Dypta sudah menunggu di depan rumah dengan Rogen saat Audry muncul. Lelaki itu tampak sedang termenung. Sebatang rokok terselip di antara jari-jemarinya."Dyp ..."Dypta tersentak ketika Audry menyentuh pundaknya. Ia langsung menoleh. "Udah selesai, Yang?"Audry menganggukkan kepala."Bentar ya, aku pesan taksi dulu."Dypta membuang rokok kemudian menggulir menu di ponselnya.Selagi menunggu taksi datang, mereka duduk menanti di dekat pos sekuriti penjaga rumah.Audry dan Dypta sama-sama diam. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Sedangkan anak-anak bermain berdua.Tania mengajari Rogen berjalan dengan membimbing tangan adiknya itu. Saat Rogen tersandung dan hampir terjatuh, Tania dengan sigap menyambut tubuhnya. Audry dan Dypta tersenyum haru melihat anak mereka. Meski keduanya bukan saudara kandung namun mereka saling sayang satu sama lain."Mas Dypta, saya mau bicara sebentar." Tiba-tiba Dana datang menghampiri keduanya."Iya, Pak," sahut Dypta datar. Dypta sudah kehilangan
Hari ini Audry dan Dypta mengemasi barang-barang. Dypta sudah mendapat rumah kosong yang pas untuk ditempati berempat. Walau tidak terlalu besar tapi jauh lebih luas dari sebelumnya. Anak-anak juga jadi memiliki ruangannya sendiri.Wulan yang ikut membantu nampak sedih karena akan berpisah dengan Dypta.“Cemberut aja, Lan, ada masalah?” tegur Dypta yang menyadari perubahan ekspresi Wulan.“Ulan sedih, Bang,” jawab Wulan jujur.“Sedih kenapa? Diputusin pacar? Sedih sih boleh aja tapi jangan sampai bunuh diri ya.”“Ih, Abang, bukan ituuu …” Gadis itu memberengut. “Ulan mana punya pacar.”Dypta tertawa pelan. ”Jadi sedih kenapa dong?”Wulan mengangkat wajahnya, lantas menatap Dypta dengan tatapan yang begitu dalam. “Ulan sedih karena Bang Dypta mau pindah.”“Emang kenapa kalo Abang pindah?”“Ulan jadi nggak bisa ketemu Abang lagi.”“Siapa bilang? Masih kok. Kita masih bisa ketemu di resto.”Dypta sudah memutuskan tetap mempekerjakan Wulan bersamanya. Gadis muda itu berjasa begitu banyak
Audry tidak pernah menyangka semua yang terjadi dalam hidupnya begitu mengejutkan. Setelah lika-liku kisah kehidupannya yang pahit, pada akhirnya ia sampai pada titik yang diinginkan setiap manusia.Di saat Audry berbahagia, orang-orang yang selama ini menjahatinya mendapat cobaan bertubi-tubi. Mulai dari Jeff hingga Nora dan Inggrid. Inggrid akhirnya diamputasi. Kakinya tak tertolong lagi.Audry tidak tahu bagaimana perkembangan terakhir Jeff karena ia memilih fokus pada kehidupannya yang baru dengan Dypta.Operasi kedua Rogen sudah selesai dilakukan lebih tepatnya awal bulan ini atau dua minggu yang lalu. Mereka memutuskan operasi dilakukan sebelum Rogen merayakan ulang tahun yang pertama. Rogen baru akan memperingati hari lahirnya beberapa hari lagi.Sementara itu Dypta sudah disibukkan dengan usaha lamanya namun dalam kemasan baru. Mereka pun sepakat memberi merek dagang usaha mereka yaitu DFC. DFC bukanlah Dypta fried chicken melainkan Delicious Fried Chicken.Sesekali Audry data
"Ada peristiwa apa, Bu? Kami sudah lama nggak ke sini." Dypta mewakili Audry berbicara.Ibu-ibu itu saling sikut hingga akhirnya pemilik warung memutuskan untuk memberitahu."Kamu benar Riry?" tanyanya sambil memindai sosok Audry dari puncak kepala hingga ujung kaki. Penampakan fisik Audry dan penampilannya membuat perempuan itu pangling."Iya, Bu. Saya adalah Riry atau Audry. Orang tua saya baik-baik aja kan, Bu?" kejar Audry tidak sabar. Perasaan khawatir mulai melingkupi seluruh diri. Ia mengencangkan doa di dalam hati demi kebaikan kedua orang tuanya."Sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu, tidak lama setelah anak gadisnya pergi dan menikah dengan orang kota, terjadi kebakaran besar di rumah Pak Harlan, tepat tengah malam di saat semua orang sedang tidur. Pak Harlan, istri dan anak-anaknya ikut terbakar."Sekujur tubuh Audry mendadak lemas. Lututnya goyah, wajahnya berubah pucat pasi saat mendengar penuturan dari pemilik warung."Yang, yang kuat," bisik Dypta. Ia langsung menyan
