“Waduh, saya kurang tahu ya, Bu. Tapi ini ada di dalam situ tadi.”Karyawan itu kemudian menyerahkan sebuah kartu kecil. Sambil menautkan alis, Ranaya mengambilnya dan mulai membuka kartu yang diberi pita merah tersebut. Begitu membacanya, mata Ranaya melebar.‘Dari Yusuf?’ batin Ranaya menyuarakan keheranannya.Karyawan yang mengantar melangkah pergi. Sementara itu, karyawan lain yang berada di ruangan yang sama dengan Ranaya mulai berbisik-bisik selagi tatapan mereka terpaku pada buket bunga mewah tersebut.“Ssstt, bos kita udah punya pacar, ya?”“Mungkin. Akhirnya Bu Ranaya buka hati juga.”Ranaya menatap buket bunga itu masih dengan ekspresi sulit diartikan. Di dalam kartu, ada pesan singkat yang semakin membuatnya terkejut.[Saya ingin serius denganmu, Ranaya. Tolong beri saya kesempatan lagi.]Tangannya sedikit gemetar. Apa-apaan ini?! Yusuf ingin serius dengannya?Seketika tubuh Ranaya lemas. Ia sampai harus menekan meja agar kuat berdiri. Ranaya lalu memilih duduk, menggeleng
“Sayang, kamu jangan gila! Bukannya kamu yang bilang kalau klien juga sudah nunggu kita?!”Mata Sherly membeliak, tak percaya jika Sagara malah memilih menemui seorang anak kecil yang tidak jelas asal-usulnya ketimbang menemui orang yang jelas-jelas penting!“Sebentar, aku mau ngomong sama anak itu, Sher. Kamu tunggu di atas dulu, nanti aku nyusul,” ujarnya masih bersikeras.Bahkan sekarang ia sudah berlari turun, menyingkap sekumpulan orang yang sekiranya menghalangi jalan, lantas berlari meninggalkan Sherly yang kesal dengan sikap mendadak Sagara.Sagara lantas berusaha mengejar dua orang yang berjalan sembari saling bergandengan tangan di depannya sekarang.“Radeva!” panggilnya.Bocah dan wanita yang ada di sisinya menoleh. Sebelum Radeva sempat merespons, Sagara menghampirinya dan langsung mendaratkan kedua tangannya pada bahu kecil Radeva.“Deva, kamu mau ke mana? Nggak pulang, kan? Bisa tunggu Om bentar?” ungkap Sagara dengan napas masih terengah-engah.Radeva menatap Yanti sing
“Serius kamu, Sher? Memangnya Sagara bisa ketemu anak itu di mana?”Suara Mayang yang ada di seberang telepon terdengar terkejut.Sherly melirik ke arah Sagara dan bocah yang sedang bermain itu sekilas. Rahangnya mengatup rapat.“Iyaaa, serius, Mi!! Aku nggak tahu dari mana Sagara bisa nemuin anak ini! Tapi umurnya pas banget sama waktu Ranaya pergi! Aneh, kan?!” Sherly menghentakkan kakinya. Kali ini ia benar-benar panik.Suara Mayang terdiam sejenak seperti sedang berpikir. Setelah itu, ia mengatakan dengan lembut. “Tenang, jangan khawatir. Kamu jangan gegabah. Bisa saja ini cuma kebetulan. Sher. Mending kamu cari tahu lebih dulu siapa nama mamanya.”Sherly mendengus kesal. Ia menggigiti kuku telunjuknya sekarang.“Gimana caranya? Emang bakal berhasil, Mi?!”Berikutnya suara helaan napas panjang terdengar dari speaker ponselnya.“Ya kamu pakai cara pendekatan lebih halus, dong. Lebih kalem gitu. Pokoknya kamu harus bisa dekati dia dulu. Kalau benar dia anaknya Ranaya, kita harus ber
“Ini apa, Mbak?”Ranaya terheran-heran sewaktu menatap ponselnya. Ia baru sempat membaca chat susulan Yanti ketika asisten dan anaknya sudah tiba di rumah.“Itu lokasi kami tadi, Bu. Seumpama Bu Ranaya mau mengirim hadiah ke pria yang nyelametin Dek Radeva, nah di situ tinggalnya, hehehe ….”Ranaya menghela napas panjang, menatap Yanti yang berdiri di hadapannya dengan wajah menyesal.“Jadi, sampai sekarang kamu nggak tahu nama pria yang nyelametin Radeva kemarin?”Tatapan Yanti meredup dan merunduk. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lantas tersenyum kikuk sambil mencuri pandang ke arah majikannya.“Hehe, iya. Maaf, Bu. Saya lupa nanya.”Ranaya menutup wajah dengan satu tangan. Merasa amat frustrasi.“Mbak Yanti, Mbak Yanti … penyakit lupamu itu kapan sembuhnya, sih?! Aku mau kirim bingkisan buat orangnya, tapi gimana kalau nama aja nggak tahu. Masa aku harus tulis ‘Untuk Om Baik’ gitu? Bisa-bisa nyasar dong ah!”“Eh, iya juga, ya.”“Ya, makanya ….” Ranaya berdecak kesal. Ia sud
Setelah beberapa saat berkelahi dengan pikirannya sendiri, Sagara akhirnya mendesah panjang, lantas memutar setir mobilnya. Mobilnya berputar balik dan kemudian melaju kencang demi mengejar mobil tadi.Kali ini Sagara harus memastikan bahwa penglihatannya tak mungkin salah.Itu benar Ranaya, kan? Kepalanya terus berdengung memikirkan nama itu.Suara deru mesin mobil bergema di telinga Sagara, berpadu dengan debar jantungnya yang berpacu lebih cepat dari biasanya. Ia mengetatkan genggaman di setir, menatap mobil di depannya dengan tatapan penuh tekad selama di perjalanan.Pandangan Sagara tajam menatap lintas jalan raya yang ramai kendaraan. Sejenak matanya menyipit.Ia yakin perempuan tadi mirip Ranaya. Namun, ada hal ganjil. Kenapa perempuan itu tak mengenakan kacamata?Sagara menggertakkan giginya, lalu memacu mobilnya lebih kencang. Perasaan yang membuncah di dadanya entah apa namanya. Marah? Sama sekali tidak. Bingung? Mungkin.Atau justru lebih dari itu?Sagara ingin jika perempu
“Mimpi apa aku ini sampai bisa menikah dengan Mas Sagara ….”Ranaya termenung di depan cermin memandangi wajah polosnya yang baru saja dibersihkan dari riasan pengantin. Tangannya kemudian meraih sebuah kacamata dan mengenakannya.Kini tampaklah lebih jelas bayangan wajah di hadapannya. Ranaya memang diberkahi kulit putih bersih, hidung mancung dan bibirnya yang mungil. Namun, bukankah hal itu sudah dimiliki oleh kebanyakan wanita pada umumnya?Ranaya merasa satu-satunya yang bisa dibanggakan darinya adalah sepasang mata bulat bersinar yang sayangnya harus tertutupi lensa kacamata tebal dan mulai ketergantungan dengan benda tersebut ketika rabun jauh yang dideritanya semakin parah.Usai acara berakhir, Ranaya pergi ke kamar dulu tepat seperti apa yang Sagara perintahkan. Dan kini dengan harap-harap cemas ia menunggu suaminya itu menyusul kemari.Tatapan pada objek pantulan di cermin membuatnya ingin mencubiti pipinya berkali-kali. Ia ingin menyadarkan dirinya sendiri bahwa ini bukanl
“Bagaimana malam pertama kalian, Ranaya?” Pagi ini di tengah dentingan sendok dan piring, tiba-tiba Tantri, ibu Sagara, bertanya demikian. Nyaris saja Ranaya tersedak oleh karena pertanyaan yang diajukan. Ia harus menjawab apa? Masalahnya Sagara tak sudi menyentuhnya, bahkan semalam ia tak tahu kapan pria itu pulang. Mata Ranaya yang gugup sempat bersinggungan dengan tatapan tajam yang Sagara hunjamkan kepadanya. Ranaya buru-buru mengalihkan pandang, mengunyah makanannya cepat, lantas menyahut, “Lancar kok, Ma.” Ia bertukas sembari merekahkan senyum selebar mungkin agar ibu mertuanya yakin. Ranaya mengamati wajah cantik di depannya. Seorang wanita paruh baya dengan rambut ikal berpotongan sebahu yang tampak masih segar parasnya. Ranaya berani menjamin, ketampanan seorang Sagara memang berasal dari ibunya. Sementara itu, Tantri terlihat sumringah usai mendengar jawaban Ranaya dan manggut-manggut pelan. Ia lalu beralih ke arah Sagara yang tengah sibuk menyantap makanannya dengan
