"Jangan terlalu kaku begitu, Bu Ana. Oh, iya ini Glenn, sahabat yang aku ceritakan waktu itu," ucap Dewa.Ana menoleh pada Glenn dan tersenyum lalu berkata, "Selamat datang di kediaman Pak Dewa, Pak Glenn."Glenn mengangguk dengan kaku. "Apa kau sudah siapkan apa yang aku minta?" tanya Dewa."Sudah, Pak."Dewa mengangguk senang, "Kalau begitu kau boleh pergi.""Baik, Pak."Sepeninggal Ana, Dewa mengajak Glenn masuk ke dalam sebuah ruang santai yang terletak terpisah dari bangunan utama. Dewa membaringkan badannya ke atas sofa empuk dan berkata, "Oke, aku siap menjawab pertanyaanmu sekarang. Bertanyalah sesukamu!""Siapa kau sebenarnya?""Dewa Airlangga."Airlangga? Sebuah nama asing yang Glenn dengar."Itu nama belakang keluargamu?" tanya Glenn sambil mengernyitkan dahi."Ya, begitulah."Glenn mencoba mengingat-ingat, mencari tahu nama itu di dalam memorinya. Ia jelas tahu nama-nama keluarga pengusaha besar yang cukup tersohor meskipun belum tentu pernah berinteraksi. Namun, setelah
"Tentu saja untuk mencari kesenangan," jawab Dewa.Glenn memutar bola matanya malas dan masih menunggu Dewa melanjutkan kata-katanya. Sadar, ia sedang ditunggu oleh Glenn, Dewa berujar pelan, "Aku tidak sengaja bertemu denganmu. Dan aku bahkan tidak mengenalmu sama sekali, Glenn."Glenn menyipitkan matanya, memandang Dewa dengan begitu teliti hingga akhirnya ia sadar bahwa temannya itu tidak sedang berbohong. Glenn berujar, "Baiklah, sudah cukup.""Hanya itu?" tanya Dewa heran."Ya, lain kali aku akan bertanya. Omong-omong di mana kamarku?""Hm, di sana.""Antar aku ke sana. Aku mau mengistirahatkan badanku yang mau rontok ini rasanya."Dewa mencibir, "Hm, ternyata kau tidak sekuat yang aku pikirkan.""Jangan banyak omong, Dewa Airlangga!" ujar Glenn malas."Siap, Glenn Brawijaya!" balas Dewa tak kalah malas.***"Kau yakin sudah mencari dengan benar, Damar?" tanya Alexander di dalam ruangannya di Barata Inc."Sudah, Tuan Alex. Saya sudah mengerahkan anak buah saya ke seluruh wilayah
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Alexander saat baru memasuki ruang tamunya setelah memberi izin pada pelayannya untuk mempersilahkan Arnold masuk.Pria yang merupakan adik kandung Narendra Brawijaya itu berkata, "Untuk berdiskusi denganmu.""Kau tak perlu melakukannya," ucap Alexander."Tak perlu bagaimana?" tanya Arnold masih bersantai duduk di salah satu kursi di ruang tamu super mewah itu.Alexander mendecakkan lidah dan berkata, "Aku tidak ingin berdiskusi denganmu, apapun masalahnya.""Termasuk tentang Glenn?""Lebih-lebih soal itu!" balas Alexander cepat."Kau belum bisa menemukan titik terang keberadaannya?" tanya Arnold.Alexander dengan malas menjawab, "Aku sepertinya memang terlalu bodoh karena begitu saja mempercayaimu."Arnold menaikkan sebelah aliasnya, memberi tatapan bingung pada pengusaha muda itu, "Apa maksudmu berkata seperti itu?"Masih duduk dan tak mau pindah tempat, Alexander berkata, "Seharusnya aku tak pernah mendengarkanmu dan tetap tidak berusaha
"Kenapa kau ingin menemuiku?" tanya Arnold malas.Narendra tersenyum lebar, "Untuk apa kau menemui Alexander Barata?"Arnold menoleh pada sang kakak dan sama sekali tidak terkejut dengan hal itu. Ia bahkan telah menduganya sehingga ia dengan santai menjawab, "Menjalin hubungan kerja sama dengannya. Kenapa?"Narendra meneliti wajah malas sang adik dan kesal karena tidak bisa menilai apakah Arnold sedang berbohong atau tidak. "Kau yakin berbicara tentang bisnis?" tanya Narendra penuh curiga.Arnold mendengus keras, "Hm. Memang hal lain apa yang bisa aku bicarakan dengannya, Mas?""Entahlah. Siapa yang bisa menduganya? Aku kan hanya bisa bertanya kepadamu," ucap Narendra.Arnold tertawa sinis. Ia benar-benar sangat heran bagaimana mungkin kakaknya itu bersikap seperti tidak tahu apa-apa. Padahal ia tahu betul jika banyak anak buahnya yang dikirim untuk mengawasi setiap gerak-geriknya. Sungguh orang yang sangat menyebalkan, Arnold membatin."Mas, bukankah kau juga mengawasiku dengan ketat
