Mata Tantri tak lepas dari bocah kecil di hadapannya. Entah kenapa ada debar aneh di dadanya. Perasaan itu begitu mengusik, seperti sebuah intuisi yang berbisik pelan di dalam hati.Anak itu ketika berbicara memperlihatkan lesung pipinya yang dalam, sepasang mata bulat bersinar, alis tebal, hidung mancung, juga garis bibir yang khas. Tantri nyaris menahan napas. Semua itu begitu mirip dengan Sagara."Yah, padahal Mama mau aku ajak main," keluh Radeva sambil mengerucutkan bibir.Rio mengusap pundak anak itu dan berkata dengan lembut. “Sudah, nggak usah marah. Habis ini Mama kembali, kok. Ditunggu aja dulu.”Radeva mendengus samar, lantas berlari kembali menuju teman-teman barunya dengan wajah cemberut. Meninggalkan Tantri yang masih terpaku di tempatnya.Mata Tantri masih terpancang pada anak itu. Bahkan dari caranya berlari dan rambut hitamnya yang lurus ikut berayun ringan mengingatkannya pada Sagara kecil dulu.Perlahan Tantri mulai beringsut, dan mengalihkan perhatiannya pada Rio y
"Iya, Rio Kalvari yang matanya sipit itu. Ingat, kan?"Tantri kembali membuka suara. Menghancurkan pertanyaan yang tertata rapi di benak Sagara. Wanita itu menyeka air mata menggunakan tisu, lalu berucap pelan lagi."Pantesan, Mama kayak pernah lihat. Ternyata adik kelasmu, Sagara."Sagara tak langsung menjawab. Ia memang mengingat Rio. Ia bahkan tidak sekadar mengingat, tapi tahu betul siapa pria itu dulu."Dia sayang banget sama anak dan istrinya, lo," lanjut Tantri dengan nada iri. "Sampai mereka dimanja gitu.”Sagara terdiam. Kepalanya menunduk sedikit. Ia masih mencoba menyusun kepingan teka-teki di benaknya. Justru dengan mengetahui Rio ada di sini, ia semakin heran rasanya.Apa yang sedang Rio lakukan di Indonesia? Kenapa pria itu kembali sekarang?"Tunggu dulu." Suara Sagara akhirnya kembali terdengar. "Mama bilang Rio sudah menikah dan punya anak cowok?"Tantri mengangguk pelan. Beberapa kali tangannya masih sibuk menghapus jejak air mata yang mengalir. "Iya. Bocah itu manis
“Om Papa!” Langkah Sagara terhenti. Ia menoleh dan mendapati seorang bocah laki-laki sedang berlari ke arahnya. Hari ini, di tengah kesibukannya yang mencekik, ia meluangkan waktu dengan mampir di taman kota. Ia baru saja mencoba menghirup udara segar di taman kota setelah kepalanya pening dengan berbagai kesibukannya dan terutama tentang kembalinya Rio. Jujur saja, ia sempat merasa down setelah bertemu dengan pria itu. Lebih tepatnya, ada banyak pertanyaan yang mengusiknya mengenai Rio. Sampai-sampai sejumlah telepon dari Sherly tak dijawabnya. Sekarang begitu tiba di sini, ia tak pernah menyangka akan bertemu anak itu kembali. Radeva berlari ke arahnya dengan senyum sumringah. Tentu saja Sagara mengenali bocah itu dalam sekali pandang. “Radeva?” gumamnya setengah tak percaya. Matanya mengerjap cepat. Sagara berdiri diam, menunggu bocah itu semakin dekat, lalu secara refleks ia menyambutnya dengan kedua tangan terbuka. “Akhilnya Depa ketemu Om di sini!” seru Radeva den
