Nirmala melongok layar ponsel yang dari tadi terus berbunyi, sederet nomer yang dia hafal betul terpampang di sana. Nomer yang dulu memang paling dinantinya, bahkan hari-harinya terasa tak lengkap jika pemilik nomer belum menghubunginya hari itu, tapi sekarang dia sangat tidak berharap nomer itu kembali menghubunginya. Hanya akan menambah sakit hatinya saja.
“Siapa, Mbak dari tadi bunyi terus?” “Bukan siapa-siapa, orang iseng mungkin.” “Kenapa nggak diangkat mungkin aja pelanggan yang mau pesan kue.” “Kalau pelanggan jelas hubungi kamu bukan aku, sudahlah cuekin saja.” Nia hanya mengangkat bahu, suasana hati kakaknya memburuk lagi, padahal tadi sudah bisa tertawa ceria saat Caca menelpon. “Sudah , Nin kamu ke pasar saja cenilnya tinggal potong-potong nanti biar mbak yang bungkus.” “Mbak yakin?” Nirmala melototkan matanya pada sang adik, lama-lama dia jengkel juga pada Nia, dia hanya sedang patah hati karena ditinggal nikah bukan orang invalid. Oh ayolah dia tidak akan bertindak bodoh dengan melakukan bunuh diri misalnya, tidak akan hidupnya terlalu berharga untuk disia-siakan seperti itu. Dia memang sakit hati itu pasti dan hanya butuh waktu untuk melupakan oh salah bukan melupakan lebih tepatnya mengikhlaskan apa yang terjadi padanya. Semoga nantinya akan menjadi pelajaran yang berharga. “Sudah sana pergi, pelanggan bisa lari kalau penjualnya males jualan.” “Iya deh Mbak, Nia pergi mbak Mala hati-hati di rumah bentar lagi mbak Gita kesini bawa Caca.” “Iya sudah sana, cemilannya sudah masuk gembolan semua, Nin?” tanya Nirmala mencoba mengalihakan perhatian adiknya. Saat ke pasar Nia yang lincah membawa motor scoopynya yang baru lunas bulan lalu dengan gembolan dari terpal tebal yang terpasang di belakangnya, isinya berbagai cemilan yang siap dijual. Di atasnya akan bertengger manis kardus yang berisi kue basah buatan Nirmala. Tidak hanya itu Nia juga menerima penitipan kue di lapaknya yang langsung diantarkan ke pasar tiap pagi, tentu saja setelah mereka tahu kualitas dan rasanya dan jangan lupa harga yang juga bersahabat dengan para pengunjung pasar. “Beres semua … nanti aku mampir kulakan bentar habis dari pasar.” “Lho sudah habis tho camilannya? Mbak lihat tadi masih banyak.” “Makaroni pedasnya habis kemarin banyak yang cari.” “Beli dua kilo sekalian saja, Nin. Cuma itu yang habis kripik pisangnya bagaimana?” “Masih ada setengah kilo, sih ya udah aku beli kripik pisang juga sekilo lainnya masih banyak, aku nanti pake duit hasil jualan yang kemarin sama hari ini, masih cukup kayaknya nanti aku tulis rinciannya.” “Baiklah terserah kamu.” Mereka memang kakak adik tapi dalam bisnis, mereka adalah partner. Nirmala bertugas mengelola keuangan dan membuat berbagai jajanan, sedangkan Nia bertugas memasarkan sekaligus membeli cemilan yang akan mereka kemas ulang. Hasil jualan mereka akan dibagi dua sama rata setelah dikurangi biaya-biaya. “Sip.” Jarak pasar tempat Nia berjualan dan rumah yang mereka tempati hanya sepuluh menit jika ditempuh dengan sepeda motor. Yah itu kalau tidak macet, dan Nia yang paling sebal menunggu akan memilih memutar melewati jalan tikus, meski 10 menit lebih lama tapi lebih cepat kalau harus menunggu kemacetan terurai. “Hati-hati, Nin helm dan masker jangan lupa.” “Oh iya, lupa masker masih di kamar.” Nia hanya nyengir iseng lalu lari masuk ke dalam kamar. Nirmala hanya duduk diam di ruang tamu, pikirannya melayang entah kemana dia sampai tak habis pikir bagaimana Bisma secepat itu menemukan pengganti dirinya, apakah