Tantri baru saja selesai menaburkan garam ke ikan yang sedang ia goreng di atas wajan besar ketika ponselnya berbunyi pelan. Satu pesan masuk dari Sagara.[Ma, pagi ini aku dan Radeva sudah melakukan tes DNA. Bantu doa ya semoga hasilnya akurat dan memuaskan. Kita tinggal tunggu hasilnya bersama.]Tantri menatap layar ponsel itu cukup lama. Senyum kecil kemudian mengembang di bibirnya yang semula sempat menegang karena panasnya dapur.“Alhamdulillah ….” gumamnya pelan.Ia mengembuskan napas lega. Setidaknya satu langkah penting sudah dilakukan. Hati kecilnya selalu merasa bahwa Radeva adalah anak Sagara. Matanya tak pernah bisa bohong, dari cara anak itu berbicara sampai tertawa hingga dua lesung pipinya menyembul, semuanya sama persis seperti Sagara dulu.Kini segalanya akan segera terjawab, batinnya.Namun sebelum ia sempat membalas pesan itu, bel rumah tiba-tiba berbunyi.Tantri buru-buru menyeka tangannya dengan handuk kecil di dekatnya, lantas berjalan cepat ke pintu depan. Ketik
“Setahuku di sini sih, Te. Masa ada Kos Melati lain?” gumam Sherly seraya memandangi papan nama di atas gerbang.Taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan kompleks rumah kos yang tampak asri, dengan dominasi cat hijau muda yang sudah mulai pudar di beberapa bagian. Area kos ini tepat berada di belakang sebuah kampus seperti yang Sherly maksud.Tadi setelah menyelesaikan masakan mereka, dan makan bersama, keduanya memutuskan untuk kemari sambil membawa makanan hasil kegiatan masak tersebut.Sopir taksi yang mengantar mereka menoleh ke belakang. “Benar, Bu. Kos Melati adanya cuma di sini saja, kok,” terangnya ikut melebur ke dalam percakapan Tantri dan Sherly.Tantri manggut-manggut mengerti sembari memindai lanskap di luar kaca jendela taksi.“Oh, gitu ya … baik, baik, terima kasih banyak infonya, Pak,” ungkapnya kepada sang sopir.Dari pantulan spion di depan, pria itu mengunggah senyum ramah. “Iya, sama-sama, Bu.”Usai membayar ongkos taksi, Tantri melangkah turun lebih dulu, lalu
"Mama?""Mama kok bisa ada di sini?!"Kini raut muka Harto penuh ketegangan dan keterkejutan. Ia mengabaikan lainnya dan hanya fokus kepada istrinya yang sudah berwajah merah padam. Tampak ujung bibir Tantri berkedut."Harusnya aku yang tanya! Kenapa Papa ada di sini padahal pamitnya kumpul komunitas?!" geram Tantri. Suaranya meninggi. Ia sudah tak bisa lagi menahan ledakan emosi yang tak terbendung.Harto kelabakan. Ia berusaha menyusun kata, tapi lidahnya kelu. Sekilas, matanya melirik Mayang yang berdiri di ambang pintu kamar, masih dalam keadaan rambut basah dan mengenakan daster tipis. Tatapan kosong wanita itu justru membuat semuanya terasa lebih nyata."Ma, aku bisa jelasin. Tadi itu … tadi itu aku nggak—""Tadi kenapa?! Kamu sudah bohong! Kamu pergi ke sini janjian sama Mayang, kan? Sudah berapa ronde sampai dia basah kuyup kayak gitu?! Bungkusan nasi itu kamu belikan buat dia juga, kan?!" potong Tantri langsung.Mendengar itu, Sherly menoleh kaget. Matanya membelalak mendenga