Untuk beberapa detik, mereka hanya saling memandang dalam kebisuan.Ayunan kaki Sagara nyaris saja terhenti. Namun, kali ini entah kenapa ia memilih melangkah mendekati perempuan itu.Tatapan Ranaya membeku. Ia syok, sama seperti Sagara. Napasnya tercekat melihat sosok yang selama ini berusaha ia hindari justru sedang menggendong anaknya, Radeva.Dunia seolah berhenti sejenak. Ia tahu tak seharusnya merasa seperti ini, tapi dadanya mendadak sesak."Ma ...." Radeva berseru ketika jarak mereka semakin dekat.Tanpa pikir panjang, Ranaya segera mengambil alih dan menggendong anaknya.“Radeva, kamu dari mana? Jangan bikin Mama khawatir, dong," tegurnya dengan nada sedikit gemetar.Sagara masih berdiri di sana. Diam, dan menatapnya.Tadi karena keasyikan memilih barang, Ranaya sempat kehilangan jejak Radeva. Ia langsung panik, lantas mencari ke sana kemari, bertanya kepada orang-orang, hingga akhirnya melaporkan pada pihak keamanan. Bahkan beberapa saat lagi pengumuman tentang hilangnya seo
Detik itu juga, darah Ranaya seolah berhenti mengalir. “Apa maksudmu?” tekannya.Ia merasakan napasnya tersengal saat mendengar ucapan Sagara barusan. Matanya langsung mencari-cari celah untuk menghindar, tapi pria itu tidak memberi kesempatan.“Anak itu mirip denganku, Ran.” Tatapan Sagara penuh keyakinan. “Aku nggak sebodoh itu. Kamu jujur saja, apa kamu hamil gara-gara kejadian malam itu?”Ranaya menegang. Dadanya bergemuruh dan terasa sesak. Pikirannya langsung menolak segala kemungkinan yang bisa membuat Sagara mengetahui kebenaran itu.“Aku juga minta maaf karena sudah nuduh kamu soal obat—”“Radeva bukan anakmu,” potong Ranaya cepat. Rahangnya mengeras, mencoba menyembunyikan getar dalam suaranya. “Aku menikah setelah itu dan hamil anak ini.”Sagara terdiam. Ekspresinya tak sepenuhnya percaya, tapi ada kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan. Matanya tetap tajam seakan hendak menguliti kebohongan yang mungkin terselip dalam kata-kata Ranaya.“Tunjukkan dulu suamimu, baru aku pe
Harto berhasil menarik lengan Tantri sebelum istrinya bergegas keluar dari mobil."Buat apa sih ngikutin anak sendiri? Kenapa nggak langsung disapa saja, Ma?" tanyanya.Ia mendesah pelan. Tak tahu harus bagaimana lagi dengan sikap istrinya ini. Tantri menyipitkan mata penuh selidik. Buru-buru sebelah tangannya ia kibaskan."Jangan dong, ah! Memangnya Papa nggak curiga kenapa dia ke sini? Dia mau menemui siapa coba?"Keduanya saling pandang untuk beberapa saat. Keheningan itu seakan memberi waktu bagi Harto untuk berpikir. Namun, pada akhirnya pria tersebut memilih mengangkat bahunya singkat."Ya nggak tahu. Temannya mungkin," sahutnya dengan enteng.Seketika Tantri menepuk dahi. Ia kemudian ganti memukul pria di sampingnya sembari mendelikkan mata.“Aduh, Papa ini!” keluh Tantri. "Memangnya anak kita punya teman?"Harto terdiam sejenak. Dari semasa sekolah, anaknya ini pintar dan lumayan mudah bergaul. Namun, ia merasa Sagara berubah sejak SMA, lebih tepatnya sejak anaknya itu menjadi
Tantri mengomel sambil menekan-nekan layar ponselnya. Bibirnya mengerucut, matanya sedikit memicing.“Aduh, sampai sekarang Rio belum balas pesanku juga,” keluhnya.Di sebelahnya, Harto yang tengah duduk santai sambil membaca buku milik Sagara ikut menoleh. “Coba telepon aja,” sarannya.Tantri menghela napas panjang. “Iya deh, coba Mama telepon dulu.”Dengan kekesalan yang mulai merambati, ia pun menekan ikon panggilan di ponselnya. Namun, hanya butuh beberapa detik bagi wajahnya untuk semakin berkerut dalam.“Nomornya kok nggak aktif?!” serunya terheran-heran. Padahal mereka sudah janjian, tetapi nomor pria tersebut malah susah dihubungi.Harto mendesah pelan, sementara Sagara yang duduk di seberang mereka hanya diam. Namun, dalam hati, ia mengatupkan rahangnya kuat-kuat.Rio benar-benar tidak tahu diri!Sikap pria itu kepada kedua orangtuanya semakin membuatnya muak. Kalau memang pria itu mempermainkan dirinya, bukan begini caranya! Bukan malah menyangkutpautkan Tantri dan Harto sam
