Untuk beberapa detik, mereka hanya saling memandang dalam kebisuan.Ayunan kaki Sagara nyaris saja terhenti. Namun, kali ini entah kenapa ia memilih melangkah mendekati perempuan itu.Tatapan Ranaya membeku. Ia syok, sama seperti Sagara. Napasnya tercekat melihat sosok yang selama ini berusaha ia hindari justru sedang menggendong anaknya, Radeva.Dunia seolah berhenti sejenak. Ia tahu tak seharusnya merasa seperti ini, tapi dadanya mendadak sesak."Ma ...." Radeva berseru ketika jarak mereka semakin dekat.Tanpa pikir panjang, Ranaya segera mengambil alih dan menggendong anaknya.“Radeva, kamu dari mana? Jangan bikin Mama khawatir, dong," tegurnya dengan nada sedikit gemetar.Sagara masih berdiri di sana. Diam, dan menatapnya.Tadi karena keasyikan memilih barang, Ranaya sempat kehilangan jejak Radeva. Ia langsung panik, lantas mencari ke sana kemari, bertanya kepada orang-orang, hingga akhirnya melaporkan pada pihak keamanan. Bahkan beberapa saat lagi pengumuman tentang hilangnya seo
Detik itu juga, darah Ranaya seolah berhenti mengalir. “Apa maksudmu?” tekannya.Ia merasakan napasnya tersengal saat mendengar ucapan Sagara barusan. Matanya langsung mencari-cari celah untuk menghindar, tapi pria itu tidak memberi kesempatan.“Anak itu mirip denganku, Ran.” Tatapan Sagara penuh keyakinan. “Aku nggak sebodoh itu. Kamu jujur saja, apa kamu hamil gara-gara kejadian malam itu?”Ranaya menegang. Dadanya bergemuruh dan terasa sesak. Pikirannya langsung menolak segala kemungkinan yang bisa membuat Sagara mengetahui kebenaran itu.“Aku juga minta maaf karena sudah nuduh kamu soal obat—”“Radeva bukan anakmu,” potong Ranaya cepat. Rahangnya mengeras, mencoba menyembunyikan getar dalam suaranya. “Aku menikah setelah itu dan hamil anak ini.”Sagara terdiam. Ekspresinya tak sepenuhnya percaya, tapi ada kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan. Matanya tetap tajam seakan hendak menguliti kebohongan yang mungkin terselip dalam kata-kata Ranaya.“Tunjukkan dulu suamimu, baru aku pe
Harto berhasil menarik lengan Tantri sebelum istrinya bergegas keluar dari mobil."Buat apa sih ngikutin anak sendiri? Kenapa nggak langsung disapa saja, Ma?" tanyanya.Ia mendesah pelan. Tak tahu harus bagaimana lagi dengan sikap istrinya ini. Tantri menyipitkan mata penuh selidik. Buru-buru sebelah tangannya ia kibaskan."Jangan dong, ah! Memangnya Papa nggak curiga kenapa dia ke sini? Dia mau menemui siapa coba?"Keduanya saling pandang untuk beberapa saat. Keheningan itu seakan memberi waktu bagi Harto untuk berpikir. Namun, pada akhirnya pria tersebut memilih mengangkat bahunya singkat."Ya nggak tahu. Temannya mungkin," sahutnya dengan enteng.Seketika Tantri menepuk dahi. Ia kemudian ganti memukul pria di sampingnya sembari mendelikkan mata.“Aduh, Papa ini!” keluh Tantri. "Memangnya anak kita punya teman?"Harto terdiam sejenak. Dari semasa sekolah, anaknya ini pintar dan lumayan mudah bergaul. Namun, ia merasa Sagara berubah sejak SMA, lebih tepatnya sejak anaknya itu menjadi
