“Buatkan aku kopi!" Glenn memerintah.
Fero terbelalak, "Sekarang, Tuan?"
Glenn menatap jengkel, "Kenapa? Kau tidak mau membuatkannya?"
Fero menggeleng cepat, "Tapi ini pukul dua belas malam, Tuan Muda. Kalau Anda minum kopi sekarang, besok Anda akan bangun terlambat. Anda akan-"
"Cerewet. Buatkan saja!" potong Glenn kesal.
Fero melirik cemas ke arah jam dinding tapi ia akhirnya memilih melakukan perintah sang tuan. Ia pun hanya membutuhkan beberapa menit saja menyajikan kopi itu.
Glenn lalu menikmati kopinya sambil berdiri di depan jendelanya dan baru pergi tidur di pukul empat pagi.
Beberapa jam setelahnya, Fero sudah hampir menyerah saat ia tak berhasil juga membangunkan Glenn. Namun, di usahanya yang kedua puluh sembilan, itu membuahkan hasil. Glenn bangun pukul sepuluh.
"Fer, siapkan pakaianku!" titah Glenn.
Sementara itu, di Brawijaya Corporation yang merupakan perusahaan telekomunikasi nomor satu di Indonesia, terlihat Andi Brawijaya sedang duduk mematung di kursinya.
"Kita mulai saja rapatnya!" putusnya kemudian.
"Kita tidak menunggu Glenn, Mas?" tanya Satria, adik Andi Brawijaya yang menjabat sebagai direktur keuangan.
Andi menjawab datar, "Tidak."
"Tapi proyek ini harusnya menjadi tanggung jawab Glenn, Mas," ujar Satria.
Andi bergelut dengan hatinya. Selain malu karena saat ini hanya putranya saja yang belum datang, dia juga luar biasa marah karena lagi-lagi dia tak dianggap oleh sang putra.
Dua jam sebelumnya dia telah memperingatkan putranya itu soal meeting yang harus dihadirinya pagi ini melalui sebuah pesan singkat. Namun, nyatanya putra tunggalnya itu telah mempermalukan dirinya lagi di depan semua dewan direksi perusahaannya.
"Biarkan saja."
Diam-diam Satria tersenyum miring dan memulai meeting itu.
Satu jam kemudian, pintu ruangan itu terbuka. Semua mata sontak menatap ke arah pintu itu dengan tatapan bertanya.
"Maaf, Ayah. Aku terlambat," ujar Glenn saat ia muncul dengan begitu santainya.
Beberapa di antara orang-orang penting itu saling melirik, sementara Andi Brawijaya telah melotot marah pada putranya. "Kau tahu ini jam berapa, Glenn?"
"Sebelas lebih tiga puluh menit," jawab Glenn santai dan ia duduk di kursi dekat sang ayah.
"Apa kau lupa rapatnya dimulai pukul sepuluh?" tanya Andi, berusaha keras meredam amarahnya.
"Tidak."
Andi mengertakkan giginya, "Kalau kau tidak lupa, kenapa kau baru datang sekarang?"
"Karena aku baru bangun jam sepuluh."
Jawaban santai itu sontak membuat Andi semakin murka. Ia pun melempar sebuah map yang berisi file yang sedang mereka diskusikan sebelumnya dengan jengkel ke arah Glenn. Map itu membentur dada Glenn.
Semua orang tersentak kaget. Tetapi Glenn hanya melirik kertas-kertas itu sekilas dan tetap diam tanpa ekspresi.
Andi yang napasnya memburu berkata, "Meeting sudah cukup hari ini!"
Satu per satu dari jajaran direksi itu pun ke luar dari meeting dan kini tinggal menyisakan Andi dan Glenn berdua saja.
"Apa maumu sebenarnya? Katakan pada Ayah!" ujar Andi dengan napas memburu.
"Tidak ada."
Andi berujar, "Apa kau tidak bisa bersikap dengan benar sekali saja? Mau sampai kapan kau akan bertindak seenaknya dan mempermalukan ayahmu seperti ini?"
"Bersikap benar bagaimana, Ayah?" tanya Glenn dengan begitu santainya.
"Bersikap layaknya pria terhormat, Glenn."
Glenn mengangkat alisnya, "Oh, seperti apa itu? Tidak mungkin seperti Ayah kan?"