Acel menahan geram. Lidahnya terasa pahit. Kata pria itu sudah tak menyukai Ranaya dan memilih dirinya. Namun, sekarang buktinya apa?Rio malah tak mengangkat teleponnya demi bisa berduaan dengan Ranaya. Semalam adalah malam yang seharusnya mereka habiskan untuk dinner romantis, namun Rio tak pernah muncul. Sekarang ia justru duduk dengan nyaman di sisi Ranaya, seolah tak terjadi apa-apa.Dengan gemetar, Acel mengangkat ponselnya. Ia membidik momen yang membuat amarahnya membuncah itu. Lalu, jari-jarinya dengan cepat mengirimkan hasil fotonya pada Rio.[Wah, selamat menikmati tehnya. Kabari kalau sudah selesai bermain-main.]Begitu pesannya terkirim, Acel langsung menyimpan ponsel, berderap kembali ke mobilnya dan mulai menyalakan mesin. Ia melajukan kendaraan dengan kasar meninggalkan tempat itu tanpa berminat menoleh ke belakang sekali pun.Di sisi lain, Rio sedang meraih cangkir tehnya ketika tatapannya tak sengaja singgah ke arah ponselnya yang menyala dan berbunyi singkat, tanda
Ranaya langsung menegakkan badan begitu melihat Sagara tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Sejak kapan pria itu ada di sini? Otaknya mulai bangun dan mencerna semuanya.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Ranaya cepat. Saat menegakkan punggung, ia pun terkesiap sebab jas pria tersebut sudah membungkus tubuhnya.Dengan gerakan buru-buru, ia menanggalkan jas itu, melipatnya, kemudian menyerahkan kepada sosok pria yang masih berdiri dengan bibir tipis terkatup rapat di depannya. “Oh iya, ini, aku nggak membutuhkannya,” tambahnya.Sagara mau tak mau menerima jas tersebut kembali. Setelahnya, Ranaya berusaha membangkitkan konsentrasi dan berkutat lagi pada desainnya.Sagara memandang wanita itu sembari menghela napas. Namun, seperti seseorang yang kesabarannya telah terkuras habis, ia lekas menarik kursi di depannya dan langsung duduk menghadap Ranaya.“Dengar, aku tahu soal desain kamu yang bocor, Ranaya. Karena itu aku ke sini, ingin meluruskan proyek kita.” Ia mengatakannya dengan nada
“Mimpi apa aku ini sampai bisa menikah dengan Mas Sagara ….” Ranaya termenung di depan cermin memandangi wajah polosnya yang baru saja dibersihkan dari riasan pengantin. Tangannya kemudian meraih sebuah kacamata dan mengenakannya. Kini tampaklah lebih jelas bayangan wajah di hadapannya. Ranaya memang diberkahi kulit putih bersih, hidung mancung dan bibirnya yang mungil. Namun, bukankah hal itu sudah dimiliki oleh kebanyakan wanita pada umumnya? Ranaya merasa satu-satunya yang bisa dibanggakan darinya adalah sepasang mata bulat bersinar yang sayangnya harus tertutupi lensa kacamata tebal dan mulai ketergantungan dengan benda tersebut ketika rabun jauh yang dideritanya semakin parah. Usai acara berakhir, Ranaya pergi ke kamar dulu tepat seperti apa yang Sagara perintahkan. Dan kini dengan harap-harap cemas ia menunggu suaminya itu menyusul kemari. Tatapan pada objek pantulan di cermin membuatnya ingin mencubiti pipinya berkali-kali. Ia ingin menyadarkan dirinya sendiri bahwa in
“Bagaimana malam pertama kalian, Ranaya?” Pagi ini di tengah dentingan sendok dan piring, tiba-tiba Tantri, ibu Sagara, bertanya demikian. Nyaris saja Ranaya tersedak oleh karena pertanyaan yang diajukan. Ia harus menjawab apa? Masalahnya Sagara tak sudi menyentuhnya, bahkan semalam ia tak tahu kapan pria itu pulang. Mata Ranaya yang gugup sempat bersinggungan dengan tatapan tajam yang Sagara hunjamkan kepadanya. Ranaya buru-buru mengalihkan pandang, mengunyah makanannya cepat, lantas menyahut, “Lancar kok, Ma.” Ia bertukas sembari merekahkan senyum selebar mungkin agar ibu mertuanya yakin. Ranaya mengamati wajah cantik di depannya. Seorang wanita paruh baya dengan rambut ikal berpotongan sebahu yang tampak masih segar parasnya. Ranaya berani menjamin, ketampanan seorang Sagara memang berasal dari ibunya. Sementara itu, Tantri terlihat sumringah usai mendengar jawaban Ranaya dan manggut-manggut pelan. Ia lalu beralih ke arah Sagara yang tengah sibuk menyantap makanannya d
