Share

3. Donat

Penulis: Ajeng padmi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-19 06:56:39

Nirmala melongok layar ponsel yang dari tadi terus berbunyi, sederet nomer yang dia hafal betul terpampang di sana. Nomer yang dulu memang paling dinantinya, bahkan hari-harinya terasa tak lengkap jika pemilik nomer belum menghubunginya hari itu, tapi sekarang dia sangat tidak berharap nomer itu kembali menghubunginya. Hanya akan menambah sakit hatinya saja.

“Siapa, Mbak dari tadi bunyi terus?”

“Bukan siapa-siapa, orang iseng mungkin.” 

“Kenapa nggak diangkat mungkin aja pelanggan yang mau pesan kue.”

“Kalau pelanggan jelas  hubungi kamu bukan aku, sudahlah cuekin saja.” 

Nia hanya mengangkat bahu, suasana hati kakaknya memburuk lagi, padahal tadi sudah bisa tertawa ceria saat Caca menelpon.

“Sudah , Nin kamu ke pasar saja cenilnya tinggal potong-potong nanti biar mbak yang bungkus.”

“Mbak  yakin?” Nirmala melototkan matanya pada sang adik, lama-lama dia jengkel juga pada Nia, dia hanya sedang patah hati karena ditinggal nikah bukan orang invalid. 

Oh ayolah dia tidak akan bertindak bodoh dengan melakukan bunuh diri misalnya, tidak akan hidupnya terlalu berharga untuk disia-siakan seperti itu. Dia memang sakit hati itu pasti dan hanya butuh waktu untuk melupakan oh salah bukan melupakan lebih tepatnya mengikhlaskan apa yang terjadi padanya. Semoga nantinya akan menjadi pelajaran yang berharga.

“Sudah sana pergi, pelanggan bisa lari kalau penjualnya males jualan.”

“Iya deh Mbak, Nia pergi mbak Mala hati-hati di rumah bentar lagi mbak Gita kesini bawa Caca.”

“Iya sudah sana, cemilannya sudah masuk gembolan semua, Nin?” tanya Nirmala mencoba mengalihakan perhatian adiknya. Saat ke pasar Nia yang lincah membawa motor scoopynya yang baru lunas bulan lalu dengan gembolan dari terpal tebal  yang terpasang di belakangnya, isinya berbagai cemilan yang siap dijual. 

Di atasnya akan bertengger manis kardus yang berisi kue basah buatan Nirmala. Tidak hanya itu Nia juga menerima penitipan kue di lapaknya yang langsung diantarkan ke pasar tiap pagi, tentu saja setelah mereka tahu kualitas dan rasanya dan jangan lupa harga yang juga bersahabat dengan para pengunjung pasar. 

“Beres semua … nanti aku mampir kulakan bentar habis dari pasar.”

“Lho sudah habis tho camilannya? Mbak lihat tadi masih banyak.”

“Makaroni pedasnya habis kemarin banyak yang cari.”

“Beli dua kilo sekalian saja, Nin. Cuma itu yang habis kripik pisangnya bagaimana?” 

“Masih ada setengah kilo, sih ya udah aku beli kripik pisang juga sekilo lainnya masih banyak, aku nanti pake duit hasil jualan yang kemarin sama hari ini, masih cukup kayaknya nanti aku tulis rinciannya.” 

“Baiklah terserah kamu.” Mereka memang kakak adik tapi dalam bisnis, mereka adalah partner. 

Nirmala bertugas mengelola keuangan dan membuat berbagai jajanan, sedangkan Nia bertugas memasarkan sekaligus membeli cemilan yang akan mereka kemas ulang. Hasil jualan mereka akan dibagi dua sama rata setelah dikurangi biaya-biaya. 