Sudut alis Andi berkedut. Ia berujar pelan, "Apa maksudmu?"
"Pikirkan saja sendiri!" ujar Glenn.
Ia lanjut berkata, "Meeting-nya sudah selesai kan Ayah?"
Belum sempat Andi bereaksi, Glenn sudah bangkit dari kursinya dan melangkah menuju ke luar ruangan. "Aku pulang dulu, Ayah."
"Pulang bagaimana maksudmu? Kau punya banyak pekerjaan yang harus kau lakukan, Glenn."
“Glenn!” pekik Andi.
Glenn menguap, "Tapi aku ngantuk sekali, Ayah. Aku tidak yakin bisa melakukan pekerjaan dengan benar. Dari pada Ayah marah karena aku melakukan kesalahan, lebih baik aku pulang."
"Glenn, kau tidak bisa seperti ini terus. Glenn-"
"Ayah, perusahaan ini tidak akan bangkrut hanya karena aku tidak masuk kerja kan?"
"Kau-"
"Aku pulang dulu dan sampaikan maafku pada ibu karena aku tak bisa menemuinya dulu," ucap Glenn dengan begitu santainya.
Andi Brawijaya menggebrak mejanya begitu putranya ke luar dari sana.
Dengan tidak sabar dia kembali memanggil Edgar, "Lakukan sekarang juga!"
"Baik, Tuan."
Glenn merasa puas telah membalas sang ayah yang telah mengacaukan pestanya semalam. Dengan senyum yang menghiasi bibirnya, ia berjalan menuju lift tapi senyumnya itu lenyap begitu saja saat ia berpapasan dengan salah satu orang yang tidak ia suka.
"Bersikaplah begini terus, Tuan Muda Brawijaya. Semakin kau berandal, semakin aku senang," ucap Narendra dengan ekspresi senang yang sangat tercetak jelas di wajahnya.
Glenn balas tersenyum sinis, "Seberandal apapun aku, aku tetap pewaris resmi perusahaan ini."
"Jangan terlalu percaya diri dulu, Glenn!" peringat Narendra.
Glenn tertawa, "Kenapa aku tak boleh percaya diri? Jelas-jelas aku satu-satunya putra ayahku."
Narendra memang tak bisa menghapus fakta itu.
Melihat Narendra terdiam, Glenn berkata dengan cepat, "Oh, atau jangan-jangan kau menginginkan perusahaan ini, Rendra?"
Narendra terdiam, Glenn tertawa sampai badannya terhuyung-huyung. "Ternyata memang benar. Astaga, apa kau sungguh percaya bisa mewarisi perusahaan ini?"
Narendra berujar, "Kenapa tidak? Kalau kau tidak becus, posisi itu bisa saja jatuh ke tanganku."
Glenn membalas dengan sinis, "Bangun dari mimpimu, Ren! Itu tidak akan pernah terjadi."
"Kita lihat saja nanti," ujar Narendra dingin.
Glenn menertawakan kepercayaan diri yang begitu tinggi itu dan masuk ke dalam lift dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celananya. "Apa yang kau tertawakan?" ujar Narendra marah. Glenn menghentikan tawanya sejenak dan berkata dengan santai sebelum lift itu tertutup, "Kau terlalu banyak mengkhayal, Narendra.” "Me-ngkhayal?" Glenn tersenyum meremehkan. “Ya. Ingat, kau itu hanya keponakan ayahku. Tidak akan mungkin ayahku mewariskan perusahaan ini kepadamu,” ucap Glenn datar. Begitu pintu lift tertutup, Narendra mengamuk. Ia menendang tempat sampah besar. Tak dia pedulikan para karyawan yang melihat ke arah dirinya dengan tatapan penuh tanya. "Awas saja kau, Glenn. Awas saja!" ujar pria itu. Sementara itu, Glenn yang baru saja tiba di unit apartemen Gardenia Hills miliknya itu terkejut luar biasa saat melihat Fero, asisten perbadinya itu berdiri di depan pintu apartemen dengan beberapa koper besar di dekatnya. "Apa yang kau lakukan di depan sini? Kenapa koper-koperk
