"Nanti kau akan tahu," jawab Dewa misterius.Karena merasa jika Dewa tak mungkin mau memberinya jawaban, Glenn pun memutuskan untuk tidak lagi bertanya apapun pada seseorang yang telah ia anggap sebagai seorang sahabat itu.Meskipun begitu banyak pertanyaan yang mengganggu pikirannya, Glenn tetap berdiam diri dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun hingga mereka tiba di salah satu ibu kota propinsi di Indonesia. Sebuah kota besar yang baru pertama kali ia datangi, Surabaya."Surabaya?" tanya Glenn heran.Dewa mengangguk, "Ya. Tapi bukan kota ini yang menjadi tujuan kita.""Lalu mana?""Malang," jawab Dewa."Malang?" ulang Glenn.Dewa hanya tersenyum misterius, semakin membuat Glenn penasaran. Setelah sampai di terminal itu, Dewa membawa Glenn untuk berpindah bis yang akan mengantar mereka ke kota tujuan itu."Ayo, Glenn!" ajak Dewa.Glenn masuk ke dalam bis itu dan menunggu sambil mulai bertanya-tanya akan tempat seperti apa yang mereka tuju itu. Setelah sekitar hampir tiga jam berada
"Jangan terlalu kaku begitu, Bu Ana. Oh, iya ini Glenn, sahabat yang aku ceritakan waktu itu," ucap Dewa.Ana menoleh pada Glenn dan tersenyum lalu berkata, "Selamat datang di kediaman Pak Dewa, Pak Glenn."Glenn mengangguk dengan kaku. "Apa kau sudah siapkan apa yang aku minta?" tanya Dewa."Sudah, Pak."Dewa mengangguk senang, "Kalau begitu kau boleh pergi.""Baik, Pak."Sepeninggal Ana, Dewa mengajak Glenn masuk ke dalam sebuah ruang santai yang terletak terpisah dari bangunan utama. Dewa membaringkan badannya ke atas sofa empuk dan berkata, "Oke, aku siap menjawab pertanyaanmu sekarang. Bertanyalah sesukamu!""Siapa kau sebenarnya?""Dewa Airlangga."Airlangga? Sebuah nama asing yang Glenn dengar."Itu nama belakang keluargamu?" tanya Glenn sambil mengernyitkan dahi."Ya, begitulah."Glenn mencoba mengingat-ingat, mencari tahu nama itu di dalam memorinya. Ia jelas tahu nama-nama keluarga pengusaha besar yang cukup tersohor meskipun belum tentu pernah berinteraksi. Namun, setelah
"Tentu saja untuk mencari kesenangan," jawab Dewa.Glenn memutar bola matanya malas dan masih menunggu Dewa melanjutkan kata-katanya. Sadar, ia sedang ditunggu oleh Glenn, Dewa berujar pelan, "Aku tidak sengaja bertemu denganmu. Dan aku bahkan tidak mengenalmu sama sekali, Glenn."Glenn menyipitkan matanya, memandang Dewa dengan begitu teliti hingga akhirnya ia sadar bahwa temannya itu tidak sedang berbohong. Glenn berujar, "Baiklah, sudah cukup.""Hanya itu?" tanya Dewa heran."Ya, lain kali aku akan bertanya. Omong-omong di mana kamarku?""Hm, di sana.""Antar aku ke sana. Aku mau mengistirahatkan badanku yang mau rontok ini rasanya."Dewa mencibir, "Hm, ternyata kau tidak sekuat yang aku pikirkan.""Jangan banyak omong, Dewa Airlangga!" ujar Glenn malas."Siap, Glenn Brawijaya!" balas Dewa tak kalah malas.***"Kau yakin sudah mencari dengan benar, Damar?" tanya Alexander di dalam ruangannya di Barata Inc."Sudah, Tuan Alex. Saya sudah mengerahkan anak buah saya ke seluruh wilayah
