Siang itu, di sebuah butik pakaian mewah, Tantri tampak sibuk memilah-milah baju. Jemarinya menyusuri deretan gaun dan blus yang tergantung rapi di rak. Pandangannya berbinar ketika menemukan sebuah dress cantik berwarna peach."Nah, gini loh, Pa," paparnya sambil mengangkat dress itu ke hadapan suaminya, Harto. "Sekali-kali kita hiburan kayak gini, beli baju biar tetap happy. Kalau happy kan kita bisa awet muda."Harto yang sedari tadi hanya mengikuti Tantri dengan tatapan bosan akhirnya mendesah pelan. "Mau hiburan gimana sih, Ma? Tahu sendiri perusahaan lagi nggak baik-baik saja, malah sempat-sempatnya belanja baju," keluhnya frustasi.Tapi, tak lama kemudian matanya menangkap sebuah kemeja batik cokelat elegan yang tergantung di salah satu rak. Tanpa pikir panjang, Harto menyambar baju itu dan menunjukkannya kepada Tantri."Kalau ini gimana, Ma? Cocok nggak buat Papa?" tanyanya. Sepasang alis tebalnya naik-turun menunggu jawaban Tantri hingga kacamata yang terbingkai di netranya i
Setelah satu tarikan napas panjang, tangan Ranaya memutar gagang dan menarik daun pintu. Di ambang sana, seorang pria sipit berdiri dengan senyum yang akrab.“Rio?” Ranaya sedikit terkejut, lantas menyibak pintu lebih lebar. “Kok kamu ke sini malam-malam?”“Maaf ya, Ran. Baru sempat ke sini, habis pulang kerja langsung mampir soalnya.” Rio tersenyum sungkan seraya mengusap tengkuk lehernya.Ranaya menghela napas. Pria itu benar-benar tidak berubah. Dari dulu ia selalu muncul secara tiba-tiba dengan wajah tetap menyisipkan senyum hangat. Padahal Ranaya mengerti, pasti pria itu lelah sekarang.“Ada perlu apa, Rio?” tanya Ranaya. Netranya sempat menatap tas belanja yang digenggam temannya tersebut.“Oh, ini.” Rio mendorong sebuah tas belanja ke arah Ranaya. ”Aku tadi nggak sengaja lihat baju batik lucu, langsung kepikiran kamu dan Radeva. Jadi, sekalian kubelikan, deh.”Mata Ranaya membulat sempurna. Ia lalu menyambut uluran tangan Rio dan menatap tas belanja yang kini berada di tanganny
Sagara menggertakkan gigi. Napasnya memburu. Dadanya naik turun dipenuhi emosi. Dari tadi hanya ada satu pertanyaan yang berputar di benaknya: siapa dalang di balik kekacauan ini?Ia menatap layar ponsel dengan sorot tajam. Sampai sekarang berbagai komentar negatif masih membanjiri media sosial perusahaannya. Masa ini benaran ulah Flare & Co? Masalahnya dari tadi hanya nama itu yang berkutat di pikirannya. Bukan tanpa alasan, tetapi mengingat tanggal peluncuran mereka terpaut sedikitlah yang menjadikan Sagara masih terpancing dengan perusahaan tersebut.Mungkin saja, kan?Perusahaan itu memang sedang naik daun dan sering disebut sebagai kompetitor terkuat Wiratama saat ini. Tapi jika benar Flare & Co yang melakukan ini, maka mereka sudah melewati batas. Dan, tentu saja Sagara tidak akan pernah tinggal diam.“Sekarang cari dulu pihak yang menyewa buzzer ini,” perintahnya kepada salah satu pegawainya. “Kamu lacak akun-akun yang menyebarkan hoaks dan buktikan kalau mereka memang berbayar