“Sip.” Jarak pasar tempat Nia berjualan dan rumah yang mereka tempati hanya sepuluh menit jika ditempuh dengan sepeda motor. Yah itu kalau tidak macet, dan Nia yang paling sebal menunggu akan memilih memutar melewati jalan tikus, meski 10 menit lebih lama tapi lebih cepat kalau harus menunggu kemacetan terurai.

“Hati-hati, Nin helm dan masker jangan lupa.” 

“Oh iya, lupa masker masih di kamar.” Nia hanya nyengir iseng lalu lari masuk ke dalam kamar. 

Nirmala hanya duduk diam di ruang tamu, pikirannya melayang entah kemana dia sampai tak habis pikir bagaimana Bisma secepat itu menemukan pengganti dirinya, apakah hanya karena dia anak yatim piatu, hubungan mereka yang selama lima tahun tak ada artinya, hanya satu bulan berselang setelah mereka putus, Bisma sudah melangkah semakin jauh.

Sebelumnya Nirmala masih berharap mereka bisa kembali bersama, hubungan mereka selama ini juga demikian diwarnai putus nyambung. Ada masa-masa dimana mereka memerlukan waktu untuk berhenti sejenak, mengerjakan kesibukan masing-masing tanpa mengintervensi, biasanya setelah satu atau dua minggu keduanya sama-sama bisa berpikir jernih dan memutuskan untuk kembali bersama. Berjuang bergandengan tangan untuk masa depan yang sangat diharapkan dapat bersama sampai maut memisahkan.

“Teeeeeeeeeee!” Nirmala terkekut bukan maian saat menoleh ke kanan bocah perempuan berkepang dua menatapnya kesal. Kapan anak ini masuknya seperti jin saja tiba-tiba datang.

“Kita sudah salam berkali-kali kamu saja yang asyik nglamun, Caca sampai nangis tuh dari tadi panggil nggak kamu sautin.” Ibu sang bocah mengomel sambil berkacak pinggang, sedangkan mata Caca tampak berkaca-kaca, kenapa juga Caca nangis.

Nirmala yang belum sepenuhnya mengerti keadaan hanya memandang mereka dengan tampang bodoh. “NIRMALA!!” teriak wanita itu lagi, setelah diteriaki baru Nirmala sadar keponakan cantiknya meminta perhatian darinya karena tidak ditanggapi jadilah menangis. Walah segitu khusyuknya dia melamun sampai tak tau ada orang lain yang berbagi ruangan dengannya.

“Te Mala napa?” tanya Caca dengan aksen cadelnya yang lucu.

“Lho mbak sama Caca dianter siapa tadi kok sudah disini?” 

“Pakai karpet terbang.” Jawab Gita, ibu bocah itu sekaligus kakak sepupu Nirmala sambil ngeloyor ke dapur membiarkan Nirmala yang masih memandangnya heran.

“Ibu kenapa dek Caca?” 

“Caca mau kue.” Lah ini ibu dan anak sama-sama nggak nyambung ditanya apa jawab apa. “Tee Caca mau kue.” Anak itu bahkan sudah meloncat-loncat sambil menggoyangkan tangan Nirmala saking kesalnya pada sang tante yang tak merespon ucapannya.

“Bentar ya dek Caca habis ini dibuatkan tante kue adek lihat upin ipin dulu ya.” Gita muncul dengan membawa segelas air. “Minum dulu, La.” meski bingung Nirmala menghabiskan gelas minuman yang disodorkan Gita.

“Air apa itu, Mbak seharusnya aku yang bikinin mbak minum.”

“Halah biasanya mbak juga bikin minum sendiri, itu air biar kamu tenang.”

“Hah air bikin tenang gimana? Ada jampi-jampinya gitu, mbak mau nyantet aku.”

“Sembarangan, siapa juga yang mau nyantet kamu, itu air diambil langsung dari mata air pegunungan sudah mbak saring dengan tujuh saringan.” Nirmala hanya melongo, apa kakak sepupunya  berencana membuat pabrik minuman kemasan. “Sudah jangan kebanyakan bengong, kue pesanan sudah jadi apa belum?”

