Ranaya terperangah. Darah di wajahnya seakan terkuras habis. Ia merasakan mati rasa dari kepala hingga ujung jari sampai sepasang kakinya membatu dan tak bisa digerakkan. Sekujur tubuhnya lemas bagai tak bertulang lagi.Kini mata mereka bertemu untuk beberapa saat. Dan, seolah ada daya tarik magnet yang kuat, Ranaya tak mampu mengalihkan pandangannya.Anehnya, pria itu pun tampak mengalami hal yang sama.Ranaya buru-buru menundukkan wajah, merapatkan genggaman pada kantong belanjaan, dan melangkah hendak pergi. Ia tak ingin berlama-lama di sini, apalagi di dekat pria yang selama ini telah membuatnya terpuruk.Namun, tangan kuat itu mencekal pergelangannya."Ranaya, tolong jangan pergi dulu." Suara Sagara rendah, serak, dan memohon. "Aku ingin bicara sama kamu."Tubuh Ranaya menegang. Secepat mungkin ia menepis tangan pria tersebut, seolah sentuhan itu adalah duri yang menancap di kulitnya."Maaf, Mas. Aku nggak bisa,” ucapnya cepat.Ia kembali hendak melangkah, tapi Sagara menahan bah
Ranaya terpegun. Air muka pria itu benar-benar serius. “Kamu ingin bilang apa?” tanyanya. Tatapan Ranaya tetap tertuju pada Rio yang baru saja hendak membuka mulutnya seolah ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Namun, sebelum kata-kata itu bisa keluar, suara langkah kaki kecil berlari dari dalam rumah membuat mereka berdua menoleh. "Ma! Kok nggak bilang kalau Mama udah pulang?" rengek Radeva. Bocah kecil berusia lima tahun itu langsung menubruk tubuh Ranaya, melingkarkan kedua tangannya ke pinggang sang ibu. Bibir mungilnya mengerucut. Wajahnya terlipat kesal. Sontak hal itu membuat Ranaya tertawa. Ranaya menarik tangan Radeva dan menempatkan putranya tersebut di pangkuannya. "Kamu sih sibuk main sendiri. Kan di sini ada Om, kenapa nggak kamu ajak main tadi?" tanyanya seraya mengusap puncak kepala sang putra. Radeva melempar tatapannya pada Rio. Tubuh kecilnya semakin mengerut dan tenggelam dalam lengan Ranaya. Ia tak menjawab, hanya sepasang matanya yang jernih terus
"Nggak." Ranaya menggeleng. Tidak mungkin Rio yang mengirim pesan-pesan itu menggunakan nomor asing. Ia jelas mengenal Rio. Mana mungkin pria itu kurang kerjaan sampai mengurusi rumah tangganya? Apalagi baru kemarin Rio meminta nomor ponselnya secara langsung. Walau begitu, Ranaya sebenarnya ingat jika Rio pernah mendiamkannya satu hari setelah tahu jika dirinya menyukai kakak kelas bernama Sagara Wiratama. Ranaya menghela napas, mengabaikan pikirannya yang terus berputar. Ia sudah cukup sibuk hari ini dan tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Ia memutuskan akan menanyakannya langsung kepada pria tersebut, apakah ia mengenal nomor asing yang mengiriminya foto dan pesan misterius itu. *** Pagi ini, ia langsung turun ke area produksi guna mengecek langsung bagaimana proses pembuatan perhiasan berlian edisi khusus. Matanya teliti mengamati setiap detail, memastikan barang yang telah selesai diproduksi sesuai standar QC-nya. "Bagaimana? Apakah ada kendala dalam produ