hanya karena dia anak yatim piatu, hubungan mereka yang selama lima tahun tak ada artinya, hanya satu bulan berselang setelah mereka putus, Bisma sudah melangkah semakin jauh. Sebelumnya Nirmala masih berharap mereka bisa kembali bersama, hubungan mereka selama ini juga demikian diwarnai putus nyambung. Ada masa-masa dimana mereka memerlukan waktu untuk berhenti sejenak, mengerjakan kesibukan masing-masing tanpa mengintervensi, biasanya setelah satu atau dua minggu keduanya sama-sama bisa berpikir jernih dan memutuskan untuk kembali bersama. Berjuang bergandengan tangan untuk masa depan yang sangat diharapkan dapat bersama sampai maut memisahkan. “Teeeeeeeeeee!” Nirmala terkekut bukan maian saat menoleh ke kanan bocah perempuan berkepang dua menatapnya kesal. Kapan anak ini masuknya seperti jin saja tiba-tiba datang. “Kita sudah salam berkali-kali kamu saja yang asyik nglamun, Caca sampai nangis tuh dari tadi panggil nggak kamu sautin.” Ibu sang bocah mengomel sambil berkacak pinggang, sedangkan mata Caca tampak berkaca-kaca, kenapa juga Caca nangis. Nirmala yang belum sepenuhnya mengerti keadaan hanya memandang mereka dengan tampang bodoh. “NIRMALA!!” teriak wanita itu lagi, setelah diteriaki baru Nirmala sadar keponakan cantiknya meminta perhatian darinya karena tidak ditanggapi jadilah menangis. Walah segitu khusyuknya dia melamun sampai tak tau ada orang lain yang berbagi ruangan dengannya. “Te Mala napa?” tanya Caca dengan aksen cadelnya yang lucu. “Lho mbak sama Caca dianter siapa tadi kok sudah disini?” “Pakai karpet terbang.” Jawab Gita, ibu bocah itu sekaligus kakak sepupu Nirmala sambil ngeloyor ke dapur membiarkan Nirmala yang masih memandangnya heran. “Ibu kenapa dek Caca?” “Caca mau kue.” Lah ini ibu dan anak sama-sama nggak nyambung ditanya apa jawab apa. “Tee Caca mau kue.” Anak itu bahkan sudah meloncat-loncat sambil menggoyangkan tangan Nirmala saking kesalnya pada sang tante yang tak merespon ucapannya. “Bentar ya dek Caca habis ini dibuatkan tante kue adek lihat upin ipin dulu ya.” Gita muncul dengan membawa segelas air. “Minum dulu, La.” meski bingung Nirmala menghabiskan gelas minuman yang disodorkan Gita. “Air apa itu, Mbak seharusnya aku yang bikinin mbak minum.” “Halah biasanya mbak juga bikin minum sendiri, itu air biar kamu tenang.” “Hah air bikin tenang gimana? Ada jampi-jampinya gitu, mbak mau nyantet aku.” “Sembarangan, siapa juga yang mau nyantet kamu, itu air diambil langsung dari mata air pegunungan sudah mbak saring dengan tujuh saringan.” Nirmala hanya melongo, apa kakak sepupunya berencana membuat pabrik minuman kemasan. “Sudah jangan kebanyakan bengong, kue pesanan sudah jadi apa belum?” “Eh belum, jam berapa sekarang? Ah jam setengah sembilan … jam sembilan mau diambil kuenya mbak bantu bungkusin.” Gita memutar bola matanya dengan malas sepupunya ini benar-benar. “Mbak bantu apa ini La?” Sampai di dapur Nirmala sibuk mengeluarkan loyang-loyang yang baru saja dikukus. Setelah meletakkannya pada tempat yang datar, Nirmala bersiap memotong cenil menjadi kotak-kotak kecil. “Mbak taruh cenil yang sudah Mala potong dalam mika, natanya gini Mbak agak ditumpuk warna-warni setelah aku kasih parutan kelapa, dikasih pita duan pandan atasnya biar cantik, sudah distapler jadi … cantikkan kue buatanku,” Gita memperhatikan dengan seksama tampilan kue yang didemokan Nirmala cantik memang tapi mana mau Gita mengakui bisa besar kepala adik sepupunya itu. “Coba mbak bisakan?” “Bentar aku coba kayaknya mudah.” “Ditatanya