“Eh belum, jam berapa sekarang? Ah jam setengah sembilan … jam sembilan mau diambil kuenya mbak bantu bungkusin.” Gita memutar bola matanya dengan malas sepupunya ini benar-benar.

“Mbak bantu apa ini La?” Sampai di dapur Nirmala sibuk mengeluarkan loyang-loyang yang baru saja dikukus. Setelah meletakkannya pada tempat yang datar, Nirmala bersiap memotong cenil menjadi kotak-kotak kecil.

“Mbak taruh cenil yang sudah Mala potong dalam mika, natanya gini Mbak agak ditumpuk warna-warni setelah aku kasih parutan kelapa, dikasih pita duan pandan atasnya biar cantik, sudah distapler jadi … cantikkan kue buatanku,” Gita memperhatikan dengan seksama tampilan kue yang didemokan Nirmala cantik memang tapi mana mau Gita mengakui bisa besar kepala adik sepupunya itu. “Coba mbak bisakan?”

“Bentar aku coba kayaknya mudah.”

“Ditatanya bertingkat mbak kayak piramid, jangan miring.”

“Iya… udah gini bener.” Gita menyodorkan hasil kerjanya.

“Ok sip mbak.”

“Hapemu bunyi tuh, La.” Nirmala melihat layar ponselnya masih nomer yang sama dengan kesal dimatikannya dan dibukanya penutup belakang tek… diceraikannya baterai dengan badan ponsel. Akhirnya diam juga itu ponsel. Bikin orang senewen saja mau apa juga telpon terus mau pamer. “Kok hapenya dianiyaya gitu, La?”

“Salah sambung, Mbak dari tadi sudah dibilangi masih ngeyel telpon terus. Mbak, aku mau keluar bentar beli bahan kue, tolong cenilnya taruh mika ya, terus dikardusin lainnya sudah siap kok tinggal itu saja, ya mbak … ya bentar sekalian bikin kue buat Caca.” Tanpa menunggu jawaban dari Gita Nirmala sudah berlari ke kamarnya mengambil kunci motor sambil berteriak pamitan pada Caca.

“Eh mau kemana kamu,” Gita mencegat Nirmala yang akan berlari keluar kamar. 

“Kan udah aku bilang mau beli bahan untuk bikin kue.”

“Lah itu pesanan gimana.” 

“Mbak lanjutin aja kayak yang aku contohin, tinggal dikit juga, nanti diambil kesini jam sembilan lebih katanya, oh ya uangnya masih kurang dua ratus ribu mbak nanti tagihkan sekalian lima jenis kue.”

“Ehh bentar kamu memang mau bikin kue apa buru-buru banget.”

“Donat.” 

“Hah, yah kenapa donat lagi alamat makan donat seminggu ini,” kata Gita dengan lemas.

Bab terkait

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   4. Apa Salah Berbagi?

    Nirmala melajukan motornya menembus keramaian jalan, jalan yang sudah dia lewati ribuan kali. Toko Ekonomi toko yang menjual bahan untuk membuat kue menjadi tujuannya. Harganya yang agak miring membuat toko ini tak pernah sepi pengunjung. Nirmala bahkan sudah kenal baik dengan pemiliknya, seorang wanita paruh baya keturunan tionghoa, Cik Mei biasa dia dipanggil, hanya hidup berdua dengan anaknya yang memiliki keterbelakangan mental. Tapi itu tak menyurutkan semangat wanita itu untuk mengais rejeki. “Orderan banyak ini, La?” “Lumayan Cik banyak yang pesan, musim hajatan.” “Syukur deh kalau begitu, mau cari apa sekarang?” “Terigu tiga kilo sama fermipan 3 bungkus, susu bubuk satu renceng sama margarin seperempat.” “Mau bikin donat? donat buatamu enak, tapi kok gak dijual di lapak adikmu. Jualanlah pasti banyak yang beli aku saja suka.” “Belum Cik, buat donat kalau lagi senggang saja.” “Nanti bagi aku sepuluh biji buat camilan sendiri.” “Beres, Cik.” Jalanan cukup lengang saat