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Alexander saat baru memasuki ruang tamunya setelah memberi izin pada pelayannya untuk mempersilahkan Arnold masuk.Pria yang merupakan adik kandung Narendra Brawijaya itu berkata, "Untuk berdiskusi denganmu.""Kau tak perlu melakukannya," ucap Alexander."Tak perlu bagaimana?" tanya Arnold masih bersantai duduk di salah satu kursi di ruang tamu super mewah itu.Alexander mendecakkan lidah dan berkata, "Aku tidak ingin berdiskusi denganmu, apapun masalahnya.""Termasuk tentang Glenn?""Lebih-lebih soal itu!" balas Alexander cepat."Kau belum bisa menemukan titik terang keberadaannya?" tanya Arnold.Alexander dengan malas menjawab, "Aku sepertinya memang terlalu bodoh karena begitu saja mempercayaimu."Arnold menaikkan sebelah aliasnya, memberi tatapan bingung pada pengusaha muda itu, "Apa maksudmu berkata seperti itu?"Masih duduk dan tak mau pindah tempat, Alexander berkata, "Seharusnya aku tak pernah mendengarkanmu dan tetap tidak berusaha
"Kenapa kau ingin menemuiku?" tanya Arnold malas.Narendra tersenyum lebar, "Untuk apa kau menemui Alexander Barata?"Arnold menoleh pada sang kakak dan sama sekali tidak terkejut dengan hal itu. Ia bahkan telah menduganya sehingga ia dengan santai menjawab, "Menjalin hubungan kerja sama dengannya. Kenapa?"Narendra meneliti wajah malas sang adik dan kesal karena tidak bisa menilai apakah Arnold sedang berbohong atau tidak. "Kau yakin berbicara tentang bisnis?" tanya Narendra penuh curiga.Arnold mendengus keras, "Hm. Memang hal lain apa yang bisa aku bicarakan dengannya, Mas?""Entahlah. Siapa yang bisa menduganya? Aku kan hanya bisa bertanya kepadamu," ucap Narendra.Arnold tertawa sinis. Ia benar-benar sangat heran bagaimana mungkin kakaknya itu bersikap seperti tidak tahu apa-apa. Padahal ia tahu betul jika banyak anak buahnya yang dikirim untuk mengawasi setiap gerak-geriknya. Sungguh orang yang sangat menyebalkan, Arnold membatin."Mas, bukankah kau juga mengawasiku dengan ketat
3 tahun kemudian..."Aku sudah dapatkan kerjasamanya, Mas," ucap Arnold.Narendra menyeringai lebar, "Kau memang selalu bisa diandalkan."Arnold mengangguk, "Biasa saja.""Tidak. Kau memang hebat, lebih hebat dariku. Itu kenyataan," ujar Narendra sambil menepuk punggung Arnold pelan.Arnold balas menepuk punggung sang kakak. "Oh, tapi memang Verdict Company agak sulit. Aku harus menggunakan rencana cadangan untuk mendapatkannya, Mas."Narendra manggut-manggut, "Nah, makanya tadi aku bilang kau lebih hebat dariku. Astaga, apa yang akan aku lakukan jika kau tidak ada di sini untuk membantuku."Arnold tertawa kecil, "Sudahlah. Ini memang tugasku kan? Oh, iya. Aku harus kembali ke ruanganku. Ada beberapa hal yang harus aku kerjakan.""Kau benar-benar sibuk. Tapi kau bisa kan makan malam denganku nanti malam? Ayah dan ibu kan belum kembali dari Hongkong. Aneh sekali kalau aku makan sendiri," ucap Narendra."Ya. Aku akan pulang lebih awal. Memangnya kapan mereka akan kembali?"Narendra meli
"Tentu saja yang tidak membuatnya merasakan sakit untuk waktu yang lama, Dan," jawab Narendra sambil menampilkan wajah buasnya.Daniel seketika tertawa renyah. "Oh, kau rupanya sangat murah hati sekali ya Ren. Tidak aku sangka. Padahal hubungan kalian kan cukup buruk."Narendra mempersilakan Daniel untuk duduk di salah satu sofa yang kosong lalu baru membalas perkataan Daniel, "Hm, yah bagaimana pun juga mati dalam kebakaran itu kan sangat menyiksa sekali. Aku tidak tega membayangkan dia tewas dilahap api secara perlahan. Mengerikan."Narendra pura-pura bergidik ngeri tapi ia kemudian tertawa. Sementara itu, Daniel yang sangat mengenal Narendra dengan sangat baik itu tentu saja tidak mempercayai perkataan Narendra.Ia tahu betul Narendra seperti apa. Baginya itu, Narendra adalah seorang iblis yang berbentuk manusia. Ia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya. Menyiksa Glenn dengan cara yang kejam tentu sudah menjadi impiannya sejak mereka masih muda dulu.Ia ingat betul
