Widya dan Hendri berjalan ke dalam aula. Saat mendorong pintu, Widya spontan menunduk berusaha mengabaikan tatapan mereka.Para hadirin melihat ke sisi mereka. Claire berjalan ke sisi mereka, lalu melirik mereka sekilas dengan tersenyum. “Kalian ke mana?”Widya mengepal erat tangan gugupnya. “Bu Claire, sepertinya … aku sudah merepotkan kalian semua.”“Apanya yang repot? Nggak repot, kok.” Baru saja Claire hendak meneguk alkohol, tetiba tatapannya tertuju pada aksesori di atas rok. “Bunga ini cantik juga.”“Hendri melipatnya untuk menutup noda alkohol. Dijahit langsung di tempat.” Setelah menjelaskan, wajah Widya semakin merona lagi. Claire pun tersenyum, lalu menatap ke sisi Hendri. “Sepertinya kelak Hendri akan sangat menyayangi kekasihnya.”Jantung Widya berdegup kencang. Dia bahkan tidak berani mengangkat kepalanya.Entah sejak kapan Cherry berjalan kemari. Dia merangkul pundak Claire. “Keren, kamu sudah menemukan adik iparmu, ya?”Claire melanjutkan, “Aku juga ingin mencarikan i
“Aku hanya berharap sebelum dia menyelesaikan sekolahnya, dia memiliki tempat untuk berteduh. Anak ini sangat malang. Aku harus bertanggung jawab atas kehidupannya sebelum dia dewasa. Aku mohon, setelah dia dewasa nanti, dia pun bisa hidup mandiri. Aku janji aku tidak akan meminta apa pun dari Keluarga Gozali.”Setelah mendengar ucapan Giselle, Emir merasa sangat terkejut.Bukankah biasanya seorang wanita berharap dirinya akan menerima anaknya? Persyaratan yang diajukan Giselle juga sangat mempertimbangkan diri Emir.Emir memang tidak bisa menerima Giselle tinggal di rumah dengan anak dari mantan suaminya. Dia adalah seorang pebisnis. Dia takut kedatangan Giselle akan memiliki motif lain, apalagi dia juga memiliki anaknya sendiri.Jadi, Emir bertanya langsung pada Giselle, “Apa kamu juga bersedia kalau aku tidak mempublikasikan hubungannya?”Giselle menjawab dirinya bersedia.Emir tersadar dari lamunannya, lalu menatap ke sisi Widya. “Kenapa kamu tidak memanggilku?”Widya terbengong di
Hendri melihat Widya, lalu memperlambat langkahnya.Widya pun menghentikan langkahnya, lalu membalikkan tubuhnya berhadapan dengan Hendri. Senyuman di wajahnya kelihatan sangat cerah. “Tapi aku ingin berterima kasih sama kamu. Aku merasa kamu seperti bintang keberuntunganku saja.”Hendri terbengong sejenak. “Bintang keberuntungan?”“Iya, kamu bisa membawa keberuntungan untuk orang lain.” Widya masih tersenyum.Hendri mengatakan, “Apa iya?” Dia memalingkan kepala melihat ke sisi lain. “Baguslah kalau aku bisa mendatangkan keberuntungan untuk orang lain.”Namun, Hendri tidak bisa mendatangkan keberuntungan untuk Joseph. Ketika menyadari tatapan Hendri berubah muram, Widya berjalan ke hadapannya, lalu menggoyangkan tangan di hadapannya. “Kalau kamu bisa mendatangkan keberuntungan untuk semua orang, bukannya kamu itu Tuhan?”Hendri pun tersenyum.Tiba-tiba Widya tercium sesuatu. Dia pun melihat ke arah datangnya aroma wangi itu. “Sepertinya aku kecium bau satai.”Hendri merangkul pundak W
Jangka panjang ….Jantung Widya berdegup kencang. Kepalanya tidak menuruti perintah, malah langsung mengangguk.Hendri mengecup Widya beberapa kali. Widya memejamkan matanya dengan perlahan. Hatinya bagai tersengat listrik saja.….Beberapa hari kemudian, di Kediaman Gozali.Widya menekan bel. Pelayan yang membukakan pintu. Dia pun bertanya, “Apa ibuku di rumah?”Pelayan mengiakan. Widya berjalan ke dalam ruang tamu. Giselle yang mendengar suara bel langsung menuruni tangga. Dia sungguh terkejut ketika melihat sosok Widya. “Widya?”Widya menggigit bibirnya, lalu tersenyum. “Ibu.”Giselle berjalan ke sisi sofa, lalu menuangkan teh untuknya. “Waktu itu suasana hati Ibu lagi tidak bagus. Ibu tidak menjaga perasaanmu. Widya, Ibu minta maaf sama kamu.”Giselle meletakkan gelas teh ke hadapan Widya. “Ibu tahu kamu sudah dewasa. Tapi terkadang Ibu masih saja ingin mengurusmu. Kamu jangan merasa Ibu cerewet, ya? Ibu tidak menyalahkanmu. Ibu hanya berharap kamu bisa menemukan kebahagiaanmu saja