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   5. Pasar

    “Biar mbak ikut kamu ke pasar, Ni.”“Mbak yakin aku masih bisa bawa kok, Mbak istirahat saja hari ini tidak ada pesanan.” Pagi ini Nirmala sudah rapi dengan kaos warna kuning dan celana jins, karena ulahnya kemarin yang membuat donat dengan jumlah yang banyak pagi ini Nia berniat menjual beberapa buah donat tentu saja setelah mereka membagi-bagikan pada para tetangga dan orang terdekat. Oh jangan lupakan juga anak-anak panti yang berada tak jauh dengan rumah mereka juga mendapat jatah. Entah mengapa donat yang dibuat Nirmala seolah tak ada habisnya. Akhirnya gadis itu memutuskan menjual sisanya dia memang mengakui donat buatan Nirmala enak tapi dia tak segila itu untuk memakan donat seminggu penuh seperti saran Nirmala.“Mbak baik-baik saja, kamu akan kerepotan bawa ini semua.”“Baiklah, terserah mbak Mala saja.”Ini memang bukan pertama kalinya Nirmala membantu Nia berjualan di pasar biasanya dia akan sekalian membeli bahan kue atau berbelanja kebutuhan, meski cenderung kaku dan t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   6. Buaya Pasar

    Nirmala tersenyum senang donat yang ia buat kemarin hampir habis hanya masih tersisa tiga buah, meski niatnya membuat donat hanya ingin sedikit mengalihkan rasa kesalnya tapi ternyata dia membuat kebanyakan, hah memang tidak ada baik-baiknya menyimpan rasa marah. Dia sadar bagaimanapun semua hal telah ada yang mengatur, jodoh, maut dan rejeki, sekeras apapun dia berusaha tak akan mampu mengubah apapun jika memang Bisma bukan jodohnya. Yah saat pikirannya sedikit tenang dia akan menelaah perasaannya sendiri, membolak balik pikirannya sendiri. Dia memang bukan pribadi yang terbuka dengan seseorang, menjadi anak pertama sekaligus menjadi yatim piatu di usia yang sangat muda membuatnya harus mengemban tugas yang berat sebagai kepala keluarga. Meski Nia bukan anak manja yang hanya bisa bergantung padanya, tapi sekali lagi dia anak sulung dan hanya Nia yang dia punya sekarang jadi dia harus bisa mengcover semua masalah yang mereka hadapi, termasuk masalah hatinya. Nirmala tahu Nia sanga

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   7. Bantuan Bisma

    Saat ayahnya Nirmala memang masih di tahun akhir kuliahnya, tapi karena tak adanya biaya juga karena kebutuhan sehari-hari yang mendesak, cuti kuliah adalah pilihannya saat itu. Tapi bukan berarti keinginannya untuk melanjutkan pendidikan berhenti sampai di sana, lima tahun setelahnya Nirmala berhasil meraih gelar sarjana, tentu saja semua itu tak lepas dari dukungan Nia sebagai keluarga satu-satunya yang ia punya, ibunya telah berpulang dua tahun sebelumnya. Saat memutuskan melanjutkan pendidikannya lagi itu Nirmala bertemu Bisma, teman masa SMAnya. Lucunya meski mereka dulu teman seangkatan waktu SMA, tapi karena Nirmala telat melanjutkan kuliahnya jadilah dia harus memanggil Bisma dengan sebutan bapak. Yah tentu saja Bisma yang telah menyelesaikan strata duanya mengabdi di kampus tempat Nirmala belajar sebagai dosen. Sempat kagok juga Nirmala, di kampus harus memanggilnya dengan sebutan bapak sedangkan di luar kampus mereka adalah teman dan Bisma tak sudi dipanggil