"Apa yang sedang coba kau lakukan, Dan?" ujar Narendra, tampak tersinggung.Daniel mengamati ekspresi wajah Narendra yang tampak datar dan tidak menunjukkan adanya perubahan emosi yang mencurigakan walaupun hanya secuil. Pria itu pun seketika sadar dan berujar pelan, "Jadi, bukan kau ternyata.""Maksudmu?" tanya Narendra masih menampilkan ekspresi tidak sukanya pada Daniel.Daniel tertawa sebagai sebuah respon dan berkata, "Ah, tidak ada. Sudahlah, bagaimana kalau kita makan siang saja? Apa kau ada waktu?"Narendra yang tidak mau mempermasalahkan hal kecil yang membuatnya kesal itu pun berkata, "Oke. Aku ini pimpinan perusahaan ini. Apa yang tidak bisa aku lakukan?"Daniel bertepuk tangan, "Oh, itu baru Narendra."Narendra mendecak lidah, "Kau ini memuji atau sedang menyindir?""Menurutmu?" tanya Daniel balik.Narendra hanya menggeleng dan segera mengajak teman lama yang sudah lama tidak ia temui itu ke luar ruangannya. Tanpa ia ketahui, Arnold mengamati sang kakak dengan Daniel menj
Narendra tidak mempercayai apa yang sedang terjadi kepadanya, "Glenn, kau-""Bukti yang aku miliki sudah lengkap semuanya dan semua ini berkat bantuan dari adik kesayanganmu. Selain itu, Om Satria kebetulan telah menyerahkan dirinya pagi tadi jadi lebih baik sekarang tidak perlu melawan lagi karena kau sudah tamat," ucap Glenn dengan begitu senangnya.Narendra tentu saja memberontak dan berhasil melepaskan diri dari kedua polisi yang memegang lengannya. Pria muda tersebut kemudian langsung saja menarik Glenn ke arahnya lalu mengeluarkan sebuah pisau yang nyata ia sembunyikan dibalik saku jasnya.Glenn tentu saja tidak pernah menyangka hal itu akan terjadi. Ia pikir ia telah bersiap-siap menghadapi segala hal yang mungkin saja terburuk tetapi nyatanya ia masih melupakan sesuatu sehingga sekarang harus menghadapi kemarahan Narendra yang seharusnya tidak perlu dihadapi.Dewa dan Alexander yang berada di sana sontak memerintah anak buah mereka untuk menyelamatkan Glenn tetapi Glenn memint
"Astaga, kau benar-benar membuatnya takut," ucap Glenn yang tidak bisa tidur apalagi mendengar ketika orang yang berada di dalam kamarnya itu dari tadi masih saja bercolotest seolah dia tidak ada di sana.Clarita menoleh pada pria yang telah membuka matanya secara penuh itu. "Om, Om pasti terganggu dengan suara kami ya?"Glenn tersenyum tipis dan menanggapi, "Ah, Clarita. Kau benar-benar sangat peka sekali, tidak seperti ayahmu yang bodoh ini."Alexander sedikit tersinggung tetapi dia membiarkan sahabatnya itu berbicara seperti itu."Kau benar-benar sudah tidak apa-apa?" tanya Dewa, terdapat kecemasan yang begitu terlihat dengan sangat jelas di mata sahabat Glenn yang satu itu."Kau gila atau bagaimana? Aku baru saja tertembak di perutku dan kau bilang aku tidak apa-apa? Luka tembak tidak mungkin bisa sembuh hanya dalam waktu beberapa jam kan?" omel Glenn.Alexander tertawa meringis mendengarkan ocehan Glenn pada Dewa, ia benar-benar sangat puas terhadap omelan Glenn tersebut."Nah, s
Narendra mendecakkan menatap ayahnya dengan tatapan tidak suka. Pria itu bahkan tidak menutupi jika mungkin dia menganggap ayahnya itu cukup bodoh karena tidak benar-benar menyimak ceritanya dengan benar.Narendra menghela napas panjang sebelum kemudian menanggapi, "Ayah, tidakkah tadi Ayah mendengarkan ceritaku dengan baik?"Satria terbelalak tetapi dia membalas pertanyaan putranya, "Dengar. Peluru itu sedikit meleset tetapi mengenai Glenn. Iya kan?""Hm, itu benar. Peluru itu katanya mengenai perut Glenn dan bukannya jantungnya jadi mungkin dia masih hidup atau bisa saja sedang sekarat. Entahlah, aku tidak mengetahuinya. Anak buahku masih mencarinya di seluruh rumah sakit yang ada di Jakarta ini. Dan aku yakin sekali dia akan segera ditemukan," ujar Narendra begitu senang.Satria mengangguk mengerti. "Jika kau sudah menemukannya, apa yang akan kau lakukan terhadapnya?"Narendra menyipitkan mata, memperlihatkan ayahnya senyumannya yang kejam. "Ayah, apakah sekarang ini Ayah masih har
Alexander dan Dewa menyadari jika di sana masih ada gadis muda yang mendengarkan percakapan mereka yang cukup bisa dikatakan berbahaya dan tidak pantas didengar oleh gadis itu.Dewa seketika berkata, "Oh, Sayang. Maaf, percakapan ini tidak pantas untuk kamu dengar. Ah, Alex. Kita tunda saja percakapan ini daripada putrimu harus mendengar hal seperti itu."Clarita sebenarnya tidak ingin menyerah begitu saja tetapi melihat kedua pria dewasa itu terlihat tidak ingin lagi melanjutkan percakapan mereka mengenai permasalahan tentang aksi balas dendam itu maka ia pun juga tidak bisa lagi bertanya."Kamu mau minum atau mungkin camilan?" tawar Alexander.Clarita dengan segera menggelengkan kepala. "Bagaimana mungkin aku bisa makan dalam situasi seperti ini? Ayolah Ayah, aku bukan gadis berdarah dingin yang tidak mementingkan situasi dan kondisi."Alexander meringis mendengar ucapan putrinya yang begitu mengguncangnya Itu.Dewa sendiri tidak tahan untuk tidak tertawa telan tetapi dia kemudian t
Sang pengawal dengan sangat terpaksa akhirnya menjawab kembali, "Tuan Alex tidak apa-apa dan baik-baik saja tetapi Tuan Glenn baru saja tertembak karena diserang."Clarita langsung saja membungkam mulutnya karena kaget. Tak bisa dipercaya, hanya sangat mustahil sekali pria sekuat Glenn bisa tertembak dan kini nyawanya sedang dalam bahaya di dalam rumah sakit.Clarita terdiam sejenak bingung atas apa yang harus dia lakukan setelahnya.Namun, dia tentu tidak bisa berdiam saja di sana sehingga dia memutuskan, "Aku akan ke rumah sakit."Sang pengawal tentu saja langsung saja menjawab, "Tidak, Nona. Tuan Alexander meminta Anda untuk tetap di rumah dan tidak melakukan apapun. Sebenarnya yang diserang itu adalah Tuan Alex tetapi Tuan Glenn datang untuk menyelamatkannya sehingga yang terkena malah Tuan Glenn.""Iya, Nona. Di luar sana masih begitu berbahaya dan kita juga tidak tahu apakah penyerang itu akan mencari-cari Nona karena anda merupakan putri satu-satunya Tuan Alexander sekaligus ke
Ken, sopir Alexander Barata segera melajukan mobilnya lebih cepat dan berusaha menghindari 3 mobil yang mengejar mereka.Alexander mulai tegang dan kemudian segera menghubungi Glenn dengan cepat. Ia benar-benar sangat beruntung sekali karena hanya dalam dari yang pertama panggilannya telah dijawab oleh Glenn."Kenapa kau-""Kirim bantuan sekarang, Glenn! Aku sedang dikejar-kejar!" ujar Alexander dengan suara yang begitu panik.Glenn yang sedang duduk di atas atap itu segera berdiri dan berkata dengan nada yang juga panik, "Di mana posisimu?""Ah, tidak usah. Aku tahu. Bertahanlah sebentar!" ucap Glenn.Glenn segera membuka aplikasinya dan memerintah dengan cepat, "Susul Alexander!"Beberapa anak buahnya yang telah siap siaga itu pun segera mengambil posisi masing-masing dan Glen ikut ke dalam salah satu mobil itu.Sementara itu, Alexander masih dalam pengejaran dan hampir saja terkena sebuah tembakan saat salah satu orang yang berada di mobil kirinya tersebut melemparkan sebuah tembak