Jangan-jangan, Radeva itu sebenarnya anak Ranaya?!Jika benar demikian, apa Radeva adalah darah dagingnya sendiri mengingat kemiripan mereka?Tangan Sagara mengepal. Pikirannya langsung berputar cepat menyusun semua kemungkinan yang pernah ia abaikan selama ini.Apakah mungkin kecelakaan malam itu … membuat Ranaya hamil?!Napasnya tercekat. Ia tak bisa lagi tinggal diam. Ia harus mengejar wanita itu dan mendapatkan jawabannya.Tanpa berpikir panjang, Sagara bergegas menuruni eskalator. Langkahnya cepat sehingga orang-orang di depannya otomatis menyingkir memberi jalan. Ia bahkan nyaris menabrak beberapa orang.“Ranaya!” serunya lantang.Suara Sagara menggema di langit-langit mall, membuat sebagian besar pengunjung menoleh ke arahnya. Tapi pria itu tidak peduli.Ranaya yang hendak keluar dari mall tersentak mendengar suara itu. Ia menoleh. Matanya melebar ketika mendapati Sagara sedang berlari ke arahnya.Belum sempat Radeva menoleh, dengan gerakan cepat Ranaya berjongkok, menyambar da
“Belcelai itu apa, Oma?”Ida hampir menjatuhkan wadah tepung yang sedang diaduknya. Matanya mengerjap cepat, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Namun, melihat Radeva yang masih asyik mengaduk adonan kue di hadapannya, Ida yakin bocah itu benar-benar mengucapkan pertanyaan tersebut.Jantungnya mencelos. Bagaimana bisa cucu kecilnya tahu istilah itu?“Deva, Sayang, coba ulangi lagi. Tadi kamu bilang apa, Nak?” tanya Ida berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun hatinya sedikit gelisah.Radeva menoleh, mata jernihnya berkedip polos. “Belcelai, Oma. Itu apa?” ungkapnya kembali.Bocah itu menatap lekat Ida seolah ingin membaca pikiran neneknya. Ida menelan ludah. Ia menurunkan spatula, lalu mengusap kedua tangannya dengan kain sebelum mendekat ke cucunya.“Bercerai itu artinya berpisah, Sayang,” jelasnya hati-hati. “Memangnya kenapa? Apa yang pernah kamu dengar dari kata itu tadi?”Alis Ida saling tertaut menunggu jawaban cucunya. Ia mengatupkan mulut rapat-rapat demi menye
Siang itu, di sebuah butik pakaian mewah, Tantri tampak sibuk memilah-milah baju. Jemarinya menyusuri deretan gaun dan blus yang tergantung rapi di rak. Pandangannya berbinar ketika menemukan sebuah dress cantik berwarna peach."Nah, gini loh, Pa," paparnya sambil mengangkat dress itu ke hadapan suaminya, Harto. "Sekali-kali kita hiburan kayak gini, beli baju biar tetap happy. Kalau happy kan kita bisa awet muda."Harto yang sedari tadi hanya mengikuti Tantri dengan tatapan bosan akhirnya mendesah pelan. "Mau hiburan gimana sih, Ma? Tahu sendiri perusahaan lagi nggak baik-baik saja, malah sempat-sempatnya belanja baju," keluhnya frustasi.Tapi, tak lama kemudian matanya menangkap sebuah kemeja batik cokelat elegan yang tergantung di salah satu rak. Tanpa pikir panjang, Harto menyambar baju itu dan menunjukkannya kepada Tantri."Kalau ini gimana, Ma? Cocok nggak buat Papa?" tanyanya. Sepasang alis tebalnya naik-turun menunggu jawaban Tantri hingga kacamata yang terbingkai di netranya i
Setelah satu tarikan napas panjang, tangan Ranaya memutar gagang dan menarik daun pintu. Di ambang sana, seorang pria sipit berdiri dengan senyum yang akrab.“Rio?” Ranaya sedikit terkejut, lantas menyibak pintu lebih lebar. “Kok kamu ke sini malam-malam?”“Maaf ya, Ran. Baru sempat ke sini, habis pulang kerja langsung mampir soalnya.” Rio tersenyum sungkan seraya mengusap tengkuk lehernya.Ranaya menghela napas. Pria itu benar-benar tidak berubah. Dari dulu ia selalu muncul secara tiba-tiba dengan wajah tetap menyisipkan senyum hangat. Padahal Ranaya mengerti, pasti pria itu lelah sekarang.“Ada perlu apa, Rio?” tanya Ranaya. Netranya sempat menatap tas belanja yang digenggam temannya tersebut.“Oh, ini.” Rio mendorong sebuah tas belanja ke arah Ranaya. ”Aku tadi nggak sengaja lihat baju batik lucu, langsung kepikiran kamu dan Radeva. Jadi, sekalian kubelikan, deh.”Mata Ranaya membulat sempurna. Ia lalu menyambut uluran tangan Rio dan menatap tas belanja yang kini berada di tanganny