“Akhirnya sampai rumah juga. Aduh, punggungku!” Pagi ini Tantri dan Harto sudah kembali. Tantri melangkah terseok-seok dengan tangan membawa beberapa tas sambil sesekali mempermasalahkan sakit punggungnya. Ranaya segera berhambur ke arah ibu mertuanya. Tangannya cekatan menyambar sejumlah tas yang tengah ditenteng Tantri. “Aku bantu bawakan ya, Ma. Mama rehat dulu saja. Aku juga sudah masak ayam goreng lengkuas dan sup sayur untuk sarapan,” tukas Ranaya. Ia kemudian sibuk meletakkan barang bawaan Tantri tadi. Sembari memijat punggungnya, Tantri mengekor di belakang Ranaya dan duduk di salah satu kursi meja makan. “Alhamdulilah, beruntung sekali Mama punya menantu sebaik dan sepintar kamu, Ranaya. Terima kasih, ya.” Tantri menghela napas penuh kelegaan sewaktu menyaksikan makanan yang dimasak Ranaya telah berjejer rapi di depannya. “Sama-sama, Ma. Tahu dan tempe yang ada di kulkas juga sudah aku olah.” Ranaya lantas menyingkap salah satu sajian dan menunjukkan hasil goreng
Ranaya langsung menegakkan badan begitu melihat Sagara tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Sejak kapan pria itu ada di sini? Otaknya mulai bangun dan mencerna semuanya.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Ranaya cepat. Saat menegakkan punggung, ia pun terkesiap sebab jas pria tersebut sudah membungkus tubuhnya.Dengan gerakan buru-buru, ia menanggalkan jas itu, melipatnya, kemudian menyerahkan kepada sosok pria yang masih berdiri dengan bibir tipis terkatup rapat di depannya. “Oh iya, ini, aku nggak membutuhkannya,” tambahnya.Sagara mau tak mau menerima jas tersebut kembali. Setelahnya, Ranaya berusaha membangkitkan konsentrasi dan berkutat lagi pada desainnya.Sagara memandang wanita itu sembari menghela napas. Namun, seperti seseorang yang kesabarannya telah terkuras habis, ia lekas menarik kursi di depannya dan langsung duduk menghadap Ranaya.“Dengar, aku tahu soal desain kamu yang bocor, Ranaya. Karena itu aku ke sini, ingin meluruskan proyek kita.” Ia mengatakannya dengan nada
Acel menahan geram. Lidahnya terasa pahit. Kata pria itu sudah tak menyukai Ranaya dan memilih dirinya. Namun, sekarang buktinya apa?Rio malah tak mengangkat teleponnya demi bisa berduaan dengan Ranaya. Semalam adalah malam yang seharusnya mereka habiskan untuk dinner romantis, namun Rio tak pernah muncul. Sekarang ia justru duduk dengan nyaman di sisi Ranaya, seolah tak terjadi apa-apa.Dengan gemetar, Acel mengangkat ponselnya. Ia membidik momen yang membuat amarahnya membuncah itu. Lalu, jari-jarinya dengan cepat mengirimkan hasil fotonya pada Rio.[Wah, selamat menikmati tehnya. Kabari kalau sudah selesai bermain-main.]Begitu pesannya terkirim, Acel langsung menyimpan ponsel, berderap kembali ke mobilnya dan mulai menyalakan mesin. Ia melajukan kendaraan dengan kasar meninggalkan tempat itu tanpa berminat menoleh ke belakang sekali pun.Di sisi lain, Rio sedang meraih cangkir tehnya ketika tatapannya tak sengaja singgah ke arah ponselnya yang menyala dan berbunyi singkat, tanda
