“Kamu masih bilang tidak mau ikut campur. Jangan-jangan bukan kamu yang menghasut Hendri?” Gabriana yakin Claire yang telah menghasut Hendri. Sebab Hendri yang dulu tidak mungkin akan menolak semua permintaannya.Claire berdiri di hadapan Gabriana dengan tersenyum tipis. “Nek, manusia bisa berubah. Kenapa kamu nggak berpikir, kenapa Hendri memilih untuk meninggalkan Kota Jimbar dan memilih untuk hidup mandiri?”Gabriana terbengong sejenak. Mana mungkin dia tidak pernah memikirkan persoalan itu?Saat Hendri mengatakan dirinya ingin mengembangkan kariernya di ibu kota, mereka juga sudah menyetujuinya. Ditambah lagi, bukankah hal buruk jika Hendri datang mencari Claire. Namun siapa sangka Hendri malah tidak pulang-pulang selama beberapa tahun ini. Jadi, bagaimana mungkin Gabriana tidak mencurigai semua ini adalah hasil hasutan Claire?“Kamu jangan omong kosong sama aku. Semua hal yang melibatkanmu pasti bukan hal bagus. Asal kamu tahu, sekarang kamu sudah menikah, kamu sudah bukan anggota
Melia menyimpan rekaman video itu. “Astaga, ada pemerasan di sini. Kamu malah ingin bawa anak harammu dengan lelaki lain untuk menjebak adik iparku?”“Siapa adik iparmu? Apa kamu gila!” Yolana berdiri, lalu berjalan ke sisi Melia hendak merebut ponselnya. Melia langsung menyembunyikan ponselnya.“Adik iparku itu adalah Hendri yang kamu sebut tadi.” Melia menarik kerah pakaian Yolana, lalu tersenyum sinis. “Padahal kita sama-sama wanita, apa kamu bisa jaga harga diri seorang wanita? Ini pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang begitu memalukan.”“Kamu ….”“Kamu apa kamu! Gagap? Nggak bisa bicara lagi? Asal kamu tahu, aku paling nggak suka sama wanita yang kerjaannya peras uang lelaki saja. Memangnya kamu itu pengemis?”Wajah Yolana tampak pucat. “Apa katamu?”Tamu lain melihat ke sisinya.Pada saat ini, manajer kafe datang. “Maaf, Nona. Kata Bos, dia tidak menyambut kedatangan kalian. Mohon segera tinggalkan tempat ini.”Saat Melia hendak mengatakan sesuatu, manajer kafe langsung m
Si lelaki tersenyum datar. “Sepertinya adikmu punya seorang kakak yang baik.”“Hubungan kami biasa saja.” Melia menunduk melihat jam tangan sekilas. “Aku masih harus ke perusahaan. Aku pamit dulu.”Si lelaki mengangguk.Saat pelayan toko membereskan tempat, tetiba dia memungut sebuah kartu pekerja. “Bos, sepertinya Nona yang tadi meninggalkannya.”Si lelaki langsung melihatnya.[ Direktur Teknik Perusahaan Teknologi Juana: Melia Gozali. ]Pada saat yang sama, Gabriana tiba di resepsionis Agensi Pencari Bakat. Dia ingin bertemu dengan cucunya, Hendri. Resepsionis sudah dipesan untuk mengatakan Hendri sedang tidak ada di tempat.Raut wajah Gabriana langsung berubah. “Mana mungkin dia tidak ada di perusahaan? Ini adalah perusahaan cucuku. Aku itu neneknya. Apa kalian semua tidak tahu diri? Biarkan aku mencarinya.”Karyawan di resepsionis mengangkat kepalanya. “Ibu, kalau kamu membuat onar lagi, aku akan panggil sekuriti.”Baru saja Gabriana ingin memaki, sanak saudara langsung menariknya.