"Ayah bukan saudara kandung dari Paman Andi," ujar Arnold.Narendra menatap adiknya itu dengan tatapan heran tetapi ia masih terlihat begitu bingung.Arnold mengamati ekspresi kakaknya yang tidak ada keterkejutan di sana. Ia pun mulai berpikir jauh, "Ah, jadi Mas juga tahu masalah ini? Tapi kenapa Mas hanya diam saja?"Narendra bertanya, "Dari mana kamu tahu masalah ini?"Arnold mengulas sebuah senyum pada sang kakak. "Tidak penting bagaimana aku tahu tapi fakta jika ternyata kamu juga mengetahuinya itu Cukup membuatku heran.""Kenapa lagi?" tanya Narendra malas."Masih bertanya kenapa? Ini semakin membuat kita itu tidak memiliki hak apapun atas harta itu. Mas, kita tidak memiliki hubungan darah dengan keluarga Glenn. Bisa tidak kamu mengembalikan saja semua yang memang bukan milikmu terhadap Glenn? Apa sedikitpun kamu tidak merasa aneh ketika melakukan apapun pada harta yang bukan milikmu?"Narendra mencibir, "Oke, kita memang tidak memiliki hubungan darah dengan mereka tetapi kita t
Kenyataan itu begitu menampar Satria. Ia pun tidak lagi bisa berkutik lagi ataupun membela putra bungsunya.Narendra melihat ayahnya yang tidak bisa menjawab perkataannya itu pun membuatnya semakin yakin untuk memberi satu pelajaran bagi sang adik."Lebih baik Ayah tidak usah ikut campur masalah ini. Biarkan aku yang menyelesaikannya," ucap Narendra.Satria hanya bisa terdiam di sofa ruang tamu itu, meresapi semua yang terjadi di kehidupannya.Tiba-tiba saja ia bangkit dari tempat duduknya itu lalu berjalan menuju ke sebuah gudang yang terletak di luar ruangan.Gudang itu terpisah dari rumah utama sehingga ia harus berjalan sendirian ke sana dan melarang semua anak buah Narendra untuk menemaninya.Begitu ia masuk ke dalam gudang tersebut, ia segera berjalan mendekat ke sebuah benda yang tertutup oleh kain putih besar.Segera saja ia ambil kain yang menutupi sebuah pigura besar itu. Ia pun kemudian duduk di depan pigura tersebut dengan wajah yang terlihat amat sangat letih.Ia mulai be
"Apa yang Ayah bicarakan itu? Tentu saja aku menyukainya," ucap Clarita menatap ke arah ayahnya dengan tatapan heran.Alexander kembali menyipitkan mata dan menatap putrinya dengan tatapan bingung, "Tunggu dulu, Nak. Yang Ayah maksud itu adalah menyukai layaknya seorang wanita menyukai laki-laki. Seperti itu. Kamu tidak seperti yang Ayah maksud kan?" Mata Clarita membola begitu sempurna usai dirinya mendengar perkataan ayahnya tersebut. Ia kehilangan kata-kata untuk beberapa saat dan kemudian membalas perkataan ayahnya itu dengan cepat, "Maksud Ayah, cinta pasangan? Astaga, Ayah. Yang benar saja. Aku menganggap dia sebagai aku menganggap Ayah. Dia sama saja dengan orang tua keduaku."Mendengar perkataan putrinya, Alexander benar-benar menghela napas dengan lega. Ia tertawa konyol lalu kemudian menyesat minuman yang tidak ia ketahui namanya itu.Minuman khas Korea Selatan yang rasanya asam manis cukup menyegarkan tenggorokannya.Alexander kemudian tersenyum pada Sang Putri, "Ayah bena