Tantri mengomel sambil menekan-nekan layar ponselnya. Bibirnya mengerucut, matanya sedikit memicing.“Aduh, sampai sekarang Rio belum balas pesanku juga,” keluhnya.Di sebelahnya, Harto yang tengah duduk santai sambil membaca buku milik Sagara ikut menoleh. “Coba telepon aja,” sarannya.Tantri menghela napas panjang. “Iya deh, coba Mama telepon dulu.”Dengan kekesalan yang mulai merambati, ia pun menekan ikon panggilan di ponselnya. Namun, hanya butuh beberapa detik bagi wajahnya untuk semakin berkerut dalam.“Nomornya kok nggak aktif?!” serunya terheran-heran. Padahal mereka sudah janjian, tetapi nomor pria tersebut malah susah dihubungi.Harto mendesah pelan, sementara Sagara yang duduk di seberang mereka hanya diam. Namun, dalam hati, ia mengatupkan rahangnya kuat-kuat.Rio benar-benar tidak tahu diri!Sikap pria itu kepada kedua orangtuanya semakin membuatnya muak. Kalau memang pria itu mempermainkan dirinya, bukan begini caranya! Bukan malah menyangkutpautkan Tantri dan Harto sam
Sagara menghela napas panjang. Ia berusaha menjelaskan, tapi tatapan Ranaya yang penuh kecurigaan dan wajah kecewa Radeva membuat kata-katanya tertahan di tenggorokan."Aku nggak ngapa-ngapain dia," suara Sagara akhirnya terdengar serak dan penuh . "Aku cuma—""Tapi kamu sudah mencekiknya," potong Ranaya tajam.Radeva yang masih kecil mungkin tidak sepenuhnya memahami situasi, tetapi ekspresinya jelas menunjukkan kekecewaan. Dan, itu membuat Sagara semakin merasa bersalah.Sagara lalu berjongkok di depan Radeva, memandang lamat-lamat sepasang mata bulat nan jernih yang begitu polos.“Deva, maafkan Om, ya.” Perlahan Sagara mengulurkan tangan kepada anak tersebut. Tetapi, semakin ia mendekat, Radeva kian tenggelam dan bertambah erat memeluk kaki ibunya."Depa pikil Om Papa itu baik," suara bocah itu lirih. "Telnyata sama aja."Sagara membeku. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari pukulan mana pun. Ia tahu Radeva selalu menganggapnya sosok yang baik, tapi sekarang? Dalam pandangan anak
Rio menatap Ranaya dengan serius. Matanya tak berkedip, menembus batas pandang perempuan itu seolah ingin menemukan jawabannya langsung dari dalam hati."Maksudnya ... apa bisa aku menggantikan Sagara di hidupmu, Ran?"Ranaya terperangah. Kata-kata itu terasa berat, lebih berat dari apa pun yang pernah ia hadapi setelah perpisahannya dengan Sagara. Ia membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Berkali-kali seperti itu, seolah pikirannya sedang bertarung dengan perasaannya sendiri."Hmm, kamu serius, Rio?" Hanya itu yang akhirnya bisa ia ucapkan. Sejujurnya, ia bingung harus menjawab apa."Aku serius, Ranaya." Rio mengatakannya dengan mengembuskan napas panjang. "Ngapain soal begini aja aku bohong?"Ranaya menggigit bibir. Hatinya buncah. Tangannya yang bertumpu di bangku bergerak-gerak gelisah. Tanpa sadar hal itu tertangkap oleh mata Rio juga. Pria itu mengerutkan kening samar."Bagaimana?" kejarnya lagi. Kali ini lebih tegas.Ranaya menatapnya sebentar, mengalihkan ke beberapa objek, namu
Sherly mengatupkan rahangnya erat-erat. Hatinya menggelegak. Ia tahu ibunya benar. Ranaya tidak boleh kembali. Segala yang sudah ia perjuangkan untuk merebut Sagara tidak boleh sia-sia. Namun, satu pertanyaan mengganggunya, di mana perempuan itu sekarang?Tentu, ada hal yang harus ia bicarakan dengan Ranaya. Ia tidak akan membiarkan perempuan itu merebut apa yang seharusnya sudah menjadi miliknya.Saat sedang memutar otak, Sagara muncul. Wajahnya kusut. Ada kilatan amarah yang ia tahan di matanya. Sherly segera berdiri dan memasang senyum semanis mungkin."Sayang, kamu dari mana?" tanyanya lembut. Langkahnya menggiring dirinya mendekat ke sisi Sagara.Sagara menatapnya datar. "Kan sudah aku bilang tadi, ketemu klien.""Iya, maksudku ketemu di mana?" Sherly terus menggali informasi.Sagara mendesah kasar. "Di restoran,” sahutnya asal.Senyum Sherly tetap terpatri. Ia mengetuk-ngetuk telunjuknya di dagu, bersikap imut, dan berkata, "Kalau gitu, bagaimana kalau nanti sore kita dinner bar