"Mama?""Mama kok bisa ada di sini?!"Kini raut muka Harto penuh ketegangan dan keterkejutan. Ia mengabaikan lainnya dan hanya fokus kepada istrinya yang sudah berwajah merah padam. Tampak ujung bibir Tantri berkedut."Harusnya aku yang tanya! Kenapa Papa ada di sini padahal pamitnya kumpul komunitas?!" geram Tantri. Suaranya meninggi. Ia sudah tak bisa lagi menahan ledakan emosi yang tak terbendung.Harto kelabakan. Ia berusaha menyusun kata, tapi lidahnya kelu. Sekilas, matanya melirik Mayang yang berdiri di ambang pintu kamar, masih dalam keadaan rambut basah dan mengenakan daster tipis. Tatapan kosong wanita itu justru membuat semuanya terasa lebih nyata."Ma, aku bisa jelasin. Tadi itu … tadi itu aku nggak—""Tadi kenapa?! Kamu sudah bohong! Kamu pergi ke sini janjian sama Mayang, kan? Sudah berapa ronde sampai dia basah kuyup kayak gitu?! Bungkusan nasi itu kamu belikan buat dia juga, kan?!" potong Tantri langsung.Mendengar itu, Sherly menoleh kaget. Matanya membelalak mendenga
“Setahuku di sini sih, Te. Masa ada Kos Melati lain?” gumam Sherly seraya memandangi papan nama di atas gerbang.Taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan kompleks rumah kos yang tampak asri, dengan dominasi cat hijau muda yang sudah mulai pudar di beberapa bagian. Area kos ini tepat berada di belakang sebuah kampus seperti yang Sherly maksud.Tadi setelah menyelesaikan masakan mereka, dan makan bersama, keduanya memutuskan untuk kemari sambil membawa makanan hasil kegiatan masak tersebut.Sopir taksi yang mengantar mereka menoleh ke belakang. “Benar, Bu. Kos Melati adanya cuma di sini saja, kok,” terangnya ikut melebur ke dalam percakapan Tantri dan Sherly.Tantri manggut-manggut mengerti sembari memindai lanskap di luar kaca jendela taksi.“Oh, gitu ya … baik, baik, terima kasih banyak infonya, Pak,” ungkapnya kepada sang sopir.Dari pantulan spion di depan, pria itu mengunggah senyum ramah. “Iya, sama-sama, Bu.”Usai membayar ongkos taksi, Tantri melangkah turun lebih dulu, lalu
Tantri baru saja selesai menaburkan garam ke ikan yang sedang ia goreng di atas wajan besar ketika ponselnya berbunyi pelan. Satu pesan masuk dari Sagara.[Ma, pagi ini aku dan Radeva sudah melakukan tes DNA. Bantu doa ya semoga hasilnya akurat dan memuaskan. Kita tinggal tunggu hasilnya bersama.]Tantri menatap layar ponsel itu cukup lama. Senyum kecil kemudian mengembang di bibirnya yang semula sempat menegang karena panasnya dapur.“Alhamdulillah ….” gumamnya pelan.Ia mengembuskan napas lega. Setidaknya satu langkah penting sudah dilakukan. Hati kecilnya selalu merasa bahwa Radeva adalah anak Sagara. Matanya tak pernah bisa bohong, dari cara anak itu berbicara sampai tertawa hingga dua lesung pipinya menyembul, semuanya sama persis seperti Sagara dulu.Kini segalanya akan segera terjawab, batinnya.Namun sebelum ia sempat membalas pesan itu, bel rumah tiba-tiba berbunyi.Tantri buru-buru menyeka tangannya dengan handuk kecil di dekatnya, lantas berjalan cepat ke pintu depan. Ketik
Diam-diam, Acel mengirimkan sejumlah desain terbaru Flare & Co ke Rio. Dengan jari lincah, ia menekan tombol "kirim" pada ponselnya. Matanya kemudian berbinar penuh kemenangan.Ini adalah langkah besar! Sebuah tiket emas yang akan semakin mendekatkannya dengan Rio.Di tempat lain, di tengah jalannya rapat yang dipenuhi suara diskusi serius, ponsel Rio bergetar pelan di atas meja. Ia melirik layar sebentar sebelum meraihnya. Begitu melihat isi pesan, bibirnya terangkat membentuk senyum miring.Rio menggeser satu per satu gambar desain perhiasan yang dikirim Acel. Setiap detail yang rumit dan elegan itu memancarkan keahlian tangan Ranaya yang tak tertandingi. Pria sipit itu mengangguk pelan, mengagumi keindahan rancangan-rancangan Ranaya."Sayang sekali, Ran. Kamu sudah mengecewakanku," gumamnya sambil mengetuk pelipisnya menggunakan jemari."Andaikan kamu mendengar nasihatku untuk nggak melakukan kerja sama dan dekat dengan Sagara lagi, semuanya nggak bakal seperti ini. Aku terpaksa m
