Share

3. Donat

Penulis: Ajeng padmi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-19 06:56:39

Nirmala melongok layar ponsel yang dari tadi terus berbunyi, sederet nomer yang dia hafal betul terpampang di sana. Nomer yang dulu memang paling dinantinya, bahkan hari-harinya terasa tak lengkap jika pemilik nomer belum menghubunginya hari itu, tapi sekarang dia sangat tidak berharap nomer itu kembali menghubunginya. Hanya akan menambah sakit hatinya saja.

“Siapa, Mbak dari tadi bunyi terus?”

“Bukan siapa-siapa, orang iseng mungkin.” 

“Kenapa nggak diangkat mungkin aja pelanggan yang mau pesan kue.”

“Kalau pelanggan jelas  hubungi kamu bukan aku, sudahlah cuekin saja.” 

Nia hanya mengangkat bahu, suasana hati kakaknya memburuk lagi, padahal tadi sudah bisa tertawa ceria saat Caca menelpon.

“Sudah , Nin kamu ke pasar saja cenilnya tinggal potong-potong nanti biar mbak yang bungkus.”

“Mbak  yakin?” Nirmala melototkan matanya pada sang adik, lama-lama dia jengkel juga pada Nia, dia hanya sedang patah hati karena ditinggal nikah bukan orang invalid. 

Oh ayolah dia tidak akan bertindak bodoh dengan melakukan bunuh diri misalnya, tidak akan hidupnya terlalu berharga untuk disia-siakan seperti itu. Dia memang sakit hati itu pasti dan hanya butuh waktu untuk melupakan oh salah bukan melupakan lebih tepatnya mengikhlaskan apa yang terjadi padanya. Semoga nantinya akan menjadi pelajaran yang berharga.

“Sudah sana pergi, pelanggan bisa lari kalau penjualnya males jualan.”

“Iya deh Mbak, Nia pergi mbak Mala hati-hati di rumah bentar lagi mbak Gita kesini bawa Caca.”

“Iya sudah sana, cemilannya sudah masuk gembolan semua, Nin?” tanya Nirmala mencoba mengalihakan perhatian adiknya. Saat ke pasar Nia yang lincah membawa motor scoopynya yang baru lunas bulan lalu dengan gembolan dari terpal tebal  yang terpasang di belakangnya, isinya berbagai cemilan yang siap dijual. 

Di atasnya akan bertengger manis kardus yang berisi kue basah buatan Nirmala. Tidak hanya itu Nia juga menerima penitipan kue di lapaknya yang langsung diantarkan ke pasar tiap pagi, tentu saja setelah mereka tahu kualitas dan rasanya dan jangan lupa harga yang juga bersahabat dengan para pengunjung pasar. 

“Beres semua … nanti aku mampir kulakan bentar habis dari pasar.”

“Lho sudah habis tho camilannya? Mbak lihat tadi masih banyak.”

“Makaroni pedasnya habis kemarin banyak yang cari.”

“Beli dua kilo sekalian saja, Nin. Cuma itu yang habis kripik pisangnya bagaimana?” 

“Masih ada setengah kilo, sih ya udah aku beli kripik pisang juga sekilo lainnya masih banyak, aku nanti pake duit hasil jualan yang kemarin sama hari ini, masih cukup kayaknya nanti aku tulis rinciannya.” 

“Baiklah terserah kamu.” Mereka memang kakak adik tapi dalam bisnis, mereka adalah partner. 

Nirmala bertugas mengelola keuangan dan membuat berbagai jajanan, sedangkan Nia bertugas memasarkan sekaligus membeli cemilan yang akan mereka kemas ulang. Hasil jualan mereka akan dibagi dua sama rata setelah dikurangi biaya-biaya. 

“Sip.” Jarak pasar tempat Nia berjualan dan rumah yang mereka tempati hanya sepuluh menit jika ditempuh dengan sepeda motor. Yah itu kalau tidak macet, dan Nia yang paling sebal menunggu akan memilih memutar melewati jalan tikus, meski 10 menit lebih lama tapi lebih cepat kalau harus menunggu kemacetan terurai.

“Hati-hati, Nin helm dan masker jangan lupa.” 

“Oh iya, lupa masker masih di kamar.” Nia hanya nyengir iseng lalu lari masuk ke dalam kamar. 