bertingkat mbak kayak piramid, jangan miring.” “Iya… udah gini bener.” Gita menyodorkan hasil kerjanya. “Ok sip mbak.” “Hapemu bunyi tuh, La.” Nirmala melihat layar ponselnya masih nomer yang sama dengan kesal dimatikannya dan dibukanya penutup belakang tek… diceraikannya baterai dengan badan ponsel. Akhirnya diam juga itu ponsel. Bikin orang senewen saja mau apa juga telpon terus mau pamer. “Kok hapenya dianiyaya gitu, La?” “Salah sambung, Mbak dari tadi sudah dibilangi masih ngeyel telpon terus. Mbak, aku mau keluar bentar beli bahan kue, tolong cenilnya taruh mika ya, terus dikardusin lainnya sudah siap kok tinggal itu saja, ya mbak … ya bentar sekalian bikin kue buat Caca.” Tanpa menunggu jawaban dari Gita Nirmala sudah berlari ke kamarnya mengambil kunci motor sambil berteriak pamitan pada Caca. “Eh mau kemana kamu,” Gita mencegat Nirmala yang akan berlari keluar kamar. “Kan udah aku bilang mau beli bahan untuk bikin kue.” “Lah itu pesanan gimana.” “Mbak lanjutin aja kayak yang aku contohin, tinggal dikit juga, nanti diambil kesini jam sembilan lebih katanya, oh ya uangnya masih kurang dua ratus ribu mbak nanti tagihkan sekalian lima jenis kue.” “Ehh bentar kamu memang mau bikin kue apa buru-buru banget.” “Donat.” “Hah, yah kenapa donat lagi alamat makan donat seminggu ini,” kata Gita dengan lemas.Nirmala melajukan motornya menembus keramaian jalan, jalan yang sudah dia lewati ribuan kali. Toko Ekonomi toko yang menjual bahan untuk membuat kue menjadi tujuannya. Harganya yang agak miring membuat toko ini tak pernah sepi pengunjung. Nirmala bahkan sudah kenal baik dengan pemiliknya, seorang wanita paruh baya keturunan tionghoa, Cik Mei biasa dia dipanggil, hanya hidup berdua dengan anaknya yang memiliki keterbelakangan mental. Tapi itu tak menyurutkan semangat wanita itu untuk mengais rejeki. “Orderan banyak ini, La?” “Lumayan Cik banyak yang pesan, musim hajatan.” “Syukur deh kalau begitu, mau cari apa sekarang?” “Terigu tiga kilo sama fermipan 3 bungkus, susu bubuk satu renceng sama margarin seperempat.” “Mau bikin donat? donat buatamu enak, tapi kok gak dijual di lapak adikmu. Jualanlah pasti banyak yang beli aku saja suka.” “Belum Cik, buat donat kalau lagi senggang saja.” “Nanti bagi aku sepuluh biji buat camilan sendiri.” “Beres, Cik.” Jalanan cukup lengang saat
“Biar mbak ikut kamu ke pasar, Ni.”“Mbak yakin aku masih bisa bawa kok, Mbak istirahat saja hari ini tidak ada pesanan.” Pagi ini Nirmala sudah rapi dengan kaos warna kuning dan celana jins, karena ulahnya kemarin yang membuat donat dengan jumlah yang banyak pagi ini Nia berniat menjual beberapa buah donat tentu saja setelah mereka membagi-bagikan pada para tetangga dan orang terdekat. Oh jangan lupakan juga anak-anak panti yang berada tak jauh dengan rumah mereka juga mendapat jatah. Entah mengapa donat yang dibuat Nirmala seolah tak ada habisnya. Akhirnya gadis itu memutuskan menjual sisanya dia memang mengakui donat buatan Nirmala enak tapi dia tak segila itu untuk memakan donat seminggu penuh seperti saran Nirmala.“Mbak baik-baik saja, kamu akan kerepotan bawa ini semua.”“Baiklah, terserah mbak Mala saja.”Ini memang bukan pertama kalinya Nirmala membantu Nia berjualan di pasar biasanya dia akan sekalian membeli bahan kue atau berbelanja kebutuhan, meski cenderung kaku dan t