Mulut Sagara berkedut mendengar pertanyaan itu menguar dari bibir lawan bicara. Wajahnya seketika kaku selama membalas tatapan Ranaya.Kini istri yang ada di depan matanya jadi terasa jauh. Bayangkan, seseorang yang dulunya selalu berada di sisimu dan tidur di sebelahmu sekarang menjadi tampak asing seperti orang lain.Sagara menyadari satu hal. Betapa menyakitkan penyesalan yang selalu datang di akhir. Apalagi untuk sesuatu yang tak dapat ia tebus."Ya!" sahut Sagara tegas. "Masalahnya kita belum bercerai dan kamu masih berstatus istriku, Ranaya."Sagara mengatupkan rahang. Sepasang matanya lurus memandang perempuan di hadapannya.Senyum puas di muka Ranaya langsung musnah, tergantikan oleh tatapan nanarnya sekarang. Sekilas matanya melebar. Ia tak menyangka kalimat itu meluncur dari bibir Sagara dengan mudah."Jadi kamu masih menganggap aku sebagai istrimu, Mas?" lontarnya lolos begitu saja.“Maksudku ….” Sagara menghela napas kasar. "Maksudku, kalau kamu menikah lagi, seharusnya ki
Sagara menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Matanya menyipit tajam usai mendengar laporan dari tim investigasinya. Bukan Flare & Co, tetapi PT Gold Mulia?Sagara tak habis pikir. Selama ini ia hanya memusatkan kecurigaan pada Flare & Co yang memang dikenal sebagai kompetitor utama Wiratama Group. Tapi Gold Mulia? Perusahaan itu memang memiliki reputasi baik, tapi tak pernah masuk hitungan sebagai ancaman serius bagi Wiratama.Bagaimana bisa ia lengah? Sagara merutuki dirinya sendiri.Sagara menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya. Jika benar Gold Mulia berada di balik skandal yang menyerang perusahaan perhiasannya, ia tak bisa gegabah. Menyerang balik secara terbuka hanya akan memperburuk citra Wiratama. Apalagi jika langkahnya meleset, publik bisa saja melihatnya sebagai aksi saling menjatuhkan antar-perusahaan.Tidak. Ia harus menyiapkan strategi yang lebih halus dan tak terduga.Sagara menoleh ke arah jendela kantornya, menatap gedung-gedung tinggi di kej
Mata Tantri tak lepas dari bocah kecil di hadapannya. Entah kenapa ada debar aneh di dadanya. Perasaan itu begitu mengusik, seperti sebuah intuisi yang berbisik pelan di dalam hati.Anak itu ketika berbicara memperlihatkan lesung pipinya yang dalam, sepasang mata bulat bersinar, alis tebal, hidung mancung, juga garis bibir yang khas. Tantri nyaris menahan napas. Semua itu begitu mirip dengan Sagara."Yah, padahal Mama mau aku ajak main," keluh Radeva sambil mengerucutkan bibir.Rio mengusap pundak anak itu dan berkata dengan lembut. “Sudah, nggak usah marah. Habis ini Mama kembali, kok. Ditunggu aja dulu.”Radeva mendengus samar, lantas berlari kembali menuju teman-teman barunya dengan wajah cemberut. Meninggalkan Tantri yang masih terpaku di tempatnya.Mata Tantri masih terpancang pada anak itu. Bahkan dari caranya berlari dan rambut hitamnya yang lurus ikut berayun ringan mengingatkannya pada Sagara kecil dulu.Perlahan Tantri mulai beringsut, dan mengalihkan perhatiannya pada Rio y
"Iya, Rio Kalvari yang matanya sipit itu. Ingat, kan?"Tantri kembali membuka suara. Menghancurkan pertanyaan yang tertata rapi di benak Sagara. Wanita itu menyeka air mata menggunakan tisu, lalu berucap pelan lagi."Pantesan, Mama kayak pernah lihat. Ternyata adik kelasmu, Sagara."Sagara tak langsung menjawab. Ia memang mengingat Rio. Ia bahkan tidak sekadar mengingat, tapi tahu betul siapa pria itu dulu."Dia sayang banget sama anak dan istrinya, lo," lanjut Tantri dengan nada iri. "Sampai mereka dimanja gitu.”Sagara terdiam. Kepalanya menunduk sedikit. Ia masih mencoba menyusun kepingan teka-teki di benaknya. Justru dengan mengetahui Rio ada di sini, ia semakin heran rasanya.Apa yang sedang Rio lakukan di Indonesia? Kenapa pria itu kembali sekarang?"Tunggu dulu." Suara Sagara akhirnya kembali terdengar. "Mama bilang Rio sudah menikah dan punya anak cowok?"Tantri mengangguk pelan. Beberapa kali tangannya masih sibuk menghapus jejak air mata yang mengalir. "Iya. Bocah itu manis