3 tahun kemudian..."Aku sudah dapatkan kerjasamanya, Mas," ucap Arnold.Narendra menyeringai lebar, "Kau memang selalu bisa diandalkan."Arnold mengangguk, "Biasa saja.""Tidak. Kau memang hebat, lebih hebat dariku. Itu kenyataan," ujar Narendra sambil menepuk punggung Arnold pelan.Arnold balas menepuk punggung sang kakak. "Oh, tapi memang Verdict Company agak sulit. Aku harus menggunakan rencana cadangan untuk mendapatkannya, Mas."Narendra manggut-manggut, "Nah, makanya tadi aku bilang kau lebih hebat dariku. Astaga, apa yang akan aku lakukan jika kau tidak ada di sini untuk membantuku."Arnold tertawa kecil, "Sudahlah. Ini memang tugasku kan? Oh, iya. Aku harus kembali ke ruanganku. Ada beberapa hal yang harus aku kerjakan.""Kau benar-benar sibuk. Tapi kau bisa kan makan malam denganku nanti malam? Ayah dan ibu kan belum kembali dari Hongkong. Aneh sekali kalau aku makan sendiri," ucap Narendra."Ya. Aku akan pulang lebih awal. Memangnya kapan mereka akan kembali?"Narendra meli
"Tentu saja yang tidak membuatnya merasakan sakit untuk waktu yang lama, Dan," jawab Narendra sambil menampilkan wajah buasnya.Daniel seketika tertawa renyah. "Oh, kau rupanya sangat murah hati sekali ya Ren. Tidak aku sangka. Padahal hubungan kalian kan cukup buruk."Narendra mempersilakan Daniel untuk duduk di salah satu sofa yang kosong lalu baru membalas perkataan Daniel, "Hm, yah bagaimana pun juga mati dalam kebakaran itu kan sangat menyiksa sekali. Aku tidak tega membayangkan dia tewas dilahap api secara perlahan. Mengerikan."Narendra pura-pura bergidik ngeri tapi ia kemudian tertawa. Sementara itu, Daniel yang sangat mengenal Narendra dengan sangat baik itu tentu saja tidak mempercayai perkataan Narendra.Ia tahu betul Narendra seperti apa. Baginya itu, Narendra adalah seorang iblis yang berbentuk manusia. Ia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya. Menyiksa Glenn dengan cara yang kejam tentu sudah menjadi impiannya sejak mereka masih muda dulu.Ia ingat betul
"Apa yang sedang coba kau lakukan, Dan?" ujar Narendra, tampak tersinggung.Daniel mengamati ekspresi wajah Narendra yang tampak datar dan tidak menunjukkan adanya perubahan emosi yang mencurigakan walaupun hanya secuil. Pria itu pun seketika sadar dan berujar pelan, "Jadi, bukan kau ternyata.""Maksudmu?" tanya Narendra masih menampilkan ekspresi tidak sukanya pada Daniel.Daniel tertawa sebagai sebuah respon dan berkata, "Ah, tidak ada. Sudahlah, bagaimana kalau kita makan siang saja? Apa kau ada waktu?"Narendra yang tidak mau mempermasalahkan hal kecil yang membuatnya kesal itu pun berkata, "Oke. Aku ini pimpinan perusahaan ini. Apa yang tidak bisa aku lakukan?"Daniel bertepuk tangan, "Oh, itu baru Narendra."Narendra mendecak lidah, "Kau ini memuji atau sedang menyindir?""Menurutmu?" tanya Daniel balik.Narendra hanya menggeleng dan segera mengajak teman lama yang sudah lama tidak ia temui itu ke luar ruangannya. Tanpa ia ketahui, Arnold mengamati sang kakak dengan Daniel menj
"Beginikah caramu menyapa sahabatmu yang telah memberimu bantuan yang cukup besar, Glenn Brawijaya?" sahut Dewa dari seberang sana.Glenn mendengus keras, "Kau benar-benar menyebalkan. Tidak bosan mengingatkan aku tentang bantuanmu itu?""Oh iya tentu saja tidak. Hm, anggap saja aku sedang berinvestasi kepadamu jadi kau harus menyenangkan orang yang sudah memberimu modal ini, Glenn," balas Dewa dengan santai.Glenn yakin sekali saat ini Dewa sedang tersenyum menyebalkan di sana.Glenn mendecak lidah, sadar jika sampai kapanpun ia akan kembali diingatkan tentang hutang-hutangnya pada Dewa. Memang benar, tanpa bantuan Dewa, sangat mustahil bagi Glenn untuk bangkit dan mencoba membangun usahanya sendiri dari nol. Selain memberikan modal dalam jumlah yang tidak main-main, Dewa juga membantu dirinya untuk mencari relasi hingga bisnisnya yang ia geluti sekarang itu menjadi pesat berkembang.Dengan kata lain, Dewa memang telah membantu dirinya mengepakkan sayapnya yang sebelumnya patah tak t