Audry dan Dypta akhirnya tiba di rumah setelah perjalanan panjang yang melelahkan.Anak-anak terlihat penat. Keduanya langsung terkapar. Ini adalah perjalanan darat terjauh mereka.Audry ikut membaringkan badan. Selain lelah ia juga digerogoti kesedihan yang mendalam. Rasa sedihnya tak habis-habis yang membuatnya terbunuh rasa bersalah. Kenapa ia tidak mengetahui jika keluarganya telah lama tiada? Satu pertanyaannya kini, apa Jeff mengetahui semua itu?Meskipun Audry sudah putus hubungan dengan keluarganya, tapi setidaknya Jeff memberitahu jika mereka sudah berpulang.Dypta masuk ke kamar dengan membawa nampan berisi sepiring nasi dan segelas teh hangat. Setelah meletakkan di nakas, ia duduk di tepi ranjang sambil membelai kepala Audry yang berbaring memunggunginya.“Yang, makan dulu yuk.”Tidak ada respon dari Audry. Air matanya kembali menitik ketika teringat orang tua dan adik-adiknya yang telah tiada.“Kamu belum makan dari tadi, Yang, nanti kamu bisa sakit. Aku suapin ya?”“Aku n
Welcome to Toronto.Setelah penerbangan panjang melelahkan lebih dari dua puluh empat jam, akhirnya Dypta, Audry, Tania serta Rogen tiba di Toronto. Toronto merupakan salah satu kota besar di Canada. Di kota itulah Dypta menghabiskan sebagian besar usia dewasanya.Mereka pergi meninggalkan semua masalah di Indonesia. Meninggalkan semua duka, luka, dan air mata.Pengakuan Jeff yang didengar Audry dan Dypta merupakan titik kulminasi dari segalanya. Namun keduanya memutuskan untuk membuang benci serta dendam dan menggantinya dengan kata maaf.Toronto membuat mereka terdistraksi padahal mereka baru beberapa jam di sana.Tania adalah yang paling antusias dengan perjalanan mereka. Tania tidak berhenti bertanya tentang apa saja yang menarik perhatiannya. Mulai dari kenapa di pesawat tidak boleh menelepon, kenapa mereka harus transit berjam-jam, dan masih banyak lagi pertanyaan kenapa.Dengan sabar Dypta menjawab dan menjelaskan semua pada Tania. Dypta yang begitu kebapakan membuat Audry meng
Pagi ini Dypta, Audry serta anak-anak terbang ke Montreal. Montreal merupakan ibu kota Quebec, sebuah provinsi di Canada. Di sanalah kedua orang tua Dypta tinggal.Montreal merupakan kota terbesar kedua di Canada sekaligus juga kota terbesar nomor satu di provinsi Quebec. Selain itu kota tersebut juga terkenal dengan hutan maple dan autumn wood-nya.Setibanya di Montreal, dari bandara, Dypta langsung membawa Audry dan anak-anak ke rumah orang tuanya.Semakin dekat jarak mereka, Audry tak kuasa menenangkan perasaan. Audry harap nanti orang tua Dypta benar-benar bisa menerimanya dan anak-anak. Semoga orang tua Dypta tidak seperti orang tua Jeff."Kamu nervous, Yang?" Dypta menggenggam tangan Audry yang duduk di sebelahnya."Bangeeeett," jawab Audry setelah memandang Dypta. Gimana mungkin Audry nggak gugup jika ini adalah pertemuan pertamanya dengan calon mertua.Dypta tersenyum lalu menenangkan Audry, meyakinkan jika semua akan baik-baik saja."Mama orangnya baik kok, kamu nggak bakal
Gista seketika terdiam. Ia tidak sanggup menjawab pertanyaan itu, karena dulu kisahnya jauh lebih pelik. Tapi siapa sangka jika kisah cinta anak lelakinya ternyata juga akan serumit ini. Gista sungguh tak ingin bagian kisah cintanya yang pahit akan terulang kembali pada putra putrinya."Cinta nggak salah, Dyp, tapi-" Gista menggantung ucapannya saat melihat Devan, suaminya keluar dari kamar. Hari itu Devan memang berada di rumah.Devan tentu terkejut ketika mengetahui keberadaan Dypta di sana. Baru dua puluh empat jam yang lalu ia dan sang istri membicarakan sang putra yang pergi dari rumah. Lelaki itu sangat merindukannya. Namun secepat itu juga harapannya terkabul."Dev, Dypta sudah pulang," beritahu Gista pada lelaki itu.Devan mengangguk singkat lantas melintas begitu saja tanpa berkata apa-apa."Ma, Papa masih marah ya sama aku?" tanya Dypta melihat reaksi yang ditunjukkan sang ayah.Gista hanya bisa mengembuskan napas panjang. Ia ikut meninggalkan Dypta di sana lalu menyusul sua
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama