Radeva membelalak. Tubuh kecilnya menggigil ketakutan saat melihat pria besar di hadapannya memutar-mutar pisau dengan santai. Yusuf menyeringai, tatapannya liar dan dingin. “Toloooong … Mama ….” Radeva terisak. Di benaknya hanya menyisakan ibunya seorang. Sementara ketakutan akan kematian dan ketidakjumpaannya dengan sosok spesial tersebut menghantui bagian sisi lainnya. "Percuma kamu teriak-teriak di sini, Bocah," sentak Yusuf dengan suara baritonnya. "Nggak ada yang bakal dengar!" “Astaga, aku benci bocah ini!” serunya lagi sambil memijat hidung. Radeva meringis. Air mata semakin deras mengalir di pipinya. Bocah itu sebenarnya sedang menggigit bibir demi menahan agar isakannya tak keluar. Ia tak mau terlihat lemah. Tangan Radeva yang terikat lalu meronta berusaha melepaskan diri. "Aku mau pulang sekalang!" raungnya lagi. Suaranya terdengar bergetar, tetapi tetap tegas. Hal tersebut justru membuat tawa Yusuf pecah. Ia terbahak-bahak begitu keras di depan anak itu. "
Sejujurnya Ranaya tak mau menguping pembicaraan orang lain sebab hal itu bukan urusannya. Tetapi, ingatan tentang percakapan Acel di kantor tempo hari kembali melintas di pikirannya. Hal tersebut kemudian mengubah persepsi dari sesuatu yang bukan urusannya menjadi masalah yang perlu ia ketahui dan harus ia urus selanjutnya. "Hah, kok bisa kamu meloloskan anak itu?! Aku nggak mau tahu, habis ini kerjaan kamu dan orang-orangmu harus benar!" Sesuatu terasa janggal. Ranaya kembali mengingat ucapan Acel saat bertelepon di kantor lalu. Apakah ini berarti Acel ada sangkut pautnya dengan penculikan Radeva? Apa Acel dan Yusuf beneran bekerja sama di belakangnya?! Matanya menyipit, telinganya fokus mendengar. Namun, rupanya telepon Acel sudah diputus. Perempuan itu masuk ke dalam rumah dengan langkah kaki dihentak-hentakkan. Mata Radeva yang jernih diam-diam menatap Ranaya dalam keheningan malam. Bocah itu berdiri di sisi Ranaya dengan mendongakkan kepala, sementara ibunya masih term
"Oh, itu ... itu tadi yang nyuci Mbak Susi, Sagara." Tantri menjawab dengan tangan yang sibuk mengoleskan minyak kayu putih di pelipisnya. Sagara yang masih berdiri di ambang pintu ruang tamu melipat dahi. Alis tebalnya bertaut, memandangi sapu tangan yang kini berada di genggamannya. "Mbak Susi? Siapa lagi itu, Ma?" tanyanya heran. Ia sengaja menekan suaranya agar tak terdengar kesal sebab sapu tangannya sudah diambil tanpa izin. Tantri mendengus pelan. Ia meletakkan botol minyak kayu putih di meja, lalu menatap anaknya. "Mama terpaksa cari asisten, Sagara. Umur Mama nggak muda lagi. Akhir-akhir ini gampang capek ngurus rumah sendirian." Sagara mengangguk paham. Sorot matanya kembali tertuju pada sapu tangan di tangannya. Ia meneliti dengan meraba tekstur kain lembut itu menggunakan ujung jari. Bordir tulip di sudutnya masih tampak jelas, meskipun sudah sedikit kusam. "Makanya, kamu tuh cepat nikah sama Sherly biar Mama ada yang bantuin," sindir Tantri kemudian. Sagara
