kamarnya.Satu bulan sudah dia menyandang status sebagai kekasih Bisma. Senyum manis selalu menghiasi wajahnya. Bahagianya jatuh cinta, apalagi Bisma adalah pacar pertama setelah dua puluh enam tahun. Sepulang mengajar Bisma biasanya mampir ke rumah Nirmala, tidak ada jadwal khusus memang sesempatnya saja, warna merah jamb
Nirmala sudah menyelesaikan makannya, dua piring nasi hangat amblas ke perut Nirmala, Gita sampai geleng-geleng kepala. Ini yang kata Nia tak mau makan. Herannya meski Nirmala banyak makan tubuhnya tak berubah gemuk, bahkan seingat Gita dari mulai sma tubuhnya hanya segitu tak bertambah tinggi ataupun lebar. Entah karena keturunan atau memang tiap hari dia harus kerja keras membuat kue.“Kamu ingat saat ayahmu meninggal, La?” tanya Gita tiba-tiba, membuat Nirmala yang masih mencari serpihan ayam dalam sambal mengangkat wajahnya.“Tentu saja, mbak itu salah satu hari paling buruk untukku. Kenapa mbak tiba-tiba menanyakan itu?”“Mbak tidak bermaksud mengingatkanmu pada kenangan sedih itu,” Gita memandang Nirmala sejenak lalu melanjutkan, “bagaimana perasaanmu sekarang apakah kehilangan Bisma sama sedihnya dengan kehilangan ayahmu?” tanya Gita hati-hati dia tau tak pantas rasanya menanyakan pertanyaan ini, Bisma bahkan bukan siapa-siapa Nirmala
Pukul sembilan malam Radit sampai di rumah orang tuanya, seharian ini dia disIbukkan dengan banyaknya pasien yang datang, saat ini memang sedang musim hujan banyak anak-anak yang terkenal flu dan batuk. Dan mereka datang berduyun-duyun ke rumah sakit tempat Radit bekerja. Melihat anak-anak yang terbaring lemah membuatnya selalu tak tega, jadi dia berusaha membantu mereka sebaik mungkin, dan inilah yang menyebabkannya sangat sIbuk dan sedikit melupakan persoalan tadi siang. “Kenapa malam sekali baru pulang, Dit. Kami sudah menunggumu dari tadi?” Bu Lastri langsung menyambut putranya saat mobil laki-laki itu berhenti di halaman rumah, sejak pukul lima sore tadi memang Bu Lastri sdah mengirimkan pesan pada Radit untuk segera pulang dan membahas masalah tadi siang. Radit hanya membacanya tak berkeinginan membalas, Ibunya bukan tipe Ibu-Ibu obsesif yang kalau anaknya tak membalas pesan akan langsung menelepon, Bu Lastri tipe Ibu yang simple, asalkan pesannya sudah tersampaikan dia tak a
Radit melajukan mobilnya dengan kencang, wajahnya sudah merah dan tangannya memegang kemudi dengan sangat kencang, kalau saja kemudi itu tak dibuat dengan bahan yang baik pasti sudah bengkok. “Pelankan mobilnya, Mas aku takut!” teriak suara dari penumpang belakang tapi mana mau Radit mendengarkan, dia malah menambah kecepatan mobilnya meliuk ke kanan dan ke kiri menyalip kendaraan lain di depannya. “Hentikan,Dit, kamu bisa membunuh kita semua!” teriak wanita paruh baya yang tadi datang bersama Radit. Tangannya terasa kebas mencengkeram erat besi pegangan di atap mobil. Tapi telinga dan hati Radit seolah tertutup dengan teriakan dua orang wanita yang semobil dengannya. Bahkan dia juga tak memperdulikan pengendara sepeda motor yang juga melaju kencang dari arah yang berlawanan, menyerempet bagian samping mobilnya. Mobil keluaran eropa yang biasanya dia sayang, seolah tak berharga lagi. yang dia tahu saat ini hanyalah ingin le