Widya sangat optimis dalam menghadapi hidupnya. Dia tidak menginginkan terlalu banyak, hanya perlu pas-pasan saja. Namanya juga hidup, hanya perlu disyukuri saja.Hendri melirik Widya sekilas. Sebenarnya setelah berhubungan, Hendri baru menyadari sebenarnya Widya adalah wanita yang gampang puas. Kedua matanya juga sangat berkilauan bagai bisa menetralkan kekelaman di dunia ini.Setelah orang-orang masuk ke dunia kerja, jarang ada yang masih bisa mempertahankan sikap polos mereka. Sebab, mereka telah berhubungan dengan banyak orang rumit. Wajar kalau masalah menjadi lebih rumit.Malam harinya, Gabriana dan sanak saudara tidak berhasil menunggu kepulangan Hendri. Setelah menelepon beberapa kali, ponsel masih dalam keadaan tidak aktif. Dengan sangat terpaksa, Gabriana pun menghubungi Riandy.Riandy mengangkat panggilan. Gabriana pun langsung menyalahkannya. Belum sempat Gabriana menyelesaikan omongannya, panggilan pun diputuskan oleh Riandy.“Ayah dan anak ini memang sengaja memancing emo
Melia mendorong pintu, berjalan memasuki kafe. Pelayan sudah pulang kerja, hanya tersisa pemilik kafe sedang memeriksa bon di depan meja. Pencahayaan di dalam ruangan kuning redup. Si lelaki mengenakan kemeja dengan vest di bagian depannya. Dia menggulung ujung kemejanya ke atas, lalu menunjukkan kulitnya. Tali pinggang dan jam tangan yang dikenakan adalah model kuno yang jarang dijumpai di pasaran.Tidak terlihat satu pun barang bermerek di tubuh si lelaki. Semuanya adalah buatan tangan. Penampilannya kelihatan nyaman dan juga segar.Si lelaki mengangkat kepalanya, lalu membuka laci. “Aku kira tadi sore kamu bakal kembali untuk mengambil barangmu yang ketinggalan di sini.”Melia berjalan maju dengan canggung. Dia melihat kartu pekerja yang diletakkan di atas meja. “Maaf sekali. Aku benar-benar nggak sadar kartu pekerjaku ketinggalan di kafemu.”Seingat Melia, dia meletakkan kartu pekerja di dalam tasnya. Dia tidak pernah mengeluarkannya. Jangan-jangan dia menjatuhkannya ketika hendak
Raut wajah Hendri tampak muram. “Nek, tidak masalah kalau kamu tidak suka dengan Kak Claire, tapi kamu tidak boleh memfitnahnya.”Saat Gabriana hendak emosi, Riandy segera mencegatnya. “Ibu, Hendri bawa kekasihnya datang untuk menjengukmu. Kenapa kamu malah marah-marah?”Kekasih?Kedua sanak saudara spontan melihat ke sisi Widya.Widya tersenyum kepada mereka dengan santun. Kemudian, dia menyerahkan buah tangan kepada mereka. “Nek, kamu lagi dirawat di rumah sakit, kamu jangan marah lagi, ya. Sering marah-marah nggak bagus untuk kesehatan. Ini suplemen untuk Nenek.”Gabriana mengamati Widya beberapa saat. Dia berpakaian biasa seperti anak miskin saja. Bisa jadi wanita ini menginginkan harta cucunya. “Apa kerjaan orang tuamu?”Senyuman di wajah Widya langsung menjadi kaku.Gabriana tidak menerima barang pemberiannya, lalu berkata dengan melipat kedua tangannya, “Kalau kamu ingin masuk ke dalam Keluarga Adhitama, kamu mesti adalah putri dari keluarga kaya. Jangan harap wanita biasa seper