Sagara menggertakkan gigi. Napasnya memburu. Dadanya naik turun dipenuhi emosi. Dari tadi hanya ada satu pertanyaan yang berputar di benaknya: siapa dalang di balik kekacauan ini?Ia menatap layar ponsel dengan sorot tajam. Sampai sekarang berbagai komentar negatif masih membanjiri media sosial perusahaannya. Masa ini benaran ulah Flare & Co? Masalahnya dari tadi hanya nama itu yang berkutat di pikirannya. Bukan tanpa alasan, tetapi mengingat tanggal peluncuran mereka terpaut sedikitlah yang menjadikan Sagara masih terpancing dengan perusahaan tersebut.Mungkin saja, kan?Perusahaan itu memang sedang naik daun dan sering disebut sebagai kompetitor terkuat Wiratama saat ini. Tapi jika benar Flare & Co yang melakukan ini, maka mereka sudah melewati batas. Dan, tentu saja Sagara tidak akan pernah tinggal diam.“Sekarang cari dulu pihak yang menyewa buzzer ini,” perintahnya kepada salah satu pegawainya. “Kamu lacak akun-akun yang menyebarkan hoaks dan buktikan kalau mereka memang berbayar
"Papa!”“Papa ....”“Depa bisa manggil Papa benelan, kan?”Ini adalah pertanyaan Radeva kesekian kalinya yang ia ucapkan setelah mengetahui bahwa Sagara adalah ayah kandungnya. Bahkan selama perjalanan dari Indonesia hingga negeri sakura. Sampai-sampai mereka sempat memergoki jika dalam tidur pun Radeva sering menggumamkan kata "Papa" di alam bawah sadarnya.Sagara yang tengah menggendong Radeva mengulum senyum, apalagi anak mungil itu masih menatapnya dengan mata bulat nan berbinar.Sagara mengangguk sambil mempererat pelukannya. “Bisa dong, Sayang. Kamu adalah anak Papa. Benar-benar anak Papa,” ucapnya lembut, diselingi cubitan gemas di pipi anaknya.Di sebelah mereka, Ranaya menghela napas. Suara itu—panggilan “Papa”—seolah mengguncang hatinya juga, mengaduk-aduk emosi yang selama ini ia kunci rapat. Sebagian dirinya masih tak percaya kalau momen ini nyata. Kalau mereka, akhirnya, berdiri di sini sebagai sebuah keluarga.Berikutnya pupil Ranaya membesar sewaktu matanya tertuju kepa
Ranaya menggenggam ponsel Rio lebih erat. Matanya berair. Dalam diamnya, ia sadar Sagara tidak benar-benar tinggal diam. Pria itu diam-diam bekerja di balik layar untuk membantunya.Sagara bahkan tak pernah bilang bahwa ia akan melakukan ini, pikirnya.Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang hangat mengalir dalam dadanya. Perasaan campur aduk antara sakit hati, penyesalan, dan harapan. Ia memandangi layar televisi itu lama sekali, seolah tak ingin kehilangan sosok Sagara yang selama ini ia anggap sebagai pria dingin tanpa empati.Kini Ranaya tahu. Kadang cinta tidak selalu hadir dalam bentuk pelukan atau kata-kata manis. Bisa jadi wujud cinta itu adalah perjuangan dalam diam.Dan mungkin ... Sagara mencintainya lebih dari yang ia sangka."Saya tidak bisa tinggal diam melihat perusahaan kami diinjak-injak.” Suara tegas Sagara kembali membelai telinga Ranaya dan membuyarkan lamunannya. Pria itu masih berjuang dalam wawancara live yang disiarkan oleh banyak stasiun berita."Ber