Jantung Ranaya berdegup lebih cepat. Jemarinya yang memegang ponsel sedikit gemetar. Nomor asing itu kembali mengirim pesan, sama seperti sebelumnya yang selalu menggantung tanpa maksud jelas. Siapa sebenarnya pemilik nomor ini? Apa maunya?! Matanya menelusuri layar, lalu dengan tekad bulat ia membalas pesan itu walau tahu jika pesannya nanti akan diabaikan. [Siapa ini? Apa kita pernah kenal? Tolong jawab jujur.] Ranaya mendesah panjang, berusaha mengabaikan kegelisahan yang mulai mengendap di dadanya. Namun, tanpa ia duga pesan berikutnya muncul. Pesannya dibalas oleh sosok asing tersebut! [Kamu nanti akan tahu sendiri, Ranaya. Tidak akan lama lagi.] Sepasang alis Ranaya saling bertautan. Ia sendiri sejujurnya tak sabar mengetahui siapa dalang di balik nomor tersebut. Meski begitu, ia juga tak yakin akan bagaimana merespons orang ini. *** Pagi ini Ranaya sedang bercermin setelah mengenakan setelan blus merah dan rok hitam miliknya. Untuk sejenak ia terkesima dengan waj
Kenapa ... jantungnya tiba-tiba berdebar? Tunggu dulu, wangi ini bukankah parfum milik …. Menuruti apa kata hatinya, Sagara ingin mengejar perempuan itu. Kakinya lekas bergerak, tetapi tangan Sherly segera mencegahnya. “Sayang, mau ke mana? Kok malah bengong?!” Sherly mengerucutkan bibir merasa kesal karena diabaikan. Padahal hari ini ia begitu antusias sebab Sagara akhirnya menuruti keinginannya. Masalahnya Sagara berubah entah sejak kapan sehingga Sherly harus mengemis perhatian pada pria tersebut. Sagara tersadar dan terpaksa mengalihkan pandangan pada perempuan di sampingnya. “Nggak,” sahutnya dingin, lalu melanjutkan langkah. Sejujurnya, pikirannya tetap tertinggal pada sosok perempuan tadi. Namun ia merasa tak terlalu yakin karena penampilan perempuan tersebut berbeda dengan Ranaya biasanya yang hanya mengenakan kaos oblong kedombrangan dan celana panjang, juga rambut yang seringkali diikat satu. Saat keduanya berjalan berdampingan, mata Sherly sudah berbinar sebab
“Berlian-berlian yang datang itu tolong sementara disimpan di gudang saja dan beri tulisan keterangan khusus tentang grade, tanggal pesan, dan tanggal datang. Kali ini saya yang akan memesan berliannya sendiri,” tukas Ranaya.Beberapa karyawannya saling melempar pandang dalam diam. Sebagian dari mereka dapat bernapas lega sebab masalah ini akhirnya menemukan solusinya.Sesudah itu mereka kompak menyahut, “Baik, Bu.”Ranaya langsung menghubungi pemasok berlian andalannya, sementara timnya mulai bekerja lagi. Setelah selesai, ia mengatupkan bibir sambil berpikir sejenak.Ranaya lalu menekan ponselnya erat, menatap layar dengan tatapan tajam sebelum akhirnya menelepon tim HRD.“Saya ingin kalian membuka lowongan baru sesuai dengan kualifikasi yang saya kirimkan nanti,” ucapnya tegas sesudah teleponnya tersambung.Tanpa menunggu lebih lama, Ranaya menutup panggilan itu dan bangkit dari tempat duduknya. Matanya menyapu seluruh ruangan meeting tempat timnya berkumpul sekilas sebelum pergi.