“Dia tidak pernah mengajariku mana yang benar dan mana yang salah. Asalkan aku ingin, tak peduli benar salahnya masalah itu, dia akan selalu membantuku. Alhasil, tertanam di benakku, apa pun yang aku lakukan, Nenek pasti akan membantuku.”“Tapi kenyataannya, aku salah. Aku semakin hancur dan menjadi jahat. Aku tidak tahu betapa mengerikan dunia di luar sana. Kalau bukan karena Kak Claire, sepertinya masa depanku sudah hancur.”“Apa kamu tahu kakak kandungku, Lucy? Hanya karena dia adalah seorang anak wanita, nenekku memandang rendah dirinya. Tapi hidupnya sudah hancur lantaran ajaran Nenek. Saat ibuku meninggal, bahkan ketika kakakku mengalami kecelakaan hingga merenggut nyawanya, Nenek tidak meneteskan setetes air mata sama sekali. Di matanya, sanak saudaranya itu jauh lebih penting daripada keluarga intinya.”Hati Widya seketika gemetar. Dia menopang kedua pipi Hendri. “Aku bisa memahami perasaanmu.”Hendri memeluk Widya, lalu membenamkan kepalanya di dalam leher Widya dengan terseny
Gabriana terlalu suka pamer. Mereka sendiri juga bisa merasakannya. Namun kenyataannya, hidup Gabriana biasa-biasa saja.Awalnya mantan menantunya meninggal, disusul dengan kematian putranya, kemudian cucu perempuannya juga telah meninggal. Sekarang cucu perempuan yang satu lagi juga tidak bisa diandalkan. Biasanya, orang tua hanya perlu menikmati hidupnya saja. Namun, Gabriana tidak kelihatan hidup nikmat, mereka malah merasa hidupnya sangat lara.Jika bukan karena Gabriana memamerkan cucunya telah menjadi seorang bos, bahkan mengatakan cucunya pasti akan membantu sanak saudaranya, mereka juga tidak mungkin akan tidak tahu malu pergi ke perusahaan Hendri. Kedua sanak saudara juga sudah malas untuk membuat onar bersama Gabriana lagi. Mereka semua meninggalkan tempat, meninggalkan Gabriana sendirian. Hatinya seketika terasa penat.Izza berdiri di sisi tangga melihat kepergian kedua sanak saudara. Dia mengambil ponselnya, lalu menelepon Claire untuk melaporkan kondisi Gabriana di rumah
“Pertama kali ketemu besan, aku juga tidak tahu harus pakai pakaian apa. Kalau aku berpakaian terlalu formal, nanti kesannya ada jarak di antara kita. Kalau aku berpakaian terlalu sederhana, nanti dikira aku tidak menghormati mereka.”Belasan pakaian Silvia ditumpuk di atas ranjang. Dia masih sedang memilih pakaiannya.Hengky yang sudah mengganti pakaiannya menunjukkan ekspresi tidak berdaya. “Yang penting cocok saja. Aku merasa yang tadi lumayan, kok.”“Oh, ya?” Silvia mengambil terusan panjang berwarna ungu, lalu becermin. “Sepertinya lumayan. Kalau begitu, aku pakai yang ini saja.”Akhirnya Silvia sudah mengganti pakaiannya. Dia merangkul lengan Hengky berjalan keluar istana. Tiba-tiba Silvia kepikiran sesuatu. “Di mana hadiahnya?”Hengky tahu Silvia pasti akan menanyakan masalah ini. Dia pun membuka pintu mobil untuk Silvia sembari tersenyum. “Aku sudah mempersiapkannya. Semuanya ada di bagasi mobil.”Suasana di Vila Laguna saat ini sangat ramai. Daniel dan Dacia sudah tiba. Kemudi
Berwin memelototi Javier. “Dia lagi mengatakanmu, datang tanpa diundang.”Javier tersenyum sembari menatap Cecilia. “Nek, akhirnya aku tahu kenapa kamu tidak menikah dengan Kakek. Sepertinya kamu tidak akan hidup tenang kalau punya suami dengan sikap seperti ini.”“Javier, kamu ….” Berwin merasa marah hingga tangannya gemetar. Cucu sialan! Sialan!Berwin berjalan ke sisi Cecilia. Baru saja dia duduk, Cecilia langsung memelototinya. “Apa aku suruh kamu duduk?”Hati Berwin sungguh terasa penat. Hanya saja, dia tidak bisa mengungkapkannya. Dia terpaksa berdiri, lalu menghela napas ringan. “Cecilia, kamu jangan dengar omong kosong si bocah tengik itu.”“Bocah tengik?” Cecilia tertawa, lalu meletakkan kedua tangannya di atas tongkat. “Apa tidak ada yang tengik di Keluarga Fernando kalian? Cucumu begitu, kamu juga begitu. Kalian sama saja.”Berwin berkata dengan suara keras, “Iya, aku memang tengik. Apa aku sudah boleh duduk?”Benn memalingkan wajahnya. Pundaknya kelihatan gemetar.Javier su