“Om Papa!” Langkah Sagara terhenti. Ia menoleh dan mendapati seorang bocah laki-laki sedang berlari ke arahnya. Hari ini, di tengah kesibukannya yang mencekik, ia meluangkan waktu dengan mampir di taman kota. Ia baru saja mencoba menghirup udara segar di taman kota setelah kepalanya pening dengan berbagai kesibukannya dan terutama tentang kembalinya Rio. Jujur saja, ia sempat merasa down setelah bertemu dengan pria itu. Lebih tepatnya, ada banyak pertanyaan yang mengusiknya mengenai Rio. Sampai-sampai sejumlah telepon dari Sherly tak dijawabnya. Sekarang begitu tiba di sini, ia tak pernah menyangka akan bertemu anak itu kembali. Radeva berlari ke arahnya dengan senyum sumringah. Tentu saja Sagara mengenali bocah itu dalam sekali pandang. “Radeva?” gumamnya setengah tak percaya. Matanya mengerjap cepat. Sagara berdiri diam, menunggu bocah itu semakin dekat, lalu secara refleks ia menyambutnya dengan kedua tangan terbuka. “Akhilnya Depa ketemu Om di sini!” seru Radeva den
Ranaya langsung menegakkan badan begitu melihat Sagara tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Sejak kapan pria itu ada di sini? Otaknya mulai bangun dan mencerna semuanya.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Ranaya cepat. Saat menegakkan punggung, ia pun terkesiap sebab jas pria tersebut sudah membungkus tubuhnya.Dengan gerakan buru-buru, ia menanggalkan jas itu, melipatnya, kemudian menyerahkan kepada sosok pria yang masih berdiri dengan bibir tipis terkatup rapat di depannya. “Oh iya, ini, aku nggak membutuhkannya,” tambahnya.Sagara mau tak mau menerima jas tersebut kembali. Setelahnya, Ranaya berusaha membangkitkan konsentrasi dan berkutat lagi pada desainnya.Sagara memandang wanita itu sembari menghela napas. Namun, seperti seseorang yang kesabarannya telah terkuras habis, ia lekas menarik kursi di depannya dan langsung duduk menghadap Ranaya.“Dengar, aku tahu soal desain kamu yang bocor, Ranaya. Karena itu aku ke sini, ingin meluruskan proyek kita.” Ia mengatakannya dengan nada
Acel menahan geram. Lidahnya terasa pahit. Kata pria itu sudah tak menyukai Ranaya dan memilih dirinya. Namun, sekarang buktinya apa?Rio malah tak mengangkat teleponnya demi bisa berduaan dengan Ranaya. Semalam adalah malam yang seharusnya mereka habiskan untuk dinner romantis, namun Rio tak pernah muncul. Sekarang ia justru duduk dengan nyaman di sisi Ranaya, seolah tak terjadi apa-apa.Dengan gemetar, Acel mengangkat ponselnya. Ia membidik momen yang membuat amarahnya membuncah itu. Lalu, jari-jarinya dengan cepat mengirimkan hasil fotonya pada Rio.[Wah, selamat menikmati tehnya. Kabari kalau sudah selesai bermain-main.]Begitu pesannya terkirim, Acel langsung menyimpan ponsel, berderap kembali ke mobilnya dan mulai menyalakan mesin. Ia melajukan kendaraan dengan kasar meninggalkan tempat itu tanpa berminat menoleh ke belakang sekali pun.Di sisi lain, Rio sedang meraih cangkir tehnya ketika tatapannya tak sengaja singgah ke arah ponselnya yang menyala dan berbunyi singkat, tanda
