Sinar matahari pagi menerobos masuk dari balik gorden dan menerpa tepat di wajah Tania. Membuatnya mengerjapkan mata berkali-kali lantaran merasa tidak nyaman.Tania hendak membalikkan badannya ketika terasa ada yang menghalanginya. Namun rasa remuk di sekujur tubuhnya membuatnya jadi susah bergerak. Semua diperparah oleh perih yang menusuk di bagian bawahnya.Sementara itu di sebelah Tania Gatra masih pulas dalam lelap. Tangan kirinya semalam Tania jadikan bantal, sedangkan sebelah yang lain melingkari tubuh Tania dengan erat. Pelan-pelan Tania menepis tangan Gatra darinya. Tania menjaga gerakannya seperlahan mungkin agar tidak membuat Gatra terbangun. Wajah lelah Gatra membuat Tania jadi tidak tega.Tania meringis ketika bergerak dan mencoba untuk turun dari ranjang. Saat menurunkan pandangan dan memindai tubuhnya sendiri, Tania menemukan jejak Gatra di mana-mana. Gatra meninggalkan bukti kepemilikan nyaris di sekujur tubuh Tania. Bekas-bekas kemerahan itu sekarang menjadi kebiruan.
Selagi Tania beristirahat Gatra mandi dan membersihkan diri. Setelah rutinitas bersih-bersih itu selesai, Gatra menyiapkan sarapan untuk Tania. Dalam beberapa menit dua cangkir teh manis hangat serta dua tangkup roti tawar dengan selai coklat hazelnut siap untuk disantap.Gatra kemudian ke kamar membawa nampan berisi roti dan cangkir teh serta sebutir pil penurun panas.Tania masih berbaring lemah di ranjang. Sepasang matanya tertutup rapat. Duduk di pinggir ranjang, Gatra menyentuh dahi Tania. Ternyata masih hangat seperti tadi.“Ta, duduk dulu yuk, sarapan terus minum obat.”Perlahan Tania membuka matanya dan melihat Gatra sudah rapi dan segar. Rambut hitam lurusnya tampak setengah basah.“Masih pusing, Ta?”“Sedikit,” jawab Tania parau. Rasa berat di kepalanya seakan menjalar ke seluruh tubuh dan membuat bagian yang lain ikutan sakit.“Sarapan dulu ya, nanti baru minum obat biar agak mendingan.”Tania menurut. Ia tidak menolak ketika Gatra membantunya duduk lalu menyuapinya roti.
Tania mematut dirinya di cermin. Sepasang mata indahnya memindai sekujur tubuhnya dari puncak kepala hingga ujung kaki. Ia mengesah melihat bekas kemerahan yang ditinggalkan Gatra nyaris di sekujur tubuhnya. Tadi di kamar mandi mereka kembali bercinta. Walau Tania masih sakit, tapi Gatra bilang begini,"Ta, ngelakuinnya harus sering-sering biar sakitnya cepat hilang.""Masa sih, Gat? Bukannya tambah sakit ya?" tanya Tania tidak percaya."Iya, Ta, beneran. Masa aku bohong," jawab Gatra.Dan terjadilah hal-hal yang diinginkan.Lalu Tania mengambil baju di lemari. Ia mengenakan dress tulip kuning selutut. Warnanya yang cerah membuat kulit Tania terkesan bertambah terang. Tania mengernyit menyaksikan mukanya. Wajah cantiknya itu tampak pucat.Gatra yang dari tadi duduk di ranjang memerhatikan Tania kini berdiri dan berjalan menghampirinya. “Mukamu pucat, Ta. Nggak mau ditutupin dikit?” ujarnya sambil memeluk tubuh Tania dari belakang.“Memang kenapa kalo mukaku pucat? Jadi aneh banget ya,
“Pengantin baru kenapa ada di sini? Bukannya honeymoon?” Dypta tersenyum sambil memandang ke arah Tania dan Gatra bergantian.“Kami belum ada rencana honeymoon sih, Pa, apalagi lusa Tata udah mulai ngantor lagi.” Gatra yang menjawab mewakili dirinya dan Tania.“Beneran, Ta? Masa baru nikah udah langsung ngantor?”“Iya, Om. Jatah cuti Tata kan udah nggak ada lagi,” jawab Tania. Waktu trip ke Canada kala itu Tania sudah menghabiskan semuanya. Yang tersisa hanyalah cuti menikah yang diatur terpisah di luar annual leave.Dypta manggut-manggut lantas masuk ke dalam rumah. Audry mengikuti di belakangnya sembari mengajak Tania dan Gatra.Pasangan muda itu saling berpandangan dengan pikiran yang sama tersimpan di kepala mereka. Bagaimana caranya berbicara bertiga saja dengan Dypta sementara ada Audry di sana?“Pa, Papa mau istirahat ya?” Gatra berseru memanggil Dypta sebelum mertuanya itu benar-benar menghilang dari ruang pandangnya.Dypta menoleh ke belakang, “Ada apa, Gat?”“Saya minta wakt