Nirmala tersenyum senang donat yang ia buat kemarin hampir habis hanya masih tersisa tiga buah, meski niatnya membuat donat hanya ingin sedikit mengalihkan rasa kesalnya tapi ternyata dia membuat kebanyakan, hah memang tidak ada baik-baiknya menyimpan rasa marah. Dia sadar bagaimanapun semua hal telah ada yang mengatur, jodoh, maut dan rejeki, sekeras apapun dia berusaha tak akan mampu mengubah apapun jika memang Bisma bukan jodohnya. Yah saat pikirannya sedikit tenang dia akan menelaah perasaannya sendiri, membolak balik pikirannya sendiri. Dia memang bukan pribadi yang terbuka dengan seseorang, menjadi anak pertama sekaligus menjadi yatim piatu di usia yang sangat muda membuatnya harus mengemban tugas yang berat sebagai kepala keluarga. Meski Nia bukan anak manja yang hanya bisa bergantung padanya, tapi sekali lagi dia anak sulung dan hanya Nia yang dia punya sekarang jadi dia harus bisa mengcover semua masalah yang mereka hadapi, termasuk masalah hatinya. Nirmala tahu Nia sanga
Saat ayahnya Nirmala memang masih di tahun akhir kuliahnya, tapi karena tak adanya biaya juga karena kebutuhan sehari-hari yang mendesak, cuti kuliah adalah pilihannya saat itu. Tapi bukan berarti keinginannya untuk melanjutkan pendidikan berhenti sampai di sana, lima tahun setelahnya Nirmala berhasil meraih gelar sarjana, tentu saja semua itu tak lepas dari dukungan Nia sebagai keluarga satu-satunya yang ia punya, ibunya telah berpulang dua tahun sebelumnya. Saat memutuskan melanjutkan pendidikannya lagi itu Nirmala bertemu Bisma, teman masa SMAnya. Lucunya meski mereka dulu teman seangkatan waktu SMA, tapi karena Nirmala telat melanjutkan kuliahnya jadilah dia harus memanggil Bisma dengan sebutan bapak. Yah tentu saja Bisma yang telah menyelesaikan strata duanya mengabdi di kampus tempat Nirmala belajar sebagai dosen. Sempat kagok juga Nirmala, di kampus harus memanggilnya dengan sebutan bapak sedangkan di luar kampus mereka adalah teman dan Bisma tak sudi dipanggil
Nirmala mengamati ponsel yang memang khusus untuk usahanya dengan heran, banyak pesanan kue yang masuk, dari event di kampus, acara hajatan sampai pengajian ibu-ibu. Nirmala tidak akan merasa heran kalau saja mereka tidak menyebutkan suatu nama yang tidak ingin lagi dia dengar. Bisma. Mereka memesan atas rekomendasi laki-laki itu, untuk apa dia masih mau membantunya. Bahkan kue untuk pertunangannyapun Nirmala yang harus buat, seolah Nirmala hanya kenalan yang kebetulan bisa membuat kue. “Kenapa, Mbak?” Nia yang sudah segar sehabis mandi sore menghampiri kakaknya yang duduk termenung sambil memegang ponsel. “Kita banyak pesanan,” gadis itu lalu beranjak ke dapur meninggalkan Nia yang kebingungan. Memang banyak pesan masuk, beberapa hanya bertanya kue apa yang bisa di pesan, berapa harganya dan lain-lain, tapi banyak juga yang langsung memesan dengan jumlah yang cukup banyak dan harinyapun berdekatan. “Apa mbak Jani kuwalahan
“Baru pulang. Mbak?” jam sembilam malam Nirmala melangkahkan kaki memasuki ruang tamu rumahnya, Bisma hanya mengantarnya sampai pintu, tak ikut masuk hari sudah malam memang.“Iya, ini martabak manis buatmu, kamu nggak jadi keluar tadi?” Nirmala meletakkan bungkusan martabak yang berbau harum di atas meja makan, memperhatikan Nia sejanak yang menonton tivi, piyama berwarna hijau bergambar keropi sudah dia kenakan. Adiknya tadi mengatakan akan pergi ke acara reuni bersama teman-teman SMAnya yang diadalan di sebuah café.“Sudah, tadi pulang jam delapan.” Nirmala hanya menggangguk lalu melangkah ke dalam kamarnya.Satu bulan sudah dia menyandang status sebagai kekasih Bisma. Senyum manis selalu menghiasi wajahnya. Bahagianya jatuh cinta, apalagi Bisma adalah pacar pertama setelah dua puluh enam tahun. Sepulang mengajar Bisma biasanya mampir ke rumah Nirmala, tidak ada jadwal khusus memang sesempatnya saja, warna merah jamb