Nirmala hanya duduk diam di ruang tamu, pikirannya melayang entah kemana dia sampai tak habis pikir bagaimana Bisma secepat itu menemukan pengganti dirinya, apakah hanya karena dia anak yatim piatu, hubungan mereka yang selama lima tahun tak ada artinya, hanya satu bulan berselang setelah mereka putus, Bisma sudah melangkah semakin jauh.

Sebelumnya Nirmala masih berharap mereka bisa kembali bersama, hubungan mereka selama ini juga demikian diwarnai putus nyambung. Ada masa-masa dimana mereka memerlukan waktu untuk berhenti sejenak, mengerjakan kesibukan masing-masing tanpa mengintervensi, biasanya setelah satu atau dua minggu keduanya sama-sama bisa berpikir jernih dan memutuskan untuk kembali bersama. Berjuang bergandengan tangan untuk masa depan yang sangat diharapkan dapat bersama sampai maut memisahkan.

“Teeeeeeeeeee!” Nirmala terkekut bukan maian saat menoleh ke kanan bocah perempuan berkepang dua menatapnya kesal. Kapan anak ini masuknya seperti jin saja tiba-tiba datang.

“Kita sudah salam berkali-kali kamu saja yang asyik nglamun, Caca sampai nangis tuh dari tadi panggil nggak kamu sautin.” Ibu sang bocah mengomel sambil berkacak pinggang, sedangkan mata Caca tampak berkaca-kaca, kenapa juga Caca nangis.

Nirmala yang belum sepenuhnya mengerti keadaan hanya memandang mereka dengan tampang bodoh. “NIRMALA!!” teriak wanita itu lagi, setelah diteriaki baru Nirmala sadar keponakan cantiknya meminta perhatian darinya karena tidak ditanggapi jadilah menangis. Walah segitu khusyuknya dia melamun sampai tak tau ada orang lain yang berbagi ruangan dengannya.

“Te Mala napa?” tanya Caca dengan aksen cadelnya yang lucu.

“Lho mbak sama Caca dianter siapa tadi kok sudah disini?” 

“Pakai karpet terbang.” Jawab Gita, ibu bocah itu sekaligus kakak sepupu Nirmala sambil ngeloyor ke dapur membiarkan Nirmala yang masih memandangnya heran.

“Ibu kenapa dek Caca?” 

“Caca mau kue.” Lah ini ibu dan anak sama-sama nggak nyambung ditanya apa jawab apa. “Tee Caca mau kue.” Anak itu bahkan sudah meloncat-loncat sambil menggoyangkan tangan Nirmala saking kesalnya pada sang tante yang tak merespon ucapannya.

“Bentar ya dek Caca habis ini dibuatkan tante kue adek lihat upin ipin dulu ya.” Gita muncul dengan membawa segelas air. “Minum dulu, La.” meski bingung Nirmala menghabiskan gelas minuman yang disodorkan Gita.

“Air apa itu, Mbak seharusnya aku yang bikinin mbak minum.”

“Halah biasanya mbak juga bikin minum sendiri, itu air biar kamu tenang.”

“Hah air bikin tenang gimana? Ada jampi-jampinya gitu, mbak mau nyantet aku.”

“Sembarangan, siapa juga yang mau nyantet kamu, itu air diambil langsung dari mata air pegunungan sudah mbak saring dengan tujuh saringan.” Nirmala hanya melongo, apa kakak sepupunya  berencana membuat pabrik minuman kemasan. “Sudah jangan kebanyakan bengong, kue pesanan sudah jadi apa belum?”

“Eh belum, jam berapa sekarang? Ah jam setengah sembilan … jam sembilan mau diambil kuenya mbak bantu bungkusin.” Gita memutar bola matanya dengan malas sepupunya ini benar-benar.

“Mbak bantu apa ini La?” Sampai di dapur Nirmala sibuk mengeluarkan loyang-loyang yang baru saja dikukus. Setelah meletakkannya pada tempat yang datar, Nirmala bersiap memotong cenil menjadi kotak-kotak kecil.

“Mbak taruh cenil yang sudah Mala potong dalam mika, natanya gini Mbak agak ditumpuk warna-warni setelah aku kasih parutan kelapa, dikasih pita duan pandan atasnya biar cantik, sudah distapler jadi … cantikkan kue buatanku,” Gita memperhatikan dengan seksama tampilan kue yang didemokan Nirmala cantik memang tapi mana mau Gita mengakui bisa besar kepala adik sepupunya itu. “Coba mbak bisakan?”