“Aku akan jelasin semua sekarang, tapi tolong sebelum semua selesai jangan ada yang memotong, termasuk Kakak.” Setelah memandang sang istri Dypta mengalihkan tatapannya pada sang putri.Tania menjawab dengan anggukan kepala.“Yang, Gat, jadi begini ceritanya. Malam itu, Papa menjemput Tata ke kelab. Papa dan Mommy cemas karena Tata masih belum pulang. Padahal sebelumnya Tata udah janji kalau acaranya nggak sampai selarut itu. Mommy menyuruh Papa menjemput Tata. Dan ternyata Papa menemukan Tata dalam keadaan mabuk berat. Jujur waktu itu Papa agak kecewa saat tahu Tata melanggar janji.”Tania baru akan memprotes ketika Dypta mengangkat tangan, meminta agar tidak seorang pun memotong pembicaraannya selagi dirinya berbicara.“Awalnya Claudia yang akan mengantar Tata pulang. Tapi karena Papa udah datang, akhirnya Papa yang bawa Tata pulang. Tata yang lagi mabuk berat ngeracau nggak jelas termasuk saat udah berada di mobil, itu adalah puncaknya.”“Puncak apa, Dyp?" Audry menyela meskipun ta
Setelah klarifikasi dari Dypta, hubungan mereka kini membaik. Tidak ada lagi kesalahpahaman di antara mereka. Baik itu di antara Tania dan Dypta, maupun di antara Audry dan Dypta. Mereka sudah membicarakan semuanya secara terbuka dan saling memaafkan satu sama lain. Yang ada tersisa hanyalah rasa lega dan bahagia.Tanpa terasa satu bulan berlalu setelah pernikahan Gatra dan Tania. Tania disibukkan dengan rutinitasnya sebagai pekerja kantoran. Sedangkan Gatra mengisi waktu luangnya dengan bekerja di Tamara Latte. Canggung. Itu adalah hal pertama yang dirasakannya. Bagaimana tidak. Gatra yang biasanya memegang stetoskop kini harus berhadapan dengan cangkir-cangkir kopi dan gelas-gelas minuman. Namun lama kelamaan setelah beradaptasi Gatra mulai terbiasa. Hingga detik ini Tania tidak tahu dari mana Gatra belajar cara menggunakan mesin kopi dan membuat espresso. Sedangkan Gatra masih enggan memberitahunya dan merahasiakan pada Tania.Jika dulu setelah pulang kerja Tania akan langsung ke
Gatra membantu memijit tengkuk Tania yang masih memuntahkan hampir seluruh isi perutnya. Ketika semuanya pindah ke lantai kamar mandi, Tania terkulai lemas. Seumur hidup baru kali ini Tania muntah parah seperti sekarang.Setelah Tania selesai membersihkan mulutnya, Gatra memapahnya ke kamar dan membaringkannya di ranjang. Gatra menaikkan suhu pendingin ruangan di kamar mereka agar tidak terlalu dingin.“Gimana rasanya sekarang?” tanya Gatra sambil meletakkan tangannya di pundak Tania.“Masih lemes, Gat, pusing sama mual,” jawab Tania lemah.“Aku bikinin teh hangat bentar ya, kamu tunggu di sini dulu.” Gatra keluar dari kamar sebelum mendengar jawaban Tania.Tinggal sendiri, Tania meringkuk memeluk guling sambil mengingat-ingat apa ada salah makan sesuatu. Seingatnya ia makan biasa-biasa saja. Tadi pagi sarapan oatmeal, siangnya di kantor makan soto daging di lantai dasar. Terakhir makan cheese cake di cafe serta beberapa potong kentang beku yang tadi digorengnya. Tidak ada yang aneh.
Seperti yang sudah diprediksi, Audry dan Lena begitu bahagia ketika Gatra memberitahu mengenai kehamilan Tania. Keduanya banyak memberi nasihat dan berbagi pengalaman mereka saat hamil di masa muda dulu. Hanya saja mengenang masa silam bukanlah hal yang menyenangkan bagi Audry.“Kakak beruntung memiliki suami seperti Gatra. Dulu Mommy cuma sendiri. Papi nggak peduli pada apapun yang Mommy rasakan. Mau Mommy muntah sampai tepar, mau Mommy nggak bisa bangun, Papi nggak pernah ada buat Mommy. Dia sibuk kerja,” kata Audry mengenang kembali masa-masa suram itu. Audry terpaksa menceritakannya pada Tania bukan karena ingin menjelek-jelekkan Jeff, tapi karena tadi sang putri memintanya berkisah tentang pengalamannya dulu. Tania diam saja. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya karena ia juga bingung bagaimana cara mengomentarinya. Tania bisa merasakan bagaimana perasaan Audry kala itu. Dan mau tidak mau Tania membandingkannya dengan kehidupannya saat ini. Segaris senyum terkembang di bi