Sagara menghela napas panjang. Ia berusaha menjelaskan, tapi tatapan Ranaya yang penuh kecurigaan dan wajah kecewa Radeva membuat kata-katanya tertahan di tenggorokan."Aku nggak ngapa-ngapain dia," suara Sagara akhirnya terdengar serak dan penuh . "Aku cuma—""Tapi kamu sudah mencekiknya," potong Ranaya tajam.Radeva yang masih kecil mungkin tidak sepenuhnya memahami situasi, tetapi ekspresinya jelas menunjukkan kekecewaan. Dan, itu membuat Sagara semakin merasa bersalah.Sagara lalu berjongkok di depan Radeva, memandang lamat-lamat sepasang mata bulat nan jernih yang begitu polos.“Deva, maafkan Om, ya.” Perlahan Sagara mengulurkan tangan kepada anak tersebut. Tetapi, semakin ia mendekat, Radeva kian tenggelam dan bertambah erat memeluk kaki ibunya."Depa pikil Om Papa itu baik," suara bocah itu lirih. "Telnyata sama aja."Sagara membeku. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari pukulan mana pun. Ia tahu Radeva selalu menganggapnya sosok yang baik, tapi sekarang? Dalam pandangan anak
"Papa!”“Papa ....”“Depa bisa manggil Papa benelan, kan?”Ini adalah pertanyaan Radeva kesekian kalinya yang ia ucapkan setelah mengetahui bahwa Sagara adalah ayah kandungnya. Bahkan selama perjalanan dari Indonesia hingga negeri sakura. Sampai-sampai mereka sempat memergoki jika dalam tidur pun Radeva sering menggumamkan kata "Papa" di alam bawah sadarnya.Sagara yang tengah menggendong Radeva mengulum senyum, apalagi anak mungil itu masih menatapnya dengan mata bulat nan berbinar.Sagara mengangguk sambil mempererat pelukannya. “Bisa dong, Sayang. Kamu adalah anak Papa. Benar-benar anak Papa,” ucapnya lembut, diselingi cubitan gemas di pipi anaknya.Di sebelah mereka, Ranaya menghela napas. Suara itu—panggilan “Papa”—seolah mengguncang hatinya juga, mengaduk-aduk emosi yang selama ini ia kunci rapat. Sebagian dirinya masih tak percaya kalau momen ini nyata. Kalau mereka, akhirnya, berdiri di sini sebagai sebuah keluarga.Berikutnya pupil Ranaya membesar sewaktu matanya tertuju kepa
Ranaya menggenggam ponsel Rio lebih erat. Matanya berair. Dalam diamnya, ia sadar Sagara tidak benar-benar tinggal diam. Pria itu diam-diam bekerja di balik layar untuk membantunya.Sagara bahkan tak pernah bilang bahwa ia akan melakukan ini, pikirnya.Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang hangat mengalir dalam dadanya. Perasaan campur aduk antara sakit hati, penyesalan, dan harapan. Ia memandangi layar televisi itu lama sekali, seolah tak ingin kehilangan sosok Sagara yang selama ini ia anggap sebagai pria dingin tanpa empati.Kini Ranaya tahu. Kadang cinta tidak selalu hadir dalam bentuk pelukan atau kata-kata manis. Bisa jadi wujud cinta itu adalah perjuangan dalam diam.Dan mungkin ... Sagara mencintainya lebih dari yang ia sangka."Saya tidak bisa tinggal diam melihat perusahaan kami diinjak-injak.” Suara tegas Sagara kembali membelai telinga Ranaya dan membuyarkan lamunannya. Pria itu masih berjuang dalam wawancara live yang disiarkan oleh banyak stasiun berita."Ber