“Bentar aku coba kayaknya mudah.”

“Ditatanya bertingkat mbak kayak piramid, jangan miring.”

“Iya… udah gini bener.” Gita menyodorkan hasil kerjanya.

“Ok sip mbak.”

“Hapemu bunyi tuh, La.” Nirmala melihat layar ponselnya masih nomer yang sama dengan kesal dimatikannya dan dibukanya penutup belakang tek… diceraikannya baterai dengan badan ponsel. Akhirnya diam juga itu ponsel. Bikin orang senewen saja mau apa juga telpon terus mau pamer. “Kok hapenya dianiyaya gitu, La?”

“Salah sambung, Mbak dari tadi sudah dibilangi masih ngeyel telpon terus. Mbak, aku mau keluar bentar beli bahan kue, tolong cenilnya taruh mika ya, terus dikardusin lainnya sudah siap kok tinggal itu saja, ya mbak … ya bentar sekalian bikin kue buat Caca.” Tanpa menunggu jawaban dari Gita Nirmala sudah berlari ke kamarnya mengambil kunci motor sambil berteriak pamitan pada Caca.

“Eh mau kemana kamu,” Gita mencegat Nirmala yang akan berlari keluar kamar. 

“Kan udah aku bilang mau beli bahan untuk bikin kue.”

“Lah itu pesanan gimana.” 

“Mbak lanjutin aja kayak yang aku contohin, tinggal dikit juga, nanti diambil kesini jam sembilan lebih katanya, oh ya uangnya masih kurang dua ratus ribu mbak nanti tagihkan sekalian lima jenis kue.”

“Ehh bentar kamu memang mau bikin kue apa buru-buru banget.”

“Donat.” 

“Hah, yah kenapa donat lagi alamat makan donat seminggu ini,” kata Gita dengan lemas.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   4. Apa Salah Berbagi?

    Nirmala melajukan motornya menembus keramaian jalan, jalan yang sudah dia lewati ribuan kali. Toko Ekonomi toko yang menjual bahan untuk membuat kue menjadi tujuannya. Harganya yang agak miring membuat toko ini tak pernah sepi pengunjung. Nirmala bahkan sudah kenal baik dengan pemiliknya, seorang wanita paruh baya keturunan tionghoa, Cik Mei biasa dia dipanggil, hanya hidup berdua dengan anaknya yang memiliki keterbelakangan mental. Tapi itu tak menyurutkan semangat wanita itu untuk mengais rejeki. “Orderan banyak ini, La?” “Lumayan Cik banyak yang pesan, musim hajatan.” “Syukur deh kalau begitu, mau cari apa sekarang?” “Terigu tiga kilo sama fermipan 3 bungkus, susu bubuk satu renceng sama margarin seperempat.” “Mau bikin donat? donat buatamu enak, tapi kok gak dijual di lapak adikmu. Jualanlah pasti banyak yang beli aku saja suka.” “Belum Cik, buat donat kalau lagi senggang saja.” “Nanti bagi aku sepuluh biji buat camilan sendiri.” “Beres, Cik.” Jalanan cukup lengang saat

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   5. Pasar

    “Biar mbak ikut kamu ke pasar, Ni.”“Mbak yakin aku masih bisa bawa kok, Mbak istirahat saja hari ini tidak ada pesanan.” Pagi ini Nirmala sudah rapi dengan kaos warna kuning dan celana jins, karena ulahnya kemarin yang membuat donat dengan jumlah yang banyak pagi ini Nia berniat menjual beberapa buah donat tentu saja setelah mereka membagi-bagikan pada para tetangga dan orang terdekat. Oh jangan lupakan juga anak-anak panti yang berada tak jauh dengan rumah mereka juga mendapat jatah. Entah mengapa donat yang dibuat Nirmala seolah tak ada habisnya. Akhirnya gadis itu memutuskan menjual sisanya dia memang mengakui donat buatan Nirmala enak tapi dia tak segila itu untuk memakan donat seminggu penuh seperti saran Nirmala.“Mbak baik-baik saja, kamu akan kerepotan bawa ini semua.”“Baiklah, terserah mbak Mala saja.”Ini memang bukan pertama kalinya Nirmala membantu Nia berjualan di pasar biasanya dia akan sekalian membeli bahan kue atau berbelanja kebutuhan, meski cenderung kaku dan t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   6. Buaya Pasar