Nirmala sudah menyelesaikan makannya, dua piring nasi hangat amblas ke perut Nirmala, Gita sampai geleng-geleng kepala. Ini yang kata Nia tak mau makan. Herannya meski Nirmala banyak makan tubuhnya tak berubah gemuk, bahkan seingat Gita dari mulai sma tubuhnya hanya segitu tak bertambah tinggi ataupun lebar. Entah karena keturunan atau memang tiap hari dia harus kerja keras membuat kue.“Kamu ingat saat ayahmu meninggal, La?” tanya Gita tiba-tiba, membuat Nirmala yang masih mencari serpihan ayam dalam sambal mengangkat wajahnya.“Tentu saja, mbak itu salah satu hari paling buruk untukku. Kenapa mbak tiba-tiba menanyakan itu?”“Mbak tidak bermaksud mengingatkanmu pada kenangan sedih itu,” Gita memandang Nirmala sejenak lalu melanjutkan, “bagaimana perasaanmu sekarang apakah kehilangan Bisma sama sedihnya dengan kehilangan ayahmu?” tanya Gita hati-hati dia tau tak pantas rasanya menanyakan pertanyaan ini, Bisma bahkan bukan siapa-siapa Nirmala
Nirmala tersenyum sambil melambai pada Caca yang masih memberengut dalam gendongan ibunya. “Kalau mama libur saja, Ca ikut ke rumah tante.” Nirmala berkata mencoba memberi pengertian pada Caca buka apa-apa kalau dia nekat membawa Caca menginap di rumahnya tanpa sang ibu, bisa-bisa tengah malam anak itu nangis mencari ibunya.“Mbak gimana Caca nangis tuh?” Nirmala memandang kasihan pada Caca yang mulai menangis.“Udah nggak papa tinggal saja habis ini juga lupa.”Nirmala melambai sekali lagi pada Caca tak tega sebenarnya, Caca yang memang suka makan kue buatan Nirmala sangat mengidolakan sang tante dan akan menangis jika ditinggal. Begitupun Nirmala yang memang pada dasarnya sangat suka anak kecil, langsung dekat dengan Caca begitu lahir. Mengobrol bersama Caca meski kadang tak dimengerti oleh anak itu adalah hiburan tersendiri untuknya, apalagi tingkah polahnya yang lucu dan menggemaskan selalu bisa membuatnya tertawa.“Lain
Pagi-pagi sekali Radit sudah menghubungi sepupunya Agha untunglah anak itu sudah bangun,. Seminggu yang lalu Radit memang telah menanyakan, tentang toko yang diinginkan Nirmala. Meski Nirmala sendiri belum menghubunginya, bahkan seminggu telah berlalu dan Radit berpikir memang Nirmala sudah menemukan toko yang ia maksud, apalagi dengan kesibukannya akhir-akhir ini membuatnya tak bisa memikirkan hal lain.Dan di sinilah Radit sekarang di kompleks pertokoan milik Agha. Sampai satu belokan ke depan belum ada toko roti yang ada itu yang dia lihat. Tentu ini lokasi yang sangat bagus untuk membuka toko roti. Anak-anak muda yang bersekolah di dekat sini mungkin tidak terlalu suka dengan jajanan kue jadul seperti yang diproduksi Nirmala saat ini, tapi orang-orang yang menghuni gedung perkantoran di seberang jalan pasti sangat menyukainya apalagi untuk mereka yang tak sempat makan pagi.Mungkin jika nanti Nirmala setuju menyewa toko d
Rencana mereka membuka toko kue ternyata tak semudah yang mereka duga, meski modal sudah mereka kantongi tapi masih banyak printilan yang harus mereka selesaikan, diantaranya masalah sewa toko yang belum mendapat titik temu. Setiap hari Nia sudah berkeliling mencari kira-kira toko yang cocok sebagai tempat usaha mereka. Kali ini bukan Gita yang ikut bersama Nia tapi Nirmala tapi waktu yang mereka miliki sangat terbatas karena, pesanan pelanggan yang harus mereka kerjakan. Rina dan mbak Ratna belum berani mereka pekerjakan tanpa pengawasan Nirmala. Tentang saran Radit, Nirmala sudah mengatakakannya pada Nia tapi adiknya itu berpikir lebih baik mereka usaha sendiri dulu saja, tidak mengandalkan bantuan orang lain apalagi orang yang belum lama mereka kenal, dan Nirmala sangat setuju dengan pendapat adiknya. Itu pembicaraan mereka seminggu yang lalu tapi setelah tiap hari berkeliling tanya sana sini tapi belum menampakkan hasil sepertinya