Tangan Ranaya langsung berkeringat. Dengan cepat, ia kembali menekan nomor itu demi memastikan bahwa matanya tidak salah lihat.Tetapi, foto yang menampilkan seorang pria tampan sedang tersenyum di sebuat tempat makan yang memiliki panorama indah tak berubah. Wajah itu … membuat napas Ranaya tersendat di tenggorokan.Nomor yang diberikan seorang ibu agar dirinya bisa mengucapkan terima kasih langsung kepada Om Baik yang telah menyelamatkan anaknya, ternyata milik suaminya sendiri!Tubuh Ranaya membeku.Jadi … selama ini, orang yang begitu baik kepada Radeva, yang membuat bocah itu tersenyum lebar dan bahagia … adalah Sagara?!Ia menggigit bibir bawahnya, pikirannya kacau. Kenapa harus dia?!Dan yang lebih membuat hatinya sesak, kenapa perasaan aneh ini muncul lagi? Seketika ada banyak pertanyaan berputar di kepalanya.Apa maksud semua ini? Kenapa Sagara dekat dengan Radeva? Apakah dia tahu sesuatu?Apakah Sagara sudah tahu jika Radeva adalah anaknya?!Ranaya mengusap wajahnya frustasi
Seorang pria tampan dengan mata sipit dan bibir tipis yang menawan sedang menatapnya juga.Refleks mulut Ranaya bergerak menggumamkan sebuah nama.“Rio?” Matanya membelalak tak percaya.Pria itu mengulas senyum tipis. Masih memandang Ranaya, ia segera berdiri dan berderap ke arah perempuan tersebut."Loh, Ranaya … kita ketemu lagi." Senyumnya terkembang hingga mata yang serupa buah badam itu semakin hilang dan hanya meninggalkan dua garis horizontal lurus.Rio mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Ranaya. Mereka tergelak secara bersamaan.“Ya ampun, kebetulan sekali, ya! Ini bakso favoritmu juga?” Ranaya secara antusias mengguncangkan jabat tangan mereka.Rio sempat memindai sekilas sebelum menjawab, “Hmm, ini bakso baru, kan? Kemarin waktu pulang aku ke sini dan langsung suka. Kamu sering makan di sini juga?”“Iya, ini bakso langgananku, Rio.” Ranaya mengatakannya dengan penuh percaya diri.“Kalau begitu, tempat ini bakal jadi favoritku juga!”Mata Rio sempat melirik bocah l
"Papa!”“Papa ....”“Depa bisa manggil Papa benelan, kan?”Ini adalah pertanyaan Radeva kesekian kalinya yang ia ucapkan setelah mengetahui bahwa Sagara adalah ayah kandungnya. Bahkan selama perjalanan dari Indonesia hingga negeri sakura. Sampai-sampai mereka sempat memergoki jika dalam tidur pun Radeva sering menggumamkan kata "Papa" di alam bawah sadarnya.Sagara yang tengah menggendong Radeva mengulum senyum, apalagi anak mungil itu masih menatapnya dengan mata bulat nan berbinar.Sagara mengangguk sambil mempererat pelukannya. “Bisa dong, Sayang. Kamu adalah anak Papa. Benar-benar anak Papa,” ucapnya lembut, diselingi cubitan gemas di pipi anaknya.Di sebelah mereka, Ranaya menghela napas. Suara itu—panggilan “Papa”—seolah mengguncang hatinya juga, mengaduk-aduk emosi yang selama ini ia kunci rapat. Sebagian dirinya masih tak percaya kalau momen ini nyata. Kalau mereka, akhirnya, berdiri di sini sebagai sebuah keluarga.Berikutnya pupil Ranaya membesar sewaktu matanya tertuju kepa
Ranaya menggenggam ponsel Rio lebih erat. Matanya berair. Dalam diamnya, ia sadar Sagara tidak benar-benar tinggal diam. Pria itu diam-diam bekerja di balik layar untuk membantunya.Sagara bahkan tak pernah bilang bahwa ia akan melakukan ini, pikirnya.Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang hangat mengalir dalam dadanya. Perasaan campur aduk antara sakit hati, penyesalan, dan harapan. Ia memandangi layar televisi itu lama sekali, seolah tak ingin kehilangan sosok Sagara yang selama ini ia anggap sebagai pria dingin tanpa empati.Kini Ranaya tahu. Kadang cinta tidak selalu hadir dalam bentuk pelukan atau kata-kata manis. Bisa jadi wujud cinta itu adalah perjuangan dalam diam.Dan mungkin ... Sagara mencintainya lebih dari yang ia sangka."Saya tidak bisa tinggal diam melihat perusahaan kami diinjak-injak.” Suara tegas Sagara kembali membelai telinga Ranaya dan membuyarkan lamunannya. Pria itu masih berjuang dalam wawancara live yang disiarkan oleh banyak stasiun berita."Ber