    Nirmala tersenyum senang donat yang ia buat kemarin hampir habis hanya masih tersisa tiga buah, meski niatnya membuat donat hanya ingin sedikit mengalihkan rasa kesalnya tapi ternyata dia membuat kebanyakan, hah memang tidak ada baik-baiknya menyimpan rasa marah. Dia sadar bagaimanapun semua hal telah ada yang mengatur, jodoh, maut dan rejeki, sekeras apapun dia berusaha tak akan mampu mengubah apapun jika memang Bisma bukan jodohnya. Yah saat pikirannya sedikit tenang dia akan menelaah perasaannya sendiri, membolak balik pikirannya sendiri. Dia memang bukan pribadi yang terbuka dengan seseorang, menjadi anak pertama sekaligus menjadi yatim piatu di usia yang sangat muda membuatnya harus mengemban tugas yang berat sebagai kepala keluarga. Meski Nia bukan anak manja yang hanya bisa bergantung padanya, tapi sekali lagi dia anak sulung dan hanya Nia yang dia punya sekarang jadi dia harus bisa mengcover semua masalah yang mereka hadapi, termasuk masalah hatinya. Nirmala tahu Nia sanga

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   7. Bantuan Bisma

    Saat ayahnya Nirmala memang masih di tahun akhir kuliahnya, tapi karena tak adanya biaya juga karena kebutuhan sehari-hari yang mendesak, cuti kuliah adalah pilihannya saat itu. Tapi bukan berarti keinginannya untuk melanjutkan pendidikan berhenti sampai di sana, lima tahun setelahnya Nirmala berhasil meraih gelar sarjana, tentu saja semua itu tak lepas dari dukungan Nia sebagai keluarga satu-satunya yang ia punya, ibunya telah berpulang dua tahun sebelumnya. Saat memutuskan melanjutkan pendidikannya lagi itu Nirmala bertemu Bisma, teman masa SMAnya. Lucunya meski mereka dulu teman seangkatan waktu SMA, tapi karena Nirmala telat melanjutkan kuliahnya jadilah dia harus memanggil Bisma dengan sebutan bapak. Yah tentu saja Bisma yang telah menyelesaikan strata duanya mengabdi di kampus tempat Nirmala belajar sebagai dosen. Sempat kagok juga Nirmala, di kampus harus memanggilnya dengan sebutan bapak sedangkan di luar kampus mereka adalah teman dan Bisma tak sudi dipanggil

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   8. Geprek Pedas

    Nirmala mengamati ponsel yang memang khusus untuk usahanya dengan heran, banyak pesanan kue yang masuk, dari event di kampus, acara hajatan sampai pengajian ibu-ibu. Nirmala tidak akan merasa heran kalau saja mereka tidak menyebutkan suatu nama yang tidak ingin lagi dia dengar. Bisma. Mereka memesan atas rekomendasi laki-laki itu, untuk apa dia masih mau membantunya. Bahkan kue untuk pertunangannyapun Nirmala yang harus buat, seolah Nirmala hanya kenalan yang kebetulan bisa membuat kue. “Kenapa, Mbak?” Nia yang sudah segar sehabis mandi sore menghampiri kakaknya yang duduk termenung sambil memegang ponsel. “Kita banyak pesanan,” gadis itu lalu beranjak ke dapur meninggalkan Nia yang kebingungan. Memang banyak pesan masuk, beberapa hanya bertanya kue apa yang bisa di pesan, berapa harganya dan lain-lain, tapi banyak juga yang langsung memesan dengan jumlah yang cukup banyak dan harinyapun berdekatan. “Apa mbak Jani kuwalahan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   9. Saat Kita Bersama

    “Baru pulang. Mbak?” jam sembilam malam Nirmala melangkahkan kaki memasuki ruang tamu rumahnya, Bisma hanya mengantarnya sampai pintu, tak ikut masuk hari sudah malam memang.“Iya,  ini martabak manis buatmu, kamu nggak jadi keluar tadi?” Nirmala meletakkan bungkusan martabak yang berbau harum di atas meja makan, memperhatikan Nia sejanak yang menonton tivi, piyama berwarna hijau bergambar keropi sudah dia kenakan. Adiknya tadi mengatakan akan pergi ke acara reuni bersama teman-teman SMAnya yang diadalan di sebuah café.“Sudah,  tadi pulang jam delapan.” Nirmala hanya menggangguk lalu melangkah ke dalam kamarnya.Satu bulan sudah dia menyandang status sebagai kekasih Bisma. Senyum manis selalu menghiasi wajahnya. Bahagianya jatuh cinta, apalagi Bisma adalah pacar pertama setelah dua puluh enam tahun. Sepulang mengajar Bisma biasanya mampir ke rumah Nirmala, tidak ada jadwal khusus memang sesempatnya saja, warna merah jamb