Rio menutup laptopnya dan memandang Ranaya dengan sorot mata penuh percaya diri. "Bagaimana planningku tadi? Bisa kamu terima, kan?" tanyanya. Suaranya tenang tapi mengandung tekanan di dalamnya. Ranaya tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu mengusap pelan dagunya yang tegang. Ia mencoba merangkum semua pemetaan strategi yang barusan dipaparkan Rio. Langkah demi langkah untuk memulihkan kepercayaan customer Flare & Co terdengar logis, bahkan cukup menjanjikan. Harus ia akui, temannya ini sangat jenius. Trik-trik yang dijabarkan secara detail bisa membuatnya terpukau. "Tapi ... cara itu tadi nggak bakal memengaruhi customer tempatmu bekerja, kan? Gold Mulia? Mana mungkin kamu bunuh diri dengan memihak perusahaanku?" Ranaya mengerutkan kening, menatap Rio penuh keraguan. Rio hanya mengangkat bahu sambil tersenyum santai. "Enggak kok, tenang. Kan Gold Mulia punya teknik sendiri nanti. Lagipula, aku juga nggak akan sepenuhnya nyebrang ke Flare & Co
Ranaya dan Sagara langsung bergerak cepat. Dengan raut wajah panik, keduanya mendekati etalase yang kini menjadi sorotan orang banyak.“Sebentar, tenang dulu,” ucap Sagara kepada semua orang saat di dekat perempuan yang berteriak tadi. “Maaf, bolehkah saya memeriksa cincin itu?”Tangan kanan Sagara terulur sopan kepada aktris yang cukup ternama tersebut. Perempuan yang diajak bicara secara spontan melepas cincin yang tersemat di salah satu jarinya, lantas menyerahkan kepada Sagara dengan ekspresi kecewa.Sagara mengamati cincin itu dengan teliti. Mata tajamnya yang bagai elang memeriksa hingga detail. Dari setiap lekuk, permata, bahkan berlian memang menyerupai desain mereka.Tetapi … tunggu dulu. Perlahan keningnya menimbulkan kerutan. Ada yang aneh di sini.“Ini sepertinya bukan berlian kita, Ran,” gumamnya pelan dengan rahang mengeras. “Coba lihat dulu.”Tangan Sagara menyodorkan benda berkilau tersebut kepada Ranaya yang sudah pucat pasi. Kini cincin yang dimaksud sudah beralih di
"Belcelai? Kayak yang dilakukan Mama dan Om Papa, dong?"Ucapan Radeva yang polos menggema di udara seperti petir di siang bolong. Sepanjang koridor apartemen itu seketika hening.Ranaya, Sagara, dan Tantri sama-sama tercekat. Tatapan mereka membeku, lantas saling bertaut satu sama lain, seperti mengandung beragam rasa yang tak mampu diutarakan masing-masing.Sagara tampak menahan napas. Ranaya kaku. Sementara itu, Tantri susah payah menelan salivanya."Eh, kita masuk aja yuk!" ajak Tantri tiba-tiba, berusaha memecah suasana yang mendadak tegang. Tangannya langsung menggamit lengan Ranaya dan Radeva sekaligus, kemudian menarik mereka ke dalam apartemen.“Nggak enak dilihatin tetangga kalau ngobrol di lorong kayak gini,” kilahnya sedikit memaksakan tawa yang tersembur samar.Mau tak mau, Ranaya dan Radeva mengikuti langkahnya. Sagara menyusul pelan dari belakang. Jujur, pikirannya masih terpaku pada celetukan anak itu tadi. Ia tak menyangka jika Radeva masih mengingat kata “bercerai” y
[Subject: Hasil Pemeriksaan DNA antara Sdr. Sagara Wiratama dan An. Radeva Elvano AtmajaKepada Yth.Bapak Sagara Wiratamadi TempatDengan hormat,Bersama email ini, kami sampaikan hasil resmi pemeriksaan DNA yang telah dilakukan oleh Laboratorium Genetika Klinik GenLab Diagnostics terhadap sampel biologis Bapak Sagara Wiratama dan anak atas nama Radeva Elvano Atmaja.Berdasarkan analisis 24 lokus genetik yang diperiksa, diperoleh hasil kecocokan biologis 99,9999%, yang secara ilmiah menyimpulkan bahwa Sdr. Sagara Wiratama adalah ayah biologis dari An. Radeva Elvano Atmaja.Laporan lengkap dan sertifikat hasil pemeriksaan terlampir dalam bentuk PDF untuk dapat Bapak telaah lebih lanjut.Apabila Bapak membutuhkan informasi tambahan atau klarifikasi lebih lanjut terkait hasil ini, silakan menghubungi kami melalui kontak yang tersedia.Demikian kami sampaikan. Terima kasih atas kepercayaan Bapak terhadap layanan kami.Hormat kami,Dr. Antonius Setiawan, Sp.AndKepala LaboratoriumGenLab