“Akhirnya sampai rumah juga. Aduh, punggungku!”Pagi ini Tantri dan Harto sudah kembali. Tantri melangkah terseok-seok dengan tangan membawa beberapa tas sambil sesekali mempermasalahkan sakit punggungnya.Ranaya segera berhambur ke arah ibu mertuanya. Tangannya cekatan menyambar sejumlah tas yang tengah ditenteng Tantri.“Aku bantu bawakan ya, Ma. Mama rehat dulu saja. Aku juga sudah masak ayam goreng lengkuas dan sup sayur untuk sarapan,” tukas Ranaya. Ia kemudian sibuk meletakkan barang bawaan Tantri tadi.Sembari memijat punggungnya, Tantri mengekor di belakang Ranaya dan duduk di salah satu kursi meja makan.“Alhamdulilah, beruntung sekali Mama punya menantu sebaik dan sepintar kamu, Ranaya. Terima kasih, ya.” Tantri menghela napas penuh kelegaan sewaktu menyaksikan makanan yang dimasak Ranaya telah berjejer rapi di depannya.“Sama-sama, Ma. Tahu dan tempe yang ada di kulkas juga sudah aku olah.”Ranaya lantas menyingkap salah satu sajian dan menunjukkan hasil gorengannya tadi pa
Setelah beberapa saat berkelahi dengan pikirannya sendiri, Sagara akhirnya mendesah panjang, lantas memutar setir mobilnya. Mobilnya berputar balik dan kemudian melaju kencang demi mengejar mobil tadi.Kali ini Sagara harus memastikan bahwa penglihatannya tak mungkin salah.Itu benar Ranaya, kan? Kepalanya terus berdengung memikirkan nama itu.Suara deru mesin mobil bergema di telinga Sagara, berpadu dengan debar jantungnya yang berpacu lebih cepat dari biasanya. Ia mengetatkan genggaman di setir, menatap mobil di depannya dengan tatapan penuh tekad selama di perjalanan.Pandangan Sagara tajam menatap lintas jalan raya yang ramai kendaraan. Sejenak matanya menyipit.Ia yakin perempuan tadi mirip Ranaya. Namun, ada hal ganjil. Kenapa perempuan itu tak mengenakan kacamata?Sagara menggertakkan giginya, lalu memacu mobilnya lebih kencang. Perasaan yang membuncah di dadanya entah apa namanya. Marah? Sama sekali tidak. Bingung? Mungkin.Atau justru lebih dari itu?Sagara ingin jika perempu
“Ini apa, Mbak?”Ranaya terheran-heran sewaktu menatap ponselnya. Ia baru sempat membaca chat susulan Yanti ketika asisten dan anaknya sudah tiba di rumah.“Itu lokasi kami tadi, Bu. Seumpama Bu Ranaya mau mengirim hadiah ke pria yang nyelametin Dek Radeva, nah di situ tinggalnya, hehehe ….”Ranaya menghela napas panjang, menatap Yanti yang berdiri di hadapannya dengan wajah menyesal.“Jadi, sampai sekarang kamu nggak tahu nama pria yang nyelametin Radeva kemarin?”Tatapan Yanti meredup dan merunduk. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lantas tersenyum kikuk sambil mencuri pandang ke arah majikannya.“Hehe, iya. Maaf, Bu. Saya lupa nanya.”Ranaya menutup wajah dengan satu tangan. Merasa amat frustrasi.“Mbak Yanti, Mbak Yanti … penyakit lupamu itu kapan sembuhnya, sih?! Aku mau kirim bingkisan buat orangnya, tapi gimana kalau nama aja nggak tahu. Masa aku harus tulis ‘Untuk Om Baik’ gitu? Bisa-bisa nyasar dong ah!”“Eh, iya juga, ya.”“Ya, makanya ….” Ranaya berdecak kesal. Ia sud