"Mama?""Mama kok bisa ada di sini?!"Kini raut muka Harto penuh ketegangan dan keterkejutan. Ia mengabaikan lainnya dan hanya fokus kepada istrinya yang sudah berwajah merah padam. Tampak ujung bibir Tantri berkedut."Harusnya aku yang tanya! Kenapa Papa ada di sini padahal pamitnya kumpul komunitas?!" geram Tantri. Suaranya meninggi. Ia sudah tak bisa lagi menahan ledakan emosi yang tak terbendung.Harto kelabakan. Ia berusaha menyusun kata, tapi lidahnya kelu. Sekilas, matanya melirik Mayang yang berdiri di ambang pintu kamar, masih dalam keadaan rambut basah dan mengenakan daster tipis. Tatapan kosong wanita itu justru membuat semuanya terasa lebih nyata."Ma, aku bisa jelasin. Tadi itu … tadi itu aku nggak—""Tadi kenapa?! Kamu sudah bohong! Kamu pergi ke sini janjian sama Mayang, kan? Sudah berapa ronde sampai dia basah kuyup kayak gitu?! Bungkusan nasi itu kamu belikan buat dia juga, kan?!" potong Tantri langsung.Mendengar itu, Sherly menoleh kaget. Matanya membelalak mendenga
“Setahuku di sini sih, Te. Masa ada Kos Melati lain?” gumam Sherly seraya memandangi papan nama di atas gerbang.Taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan kompleks rumah kos yang tampak asri, dengan dominasi cat hijau muda yang sudah mulai pudar di beberapa bagian. Area kos ini tepat berada di belakang sebuah kampus seperti yang Sherly maksud.Tadi setelah menyelesaikan masakan mereka, dan makan bersama, keduanya memutuskan untuk kemari sambil membawa makanan hasil kegiatan masak tersebut.Sopir taksi yang mengantar mereka menoleh ke belakang. “Benar, Bu. Kos Melati adanya cuma di sini saja, kok,” terangnya ikut melebur ke dalam percakapan Tantri dan Sherly.Tantri manggut-manggut mengerti sembari memindai lanskap di luar kaca jendela taksi.“Oh, gitu ya … baik, baik, terima kasih banyak infonya, Pak,” ungkapnya kepada sang sopir.Dari pantulan spion di depan, pria itu mengunggah senyum ramah. “Iya, sama-sama, Bu.”Usai membayar ongkos taksi, Tantri melangkah turun lebih dulu, lalu
Tantri baru saja selesai menaburkan garam ke ikan yang sedang ia goreng di atas wajan besar ketika ponselnya berbunyi pelan. Satu pesan masuk dari Sagara.[Ma, pagi ini aku dan Radeva sudah melakukan tes DNA. Bantu doa ya semoga hasilnya akurat dan memuaskan. Kita tinggal tunggu hasilnya bersama.]Tantri menatap layar ponsel itu cukup lama. Senyum kecil kemudian mengembang di bibirnya yang semula sempat menegang karena panasnya dapur.“Alhamdulillah ….” gumamnya pelan.Ia mengembuskan napas lega. Setidaknya satu langkah penting sudah dilakukan. Hati kecilnya selalu merasa bahwa Radeva adalah anak Sagara. Matanya tak pernah bisa bohong, dari cara anak itu berbicara sampai tertawa hingga dua lesung pipinya menyembul, semuanya sama persis seperti Sagara dulu.Kini segalanya akan segera terjawab, batinnya.Namun sebelum ia sempat membalas pesan itu, bel rumah tiba-tiba berbunyi.Tantri buru-buru menyeka tangannya dengan handuk kecil di dekatnya, lantas berjalan cepat ke pintu depan. Ketik
Diam-diam, Acel mengirimkan sejumlah desain terbaru Flare & Co ke Rio. Dengan jari lincah, ia menekan tombol "kirim" pada ponselnya. Matanya kemudian berbinar penuh kemenangan.Ini adalah langkah besar! Sebuah tiket emas yang akan semakin mendekatkannya dengan Rio.Di tempat lain, di tengah jalannya rapat yang dipenuhi suara diskusi serius, ponsel Rio bergetar pelan di atas meja. Ia melirik layar sebentar sebelum meraihnya. Begitu melihat isi pesan, bibirnya terangkat membentuk senyum miring.Rio menggeser satu per satu gambar desain perhiasan yang dikirim Acel. Setiap detail yang rumit dan elegan itu memancarkan keahlian tangan Ranaya yang tak tertandingi. Pria sipit itu mengangguk pelan, mengagumi keindahan rancangan-rancangan Ranaya."Sayang sekali, Ran. Kamu sudah mengecewakanku," gumamnya sambil mengetuk pelipisnya menggunakan jemari."Andaikan kamu mendengar nasihatku untuk nggak melakukan kerja sama dan dekat dengan Sagara lagi, semuanya nggak bakal seperti ini. Aku terpaksa m