"Glenn, kita sudah pernah membicarakan hal ini berulang lagi." Amelia menatap putranya dengan sedih. "Kalau begitu, jangan coba atur-atur aku lagi! Ibu tidak berhak," ujar Glenn datar. Amelia menghela napas panjang, "Ibu tahu kau sangat membenci Ibu tapi setidaknya-" "Bagus kalau Ibu tahu," potong Glenn seenaknya. "GLENN!" Sebuah teriakan keras tiba-tiba terdengar di sana. Glenn hanya menoleh tanpa minat. "Wah, Ayah pulang cepat!” seru Glenn. "Sungguh suatu kejutan!" lanjutnya. Andi berjalan mendekat diikuti Edgar di belakangnya, "Mau sampai kapan kau bersikap kurang ajar seperti ini?" "Kurang ajar bagaimana? Ah, aku tahu. Ayah marah karena aku memakai uang 12 miliar itu. Begitu?" "Tidak. Bukan soal jumlahnya, Glenn." "Lantas?" tanya Glenn sambil menaikkan sebelah alisnya. "Kau sudah membuang-buang uang untuk hal yang tidak berguna," jawab Andi. Glenn tersenyum, "Itu sangat berguna, Ayah. Bukankah Ayah dan Ibu bekerja keras selama ini untuk hal ini?" Andi dan Amelia terdi
"Jet itu tiba-tiba mengalami gangguan dan jatuh tak jauh dari bandara, Tuan Muda. Sekarang ini, evakuasi sedang dilakukan," ucap Edgar pelan. Glenn tertawa. "Kau pikir aku akan percaya atas apa yang baru saja kau katakan?" Edgar tertunduk dalam. Glenn berkali-kali menggumamkan dia tidak percaya tapi saat ia menyaksikan berita yang disiarkan secara langsung tersebut, ia tak bisa lagi mengelak dari kenyataan. Jelas sekali disebutkan di berita tersebut jika jet pribadi yang membawa kedua orangtuanya dan beberapa kru pesawat itu telah ditemukan dan jenazah pun telah berhasil dievakuasi. "Tuan Muda," panggil Edgar. Glenn kesulitan berkata-kata. Tetapi ia tetap menyeret dirinya ke lokasi itu dan menyaksikan jenazah kedua orangtuanya dengan matanya sendiri. "Siapkan pemakaman!" perintahnya pada bawahan ayahnya tersebut. Glenn tampak terdiam sepanjang pemakaman itu digelar. Ia tak membalas ungkapan duka cita dari semua orang yang datang ke pemakaman itu. Fero, asisten pribadinya terseb
Satria menambahkan, “Glenn sudah bukan tuan muda kalian lagi. Sekarang patuhi perintahku atau kalian aku pecat.” Glenn mengamati mereka dan berikutnya belum sempat ia memahami semuanya, ia telah dihajar oleh anak buah ayahnya dan kemudian dilempar ke luar rumah. “Maafkan kami, Tuan Muda Glenn. Maafkan kami.” “Semoga Tuan Muda hidup dengan baik di luar.” Glenn terbatuk darah malam itu dalam keadaan terbaring di tengah jalanan ditemani hujan deras yang mengguyur. Pria itu tak dapat bergerak lantaran rasa sakit yang begitu amat menyakitkan menyerang tubuhnya. Di tengah-tengah semuanya itu, seseorang mendekat ke arahnya dengan membawa payung serta sebuah tas ransel. Ia mengangkat Glenn ke arah pinggir dan membantunya untuk duduk. Pria muda itu memberinya sebotol air mineral dan membantunya untuk minum. Glenn yang membutuhkan tenaga itu dengan rakus meminumnya sampai ia tersedak. “Maaf, Tuan Muda.” "Fer!" panggil Glenn lemah. Laki-laki muda itu lalu memberikan sebuah ransel hitam b
"Aku bisa membantumu merebut kembali semua hakmu," ujar pria itu. Mendengar perkataan pria yang menatapnya dengan sorot penuh ketenangan itu, Glenn sontak tertawa nyaring. Ia bahkan nyaris terjatuh dari bangku saat tertawa. "Apa yang kau tertawakan?" tanya pria muda itu keheranan. Glenn bangkit dari tempat duduknya dan menatap pria itu dengan meneliti, ia lalu menjawab santai, "Tentu saja kau." "Kenapa? Apa yang salah denganku?" Glenn menggelengkan kepalanya lalu berjalan melewatinya tanpa berkata sepatah katapun lagi. Pria itu terhenyak. "Glenn!" Glenn tak berhenti dan terus berjalan tanpa berniat sedikit pun untuk menyahut. "Glenn!" panggilnya lagi. Ia menyusul Glenn dan berjalan di samping Glenn. "Setidaknya dengarkan aku dulu," ucap pria itu. Glenn tak menggubris dan tetap berjalan, menganggap orang itu sebagai angin lalu. "GLENN BRAWIJAYA!" teriak pria itu. Jengkel, Glenn menghela napas panjang. "Pergilah!" "Tidak. Kau harus mendengarkan aku dulu," ucapnya, masih beru