“Serius kamu, Sher? Memangnya Sagara bisa ketemu anak itu di mana?”Suara Mayang yang ada di seberang telepon terdengar terkejut.Sherly melirik ke arah Sagara dan bocah yang sedang bermain itu sekilas. Rahangnya mengatup rapat.“Iyaaa, serius, Mi!! Aku nggak tahu dari mana Sagara bisa nemuin anak ini! Tapi umurnya pas banget sama waktu Ranaya pergi! Aneh, kan?!” Sherly menghentakkan kakinya. Kali ini ia benar-benar panik.Suara Mayang terdiam sejenak seperti sedang berpikir. Setelah itu, ia mengatakan dengan lembut. “Tenang, jangan khawatir. Kamu jangan gegabah. Bisa saja ini cuma kebetulan. Sher. Mending kamu cari tahu lebih dulu siapa nama mamanya.”Sherly mendengus kesal. Ia menggigiti kuku telunjuknya sekarang.“Gimana caranya? Emang bakal berhasil, Mi?!”Berikutnya suara helaan napas panjang terdengar dari speaker ponselnya.“Ya kamu pakai cara pendekatan lebih halus, dong. Lebih kalem gitu. Pokoknya kamu harus bisa dekati dia dulu. Kalau benar dia anaknya Ranaya, kita harus ber
“Sayang, kamu jangan gila! Bukannya kamu yang bilang kalau klien juga sudah nunggu kita?!”Mata Sherly membeliak, tak percaya jika Sagara malah memilih menemui seorang anak kecil yang tidak jelas asal-usulnya ketimbang menemui orang yang jelas-jelas penting!“Sebentar, aku mau ngomong sama anak itu, Sher. Kamu tunggu di atas dulu, nanti aku nyusul,” ujarnya masih bersikeras.Bahkan sekarang ia sudah berlari turun, menyingkap sekumpulan orang yang sekiranya menghalangi jalan, lantas berlari meninggalkan Sherly yang kesal dengan sikap mendadak Sagara.Sagara lantas berusaha mengejar dua orang yang berjalan sembari saling bergandengan tangan di depannya sekarang.“Radeva!” panggilnya.Bocah dan wanita yang ada di sisinya menoleh. Sebelum Radeva sempat merespons, Sagara menghampirinya dan langsung mendaratkan kedua tangannya pada bahu kecil Radeva.“Deva, kamu mau ke mana? Nggak pulang, kan? Bisa tunggu Om bentar?” ungkap Sagara dengan napas masih terengah-engah.Radeva menatap Yanti sing
“Waduh, saya kurang tahu ya, Bu. Tapi ini ada di dalam situ tadi.”Karyawan itu kemudian menyerahkan sebuah kartu kecil. Sambil menautkan alis, Ranaya mengambilnya dan mulai membuka kartu yang diberi pita merah tersebut. Begitu membacanya, mata Ranaya melebar.‘Dari Yusuf?’ batin Ranaya menyuarakan keheranannya.Karyawan yang mengantar melangkah pergi. Sementara itu, karyawan lain yang berada di ruangan yang sama dengan Ranaya mulai berbisik-bisik selagi tatapan mereka terpaku pada buket bunga mewah tersebut.“Ssstt, bos kita udah punya pacar, ya?”“Mungkin. Akhirnya Bu Ranaya buka hati juga.”Ranaya menatap buket bunga itu masih dengan ekspresi sulit diartikan. Di dalam kartu, ada pesan singkat yang semakin membuatnya terkejut.[Saya ingin serius denganmu, Ranaya. Tolong beri saya kesempatan lagi.]Tangannya sedikit gemetar. Apa-apaan ini?! Yusuf ingin serius dengannya?Seketika tubuh Ranaya lemas. Ia sampai harus menekan meja agar kuat berdiri. Ranaya lalu memilih duduk, menggeleng
Setelah menolong Radeva dan menyaksikan mobil itu hilang dari pandangannya, Sagara pun kembali ke dalam mobilnya sendiri. Ia menghela napas panjang seraya menyandarkan tubuhnya ke jok mobil. Berikutnya, seperti tersengat listrik bertegangan rendah, tangannya cepat-cepat meraih bolpoin di laci dashboard dan menuliskan plat nomor mobil van putih tadi di secarik kertas.Ia lalu memandangi kombinasi angka dan huruf yang baru saja ia tulis. Meskipun hanya melihatnya sekelebat, otaknya cukup tajam untuk mengingat dengan baik. Ini ia lakukan agar tak ada korban lagi di sekitarnya. Rencananya, ia akan melaporkan kejadian ini ke kantor polisi.Namun … ada sesuatu yang janggal. Plat nomor itu tak menunjukkan wilayah kota ini.“Ini kan plat nomor kota sebelah?” gumamnya pelan.Mata Sagara kembali menajam. Memandang ke luar jendela.Sagara kemudian memutuskan pulang. Ia melajukan mobilnya sembari sesekali melempar tatapan ke sana kemari berharap menemukan van putih itu di antara lalu lintas yang