Pagi ini Sagara duduk di ruang kerjanya dengan ekspresi terlipat serius. Di layar laptopnya, laman website Gold Mulia terus ia telusuri. Semakin dalam ia menggulir, semakin keras rahangnya mengatup. Desain-desain perhiasan yang mencurigakan terpampang jelas. Bukan hanya mirip dengan produk Wiratama, tapi juga dijual dengan harga jauh lebih rendah.Tangan Sagara mengepal di atas meja. Napasnya berat. Ia menyesap teh hangat yang kini terasa hambar di lidahnya.Sagara tidak bisa membiarkan ini terus terjadi.Tanpa berpikir panjang, ia meraih ponselnya dan menekan salah satu kontak yang sudah sangat mengganggunya. Tak berapa lama panggilannya tersambung."Kamu sengaja main-main denganku, ya?!" tembak Sagara langsung.Di seberang, Rio tengah duduk santai di sebuah kafe. Bibirnya melengkung mendengar nada tajam Sagara. Ia sudah menduga telepon ini akan datang."Kenapa? Bukannya dari dulu kamu suka permainan, Sagara?" Suaranya terdengar santai. "Apalagi permainan yang kubuat. Kamu kelihatann
Tantri baru saja selesai menaburkan garam ke ikan yang sedang ia goreng di atas wajan besar ketika ponselnya berbunyi pelan. Satu pesan masuk dari Sagara.[Ma, pagi ini aku dan Radeva sudah melakukan tes DNA. Bantu doa ya semoga hasilnya akurat dan memuaskan. Kita tinggal tunggu hasilnya bersama.]Tantri menatap layar ponsel itu cukup lama. Senyum kecil kemudian mengembang di bibirnya yang semula sempat menegang karena panasnya dapur.“Alhamdulillah ….” gumamnya pelan.Ia mengembuskan napas lega. Setidaknya satu langkah penting sudah dilakukan. Hati kecilnya selalu merasa bahwa Radeva adalah anak Sagara. Matanya tak pernah bisa bohong, dari cara anak itu berbicara sampai tertawa hingga dua lesung pipinya menyembul, semuanya sama persis seperti Sagara dulu.Kini segalanya akan segera terjawab, batinnya.Namun sebelum ia sempat membalas pesan itu, bel rumah tiba-tiba berbunyi.Tantri buru-buru menyeka tangannya dengan handuk kecil di dekatnya, lantas berjalan cepat ke pintu depan. Ketik
Diam-diam, Acel mengirimkan sejumlah desain terbaru Flare & Co ke Rio. Dengan jari lincah, ia menekan tombol "kirim" pada ponselnya. Matanya kemudian berbinar penuh kemenangan.Ini adalah langkah besar! Sebuah tiket emas yang akan semakin mendekatkannya dengan Rio.Di tempat lain, di tengah jalannya rapat yang dipenuhi suara diskusi serius, ponsel Rio bergetar pelan di atas meja. Ia melirik layar sebentar sebelum meraihnya. Begitu melihat isi pesan, bibirnya terangkat membentuk senyum miring.Rio menggeser satu per satu gambar desain perhiasan yang dikirim Acel. Setiap detail yang rumit dan elegan itu memancarkan keahlian tangan Ranaya yang tak tertandingi. Pria sipit itu mengangguk pelan, mengagumi keindahan rancangan-rancangan Ranaya."Sayang sekali, Ran. Kamu sudah mengecewakanku," gumamnya sambil mengetuk pelipisnya menggunakan jemari."Andaikan kamu mendengar nasihatku untuk nggak melakukan kerja sama dan dekat dengan Sagara lagi, semuanya nggak bakal seperti ini. Aku terpaksa m