Sore harinya, Widya berjalan ke area parkiran. Dia mengangkat kepalanya, lalu tampak dua orang rekan kerja masih berdiri di tempat. Widya spontan melihat ke sisi lain. “Kalian masih belum pulang?”Seorang karyawan wanita berjalan ke hadapan Widya, lalu merangkul lengannya. “Widya, temanku baru saja buka toko baru. Gimana kalau kita makan bersama? Aku traktir, deh.”“Iya, ayo pergi bareng. Dua hari ini kamu traktiran terus. Kita nggak boleh cuma terima saja, kan?”Widya sungguh kehabisan akal ketika dihadapkan dengan sikap ramah rekan kerjanya. Dia juga tidak bisa langsung menolak, terpaksa berkata dengan lembut, “Maaf, ya. Malam ini aku ada urusan. Aku nggak bisa ikut.”“Jangan-jangan kamu sudah pacaran?”“Kak Widya, cerita dong sama kita. Sama siapa?”“Boleh ajak kekasihmu juga, kok.”Baru saja Widya hendak berbicara, terdengar suara klakson dari kejauhan. Dia spontan memalingkan kepalanya. Lantaran takut rekan kerjanya memergoki lelaki di dalam mobil, Widya pun segera berpamitan. “Ak
“Nggak ada!” Widya segera menyangkal.Ketika melihat Hendri mencicipi makanannya, Widya langsung bertanya, “Enak?”Hendri mengangguk. “Enak juga.”Widya menopang dagu dengan kedua tangannya. Senyuman di wajahnya semakin cerah lagi. Hendri mengambil sepotong daging meletakkannya di depan mulut Widya. Widya tertegun sejenak, lalu langsung menggigit daging tanpa sungkan.Hari sudah semakin larut.Selesai mereka berdua makan malam, mereka pun duduk di sofa untuk menonton serial drama. Widya sedang memeluk bantal. Saat drama sedang menyiarkan adegan ciuman hangat, dia melirik Hendri dengan penuh hati-hati.Hendri juga memalingkan kepala untuk menatapnya. “Kenapa?”Widya segera mengalihkan pandangannya. “Nggak kenapa-napa.”Ujung bibir Hendri melengkung ke atas. “Apa yang kamu pikirkan?”“Nggak … nggak ada.” Widya merasa gugup. Dia tidak pernah berkencan sebelumnya. Dia tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan sepasang kekasih pada umumnya.Hendri menyandarkan lengannya di atas sofa, lalu me
Widya malah tiba berbicara lagi.Naomi menatap ekspresinya. “Kenapa?”Widya menunduk sembari mengaduk kopinya. “Kita masih belum ada rencana untuk beri tahu orang-orang.”Naomi merasa syok. “Kenapa?”Sebenarnya Widya tidak pernah bertanya kepada Hendri mengenai masalah ini. Hanya saja, jika hubungan mereka diekspos, dia juga takut perusahaan akan mengatakan yang tidak-tidak tentang dirinya. Sebab, pasangannya adalah adiknya Bu Claire.Widya menghela napas dengan tidak berdaya. “Nggak leluasa.”“Apa cowokmu nggak ingin beri tahu orang-orang?”“Bukan juga.”“Atau kamu nggak ingin orang lain tahu identitasnya?”Widya tertegun sejenak. Sepertinya Naomi berhasil menebaknya.Naomi pun tersenyum. “Coba aku tebak, apa cowok itu adiknya Bu Claire?”Widya merasa sangat syok. Dia pun berkata dengan terbata-bata, “Kenapa kamu bisa tahu dia itu adiknya Bu Claire?”“Waktu itu Bu Claire bawa kamu untuk menghadiri acara perayaan adiknya. Kata kakak iparku, ada sesuatu dengan kalian berdua. Waktu itu a
“Iya, dulu kami juga pernah membantu keluarga kalian. Sekarang kamu sudah sukses, kamu malah melupakan kebaikan kami?”Jari tangan Hendri saling bertautan. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu duduk dengan kaki terbuka lebar. “Kalian membantu keluarga kami juga demi mendapatkan keuntungan dari pamanku. Kalian melakukannya juga bukan tanpa mengharapkan imbalan. Ditambah lagi, aku juga tidak akrab dengan semuanya. Kalian juga tidak pernah membantuku. Untuk apa aku membantu kalian?”“Hendri, kenapa kamu berbicara seperti ini?”“Aku tegaskan sekali lagi, aku tidak bisa membantu kalian. Mohon tinggalkan tempat ini.”Raut wajah para sanak saudara tampak muram. Siapa pun tidak menyangka Hendri akan bersikap sesadis ini. Lantaran mereka tidak berhasil mendapatkan keuntungan, mereka juga tidak berani untuk tinggal lama lagi. Dia emosi langsung meninggalkan tempat.Sesuai dugaan, setelah mereka pulang, mereka pun mengadu kepada Gabriana. Gabriana langsung menelepon Hendri untuk memastikan.