"Lumahku ada di lual kota, Om."Mendengar jawaban dari Radeva membuat kening Sagara spontan mengernyit."Hah? Luar kota?" ulangnya keheranan. “Dari sini jauh nggak, Deva?”“Iya, jauh bangeeet, Om.” Radeva mengangguk, seolah itu adalah hal yang biasa.Menempuh sekolah kurang lebih satu jam dari rumah dinilai sudah jauh oleh bocah tersebut. Ia benci perjalanan lama yang membosankan.Rasa-rasanya Sagara semakin tak habis pikir. Apalagi mengenai bocah lelaki yang ada di hadapannya sekarang. Entah kenapa ia kian tertarik dengan kehidupan Radeva yang menurutnya unik itu."Terus, kenapa sekolah di sini? Hmm, maksud Om sekolah kamu kok jauh sekali dari rumah?" tanyanya. Alisnya berkerut dalam."Itu kalena Mama bolak-balik ke kota ini juga, Om. Mama dulu juga dali sini kok telus pindah," sahut Radeva ringan.Sekelebat rasa heran menyelinap di benak Sagara. Jadi, ibunya memang berasal dari kota ini? Ia baru hendak bertanya lebih jauh ketika sebuah mobil tiba-tiba berhenti di dekat mereka.Dari
Siang itu, di sebuah restoran yang menyajikan makanan Italia, Acel berjalan dengan langkah setengah mengendap. Pandangannya was-was, sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang mengenalinya.Langkahnya kemudian membawanya ke sebuah meja di sudut ruang dan berhenti di sana, di mana seorang pria bercambang sudah duduk menunggu.Tanpa banyak basa-basi, Acel langsung menjatuhkan diri di kursi, meraih buku menu, mengangkat tinggi-tinggi, dan menempelkan di wajahnya."Sialan, kamu ngagetin saja!" Yusuf mendesis kesal ketika Acel tiba-tiba sudah duduk di hadapannya selagi ia masih menggulir tabletnya.“Lagian, ngapain sih kamu fokus banget?! Lihatin apa?” kukuh Acel tak kalah sewot. Ia menyibakkan rambutnya yang hanya sebatas dagu.“Nih, aku lihat saham propertiku yang lagi bagus-bagusnya!” Yusuf mencondongkan layar ke arah Acel dengan raut wajah bangga. Acel hanya meresponsnya dengan memutar bola mata. Sejujurnya malas meladeni sikap sombong Yusuf.Sontak Yusuf merengut dan mel
“Terus kenapa Mama sembunyi?"Pertanyaan dari bibir polos Radeva itu menusuk Ranaya lebih dalam daripada yang ia kira. Seketika dadanya terasa sesak.Kenapa, ya?Apakah ia masih takut? Masih terluka? Atau sebenarnya, ia hanya belum siap berhadapan dengan kenyataan bahwa dunia yang dulu pernah mengecewakannya kini mulai merayap lagi ke kehidupan barunya?Ranaya berpikir cepat. Kebohongan yang akan ia ucapkan hanya akan melukai Radeva nanti. Tentu saja ia tak tega.Jadi tak ada pilihan lain bagi Ranaya selain ….“Aduh!” Tiba-tiba Ranaya mencengkeram perutnya. Ia meringis kesakitan sampai tubuhnya melengkung seperti busur yang ditarik.Seketika Radeva panik menyaksikan ibunya kesakitan begitu. Bocah cilik itu langsung berhambur dan memeluk ibunya sambil bertanya, “Ma … Mama kenapa? Ada yang bisa Depa bantu, nggak?”“Mama sakit perut, Sayang. Kita masuk mobil dulu saja, yuk. Mama ingin istirahat dulu,” ungkapnya.Radeva sontak mengangguk dan mengiyakan secara polos. Tangan kecilnya lantas