Ranaya masih berdiri di ruang tamu dengan perasaan was-was. Pikirannya berkelindan dengan berbagai pertanyaan yang belum menemukan jawaban. Apa yang sebenarnya diinginkan Tantri dan Harto darinya? Bagaimana mereka bisa tahu keberadaannya di sini?Dan yang paling membuatnya cemas: apakah Sagara juga sudah tahu tempat tinggalnya sekarang?"Ranaya, kamu duduk saja dulu. Radeva biar ikut Ibu," ucap Ida dengan suara lembut tapi penuh penekanan.Ranaya memandang putranya dengan enggan. Radeva yang sedari tadi memegangi tangannya erat, tampak ragu untuk melepaskan genggaman ibunya. Matanya menatap Ranaya seakan meminta kepastian."Ayo, Deva, sama Oma dulu." Ida kembali membujuk. Tangannya terulur kepada Radeva.Dengan berat hati, Radeva akhirnya melepaskan genggaman tangan Ranaya dan berjalan perlahan ke arah neneknya. Ranaya menatap punggung kecil itu sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke depan. Ia bergegas duduk di sofa yang ditempati Ida tadi, dan menghadapi kedua tamunya.Ranaya tent
Ranaya melangkah dengan anggun. Sesekali ia mengamati sekeliling dengan tatapan tenang namun penuh pengawasan. Begitu berbelok ke salah satu ruangan, seorang pegawainya segera berdiri menyambutnya dengan sikap hormat."Ada yang bisa kami bantu, Bu Ranaya?" tanya pegawai itu dengan nada sopan.Ranaya tersenyum tipis. "Aku hanya ingin memastikan apakah desain yang kemarin sudah dikirim ke tim produksi? Karena produksi harus dilakukan hari ini juga."Pegawai itu langsung mengangguk cepat merespons ucapan pimpinannya. "Benar, Bu. Semua sudah kami proses sesuai instruksi Anda.""Bagus," ujar Ranaya mengangguk puas. "Terima kasih."“Baik, Bu, sama-sama.”Ranaya lalu melanjutkan langkahnya keluar dan berjalan dengan tenang di sepanjang koridor. Namun, tanpa sengaja, ia justru berpapasan dengan Acel. Perempuan berambut pendek itu juga tengah melangkah penuh percaya diri sembari sibuk berbicara di telepon.Pandangan mereka sempat bertemu sekilas, tapi hanya sebatas itu. Keduanya melangkah mele
“Ranaya?”“Kamu sedang apa?”Ranaya buru-buru melirik ponselnya yang masih memanggil nomor misterius itu dan langsung mematikannya."Oh, nggak, ini aku lagi barusan nonton video." Ia mencoba mencari alasan. Dengan gerakan canggung ia meletakkan kembali ponselnya ke atas meja. "Kenapa, Rio?""Nggak apa-apa. Kamu masih lama di sini, kan? Seumpama aku pulang dulu nggak apa-apa? Soalnya aku harus menemui rekan kerja dulu di dekat sini.""Nggak papa banget, kok. Kamu duluan aja. Ini Deva juga masih makan,” sanggah Ranaya menggeleng seraya melambaikan kedua tangannya dan mengusung senyum.Ia sama sekali tidak merasa keberatan. Lagian, sepertinya Radeva juga masih betah berada di sini. Sesekali anaknya itu melenguh keenakan karena ayam goreng yang ia santap terasa sangat gurih di lidahnya."Oke, Ran. Sekali lagi aku minta maaf, ya."Rio memasukkan barang-barangnya dengan tergesa―termasuk dua ponselnya, meraih jaket, kemudian keluar dari tempat makan dengan langkah cepat.Usai Ranaya mengangk