"Aku? Apakah setelah aku mengatakan siapa diriku, kau mau merebut kembali hakmu?" tanya pria muda itu. Glenn berkata, "Sudah, lupakan saja omong kosongmu itu. Aku juga tak ingin tahu siapa dirimu." Glenn hampir saja kembali berjalan, tapi pria muda itu mencegahnya lagi dengan berdiri tepat di depannya. "Minggirlah!" geram Glenn. "Alexander Barata." Glenn terdiam sejenak, "Terus?" "Aku salah satu orang yang pernah dibantu ayahmu. Saat ini aku menjalankan bisnisku sendiri dan kebetulan cukup maju. Semuanya berkat ayahmu, Paman Andi yang selalu membantuku sekaligus menjadi mentorku," jelas pria bernama Alexander itu. Glenn manggut-manggut, "Aku tak pernah mendengar namamu. Tapi hm, itu tidak penting. Ya sudah, Barata. Aku pergi." "Tidak. Kau tidak bisa pergi begitu saja." Glenn bersedekap, menatap Alex dengan menyipitkan matanya. "Kenapa kau begitu bersikeras, Barata?" Alexander menjawab, "Aku ... harus melakukannya." Glenn mencibir, "Ah. Aku tahu sekarang. Kau berniat membalas
"Aku sudah membayarnya, bukankah kau tidak berhak mengomel lagi?" ujar Glenn dingin, tatapannya terlihat menakutkan. Sang pemilik warung itu hanya terdiam, merasa kalah lantaran uang yang diberikan oleh Glenn kepadanya jumlahnya lebih banyak dibandingkan yang seharusnya. Glenn tersenyum sinis melihat orang itu lalu melangkahkan kakinya menjauh dari warung yang sedang penuh pelanggan itu. Akan tetapi, ketika ia baru saja sampai di depan warung, ia meringis kaget saat kepalanya dihantam oleh sesuatu. Ia memegang bagian belakang kepalanya yang ternyata terkena pecahan telur mentah. Semua orang sontak menertawakannya. Sebagian dari mereka bahkan bersorak seolah kejadian yang baru saja terjadi itu merupakan sebuah pertunjukan yang sangat bagus. "Sana pergi, gelandangan!" teriak istri dari pemilik warung itu. "Dasar miskin!" ejek wanita yang tadi sempat berdebat dengannya. Glenn tidak tahu siapa yang telah melemparkan telur itu kepadanya, sehingga ia tidak bisa membuat perhitungan.
Seseorang dengan pakaian trendi dan terlihat begitu berkelas menghampiri Glenn yang masih sedang berdiri sana. "Kenapa kau malah pergi?" tanya Narendra. Glenn yang memunggunginya tak menjawab dan malah mulai melangkah menjauh. Akan tetapi Narendra tidak membiarkannya lepas begitu saja. Ia kembali memanggil, "Glenn! Apa itu kau?" Glenn seketika berhenti melangkah. Napasnya mulai memburu. Mendengar suara sialan itu memanggil namanya rasanya ia ingin menghajarnya. Tapi tentu ia tidak bisa melakukannya sekarang. Ia tidak akan pernah bisa menyentuh sepupu brengseknya itu. Narendra tersenyum miring, "Benar kan? Kau Glenn, sepupuku. Kau-" "Astaga, apa kau itu buta, Rendra? Pengemis ini kau bilang Glenn?" ujar Zayn, teman Glenn di masa dulu yang kini menjadi teman Narendra. Glenn dengan mudah mengenali suara mantan sahabat dekatnya itu. Dia tidak mungkin salah. Itu memang Zayn, sahabat dekatnya yang ia datangi pertama kali saat malam ia diusir kala itu. Namun, kala itu Zayn justru men