"Aku mau tiga mangkuk es krim, tambahkan potongan strawberry yang besar dan kue coklat untuk kami, tolong cepat, ya Mbak siang ini panas banget," keluh Nia dengan senyuman manis di akhir kalimatnya."Segera, Mbak tunggu sebentar."Pelayan itu berlalu setelah mencatat pesanan Nia.Benar saja tak sampai sepuluh menit mereka menunggu pesanan sudah tersedia.Tiga mangkuk es krim, dengan saus strawberry dan ditambah potongan strawberry yang besar, terlihat sangat lezat.Nirmala memandangnya dengan berbinar, es krim strawberry tak pernah membuatnya bosan bahkan di saat suasana hatinya sedang tergores pisau tajam.Suasana cafe yang cozy membuat banyak pengunjung yang datang kemari."Lupakan diet dan mari habiskan es krim!""Yeiii lupakan jerawat juga, mari have fun!""Kalian serius mau menghabiskan es krim itu," Nirmala bertanya dengan wajah tak yakin, pasalnya dua wanita yang saat ini duduk bersamanya sangat anti makan es krim.Mbak Gita yang sejak melahirkan Caca menjadi gampang sekali gem
Nirmala menatap ke sekelilingnya dengan pandangan pias, orang-orang mulai berdatangan dan berbisik-bisik. Tentu saja kamu mereka biasanya tenang dan damai jarang sekali ada kejadian yang menghebohkan. Dan itu pun hanya seputar maling yang tertangkap warga saat mencuri atau tikus sebesar anak kambing yang nekat masuk rumah warga. Dan kali ini kedatangan wanita itu pasti sangat menggelitik rasa ingin tahu mereka apalagi posisi wanita itu yang berlutut di hadapan Nirmala dengan tangis yang berderai, pasti semua orang mengira bahwa Nirmala merebut suami orang dan istrinya sekarang datang memohon padanya. Ditambah lagi semua tetangganya sudah tahu tentang kabar pertunangannya dengan Radit, laki-laki tampan yang kaya raya, dan pastinya usianya jauh di bawah Nirmala, lengkap sudah penderitaannya.“Mbak, Mbaknya bangun dulu kita bicara di dalam saja.” Gita yang sejak tadi berdiri di samping Nirmala juga ikut membujuk, tak enak rasanya menjadi bahan tontonan warga sekitar. Dia memandang adi
Seperti hari-hari sebelumnya pagi ini Nirmala sudah disibukkan dengan berbagai tepung dan bahan pembuatan kue. Dengan adanya tiga orang tambahan, membuat Nirmala bisa bernafas dengan lega. dia tak perlu lagi menolak pesanan karena dirasa masih mampu mengerjakannya. Tapi semangat Nirmala untuk terus bereksperimen dengan berbagai jenis kue tak pernah pudar. Dan sekarang dia malah mempunyai banyak waktu untuk melanjutkan hobinya itu. Apalagi menjelang hari pertunangannya, dia semakin sibuk saja di dapur baik Mbak Gita maupun budhe sudah melarang Nirmala ke dapur tapi yang namanya Nirmala tetap saja keras kepala.“Aku bertanggung jawab dalam produksi kue tokoku bagaimana mungkin aku tak ke dapur,” kata Nirmala suatu hari saat Gita datang berkunjung dan melihatnya yang sudah bermain dengan bahan-bahan kesayangannya itu di dapur.“Ya paling tidak kamu kurangi, buat apa kamu bayar tiga orang karyawan kalu ujung-ujungnya kamu sendiri yang harus turun tangan.”“Aku cuma bantu, Mbak biar cepa
