"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Alexander saat baru memasuki ruang tamunya setelah memberi izin pada pelayannya untuk mempersilahkan Arnold masuk.Pria yang merupakan adik kandung Narendra Brawijaya itu berkata, "Untuk berdiskusi denganmu.""Kau tak perlu melakukannya," ucap Alexander."Tak perlu bagaimana?" tanya Arnold masih bersantai duduk di salah satu kursi di ruang tamu super mewah itu.Alexander mendecakkan lidah dan berkata, "Aku tidak ingin berdiskusi denganmu, apapun masalahnya.""Termasuk tentang Glenn?""Lebih-lebih soal itu!" balas Alexander cepat."Kau belum bisa menemukan titik terang keberadaannya?" tanya Arnold.Alexander dengan malas menjawab, "Aku sepertinya memang terlalu bodoh karena begitu saja mempercayaimu."Arnold menaikkan sebelah aliasnya, memberi tatapan bingung pada pengusaha muda itu, "Apa maksudmu berkata seperti itu?"Masih duduk dan tak mau pindah tempat, Alexander berkata, "Seharusnya aku tak pernah mendengarkanmu dan tetap tidak berusaha
"Kenapa kau ingin menemuiku?" tanya Arnold malas.Narendra tersenyum lebar, "Untuk apa kau menemui Alexander Barata?"Arnold menoleh pada sang kakak dan sama sekali tidak terkejut dengan hal itu. Ia bahkan telah menduganya sehingga ia dengan santai menjawab, "Menjalin hubungan kerja sama dengannya. Kenapa?"Narendra meneliti wajah malas sang adik dan kesal karena tidak bisa menilai apakah Arnold sedang berbohong atau tidak. "Kau yakin berbicara tentang bisnis?" tanya Narendra penuh curiga.Arnold mendengus keras, "Hm. Memang hal lain apa yang bisa aku bicarakan dengannya, Mas?""Entahlah. Siapa yang bisa menduganya? Aku kan hanya bisa bertanya kepadamu," ucap Narendra.Arnold tertawa sinis. Ia benar-benar sangat heran bagaimana mungkin kakaknya itu bersikap seperti tidak tahu apa-apa. Padahal ia tahu betul jika banyak anak buahnya yang dikirim untuk mengawasi setiap gerak-geriknya. Sungguh orang yang sangat menyebalkan, Arnold membatin."Mas, bukankah kau juga mengawasiku dengan ketat
3 tahun kemudian..."Aku sudah dapatkan kerjasamanya, Mas," ucap Arnold.Narendra menyeringai lebar, "Kau memang selalu bisa diandalkan."Arnold mengangguk, "Biasa saja.""Tidak. Kau memang hebat, lebih hebat dariku. Itu kenyataan," ujar Narendra sambil menepuk punggung Arnold pelan.Arnold balas menepuk punggung sang kakak. "Oh, tapi memang Verdict Company agak sulit. Aku harus menggunakan rencana cadangan untuk mendapatkannya, Mas."Narendra manggut-manggut, "Nah, makanya tadi aku bilang kau lebih hebat dariku. Astaga, apa yang akan aku lakukan jika kau tidak ada di sini untuk membantuku."Arnold tertawa kecil, "Sudahlah. Ini memang tugasku kan? Oh, iya. Aku harus kembali ke ruanganku. Ada beberapa hal yang harus aku kerjakan.""Kau benar-benar sibuk. Tapi kau bisa kan makan malam denganku nanti malam? Ayah dan ibu kan belum kembali dari Hongkong. Aneh sekali kalau aku makan sendiri," ucap Narendra."Ya. Aku akan pulang lebih awal. Memangnya kapan mereka akan kembali?"Narendra meli
"Tentu saja yang tidak membuatnya merasakan sakit untuk waktu yang lama, Dan," jawab Narendra sambil menampilkan wajah buasnya.Daniel seketika tertawa renyah. "Oh, kau rupanya sangat murah hati sekali ya Ren. Tidak aku sangka. Padahal hubungan kalian kan cukup buruk."Narendra mempersilakan Daniel untuk duduk di salah satu sofa yang kosong lalu baru membalas perkataan Daniel, "Hm, yah bagaimana pun juga mati dalam kebakaran itu kan sangat menyiksa sekali. Aku tidak tega membayangkan dia tewas dilahap api secara perlahan. Mengerikan."Narendra pura-pura bergidik ngeri tapi ia kemudian tertawa. Sementara itu, Daniel yang sangat mengenal Narendra dengan sangat baik itu tentu saja tidak mempercayai perkataan Narendra.Ia tahu betul Narendra seperti apa. Baginya itu, Narendra adalah seorang iblis yang berbentuk manusia. Ia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya. Menyiksa Glenn dengan cara yang kejam tentu sudah menjadi impiannya sejak mereka masih muda dulu.Ia ingat betul