Ranaya masih berdiri di ruang tamu dengan perasaan was-was. Pikirannya berkelindan dengan berbagai pertanyaan yang belum menemukan jawaban. Apa yang sebenarnya diinginkan Tantri dan Harto darinya? Bagaimana mereka bisa tahu keberadaannya di sini?Dan yang paling membuatnya cemas: apakah Sagara juga sudah tahu tempat tinggalnya sekarang?"Ranaya, kamu duduk saja dulu. Radeva biar ikut Ibu," ucap Ida dengan suara lembut tapi penuh penekanan.Ranaya memandang putranya dengan enggan. Radeva yang sedari tadi memegangi tangannya erat, tampak ragu untuk melepaskan genggaman ibunya. Matanya menatap Ranaya seakan meminta kepastian."Ayo, Deva, sama Oma dulu." Ida kembali membujuk. Tangannya terulur kepada Radeva.Dengan berat hati, Radeva akhirnya melepaskan genggaman tangan Ranaya dan berjalan perlahan ke arah neneknya. Ranaya menatap punggung kecil itu sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke depan. Ia bergegas duduk di sofa yang ditempati Ida tadi, dan menghadapi kedua tamunya.Ranaya tent
Ranaya melangkah dengan anggun. Sesekali ia mengamati sekeliling dengan tatapan tenang namun penuh pengawasan. Begitu berbelok ke salah satu ruangan, seorang pegawainya segera berdiri menyambutnya dengan sikap hormat."Ada yang bisa kami bantu, Bu Ranaya?" tanya pegawai itu dengan nada sopan.Ranaya tersenyum tipis. "Aku hanya ingin memastikan apakah desain yang kemarin sudah dikirim ke tim produksi? Karena produksi harus dilakukan hari ini juga."Pegawai itu langsung mengangguk cepat merespons ucapan pimpinannya. "Benar, Bu. Semua sudah kami proses sesuai instruksi Anda.""Bagus," ujar Ranaya mengangguk puas. "Terima kasih."“Baik, Bu, sama-sama.”Ranaya lalu melanjutkan langkahnya keluar dan berjalan dengan tenang di sepanjang koridor. Namun, tanpa sengaja, ia justru berpapasan dengan Acel. Perempuan berambut pendek itu juga tengah melangkah penuh percaya diri sembari sibuk berbicara di telepon.Pandangan mereka sempat bertemu sekilas, tapi hanya sebatas itu. Keduanya melangkah mele
“Ranaya?”“Kamu sedang apa?”Ranaya buru-buru melirik ponselnya yang masih memanggil nomor misterius itu dan langsung mematikannya."Oh, nggak, ini aku lagi barusan nonton video." Ia mencoba mencari alasan. Dengan gerakan canggung ia meletakkan kembali ponselnya ke atas meja. "Kenapa, Rio?""Nggak apa-apa. Kamu masih lama di sini, kan? Seumpama aku pulang dulu nggak apa-apa? Soalnya aku harus menemui rekan kerja dulu di dekat sini.""Nggak papa banget, kok. Kamu duluan aja. Ini Deva juga masih makan,” sanggah Ranaya menggeleng seraya melambaikan kedua tangannya dan mengusung senyum.Ia sama sekali tidak merasa keberatan. Lagian, sepertinya Radeva juga masih betah berada di sini. Sesekali anaknya itu melenguh keenakan karena ayam goreng yang ia santap terasa sangat gurih di lidahnya."Oke, Ran. Sekali lagi aku minta maaf, ya."Rio memasukkan barang-barangnya dengan tergesa―termasuk dua ponselnya, meraih jaket, kemudian keluar dari tempat makan dengan langkah cepat.Usai Ranaya mengangk
Angin yang berembus lembut di dermaga kecil tepi danau kala sore itu tak mampu menenangkan gejolak yang membara di dada Sagara. Rahangnya mengeras begitu telinganya menangkap dengan jelas nama yang keluar dari bibir Ranaya saat menjawab telepon.Pria itu lagi, pria itu lagi! Kenapa Rio selalu merusak momen yang tengah ia bangun bersama Ranaya?!Padahal sempat ada kelegaan dalam diri Sagara saat ia tahu bahwa Ranaya bukanlah istri pria tersebut. Namun, kedekatan mereka, cara Rio selalu ada di sekitar Ranaya, membuat bara cemburu di hatinya kian membesar.Ranaya menutup teleponnya dengan cepat. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas dan mengangkat wajah ke arah Sagara. Tatapan pria itu sudah berubah. Dingin, tajam, penuh emosi yang tak bisa ia definisikan."Aku minta maaf, Mas. Aku harus pergi dulu," ujarnya sedikit merasa bersalah.Sagara menatapnya tanpa berkedip. "Ke mana? Menemui Rio?" tembaknya langsung.Untuk sejenak Ranaya mengerutkan kening samar. Nada suara Sagara berubah