Untuk beberapa waktu, Andra bergeming. Bola matanya bergerak sewaktu mengamati Sherly. Namun, gurat wajahnya tampak tenang seperti permukaan air tanpa adanya hantaman gelombang.“Maka … saya akan tetap ada di sini membantu kamu, sampai kamu tahu bahwa kamu bisa, Sherly,” ungkapnya.Sherly memandang Andra dengan tatapan yang sulit percaya. Rahang perempuan itu terlihat keras. Lagian, siapa yang bisa dipercayai lagi olehnya? Bahkan sekarang ia juga meragukan diri sendiri kalau ia pantas dicintai.Satu-satunya tempat nyaman untuk pulang, yaitu Mayang yang merupakan ibu kandungnya sendiri pun sudah mengkhianatinya dengan semudah itu.Apalagi … pria asing yang kini sedang duduk berhadapan dengannya?Sherly kembali menyunggingkan senyum tipis yang penuh keraguan. Ia tentu saja menyepelekan peran seorang pria muda yang belum berpengalaman baginya. Ditambah usia pria tersebut masih seumuran dengan sosok yang turut menyumbang rasa depresinya.“Aku tetep nggak percaya,” papar Sherly to the poin
Tangan Rio bergerak pelan. Jari-jarinya menyentuh lembut ujung bibir Ranaya, mengusap sisa saus yang tertinggal di sana. Mata elang Sagara membulat sempurna. Tubuhnya menegang. Darahnya terasa mendidih saat itu juga.Tangannya langsung bergerak cepat menampar cangkir espresso yang ada di depannya hingga terguling. Sontak cairan hitam pekat itu tumpah dan sebagian besar mengenai lengan Rio. Sontak Rio segera menarik tangannya dari bibir Ranaya.“Argh! Panas! Panas!” teriak Rio sambil refleks berdiri, tangannya menggeliat dan segera membuka kancing lengan kemejanya. Ia meniup dan mengibas-ngibas tangan itu dengan panik.Ranaya pun langsung berdiri untuk turut membantu. “Rio?! Kamu nggak apa-apa?” Suaranya meninggi. Matanya membesar.Menyaksikan kehebohan itu, Sagara hanya duduk diam. Tapi rahangnya mengeras.“Gila, kamu sengaja, ya?!” Rio membentak, tatapannya tajam menuding ke arah Sagara.Sagara membalas dengan sorot mata dingin. “Kamu jangan asal nuduh kalau nggak tahu apa-apa,” kata
Langkah-langkah kaki berdetak mantap di lantai pabrik yang dingin, menggema lembut di antara deru mesin produksi perhiasan yang tak henti berdengung. Ranaya masih berdiri di depan mesin cetak berlian. Kini pandangannya tertuju kepada satu arah di mana sosok itu melangkah menghampiri. Tubuh Ranaya menegang, tapi bukan bunyi mesin atau hasil produksi yang menyebabkannya.“Gimana proses produksinya? Lancar, kan?”Suara itu. Suara bariton dengan tone menenangkan tapi cukup untuk membangunkan kenangan-kenangan lama yang tak pernah benar-benar padam. Apalagi malam itu, di mana ia dan pria tersebut nyaris berciuman.Ranaya perlahan mengerjapkan mata. Di balik cahaya pagi yang menembus jendela besar pabrik, berdiri Sagara dengan kemeja putih yang lengannya digulung sebatas siku. Kedua tangan pria tersebut tenggelam dalam saku celana hitamnya.Sorot mata elang Sagara tajam, sialnya pria itu masih saja tampan di pandangan Ranaya.Tetapi, kemudian Ranaya menegakkan kepalanya. Ia sudah berprinsi