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   8. Geprek Pedas

    Nirmala mengamati ponsel yang memang khusus untuk usahanya dengan heran, banyak pesanan kue yang masuk, dari event di kampus, acara hajatan sampai pengajian ibu-ibu. Nirmala tidak akan merasa heran kalau saja mereka tidak menyebutkan suatu nama yang tidak ingin lagi dia dengar. Bisma. Mereka memesan atas rekomendasi laki-laki itu, untuk apa dia masih mau membantunya. Bahkan kue untuk pertunangannyapun Nirmala yang harus buat, seolah Nirmala hanya kenalan yang kebetulan bisa membuat kue. “Kenapa, Mbak?” Nia yang sudah segar sehabis mandi sore menghampiri kakaknya yang duduk termenung sambil memegang ponsel. “Kita banyak pesanan,” gadis itu lalu beranjak ke dapur meninggalkan Nia yang kebingungan. Memang banyak pesan masuk, beberapa hanya bertanya kue apa yang bisa di pesan, berapa harganya dan lain-lain, tapi banyak juga yang langsung memesan dengan jumlah yang cukup banyak dan harinyapun berdekatan. “Apa mbak Jani kuwalahan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   9. Saat Kita Bersama

    “Baru pulang. Mbak?” jam sembilam malam Nirmala melangkahkan kaki memasuki ruang tamu rumahnya, Bisma hanya mengantarnya sampai pintu, tak ikut masuk hari sudah malam memang.“Iya,  ini martabak manis buatmu, kamu nggak jadi keluar tadi?” Nirmala meletakkan bungkusan martabak yang berbau harum di atas meja makan, memperhatikan Nia sejanak yang menonton tivi, piyama berwarna hijau bergambar keropi sudah dia kenakan. Adiknya tadi mengatakan akan pergi ke acara reuni bersama teman-teman SMAnya yang diadalan di sebuah café.“Sudah,  tadi pulang jam delapan.” Nirmala hanya menggangguk lalu melangkah ke dalam kamarnya.Satu bulan sudah dia menyandang status sebagai kekasih Bisma. Senyum manis selalu menghiasi wajahnya. Bahagianya jatuh cinta, apalagi Bisma adalah pacar pertama setelah dua puluh enam tahun. Sepulang mengajar Bisma biasanya mampir ke rumah Nirmala, tidak ada jadwal khusus memang sesempatnya saja, warna merah jamb

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   10. Lepaskan

    Nirmala sudah menyelesaikan makannya, dua piring nasi hangat amblas ke perut Nirmala, Gita sampai geleng-geleng kepala. Ini yang kata Nia tak mau makan. Herannya meski Nirmala banyak makan tubuhnya tak berubah gemuk, bahkan seingat Gita dari mulai sma tubuhnya hanya segitu tak bertambah tinggi ataupun lebar. Entah karena keturunan atau memang tiap hari dia harus kerja keras membuat kue.“Kamu ingat saat ayahmu meninggal, La?” tanya Gita tiba-tiba, membuat Nirmala yang masih mencari serpihan ayam dalam sambal mengangkat wajahnya.“Tentu saja, mbak itu salah satu hari paling buruk untukku. Kenapa mbak tiba-tiba menanyakan itu?”“Mbak tidak bermaksud mengingatkanmu pada kenangan sedih itu,” Gita memandang Nirmala sejenak lalu melanjutkan, “bagaimana perasaanmu sekarang apakah kehilangan Bisma sama sedihnya dengan kehilangan ayahmu?” tanya Gita hati-hati dia tau tak pantas rasanya menanyakan pertanyaan ini, Bisma bahkan bukan siapa-siapa Nirmala