"Kamu serius?"Ranaya meliriknya sekilas, lantas kembali sibuk pada dokumen-dokumennya. Alisnya masih saling tertaut saking tak percayanya.Sagara menghela napas, lalu menyandarkan satu tangan ke meja. Kini tubuhnya sedikit condong ke arah Ranaya hingga kepala perempuan itu mendongak dan mundur secara refleks dalam sisi waspada."Apa aku terlihat bercanda sekarang?" tanya Sagara seraya menunjuk wajahnya sendiri.Ranaya susah payah menelan saliva. Dari jarak sedekat ini, apalagi kini hanya mereka berdua yang tinggal di ruang rapat, Ranaya takut jika degup jantungnya yang mulai menggila terdengar sampai telinga Sagara.Ranaya berdeham pelan. Ia menggeser tubuhnya untuk memberi jarak aman. Perempuan itu berusaha menjaga ekspresinya agar tetap netral."Kalau begitu, aku yang tentukan tempatnya,” tukasnya, ingin mempercepat perbincangan di antara mereka.Lagian, apa kata orang-orang kalau sampai mereka tahu Ranaya dan Sagara berduaan di sini?!Sagara mengangkat bahu. Seutas senyum simpul t
Malam itu, restoran fine dining dihiasi cahaya temaram, memantulkan kilau lembut di atas meja marmer. Sebuah buket bunga lili putih tergeletak di tengah meja.Acel menatap bunga itu dengan alis sedikit mengernyit, tetapi kini bibirnya mengembang dalam senyum kecil."Lili?" Acel mengangkat bunga tersebut. "Ini serius untukku?”Rio yang kala itu sudah berpakaian rapi dari ujung rambut hingga kaki mengangguk. Matanya masih terpana pada sosok perempuan cantik berambut pendek di hadapannya.“Of course, pretty lilies for a pretty someone,” ucapnya dengan merekahkan senyum.Acel sontak tergelak. Dahinya muncul garis-garis halus lagi. “Kupikir kamu lebih suka memberi mawar merah untuk wanita yang kamu kencani."Rio menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai. Senyum tipis itu masih menghiasi wajahnya."Mawar merah terlalu klise. Aku memilih lili karena melambangkan kecerdasan dan ambisi. Sama sepertimu."Acel terkekeh kecil, lantas menyibak rambut pendeknya yang berkilau."Hmm … gombalanmu b
"Apa ini, Ma?”Sagara bertanya dengan nada keheranan. Matanya mulai melucuti setiap bagian amplop tersebut hingga membolak-balikkannya secara teliti.Tantri dengan wajah kaku karena efek masker wajah yang tengah dipakainya perlahan melangkah mendekati Sagara. Matanya mulai berbinar tatkala mendapati tulisan yang merupakan tempat tujuannya tadi."Oh, itu. Ini promo treatment di klinik depan," sahutnya santai, sebelum akhirnya dengan cepat menyambar amplop itu dari tangan Sagara.Sagara menatap ibunya dengan alis bertaut. Pandangannya tak lepas dari Tantri yang tengah sibuk melepas segel amplop tersebut."Treatment? Mama mau treatment?"Tantri tersenyum tipis, membuka amplop itu dan mengeluarkan selebaran berwarna pastel yang berisi daftar perawatan kecantikan. Matanya menelusuri tulisan di dalamnya dengan tenang, seolah mengabaikan ekspresi bingung anaknya."Kan sekarang Mama sudah tua, Sagara," ujarnya pelan. Dua ujung bibirnya tertarik ke bawah sehingga membentuk lengkungan yang dala