Rio menutup laptopnya dan memandang Ranaya dengan sorot mata penuh percaya diri. "Bagaimana planningku tadi? Bisa kamu terima, kan?" tanyanya. Suaranya tenang tapi mengandung tekanan di dalamnya. Ranaya tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu mengusap pelan dagunya yang tegang. Ia mencoba merangkum semua pemetaan strategi yang barusan dipaparkan Rio. Langkah demi langkah untuk memulihkan kepercayaan customer Flare & Co terdengar logis, bahkan cukup menjanjikan. Harus ia akui, temannya ini sangat jenius. Trik-trik yang dijabarkan secara detail bisa membuatnya terpukau. "Tapi ... cara itu tadi nggak bakal memengaruhi customer tempatmu bekerja, kan? Gold Mulia? Mana mungkin kamu bunuh diri dengan memihak perusahaanku?" Ranaya mengerutkan kening, menatap Rio penuh keraguan. Rio hanya mengangkat bahu sambil tersenyum santai. "Enggak kok, tenang. Kan Gold Mulia punya teknik sendiri nanti. Lagipula, aku juga nggak akan sepenuhnya nyebrang ke Flare & Co
Ranaya dan Sagara langsung bergerak cepat. Dengan raut wajah panik, keduanya mendekati etalase yang kini menjadi sorotan orang banyak.“Sebentar, tenang dulu,” ucap Sagara kepada semua orang saat di dekat perempuan yang berteriak tadi. “Maaf, bolehkah saya memeriksa cincin itu?”Tangan kanan Sagara terulur sopan kepada aktris yang cukup ternama tersebut. Perempuan yang diajak bicara secara spontan melepas cincin yang tersemat di salah satu jarinya, lantas menyerahkan kepada Sagara dengan ekspresi kecewa.Sagara mengamati cincin itu dengan teliti. Mata tajamnya yang bagai elang memeriksa hingga detail. Dari setiap lekuk, permata, bahkan berlian memang menyerupai desain mereka.Tetapi … tunggu dulu. Perlahan keningnya menimbulkan kerutan. Ada yang aneh di sini.“Ini sepertinya bukan berlian kita, Ran,” gumamnya pelan dengan rahang mengeras. “Coba lihat dulu.”Tangan Sagara menyodorkan benda berkilau tersebut kepada Ranaya yang sudah pucat pasi. Kini cincin yang dimaksud sudah beralih di
"Belcelai? Kayak yang dilakukan Mama dan Om Papa, dong?"Ucapan Radeva yang polos menggema di udara seperti petir di siang bolong. Sepanjang koridor apartemen itu seketika hening.Ranaya, Sagara, dan Tantri sama-sama tercekat. Tatapan mereka membeku, lantas saling bertaut satu sama lain, seperti mengandung beragam rasa yang tak mampu diutarakan masing-masing.Sagara tampak menahan napas. Ranaya kaku. Sementara itu, Tantri susah payah menelan salivanya."Eh, kita masuk aja yuk!" ajak Tantri tiba-tiba, berusaha memecah suasana yang mendadak tegang. Tangannya langsung menggamit lengan Ranaya dan Radeva sekaligus, kemudian menarik mereka ke dalam apartemen.“Nggak enak dilihatin tetangga kalau ngobrol di lorong kayak gini,” kilahnya sedikit memaksakan tawa yang tersembur samar.Mau tak mau, Ranaya dan Radeva mengikuti langkahnya. Sagara menyusul pelan dari belakang. Jujur, pikirannya masih terpaku pada celetukan anak itu tadi. Ia tak menyangka jika Radeva masih mengingat kata “bercerai” y