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   11. Umpan Buaya

    Nirmala tersenyum  sambil melambai pada Caca yang masih memberengut dalam gendongan ibunya. “Kalau mama libur saja, Ca ikut ke rumah tante.” Nirmala berkata mencoba memberi pengertian pada Caca buka apa-apa kalau dia nekat membawa Caca menginap di rumahnya tanpa sang ibu, bisa-bisa tengah malam anak itu nangis mencari ibunya.“Mbak gimana Caca nangis tuh?” Nirmala memandang kasihan pada Caca yang mulai menangis.“Udah nggak papa tinggal saja habis ini juga lupa.”Nirmala melambai sekali lagi pada Caca tak tega sebenarnya, Caca yang memang suka makan kue buatan Nirmala sangat mengidolakan sang tante dan akan menangis jika ditinggal. Begitupun Nirmala yang memang pada dasarnya sangat suka anak kecil, langsung dekat dengan Caca begitu lahir. Mengobrol bersama Caca meski kadang tak dimengerti oleh anak itu adalah hiburan tersendiri untuknya, apalagi  tingkah polahnya yang lucu dan menggemaskan selalu bisa membuatnya tertawa.“Lain

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03

Bab terbaru

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   87. Setitik Rasa

    Pukul sembilan malam Radit sampai di rumah orang tuanya, seharian ini dia disIbukkan dengan banyaknya pasien yang datang, saat ini memang sedang musim hujan banyak anak-anak yang terkenal flu dan batuk. Dan mereka datang berduyun-duyun ke rumah sakit tempat Radit bekerja. Melihat anak-anak yang terbaring lemah membuatnya selalu tak tega, jadi dia berusaha membantu mereka sebaik mungkin, dan inilah yang menyebabkannya sangat sIbuk dan sedikit melupakan persoalan tadi siang. “Kenapa malam sekali baru pulang, Dit. Kami sudah menunggumu dari tadi?” Bu Lastri langsung menyambut putranya saat mobil laki-laki itu berhenti di halaman rumah, sejak pukul lima sore tadi memang Bu Lastri sdah mengirimkan pesan pada Radit untuk segera pulang dan membahas masalah tadi siang. Radit hanya membacanya tak berkeinginan membalas, Ibunya bukan tipe Ibu-Ibu obsesif yang kalau anaknya tak membalas pesan akan langsung menelepon, Bu Lastri tipe Ibu yang simple, asalkan pesannya sudah tersampaikan dia tak a

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   86. Jangan Tinggalkan Aku

    Radit melajukan mobilnya dengan kencang, wajahnya sudah merah dan tangannya memegang kemudi dengan sangat kencang, kalau saja kemudi itu tak dibuat dengan bahan yang baik pasti sudah bengkok. “Pelankan mobilnya, Mas aku takut!” teriak suara dari penumpang belakang tapi mana mau Radit mendengarkan, dia malah menambah kecepatan mobilnya meliuk ke kanan dan ke kiri menyalip kendaraan lain di depannya. “Hentikan,Dit, kamu bisa membunuh kita semua!” teriak wanita paruh baya yang tadi datang bersama Radit. Tangannya terasa kebas mencengkeram erat besi pegangan di atap mobil. Tapi telinga dan hati Radit seolah tertutup dengan teriakan dua orang wanita yang semobil dengannya. Bahkan dia juga tak memperdulikan pengendara sepeda motor yang juga melaju kencang dari arah yang berlawanan, menyerempet bagian samping mobilnya. Mobil keluaran eropa yang biasanya dia sayang, seolah tak berharga lagi. yang dia tahu saat ini hanyalah ingin le