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   10. Lepaskan

    Nirmala sudah menyelesaikan makannya, dua piring nasi hangat amblas ke perut Nirmala, Gita sampai geleng-geleng kepala. Ini yang kata Nia tak mau makan. Herannya meski Nirmala banyak makan tubuhnya tak berubah gemuk, bahkan seingat Gita dari mulai sma tubuhnya hanya segitu tak bertambah tinggi ataupun lebar. Entah karena keturunan atau memang tiap hari dia harus kerja keras membuat kue.“Kamu ingat saat ayahmu meninggal, La?” tanya Gita tiba-tiba, membuat Nirmala yang masih mencari serpihan ayam dalam sambal mengangkat wajahnya.“Tentu saja, mbak itu salah satu hari paling buruk untukku. Kenapa mbak tiba-tiba menanyakan itu?”“Mbak tidak bermaksud mengingatkanmu pada kenangan sedih itu,” Gita memandang Nirmala sejenak lalu melanjutkan, “bagaimana perasaanmu sekarang apakah kehilangan Bisma sama sedihnya dengan kehilangan ayahmu?” tanya Gita hati-hati dia tau tak pantas rasanya menanyakan pertanyaan ini, Bisma bahkan bukan siapa-siapa Nirmala

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   11. Umpan Buaya

    Nirmala tersenyum  sambil melambai pada Caca yang masih memberengut dalam gendongan ibunya. “Kalau mama libur saja, Ca ikut ke rumah tante.” Nirmala berkata mencoba memberi pengertian pada Caca buka apa-apa kalau dia nekat membawa Caca menginap di rumahnya tanpa sang ibu, bisa-bisa tengah malam anak itu nangis mencari ibunya.“Mbak gimana Caca nangis tuh?” Nirmala memandang kasihan pada Caca yang mulai menangis.“Udah nggak papa tinggal saja habis ini juga lupa.”Nirmala melambai sekali lagi pada Caca tak tega sebenarnya, Caca yang memang suka makan kue buatan Nirmala sangat mengidolakan sang tante dan akan menangis jika ditinggal. Begitupun Nirmala yang memang pada dasarnya sangat suka anak kecil, langsung dekat dengan Caca begitu lahir. Mengobrol bersama Caca meski kadang tak dimengerti oleh anak itu adalah hiburan tersendiri untuknya, apalagi  tingkah polahnya yang lucu dan menggemaskan selalu bisa membuatnya tertawa.“Lain

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03

Bab terbaru

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   111. Yang Dinanti

    “Mama minta kita program bayi tabung.” Radit yang baru saja melipat sarungnya menoleh pada Nirmala yang masih berbalut mukena. “Untuk apa?” tanya Radit. Nirmala menghela napas, waktu setelah sholat subuh dia pilih karena hanya waktu itu yang selalu memungkinkan mereka untuk bersama, Radit yang kadang pulang sangat malam atau bahkan dini hari dan Nirmala yang sudah terlelap membuat tak ada waktu untuk sekedar bercakap-cakap. “Kok untuk apa? sudah lama kita belum punya anak? Memangnya mas tidak mau punya anak,” kata Nirmala kesal. Untuk bicara masalah ini dia sudah berlatih sepanjang malam tadi. Sejujurnya Nirmala juga tidak suka dengan ide itu, tapi dia sadar beberapa tahun menikah belum juga punya anak dan usianya juga bertambah tua. “Aku sudah akan punya anak.” “Hah!” kepala yang semula tertunduk penuh rasa bersalah langsung terangkat, matanya melebar. R