[Subject: Hasil Pemeriksaan DNA antara Sdr. Sagara Wiratama dan An. Radeva Elvano AtmajaKepada Yth.Bapak Sagara Wiratamadi TempatDengan hormat,Bersama email ini, kami sampaikan hasil resmi pemeriksaan DNA yang telah dilakukan oleh Laboratorium Genetika Klinik GenLab Diagnostics terhadap sampel biologis Bapak Sagara Wiratama dan anak atas nama Radeva Elvano Atmaja.Berdasarkan analisis 24 lokus genetik yang diperiksa, diperoleh hasil kecocokan biologis 99,9999%, yang secara ilmiah menyimpulkan bahwa Sdr. Sagara Wiratama adalah ayah biologis dari An. Radeva Elvano Atmaja.Laporan lengkap dan sertifikat hasil pemeriksaan terlampir dalam bentuk PDF untuk dapat Bapak telaah lebih lanjut.Apabila Bapak membutuhkan informasi tambahan atau klarifikasi lebih lanjut terkait hasil ini, silakan menghubungi kami melalui kontak yang tersedia.Demikian kami sampaikan. Terima kasih atas kepercayaan Bapak terhadap layanan kami.Hormat kami,Dr. Antonius Setiawan, Sp.AndKepala LaboratoriumGenLab
Untuk beberapa waktu, Andra bergeming. Bola matanya bergerak sewaktu mengamati Sherly. Namun, gurat wajahnya tampak tenang seperti permukaan air tanpa adanya hantaman gelombang.“Maka … saya akan tetap ada di sini membantu kamu, sampai kamu tahu bahwa kamu bisa, Sherly,” ungkapnya.Sherly memandang Andra dengan tatapan yang sulit percaya. Rahang perempuan itu terlihat keras. Lagian, siapa yang bisa dipercayai lagi olehnya? Bahkan sekarang ia juga meragukan diri sendiri kalau ia pantas dicintai.Satu-satunya tempat nyaman untuk pulang, yaitu Mayang yang merupakan ibu kandungnya sendiri pun sudah mengkhianatinya dengan semudah itu.Apalagi … pria asing yang kini sedang duduk berhadapan dengannya?Sherly kembali menyunggingkan senyum tipis yang penuh keraguan. Ia tentu saja menyepelekan peran seorang pria muda yang belum berpengalaman baginya. Ditambah usia pria tersebut masih seumuran dengan sosok yang turut menyumbang rasa depresinya.“Aku tetep nggak percaya,” papar Sherly to the poin
Tangan Rio bergerak pelan. Jari-jarinya menyentuh lembut ujung bibir Ranaya, mengusap sisa saus yang tertinggal di sana. Mata elang Sagara membulat sempurna. Tubuhnya menegang. Darahnya terasa mendidih saat itu juga.Tangannya langsung bergerak cepat menampar cangkir espresso yang ada di depannya hingga terguling. Sontak cairan hitam pekat itu tumpah dan sebagian besar mengenai lengan Rio. Sontak Rio segera menarik tangannya dari bibir Ranaya.“Argh! Panas! Panas!” teriak Rio sambil refleks berdiri, tangannya menggeliat dan segera membuka kancing lengan kemejanya. Ia meniup dan mengibas-ngibas tangan itu dengan panik.Ranaya pun langsung berdiri untuk turut membantu. “Rio?! Kamu nggak apa-apa?” Suaranya meninggi. Matanya membesar.Menyaksikan kehebohan itu, Sagara hanya duduk diam. Tapi rahangnya mengeras.“Gila, kamu sengaja, ya?!” Rio membentak, tatapannya tajam menuding ke arah Sagara.Sagara membalas dengan sorot mata dingin. “Kamu jangan asal nuduh kalau nggak tahu apa-apa,” kata
Langkah-langkah kaki berdetak mantap di lantai pabrik yang dingin, menggema lembut di antara deru mesin produksi perhiasan yang tak henti berdengung. Ranaya masih berdiri di depan mesin cetak berlian. Kini pandangannya tertuju kepada satu arah di mana sosok itu melangkah menghampiri. Tubuh Ranaya menegang, tapi bukan bunyi mesin atau hasil produksi yang menyebabkannya.“Gimana proses produksinya? Lancar, kan?”Suara itu. Suara bariton dengan tone menenangkan tapi cukup untuk membangunkan kenangan-kenangan lama yang tak pernah benar-benar padam. Apalagi malam itu, di mana ia dan pria tersebut nyaris berciuman.Ranaya perlahan mengerjapkan mata. Di balik cahaya pagi yang menembus jendela besar pabrik, berdiri Sagara dengan kemeja putih yang lengannya digulung sebatas siku. Kedua tangan pria tersebut tenggelam dalam saku celana hitamnya.Sorot mata elang Sagara tajam, sialnya pria itu masih saja tampan di pandangan Ranaya.Tetapi, kemudian Ranaya menegakkan kepalanya. Ia sudah berprinsi