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   85. Bukan Cinderella

    "Aku mau tiga mangkuk es krim, tambahkan potongan strawberry yang besar dan kue coklat untuk kami, tolong cepat, ya Mbak siang ini panas banget," keluh Nia dengan senyuman manis di akhir kalimatnya."Segera, Mbak tunggu sebentar."Pelayan itu berlalu setelah mencatat pesanan Nia.Benar saja tak sampai sepuluh menit mereka menunggu pesanan sudah tersedia.Tiga mangkuk es krim, dengan saus strawberry dan ditambah potongan strawberry yang besar, terlihat sangat lezat.Nirmala memandangnya dengan berbinar, es krim strawberry tak pernah membuatnya bosan bahkan di saat suasana hatinya sedang tergores pisau tajam.Suasana cafe yang cozy membuat banyak pengunjung yang datang kemari."Lupakan diet dan mari habiskan es krim!""Yeiii lupakan jerawat juga, mari have fun!""Kalian serius mau menghabiskan es krim itu," Nirmala bertanya dengan wajah tak yakin, pasalnya dua wanita yang saat ini duduk bersamanya sangat anti makan es krim.Mbak Gita yang sejak melahirkan Caca menjadi gampang sekali gem

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   84. Tak Sama Lagi

    Nirmala menatap ke sekelilingnya dengan pandangan pias, orang-orang mulai berdatangan dan berbisik-bisik. Tentu saja kamu mereka biasanya tenang dan damai jarang sekali ada kejadian yang menghebohkan. Dan itu pun hanya seputar maling yang tertangkap warga saat mencuri atau tikus sebesar anak kambing yang nekat masuk rumah warga. Dan kali ini kedatangan wanita itu pasti sangat menggelitik rasa ingin tahu mereka apalagi posisi wanita itu yang berlutut di hadapan Nirmala dengan tangis yang berderai, pasti semua orang mengira bahwa Nirmala merebut suami orang dan istrinya sekarang datang memohon padanya. Ditambah lagi semua tetangganya sudah tahu tentang kabar pertunangannya dengan Radit, laki-laki tampan yang kaya raya, dan pastinya usianya jauh di bawah Nirmala, lengkap sudah penderitaannya.“Mbak, Mbaknya bangun dulu kita bicara di dalam saja.” Gita yang sejak tadi berdiri di samping Nirmala juga ikut membujuk, tak enak rasanya menjadi bahan tontonan warga sekitar. Dia memandang adi

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   83. Wanita Lain

    Seperti hari-hari sebelumnya pagi ini Nirmala sudah disibukkan dengan berbagai tepung dan bahan pembuatan kue. Dengan adanya tiga orang tambahan, membuat Nirmala bisa bernafas dengan lega. dia tak perlu lagi menolak pesanan karena dirasa masih mampu mengerjakannya. Tapi semangat Nirmala untuk terus bereksperimen dengan berbagai jenis kue tak pernah pudar. Dan sekarang dia malah mempunyai banyak waktu untuk melanjutkan hobinya itu. Apalagi menjelang hari pertunangannya, dia semakin sibuk saja di dapur baik Mbak Gita maupun budhe sudah melarang Nirmala ke dapur tapi yang namanya Nirmala tetap saja keras kepala.“Aku bertanggung jawab dalam produksi kue tokoku bagaimana mungkin aku tak ke dapur,” kata Nirmala suatu hari saat Gita datang berkunjung dan melihatnya yang sudah bermain dengan bahan-bahan kesayangannya itu di dapur.“Ya paling tidak kamu kurangi, buat apa kamu bayar tiga orang karyawan kalu ujung-ujungnya kamu sendiri yang harus turun tangan.”“Aku cuma bantu, Mbak biar cepa

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   82. Tak Datang

    Siang ini matahari memang tidak bersinar terlalu terik, meski tak hujan, tapi awan kelabu sudah mulai berjalan-jalan, menemani burung-burung yang terbang mencari makan. Siang ini memang tak terlalu panas tapi tidak demikian dengan suasana hati Nirmala, wanita itu sudah setengah jam mondar mandir di depan sebuah butik ternama, tangan kanannya memegang ponsel lalu menempelkannya ke telinga begitu dari tadi tapi tak ada jawaban dari seseorang yang dia hubungi di seberang sana. “Kemana orang ini, katanya bisa datang kenapa sekarang tak menjawab telepon?” keluhnya kesal. “Sudah jawab, La?” “Belum, Ma.”“Coba hubungi terus, kemana anak itu katanya bisa datang kok nggak ada kabar.”Nirmala tak bisa menjawab pertanyaan yang sama juga sudah dia tanyakan berkali-kali tapi hanya semilir angin yang menjawab. Dia kembali sibuk menelepon lagi. “Kamu ada nomer perawat yang membantunya? Mungkin sa