Rio menutup laptopnya dan memandang Ranaya dengan sorot mata penuh percaya diri. "Bagaimana planningku tadi? Bisa kamu terima, kan?" tanyanya. Suaranya tenang tapi mengandung tekanan di dalamnya. Ranaya tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu mengusap pelan dagunya yang tegang. Ia mencoba merangkum semua pemetaan strategi yang barusan dipaparkan Rio. Langkah demi langkah untuk memulihkan kepercayaan customer Flare & Co terdengar logis, bahkan cukup menjanjikan. Harus ia akui, temannya ini sangat jenius. Trik-trik yang dijabarkan secara detail bisa membuatnya terpukau. "Tapi ... cara itu tadi nggak bakal memengaruhi customer tempatmu bekerja, kan? Gold Mulia? Mana mungkin kamu bunuh diri dengan memihak perusahaanku?" Ranaya mengerutkan kening, menatap Rio penuh keraguan. Rio hanya mengangkat bahu sambil tersenyum santai. "Enggak kok, tenang. Kan Gold Mulia punya teknik sendiri nanti. Lagipula, aku juga nggak akan sepenuhnya nyebrang ke Flare & Co
Ranaya dan Sagara langsung bergerak cepat. Dengan raut wajah panik, keduanya mendekati etalase yang kini menjadi sorotan orang banyak.“Sebentar, tenang dulu,” ucap Sagara kepada semua orang saat di dekat perempuan yang berteriak tadi. “Maaf, bolehkah saya memeriksa cincin itu?”Tangan kanan Sagara terulur sopan kepada aktris yang cukup ternama tersebut. Perempuan yang diajak bicara secara spontan melepas cincin yang tersemat di salah satu jarinya, lantas menyerahkan kepada Sagara dengan ekspresi kecewa.Sagara mengamati cincin itu dengan teliti. Mata tajamnya yang bagai elang memeriksa hingga detail. Dari setiap lekuk, permata, bahkan berlian memang menyerupai desain mereka.Tetapi … tunggu dulu. Perlahan keningnya menimbulkan kerutan. Ada yang aneh di sini.“Ini sepertinya bukan berlian kita, Ran,” gumamnya pelan dengan rahang mengeras. “Coba lihat dulu.”Tangan Sagara menyodorkan benda berkilau tersebut kepada Ranaya yang sudah pucat pasi. Kini cincin yang dimaksud sudah beralih di
"Belcelai? Kayak yang dilakukan Mama dan Om Papa, dong?"Ucapan Radeva yang polos menggema di udara seperti petir di siang bolong. Sepanjang koridor apartemen itu seketika hening.Ranaya, Sagara, dan Tantri sama-sama tercekat. Tatapan mereka membeku, lantas saling bertaut satu sama lain, seperti mengandung beragam rasa yang tak mampu diutarakan masing-masing.Sagara tampak menahan napas. Ranaya kaku. Sementara itu, Tantri susah payah menelan salivanya."Eh, kita masuk aja yuk!" ajak Tantri tiba-tiba, berusaha memecah suasana yang mendadak tegang. Tangannya langsung menggamit lengan Ranaya dan Radeva sekaligus, kemudian menarik mereka ke dalam apartemen.“Nggak enak dilihatin tetangga kalau ngobrol di lorong kayak gini,” kilahnya sedikit memaksakan tawa yang tersembur samar.Mau tak mau, Ranaya dan Radeva mengikuti langkahnya. Sagara menyusul pelan dari belakang. Jujur, pikirannya masih terpaku pada celetukan anak itu tadi. Ia tak menyangka jika Radeva masih mengingat kata “bercerai” y
[Subject: Hasil Pemeriksaan DNA antara Sdr. Sagara Wiratama dan An. Radeva Elvano AtmajaKepada Yth.Bapak Sagara Wiratamadi TempatDengan hormat,Bersama email ini, kami sampaikan hasil resmi pemeriksaan DNA yang telah dilakukan oleh Laboratorium Genetika Klinik GenLab Diagnostics terhadap sampel biologis Bapak Sagara Wiratama dan anak atas nama Radeva Elvano Atmaja.Berdasarkan analisis 24 lokus genetik yang diperiksa, diperoleh hasil kecocokan biologis 99,9999%, yang secara ilmiah menyimpulkan bahwa Sdr. Sagara Wiratama adalah ayah biologis dari An. Radeva Elvano Atmaja.Laporan lengkap dan sertifikat hasil pemeriksaan terlampir dalam bentuk PDF untuk dapat Bapak telaah lebih lanjut.Apabila Bapak membutuhkan informasi tambahan atau klarifikasi lebih lanjut terkait hasil ini, silakan menghubungi kami melalui kontak yang tersedia.Demikian kami sampaikan. Terima kasih atas kepercayaan Bapak terhadap layanan kami.Hormat kami,Dr. Antonius Setiawan, Sp.AndKepala LaboratoriumGenLab