Nia memasuki perkarangan rumahnya tepat pukul tiga sore, terlihat lelah luar biasa, gembolan berisi camilan hasil kulakan tadi diletakkan begitu saja di teras rumah. Dia baru saja berkeliling mencari toko yang kira-kira sesuai untuk disewa, meski dia tidak sendiri Gita menemaninya. Tapi mencari toko yang sesuai untuk bakal tokonya ternyata tak semudah yang dia bayangkan dia harus berkeliling hampir seharian, jika ada toko yang sesuai harga sewanya yang tak terjangkau. Jadilah mereka berdua berkeliling lagi, untung saja suami mbak Gita sedang libur, jadi bisa menjaga Caca di rumah.“Assalamualaikum, Mbak Nia pulang!” Nia duduk menggelosor di kursi teras. Tidak perduli Nirmala pasti akan mengomelinya yang datang-datang lalu berteriak seperti di hutan. Biarlah tar kalau capek juga berhenti sendiri.“Waalaikum salam, silahkan masuk tidak dikunci.” “Hah!” Nia sepontan bangun dari duduknya matanya yang semula tertutup menoleh kaget
Halaman depan rumah Nirmala memang tak begitu luas tapi tertata dengan baik, keberadaan taman bunga yang cantik menjadi pemandangan yang sayang untuk dilewatkan. Dulu ayahnyalah yang membuat taman itu, untuk sang istri tentu saja. Mawar dan anggrek menjadi bunga yang banyak ditanam oleh ayahnya karena ibunya penggemar berat keduanya, di sore hari sang ibu akan menyajikan teh hangat dan camilan, lalu mengajak sang ayah duduk di teras depan. Bercanda dan bertengkar kecil yang membuat hubungan keduanya sangat indah di mata Nirmala.meski Nirmala maupun Nia bukan penggemar bunga tapi mereka tetap menjaga taman itu dengan baik. Mereka merasa cinta kedua orang tuanya tak pernah mati meski jasad keduanya sudah dipeluk bumi.Dan saat ini bunga mawar yang mereka tanam telah mekar dengan indahnya.“Kamu nyolong bungaku ya,” kata Nirmala dengan pandangan menuduh. Sedangkan yang dituduh hanya melongo bodoh, tak menyangka akan kena semprot
Pemuda itu akan mampir kesini, entah mengapa Nirmala jadi sedikit salah tingkah, ya ampun memangnya dia anak SMA, usianya bahkan sudah thirty something. Nggak masuk akal banget ini pasti efek patah hati, makanya dia baper saat ada yang memujinya.“Nia pulang jam berapa?” tanya bu Lastri, mereka sudah selesai makan dan menikmati teh buatan Nirmala.“Jam sembilan kadang juga jam sepuluh, Bu,” jawab Nirmala.“Kalau pagi kamu sendirian?” bu Lastri menyesap sedikit tehnya, “kamu sudah lama jualan kue?”“Eh iya, Bu sejak ibu masih ada.” Bu Lastri ini meski bertanya dengan lembut, tapi Nirmala merasa seperti ditanya petugas polisi sebagai tersangka, bukan berarti dia pernah menjadi tersangka tapi begitulah yang sering dia lihat di tivi.“Oh maaf orang tuamu sudah meninggal dua-duanya?”“Iya bu ayah meninggal saat saya berada di tahun terakhir kuliah, sedangkan ibu menyusul dua tahun setelahnya,” Nirmala ber