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   81. Cincin Bermata Biru

    “Ayo turun, La.” tanpa diminta dua kali Nirmala langsung turun dari dalam mobil, dia berniat membantu sopir Bu Lastri untuk mengangkat barang belanjaan mereka tapi, laki-laki itu melarangnya jadi Nirmala hanya mengikuti Bu Lastri dari belakang.Rumah ini masih tetap sama seperti beberapa waktu lalu saat dia pertama kali datang kesini, asri dan elegan. Dan satu hal yang selalu dirasakan Nirmala saat memasuki rumah ini adalah misterius, entah mengapa dia merasa kalau rumah ini banyak menyimpan misteri di dalamnya.Mungkin karena ini rumah kuno, yang banyak menyimpan rahasia para pendahulunya.“Ayo masuk.” suara Bu Lastri menyadarkan Nirmala tujuannya datang ke rumah ini. Setelah membeli semua perlengkapan seserahan tadi Nirmala memang diminta ikut ke rumah Bu Lastri, beliau bilang ada sesuatu yang ingin dia berikan pada Nirmala dan sekalian membicarakan rencana pernikahannya. Bagaimanapun mereka tak bisa mengandal

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   80. Rempong

    Berbelanja dengan Radit memang sangat menyebalkan, tapi siapa mengira berbelanja dengan Emak Radit jauh lebih menyebalkan apalagi Nirmala tak bisa seenaknya mengeluh dia harus tetap tersenyum meski hatinya dongkol. Bagaimana tidak Nirmala harus rela berputar-putar tak tentu arah, bukan karena mereka nyasar seperti saat bersama Radit, bu Lastri jelas sering berbelanja di mall ini karena beliau sangat hafal letak toko-toko yang menjual barang yang diinginkan tapi di sinilah permasalahanya.“Kita cari tas dulu, La.” “Memang lamaran perlu tas juga, Bu bukannya cukup pakaian saja?”Bu Lastri berhenti dan memandang Nirmala sejenak lalu berkata, “mulai sekarang jangan panggil Bu tapi panggil Mama sebentar lagi kamu juga akan jadi anak mama jadi biasakan dari sekarang.”Nirmala tertegun memandang Bu Lastri dengan seksama, apakah Bu Lastri memang menerima dia sepenuhnya sebagai pendamping anaknya. Selama ini Ibu Radit me

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   79. Dua Anak Ayam

    “Bukannya kamu mau kerja kenapa ke sini?” tanya Nirmala yang heran melihat Radit mengajaknya turun di sebuah mall.“Masih ada waktu dua jam lagi,” kata Radit. “ Yuk turun.”Nirmala menghela nafas, kenapa Radit suka sekali mengambil keputusan sendiri, kalau memang mereka mampir ke sini untuk makan, lebih baik mereka mampir di warung makan atau café saja, lebih praktis mereka tak perlu berkeliling, apalagi mall yang mereka kunjungi terlihat penuh.Dia yang bukan wanita yang hobi ngemall tentu saja sangat tidak tertarik dengan konsep ini.“Kalau cuma mau makan kenapa nggak di resto saja lebih praktis, atau bisa aku masakin di rumah kamu, biar kamunya nggak telat nanti.” “Kita nggak cuma makan di sini, dan aku nggak mau kita berdua ada di rumahku sebelum sah ya, tar yang ketiganya setan.” Pipi Nirmala memerah mengingat momen saat mereka berdua di rumah Radit dulu. Aish kenapa diingatkan sih Nirmala kan jadi malu.

DMCA.com Protection Status