Untuk beberapa waktu, Andra bergeming. Bola matanya bergerak sewaktu mengamati Sherly. Namun, gurat wajahnya tampak tenang seperti permukaan air tanpa adanya hantaman gelombang.“Maka … saya akan tetap ada di sini membantu kamu, sampai kamu tahu bahwa kamu bisa, Sherly,” ungkapnya.Sherly memandang Andra dengan tatapan yang sulit percaya. Rahang perempuan itu terlihat keras. Lagian, siapa yang bisa dipercayai lagi olehnya? Bahkan sekarang ia juga meragukan diri sendiri kalau ia pantas dicintai.Satu-satunya tempat nyaman untuk pulang, yaitu Mayang yang merupakan ibu kandungnya sendiri pun sudah mengkhianatinya dengan semudah itu.Apalagi … pria asing yang kini sedang duduk berhadapan dengannya?Sherly kembali menyunggingkan senyum tipis yang penuh keraguan. Ia tentu saja menyepelekan peran seorang pria muda yang belum berpengalaman baginya. Ditambah usia pria tersebut masih seumuran dengan sosok yang turut menyumbang rasa depresinya.“Aku tetep nggak percaya,” papar Sherly to the poin
Tangan Rio bergerak pelan. Jari-jarinya menyentuh lembut ujung bibir Ranaya, mengusap sisa saus yang tertinggal di sana. Mata elang Sagara membulat sempurna. Tubuhnya menegang. Darahnya terasa mendidih saat itu juga.Tangannya langsung bergerak cepat menampar cangkir espresso yang ada di depannya hingga terguling. Sontak cairan hitam pekat itu tumpah dan sebagian besar mengenai lengan Rio. Sontak Rio segera menarik tangannya dari bibir Ranaya.“Argh! Panas! Panas!” teriak Rio sambil refleks berdiri, tangannya menggeliat dan segera membuka kancing lengan kemejanya. Ia meniup dan mengibas-ngibas tangan itu dengan panik.Ranaya pun langsung berdiri untuk turut membantu. “Rio?! Kamu nggak apa-apa?” Suaranya meninggi. Matanya membesar.Menyaksikan kehebohan itu, Sagara hanya duduk diam. Tapi rahangnya mengeras.“Gila, kamu sengaja, ya?!” Rio membentak, tatapannya tajam menuding ke arah Sagara.Sagara membalas dengan sorot mata dingin. “Kamu jangan asal nuduh kalau nggak tahu apa-apa,” kata
Langkah-langkah kaki berdetak mantap di lantai pabrik yang dingin, menggema lembut di antara deru mesin produksi perhiasan yang tak henti berdengung. Ranaya masih berdiri di depan mesin cetak berlian. Kini pandangannya tertuju kepada satu arah di mana sosok itu melangkah menghampiri. Tubuh Ranaya menegang, tapi bukan bunyi mesin atau hasil produksi yang menyebabkannya.“Gimana proses produksinya? Lancar, kan?”Suara itu. Suara bariton dengan tone menenangkan tapi cukup untuk membangunkan kenangan-kenangan lama yang tak pernah benar-benar padam. Apalagi malam itu, di mana ia dan pria tersebut nyaris berciuman.Ranaya perlahan mengerjapkan mata. Di balik cahaya pagi yang menembus jendela besar pabrik, berdiri Sagara dengan kemeja putih yang lengannya digulung sebatas siku. Kedua tangan pria tersebut tenggelam dalam saku celana hitamnya.Sorot mata elang Sagara tajam, sialnya pria itu masih saja tampan di pandangan Ranaya.Tetapi, kemudian Ranaya menegakkan kepalanya. Ia sudah berprinsi