Dulu mereka sering beradu mulut. Sekarang mereka masih saja beradu mulut. Tidak ada habis-habisnya!Daniel pun berkata dengan tersenyum, “Itu berarti hubungan mereka berdua bagus sekali.” Sepertinya Daniel kepikiran dengan Charles dan Dacia, raut wajahnya berubah serius.Saat Charles masih hidup, dia tidak pernah akur dengan Dacia. Sebenarnya semua juga salah Daniel. Seandainya saat kecil, Charles tidak selalu mengikuti istrinya, Charles pasti tidak akan dididik hingga memiliki pemikiran seektrem itu.Dacia tidak memiliki seorang ibu yang baik, juga tidak memiliki abang yang menyayanginya. Ditambah lagi, Daniel juga bukan seorang ayah yang baik.Dulu Daniel sempat berpikir. Meskipun Dacia tidak memedulikannya, apalagi tidak mengakuinya sebagai ayah, Daniel juga tidak akan menyalahkan Dacia.Jessie merasakan ekspresi kecewa dari raut wajah Daniel. Dia berjalan mendekat, lalu berkata, “Paman Daniel, sekarang Dacia dimanjakan oleh Kak Jerry, kamu, dan juga ibuku. Seharusnya kamu merasa ge
Claire membelai rambut Jessie dengan tersenyum. “Ibu paham. Melihat kalian bisa hidup bahagia, Ayah dan Ibu pun merasa tenang.”Siang harinya, Jessie menemani Claire untuk jalan-jalan di taman. Dia merangkul lengan Claire, lalu bertanya, “Ibu, kalian berencana tinggal berapa lama di sini?”Claire bercanda. “Kenapa? Apa kamu ingin kami segera pergi?”Jessie menggeleng. “Bukan.” Usai berbicara, dia bersandar di pundak Claire. “Aku malah berharap kalian bisa tinggal lebih lama di sini.”“Kali ini kami berencana tinggal setengah bulan di sini. Besok ayahmu ingin pergi mengunjungi nenek buyut kalian di rumahnya Paman Benn.”Usai berbicara, Claire membalikkan tubuhnya untuk melihat Claire. “Besok kamu ikut aku untuk bertemu Dacia dan ayahnya. Sekarang Dacia itu menantu keluarga kita. Dia juga sudah melahirkan Jennie buat Jerry. Sudah seharusnya kita bertemu dengan besan.”Jessie mengangguk dengan tersenyum. “Oke, besok aku akan temani Ibu ke sana.”Keesokan harinya, Claire dan Jessie tiba di
Jessie membungkus tubuhnya dengan jaket sembari tersenyum. “Nggak apa-apa. Aku tunggu sebentar lagi.”Ayah dan Ibu akan datang hari ini. Jessie sungguh merindukan mereka. Tidak lama kemudian, tiga mobil sedan mewah melaju ke dalam halaman. Saat Claire menuruni mobil, Jessie langsung berlari ke sisinya. “Ibu!”Claire juga memeluknya dengan tersenyum lebar. “Sebentar lagi kamu akan jadi ibu. Kenapa malah lari-lari?”“Tapi aku rindu banget sama kalian.” Jessie bersandar di dalam dekapan sang ibu.Claire membelai rambut panjang Jessie. “Ibu juga merindukanmu. Setelah tahu terjadi sesuatu sama kamu, Ibu dan Ayah sangat mencemaskanmu.”Javier bersama Jules berjalan menuruni mobil. Dia berdeham ringan. Kali ini, Jessie baru berjalan pergi memeluknya. “Ayah.”Javier mencubit pipinya. “Sepertinya kamu semakin gendut saja. Seharusnya kamu dijaga dengan sangat baik.”Jules pun tersenyum. “Mana mungkin aku akan mengecewakan ayah mertuaku?”Claire mengambil koper dari tangan Javier. “Sudahlah, cuac