Berbicara santai sambil menikmati camilan berdua memang sudah jarang mereka lakukan, kesibukan yang menggunung membuat mereka lebih memilih menghabiskan waktu santai dengan beristirahat. Kalaupun mereka berbincang itu selalu dilakakn sambil bekerja entah itu Nirmala sambil mengaduk adonan atau Nia sambil menimbang camilan yang akan mereka jual keesokan harinya.Hari-hari yang mereka lalui disibukkan dengan bekerja dan bekerja, tidak adanya orang tua membuat mereka bertekad untuk bisa hidup dengan kemampuan sendiri, masa muda yang kebanyakan gadis lain dihabiskan dengan belajar dan nongkrong bareng teman tidak bisa mereka lakukan. Waktu dengan membicarakan hal konyol berdua, sangat mahal harganya. Malam telah semakin tua, tapi kantuk belum juga menyapa, Nia bahkan sudah menghabiskan setengah toples keripik kentang, acara kesukaannyapun telah usai sejak tadi. Nirmala yang biasanya setelah tidak ada pekerjaan mengeram di kamar, kini malah menemani Nia begad
Nirmala tersenyum sambil melambai pada Caca yang masih memberengut dalam gendongan ibunya. “Kalau mama libur saja, Ca ikut ke rumah tante.” Nirmala berkata mencoba memberi pengertian pada Caca buka apa-apa kalau dia nekat membawa Caca menginap di rumahnya tanpa sang ibu, bisa-bisa tengah malam anak itu nangis mencari ibunya.“Mbak gimana Caca nangis tuh?” Nirmala memandang kasihan pada Caca yang mulai menangis.“Udah nggak papa tinggal saja habis ini juga lupa.”Nirmala melambai sekali lagi pada Caca tak tega sebenarnya, Caca yang memang suka makan kue buatan Nirmala sangat mengidolakan sang tante dan akan menangis jika ditinggal. Begitupun Nirmala yang memang pada dasarnya sangat suka anak kecil, langsung dekat dengan Caca begitu lahir. Mengobrol bersama Caca meski kadang tak dimengerti oleh anak itu adalah hiburan tersendiri untuknya, apalagi tingkah polahnya yang lucu dan menggemaskan selalu bisa membuatnya tertawa.“Lain
Nirmala sudah menyelesaikan makannya, dua piring nasi hangat amblas ke perut Nirmala, Gita sampai geleng-geleng kepala. Ini yang kata Nia tak mau makan. Herannya meski Nirmala banyak makan tubuhnya tak berubah gemuk, bahkan seingat Gita dari mulai sma tubuhnya hanya segitu tak bertambah tinggi ataupun lebar. Entah karena keturunan atau memang tiap hari dia harus kerja keras membuat kue.“Kamu ingat saat ayahmu meninggal, La?” tanya Gita tiba-tiba, membuat Nirmala yang masih mencari serpihan ayam dalam sambal mengangkat wajahnya.“Tentu saja, mbak itu salah satu hari paling buruk untukku. Kenapa mbak tiba-tiba menanyakan itu?”“Mbak tidak bermaksud mengingatkanmu pada kenangan sedih itu,” Gita memandang Nirmala sejenak lalu melanjutkan, “bagaimana perasaanmu sekarang apakah kehilangan Bisma sama sedihnya dengan kehilangan ayahmu?” tanya Gita hati-hati dia tau tak pantas rasanya menanyakan pertanyaan ini, Bisma bahkan bukan siapa-siapa Nirmala
“Baru pulang. Mbak?” jam sembilam malam Nirmala melangkahkan kaki memasuki ruang tamu rumahnya, Bisma hanya mengantarnya sampai pintu, tak ikut masuk hari sudah malam memang.“Iya, ini martabak manis buatmu, kamu nggak jadi keluar tadi?” Nirmala meletakkan bungkusan martabak yang berbau harum di atas meja makan, memperhatikan Nia sejanak yang menonton tivi, piyama berwarna hijau bergambar keropi sudah dia kenakan. Adiknya tadi mengatakan akan pergi ke acara reuni bersama teman-teman SMAnya yang diadalan di sebuah café.“Sudah, tadi pulang jam delapan.” Nirmala hanya menggangguk lalu melangkah ke dalam kamarnya.Satu bulan sudah dia menyandang status sebagai kekasih Bisma. Senyum manis selalu menghiasi wajahnya. Bahagianya jatuh cinta, apalagi Bisma adalah pacar pertama setelah dua puluh enam tahun. Sepulang mengajar Bisma biasanya mampir ke rumah Nirmala, tidak ada jadwal khusus memang sesempatnya saja, warna merah jamb