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   110. Ibu Mertua

    Nirmala memasuki rumah mertuanya sore ini, pagi tadi Bu Lastri meneleponnya dan memintanya untuk ke mari.Mempunyai anak-anak yang telah beranjak dewasa membuat Bu Lastri kesepian itulah alasan beliau selalu meminta Nirmala datang ke rumahnya, meski wanita itu tak jarang juga memiliki kesibukan sendiri sehingga tak bisa memenuhi permintaan mertuanya.Berbeda untuk kali ini Bu Lastri tak mau mendengar apapun alasan Nirmala, bahkan menelepon berkali-kali untuk memastikan Nirmala bisa datang, saat ditanya ada apa beliau hanya mengatakan ada hal penting yang ingin dia katakan, membuat Nirmala sedikit was-was, apalagi hubungannya dengan Radit akhir-akhir ini agak merenggang.Radit yang lebih mementingkan pekerjaannya membuat Nirmala selalu snewen setiap hari, mereka paling hanya bertemu saat pagi hari, itu pun Radit akan buru-buru balik lagi ke rumah sakit. Tak ada lagi acara berbincang santai, atau pun membicarakan hal-hal konyol yang membuat me

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   109. Berjarak

    Seminggu sudah Radit dibuat sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit, suaminya itu bahkan setiap hari pulang diatas jam dua belas malam dan akan berangkat lagi jam lima pagi. Mereka bahkan sudah jarang berkomunikasi bahkan lewat pesan singkat sekalipun. Kalau ditanya apa Nirmala tidak protes, jawabanya adalah sesering dia membuat kue. Tapi jawaban Radit tetap saja memintanya menunggu dengan alasan banyak pasienlah , atau akan ada seminar disuatu tempat, yang membuat Nirmala pusing sendiri dan akhirnya hanya membiarkan saja Radit dengan segala kesibukannya. Di rumah pun komunikasi mereka hanya seputaran Radit yang menanyakan baju ganti untuknya dan bekal sarapan di tiap pagi karena laki-laki itu tak akan sempat makan di rumah. Nirmala yang mengantar suaminya pergi kerja hanya menatap malas saat Radit berkata akan mengusahakan pulang secepatnya. Bukannya dia tak percaya lagi pada sang suami tapi sudah banyak k

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   108. Php

    Nirmala meregangkan tubuhnya yang meringkuk di atas ranjang. Dia menoleh ke samping, tak ada sosok yang selama dua tahun ini menemani tidurnya. "Apa tadi malam aku mimpi? tapi kok terasa nyata?" Nirmala segera memeriksa bagian samping ranjang, tidak terlalu dingin dan agak kusut, berarti tadi malam dia tidak mimpi lalu di mana sekarang suaminya? Apa sudah berangkat kerja, sepagi ini?Wanita itu bergerak malas, matanya masih sangat mengantuk, tadi malam dia menangis lama sekali, entah kenapa akhir-akhir ini dia berubah menjadi cengeng, matanya sudah pasti akan terlihat bengkak. Dengan malas Nirmala memaksakan diri untuk bangun, dia harus mengompres mukanya, akan banyak pertanyaan kalau dia muncul dengan wajah seperti itu.Benar saja matanya sebesar bola pimpong, dengan sebal dia menekan-nekan matanya dengan handuk hangat berharap matanya akan kembali seperti sedia kala. Nirmala keluar dari kamar d

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   107. Maaf

    Berpuluh-puluh pesan telah dia kirim tapi tak satupun yang diabalas oleh sang suami bahkan dibaca pun tidak. Nirmala sudah menyerah dengan langkah lemas dia memberekan semua, tak diperdulikannya perutnya yang sejak tadi belum terisi. Sekarang dia hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul sebelas malam, mungkin sang suami sebentar lagi akan pulang tapi Nirmala sudah tak perduli. Dia terlanjur kecewa. Selama satu jam dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang. Di kejauhan terdengar sirine yang berbunyi menandakan hari telah berganti. Nirmala semakin gelisah. Tidak biasanya Radit pulang selarut ini apa dia baik-baik saja? Apa perlu dia menyusul ke rumah sakit tempatnya bekerja? cuma jalan kaki sepuluh menit juga.Tapi Nirmala juga takut ini sudah tengah malam, kalau Radit sedang sibuk dengan pasiennya bagaimana? Dia akan sangat menganggu nanti. Hatinya berdebar tak nyaman akhi