Sulivan ingin sekali segera tumbuh dewasa. Ariel melihat dari kaca spion tengah. Kebetulan dia melihat raut wajah kecewa Sulivan. “Sebenarnya kamu nggak usah putus asa. Kamu memang masih kecil, tergolong baru dalam bidang seni bela diri. Orang yang belajar belasan tahun saja belum pasti bisa mengalahkan musuh, apalagi kamu baru belajar kurang dari satu tahun?”Sulivan mencemberutkan bibirnya. Dia tidak berbicara.Ariel pun tersenyum. “Gimana kalau kamu jadikan aku sebagai gurumu saja? Aku pasti nggak akan merugikanmu. Gimana?”Sulivan bersandar di bangkunya. “Lebih baik aku suruh Kak Jody saja.”Senyuman di wajah Ariel langsung terkaku. “Kamu memang nggak imut sama sekali.”Sulivan mendengus, lalu memalingkan wajahnya.Mobil berhenti di depan Kediaman Keluarga Chaniago. Saat Sulivan menuruni mobil, pengurus rumah segera keluar. “Tuan Muda, kamu ke mana saja? Tuan menunggumu di sekolah, tapi kamu tidak keluar-keluar.”Sulivan membuang tasnya di belakang, lalu melewati pengurus rumah. “
Hanya saja, usia bocah ini masih belia, malah ingin mempelajari seni bela diri. Apa dia ingin membela kebenaran?Ariel berjalan ke hadapan mereka berdua. “Kebetulan aku lewat.” Usai berbicara, dia membungkukkan tubuhnya untuk melihat Sulivan. Tangannya diletakkan di atas pundak si kecil. “Kamu masih kecil, tapi sudah berani dalam menegak keadilan. Emm, bagus, aku sangat mengagumimu.”Sulivan menunduk dan tidak berbicara.Pada saat ini, Emiko menarik-narik ujung pakaian Sulivan, lalu berbisik, “Kamu ucapin terima kasih sama Kakak. Dia sudah bantu kita.”Sulivan memang merasa canggung dan juga tidak rela, tapi pada akhirnya dia memaksakan dirinya untuk berterima kasih.Ariel menunduk untuk melihat jam tangan, lalu menegakkan punggungnya. “Sudah malam. Gimana kalau aku antar kalian ….”“Tidak usah. Kami pulang sendiri.”Saat Ariel mendengar jawaban Sulivan, dia langsung berdecak. Kenapa bocah cilik ini sok sekali?Sulivan dan Emiko sedang menunggu taksi di tepi jalan. Ariel pun mengikuti
Sulivan mendekatkan jam tangan pintarnya ke depan bibirnya. “Pak Polisi? Ada yang bertengkar di sini.”Si Rambut Merah langsung maju. “Dasar bocah tengik! Beraninya lapor polisi!”Belum sempat Sulivan merespons, dia pun didorong si Rambut Merah hingga jatuh ke lantai. Tas sekolahnya pun jatuh di lantai.Sulivan sungguh merasa geram. Dia berdiri hendak membalas gadis itu. Namun, dia tidak sanggup mengalahkan kekuatan perempuan yang sudah berusia 16 tahun, apalagi mereka beranggotakan banyak orang.Si Rambut Merah menggulung lengan pakaiannya ke atas. “Dasar bocah tengik! Malah berani melawan! Aku akan beri pelajaran kepadamu hari ini.”Saat si Rambut Merah hendak maju, tiba-tiba Emiko memeluknya dari belakang. Kemudian, Emiko menjerit ke sisi Sulivan, “Kenapa malah bengong? Cepat pergi.”Orang di samping si Rambut Merah langsung menendang Emiko. Emiko terjatuh. Telapak tangannya membentur anak tangga dan terluka.“Kak Emiko!”Si Rambut Merah langsung menarik kerah pakaian Sulivan. “Tern
Javier meletakkan majalahnya, lalu melihat Jennie yang sedang menangis di dalam keranjang bayi. Tidak terlihat ekspresi gusar di wajahnya. “Dasar bocah cilik, sepertinya kamu lagi permainkan aku?”Steven sedang berjalan menuruni tangga sembari memegang botol termos. “Dalam soal menjaga anak, kamu bahkan kalah daripada kakekmu.”Setidaknya Berwin bisa membujuk si kecil hingga tidak menangis lagi.Javier menggendong Jennie. “Bukannya kamu juga tidak bisa membujuk Jennie? Kita itu sebelas dua belas.”Steven merasa kesal dan tidak berbicara lagi.Saat ini, Jennie masih saja menangis. Suara tangisnya malah semakin kencang lagi.Javier memegang popok Jennie. Sepertinya dia telah buang air besar. Javier pun menyuruh pelayan untuk menggantikan popok Jennie. “Memang sudah saatnya ayahnya pulang.”Steven sedang minum air. Dia pun tertawa. “Siapa suruh kamu tidak ikut serta dalam tumbuh kembang ketiga anak kembarmu? Rasakan!”Tiba-tiba Steven kepikiran sesuatu, dia langsung duduk di sofa. “Entah