"Apa yang sedang coba kau lakukan, Dan?" ujar Narendra, tampak tersinggung.Daniel mengamati ekspresi wajah Narendra yang tampak datar dan tidak menunjukkan adanya perubahan emosi yang mencurigakan walaupun hanya secuil. Pria itu pun seketika sadar dan berujar pelan, "Jadi, bukan kau ternyata.""Maksudmu?" tanya Narendra masih menampilkan ekspresi tidak sukanya pada Daniel.Daniel tertawa sebagai sebuah respon dan berkata, "Ah, tidak ada. Sudahlah, bagaimana kalau kita makan siang saja? Apa kau ada waktu?"Narendra yang tidak mau mempermasalahkan hal kecil yang membuatnya kesal itu pun berkata, "Oke. Aku ini pimpinan perusahaan ini. Apa yang tidak bisa aku lakukan?"Daniel bertepuk tangan, "Oh, itu baru Narendra."Narendra mendecak lidah, "Kau ini memuji atau sedang menyindir?""Menurutmu?" tanya Daniel balik.Narendra hanya menggeleng dan segera mengajak teman lama yang sudah lama tidak ia temui itu ke luar ruangannya. Tanpa ia ketahui, Arnold mengamati sang kakak dengan Daniel menj
"Beginikah caramu menyapa sahabatmu yang telah memberimu bantuan yang cukup besar, Glenn Brawijaya?" sahut Dewa dari seberang sana.Glenn mendengus keras, "Kau benar-benar menyebalkan. Tidak bosan mengingatkan aku tentang bantuanmu itu?""Oh iya tentu saja tidak. Hm, anggap saja aku sedang berinvestasi kepadamu jadi kau harus menyenangkan orang yang sudah memberimu modal ini, Glenn," balas Dewa dengan santai.Glenn yakin sekali saat ini Dewa sedang tersenyum menyebalkan di sana.Glenn mendecak lidah, sadar jika sampai kapanpun ia akan kembali diingatkan tentang hutang-hutangnya pada Dewa. Memang benar, tanpa bantuan Dewa, sangat mustahil bagi Glenn untuk bangkit dan mencoba membangun usahanya sendiri dari nol. Selain memberikan modal dalam jumlah yang tidak main-main, Dewa juga membantu dirinya untuk mencari relasi hingga bisnisnya yang ia geluti sekarang itu menjadi pesat berkembang.Dengan kata lain, Dewa memang telah membantu dirinya mengepakkan sayapnya yang sebelumnya patah tak t
"Wah, kalau itu memang tujuanmu aku sangat mendukungmu. Arnold memang sudah sangat jauh berubah tapi bukankah beberapa orang telah memperingatkanmu soal ini?" tanya Dewa. Glenn tentu saja mengetahuinya dengan sangat jelas, begitu banyak yang dulu telah memperingatkan dirinya tentang darah yang lebih kental dari apapun itu. Hanya saja ia memilih percaya pada Arnold lantaran ia merasa telah mengenalnya sejak lama dan mengira Arnold lebih baik dibanding Narendra. Nyatanya, dugaannya salah besar. Arnold telah membuatnya kecewa dengan menjadi kaki tangan Narendra dan seolah bersekongkol dengannya. "Hm, makanya aku tidak akan pernah segan untuk menghukumnya karena bagaimanapun juga dia bahkan sudah bergabung dengan kakak sialannya itu dan menjalankan perusahaan atas perintah Narendra." Dewa juga memahami hal itu dengan sangat baik sehingga ia tidak bertanya lagi tentang keputusan Glenn yang diambil itu. Setelah percakapan singkat itu, Glenn memutuskan untuk segera menghubungi beberapa p
"Bodoh? Kau pikir aku tidak melakukan apapun? Aku sudah mengirim begitu banyak anak buah ke seluruh Indonesia bahkan juga di luar negeri. Kau sendiri, apa yang kau lakukan untuk Glenn?" tantang Alexander yang tidak terima dituduh seolah dirinya hanya berdiam diri saja.Arnold menjauh dari Alexander dan menatap kesal pada pria yang kini juga sedang dengan menatapnya penuh kebencian. Alexander kini tersenyum mengejek, "Kau bahkan tidak pernah lepas dari kakak tersayangmu itu dan kemana-mana selalu bersamanya. Apa yang sudah kau lakukan? Tak ada, bukan?"Arnold tidak menjawab pernyataan sang pengusaha muda itu."Benar kan apa yang aku katakan? Kau hanya duduk manis di sana dengan alasan ingin menjaga harta yang dimiliki oleh Glenn hingga dia nantinya kembali. Apa kau bodoh?" ujar Alexander membalikkan keadaan.Ia mengambil jeda selama beberapa saat sebelum kembali berkata, "Jika benar dia masih hidup seperti yang kau katakan itu, bagaimana dia bisa kembali jika tak ada yang menemukannya