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   106. Tak Sampai

    Sejak pagi hari Nirmala sudah berkutat dengan berbagai macam bahan yang akan dia gunakan untuk membuat sebuah kue tart spesial.  Dia sengaja membuat kue di rumahnya sendiri tidak di rumah yang dia tempati bersama Radit. Lagi pula dengan dia membuat kue di rumahnya ada Rina dan pegawai yang lain yang bisa membantu. Hari ini memang bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahannya dengan Radit yang berusia dua tahun, tak ada perayaan khusus memang dia hanya ingin makan malam bersama sang suami, berdua saja, untuk itu dia sudah memastikan berkali-kali pada Radit harus pulang kerja sebelum makan malam dan suaminya itu menyanggupi. Semoga saja memang terlaksana, sejak pembicaraan mereka beberapa hari memang belum ada perubahan sama sekali Radit tetap saja pulang sampai larut malam lalu pagi-pagi buta pergi lagi. Nirmala hanya perlu menunggu waktu satu bulan yang dijanjikan Radit.“Seneng banget yang mau makan malam

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   104. Ngambek

    “Aku benar-benar minta maaf untuk siang tadi tapi jangan lagi mengatakan perpisahan, itu membuat aku kesakitan.”“Lalu untuk apa hubungan kita ini jika selama ini kamu seperti menjauhiku?”Radit menatap Nirmala tak mengerti. “Apa kamu masih nggak percaya sama aku dan lebih percaya pada Sazi?”“Apa hubungan permbicaraan kita dengan Sazi?” “Kejadian dua tahun yang lalu,” jawab Nirmala lirih. Mengingat kejadian itu seolah mengorek luka yang masih basah. Kehilangan memang bukan hal yang mudah untuk dilupakan apalagi dia harus kehilangan anak, meski wujudnya belum dapat dia lihat. Tapi rasa bersalah itu terus bercokol dalam hatinya, dan semakin kuat berakar saat sampai sekarang belum ada yang tumbuh di rahimnya. Tak ingin Radit tahu serapuh apa dirinya saat mengingat kejadian itu, Nirmala memutar tubuhnya membelakangi sang suami. Air matanya menetes tak bisa ditahan lagi. Radit menghela nafasnya sedih, kejadian dua tahun yang lalu juga masih membekas dalam ingatannya, bukan dia menyal

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   104. Tak Cukup

    Nirmala memandang Radit tajam. “Kamu sok tahu banget ini, aku dari tadi juga istirahat. Sudahlah aku mau menyelesaikan ini kamu sebaiknya pulang dulu, Mas. Aku bisa tidur di sini besok pagi pasti kamu berangkat pagi sekali.” Nirmala menekankan ucapannya pada kata ‘pasti’ yang dia yakini sebagai kebiasaan Radit. Dia bukan sedang ingin membalas dendam atau membantah suaminya sekali lagi bukan, dia hanya ingin sekali dimengerti sekali saja. Kali ini dia ingin egois, tak mau menjadi orang yang pengertian, dia sudah lelah, sangat lelah dengan semua ini. Andai saja sang suami mau sedikit berbagi dengannya membicarakannya secara baik-baik mungkin Nirmala akan bisa mengerti. Hanya itu. Dia bukan ibu peri yang selalu bisa mengerti dan memaklumi dengan sikapnya. Sesekali dia juga ingin dimengerti dan dipahami. Dia wanita yang sudah bersuami jadi selayaknya kalau dia ingin seperti orang-orang lain yang bisa sesekali pergi dengan suaminya, menghabisk

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   103. Obat Hati

    Nirmala merebahkan tubuhnya yang lelah di sebuah sofa yang memang dia sedikan untuk tempat istirahat saat sibuk di toko. Belanja bersama Gita ternyata sama lelahnya dengan berbelanja dengan Bu Lastri, mertuanya. Nirmala harus rela diseret ke sana ke mari hanya untuk membeli sebuuah gaun yang diinginkan Gita. Meski begitu Nirmala senang pergi bersama gita hari ini sedikit banyak dia bisa melupakan masalahnya. “Mbak  Mala, nggak pulang?” Mbak  Ratna menyapa Nirmala yang masih duduk bersandar dengan nyaman. “Mbak  Ratna duluan saja, masih ada yang harus aku kerjakan.” Mbak  Ratna memandang sejenak pada Nirmala, tapi kemudian menelan kembali apapun kalimat yang sudah ada di ujung lidahnya.“Ya sudah, Mbak  kalau begitu aku pamit, dulu . Mbak  Mala benar nggak apa-apa ditinggal sendiri atau perlu saya hubungi Nia biar kemari.” “Lah buat apa wong saya cuma mau selesaikan cupcake saja, tenang saja, Mba

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status