Ranaya masih berdiri di ruang tamu dengan perasaan was-was. Pikirannya berkelindan dengan berbagai pertanyaan yang belum menemukan jawaban. Apa yang sebenarnya diinginkan Tantri dan Harto darinya? Bagaimana mereka bisa tahu keberadaannya di sini?Dan yang paling membuatnya cemas: apakah Sagara juga sudah tahu tempat tinggalnya sekarang?"Ranaya, kamu duduk saja dulu. Radeva biar ikut Ibu," ucap Ida dengan suara lembut tapi penuh penekanan.Ranaya memandang putranya dengan enggan. Radeva yang sedari tadi memegangi tangannya erat, tampak ragu untuk melepaskan genggaman ibunya. Matanya menatap Ranaya seakan meminta kepastian."Ayo, Deva, sama Oma dulu." Ida kembali membujuk. Tangannya terulur kepada Radeva.Dengan berat hati, Radeva akhirnya melepaskan genggaman tangan Ranaya dan berjalan perlahan ke arah neneknya. Ranaya menatap punggung kecil itu sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke depan. Ia bergegas duduk di sofa yang ditempati Ida tadi, dan menghadapi kedua tamunya.Ranaya tent
Ranaya melangkah dengan anggun. Sesekali ia mengamati sekeliling dengan tatapan tenang namun penuh pengawasan. Begitu berbelok ke salah satu ruangan, seorang pegawainya segera berdiri menyambutnya dengan sikap hormat."Ada yang bisa kami bantu, Bu Ranaya?" tanya pegawai itu dengan nada sopan.Ranaya tersenyum tipis. "Aku hanya ingin memastikan apakah desain yang kemarin sudah dikirim ke tim produksi? Karena produksi harus dilakukan hari ini juga."Pegawai itu langsung mengangguk cepat merespons ucapan pimpinannya. "Benar, Bu. Semua sudah kami proses sesuai instruksi Anda.""Bagus," ujar Ranaya mengangguk puas. "Terima kasih."“Baik, Bu, sama-sama.”Ranaya lalu melanjutkan langkahnya keluar dan berjalan dengan tenang di sepanjang koridor. Namun, tanpa sengaja, ia justru berpapasan dengan Acel. Perempuan berambut pendek itu juga tengah melangkah penuh percaya diri sembari sibuk berbicara di telepon.Pandangan mereka sempat bertemu sekilas, tapi hanya sebatas itu. Keduanya melangkah mele
“Ranaya?”“Kamu sedang apa?”Ranaya buru-buru melirik ponselnya yang masih memanggil nomor misterius itu dan langsung mematikannya."Oh, nggak, ini aku lagi barusan nonton video." Ia mencoba mencari alasan. Dengan gerakan canggung ia meletakkan kembali ponselnya ke atas meja. "Kenapa, Rio?""Nggak apa-apa. Kamu masih lama di sini, kan? Seumpama aku pulang dulu nggak apa-apa? Soalnya aku harus menemui rekan kerja dulu di dekat sini.""Nggak papa banget, kok. Kamu duluan aja. Ini Deva juga masih makan,” sanggah Ranaya menggeleng seraya melambaikan kedua tangannya dan mengusung senyum.Ia sama sekali tidak merasa keberatan. Lagian, sepertinya Radeva juga masih betah berada di sini. Sesekali anaknya itu melenguh keenakan karena ayam goreng yang ia santap terasa sangat gurih di lidahnya."Oke, Ran. Sekali lagi aku minta maaf, ya."Rio memasukkan barang-barangnya dengan tergesa―termasuk dua ponselnya, meraih jaket, kemudian keluar dari tempat makan dengan langkah cepat.Usai Ranaya mengangk