Siang ini matahari memang tidak bersinar terlalu terik, meski tak hujan, tapi awan kelabu sudah mulai berjalan-jalan, menemani burung-burung yang terbang mencari makan. Siang ini memang tak terlalu panas tapi tidak demikian dengan suasana hati Nirmala, wanita itu sudah setengah jam mondar mandir di depan sebuah butik ternama, tangan kanannya memegang ponsel lalu menempelkannya ke telinga begitu dari tadi tapi tak ada jawaban dari seseorang yang dia hubungi di seberang sana. “Kemana orang ini, katanya bisa datang kenapa sekarang tak menjawab telepon?” keluhnya kesal. “Sudah jawab, La?” “Belum, Ma.”“Coba hubungi terus, kemana anak itu katanya bisa datang kok nggak ada kabar.”Nirmala tak bisa menjawab pertanyaan yang sama juga sudah dia tanyakan berkali-kali tapi hanya semilir angin yang menjawab. Dia kembali sibuk menelepon lagi. “Kamu ada nomer perawat yang membantunya? Mungkin sa
“Ayo turun, La.” tanpa diminta dua kali Nirmala langsung turun dari dalam mobil, dia berniat membantu sopir Bu Lastri untuk mengangkat barang belanjaan mereka tapi, laki-laki itu melarangnya jadi Nirmala hanya mengikuti Bu Lastri dari belakang.Rumah ini masih tetap sama seperti beberapa waktu lalu saat dia pertama kali datang kesini, asri dan elegan. Dan satu hal yang selalu dirasakan Nirmala saat memasuki rumah ini adalah misterius, entah mengapa dia merasa kalau rumah ini banyak menyimpan misteri di dalamnya.Mungkin karena ini rumah kuno, yang banyak menyimpan rahasia para pendahulunya.“Ayo masuk.” suara Bu Lastri menyadarkan Nirmala tujuannya datang ke rumah ini. Setelah membeli semua perlengkapan seserahan tadi Nirmala memang diminta ikut ke rumah Bu Lastri, beliau bilang ada sesuatu yang ingin dia berikan pada Nirmala dan sekalian membicarakan rencana pernikahannya. Bagaimanapun mereka tak bisa mengandal
Berbelanja dengan Radit memang sangat menyebalkan, tapi siapa mengira berbelanja dengan Emak Radit jauh lebih menyebalkan apalagi Nirmala tak bisa seenaknya mengeluh dia harus tetap tersenyum meski hatinya dongkol. Bagaimana tidak Nirmala harus rela berputar-putar tak tentu arah, bukan karena mereka nyasar seperti saat bersama Radit, bu Lastri jelas sering berbelanja di mall ini karena beliau sangat hafal letak toko-toko yang menjual barang yang diinginkan tapi di sinilah permasalahanya.“Kita cari tas dulu, La.” “Memang lamaran perlu tas juga, Bu bukannya cukup pakaian saja?”Bu Lastri berhenti dan memandang Nirmala sejenak lalu berkata, “mulai sekarang jangan panggil Bu tapi panggil Mama sebentar lagi kamu juga akan jadi anak mama jadi biasakan dari sekarang.”Nirmala tertegun memandang Bu Lastri dengan seksama, apakah Bu Lastri memang menerima dia sepenuhnya sebagai pendamping anaknya. Selama ini Ibu Radit me
“Bukannya kamu mau kerja kenapa ke sini?” tanya Nirmala yang heran melihat Radit mengajaknya turun di sebuah mall.“Masih ada waktu dua jam lagi,” kata Radit. “ Yuk turun.”Nirmala menghela nafas, kenapa Radit suka sekali mengambil keputusan sendiri, kalau memang mereka mampir ke sini untuk makan, lebih baik mereka mampir di warung makan atau café saja, lebih praktis mereka tak perlu berkeliling, apalagi mall yang mereka kunjungi terlihat penuh.Dia yang bukan wanita yang hobi ngemall tentu saja sangat tidak tertarik dengan konsep ini.“Kalau cuma mau makan kenapa nggak di resto saja lebih praktis, atau bisa aku masakin di rumah kamu, biar kamunya nggak telat nanti.” “Kita nggak cuma makan di sini, dan aku nggak mau kita berdua ada di rumahku sebelum sah ya, tar yang ketiganya setan.” Pipi Nirmala memerah mengingat momen saat mereka berdua di rumah Radit dulu. Aish kenapa diingatkan sih Nirmala kan jadi malu.