Seseorang dengan pakaian trendi dan terlihat begitu berkelas menghampiri Glenn yang masih sedang berdiri sana. "Kenapa kau malah pergi?" tanya Narendra. Glenn yang memunggunginya tak menjawab dan malah mulai melangkah menjauh. Akan tetapi Narendra tidak membiarkannya lepas begitu saja. Ia kembali memanggil, "Glenn! Apa itu kau?" Glenn seketika berhenti melangkah. Napasnya mulai memburu. Mendengar suara sialan itu memanggil namanya rasanya ia ingin menghajarnya. Tapi tentu ia tidak bisa melakukannya sekarang. Ia tidak akan pernah bisa menyentuh sepupu brengseknya itu. Narendra tersenyum miring, "Benar kan? Kau Glenn, sepupuku. Kau-" "Astaga, apa kau itu buta, Rendra? Pengemis ini kau bilang Glenn?" ujar Zayn, teman Glenn di masa dulu yang kini menjadi teman Narendra. Glenn dengan mudah mengenali suara mantan sahabat dekatnya itu. Dia tidak mungkin salah. Itu memang Zayn, sahabat dekatnya yang ia datangi pertama kali saat malam ia diusir kala itu. Namun, kala itu Zayn justru men
Usai mengatakan hal itu, Glenn segera pergi dari tempat itu, meninggalkan Dewa yang masih terbatuk-batuk akibat ia cekik. Glenn memang tidak mencengkeram lehernya dengan begitu kuat tapi tetap saja tenggorakannya luar biasa sakit. Ia kesulitan bernapas. "Dasar orang aneh!" ujar Dewa heran. "Ke mana dia pergi?" lanjutnya usai melihat Glenn sudah tak terlihat lagi. Dewa mengambil napas dalam-dalam dengan begitu rakus sebelum kembali berguman tidak jelas, "Apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Apa benar dia memang memiliki hubungan ada dengan orang-orang sialan itu?" Glenn sendiri berjalan tanpa arah tujuan yang jelas selama belasan menit sampai ia memilih berhenti di sebuah taman kota. Taman itu tak terlalu ramai dan kebetulan terdapat banyak tempat duduk di sana. Ia pun memilih salah satu bangku panjang dan duduk di bangku itu dengan tatapan kosong. "Sudahlah, Glenn. Memang apa yang sekarang bisa kau lakukan? Tidak ada. Kau ini hanya seorang gelandangan yang tidak punya apa-apa,
"Kau ... hentikan!" ujar Glenn menatap kesal pada Dewa yang masih terlihat tenang itu."Kenapa? Apa kau mau membunuhku hanya karena aku mengungkapkan fakta yang sebenarnya?" balas Dewa dengan seringai yang tajam.Glenn yang tidak ingin kehilangan kendali diri segera menyingkir dari tubuh Dewa. Pria itu mengambil tas ranselnya yang tergeletak di atas aspal dan berniat untuk pergi.Akan tetapi, Dewa tak akan membiarkannya pergi begitu saja. "Glenn Brawijaya, aku memang tak tahu bagaimana kisahmu yang sesungguhnya. Aku hanya mendengar kau mendapatkan ketidakadilan dari orang-orang terdekatmu."Ia berhenti sejenak, mengamati reaksi Glenn."Tapi, jika aku jadi kau, aku pasti akan membuat orang-orang biadab itu mendapat balasan yang lebih pedih. Bukan malah menjadi seorang pengecut yang pura-pura menutup mata dan telinga seperti yang kau lakukan sekarang."Tangan Glenn mengepal begitu erat. "Kau tidak tahu apa-apa.""Memang. Sudah aku katakan aku memang tidak tahu apa-apa."Glenn tertawa s
"Sekali kali lagi aku minta maaf," ucap Alexander merasa tidak enak."Tak perlu dipikirkan, aku sudah terbiasa dengan perlakuan semacam itu," sahut Glenn.Alexander mengangguk dan meminta Glenn masuk ke dalam sebuah lift yang akan mereka gunakan menuju ruang kerja Alexander.Saat keduanya masuk, Alexander meminta para pengawalnya untuk tidak mengikutinya. Glenn mengerutkan keningnya, "Kau benar-benar tuan muda rupanya."Alexander tersenyum, "Berkat ayahmu."Glenn tak membalas dan hanya mengalihkan perhatiannya untuk melihat-lihat bagian atas lift tersebut.Alexander yang merasa tidak nyaman karena tak ada obrolan pun kembali bertanya, "Bagaimana perjalananmu ke sini?""Tak ada hambatan."Pria itu mengangguk, "Kau ... naik apa?"Glenn menoleh, "Apa kau bermaksud bertanya apa aku jalan kaki ke sini, Barata?"Sejujurnya memang hal itu yang ada di dalam pikiran Alexander, tapi tentu saja ia tidak mungkin mengatakannya kan? Ia pun menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Ti-tidak. Maksudku
"Telingamu tidak bermasalah kan?" balas Glenn dengan begitu santainya.Alexander mencoba mengabaikan sindiran Glenn dan berkata, "Kenapa menjadi pelayan? Aku bahkan bisa memberimu posisi tertinggi di perusahaanku jika kau ingin.""Tapi aku tidak mau. Aku mau jadi pelayan karena saat ini hanya itu yang bisa aku kerjakan."Alexander sungguh tidak mengerti jalan pikiran Glenn, dan lebih tidak mengerti lagi saat ia mendengar Glenn juga berkata, "Rahasiakan hubungan kita. Maksudku, bersikaplah seolah kau tidak mengenalku di depan semua orang, terutama di depan keluarga Brawijaya.""Kenapa harus begitu?"Glenn menatap heran Alexander, "Bukankah kau bilang aku harus mempelajari semua aset orangtuaku? Itu artinya aku harus bersembunyi dari siapapun bukan?""Tidak harus seperti itu, Glenn. Kau bisa-"Glenn menyela, "Tidak. Akan jauh lebih baik jika mereka menganggapku sebagai sampah tak berguna. Itu akan membantuku lebih leluasa bergerak."Alexander Barata tidak menyetujuinya. Pria yang hidup
Arnold segera ke luar dari mobilnya dan berjalan menuju ke arah depan mobilnya. Seorang pria terlihat baru saja bangkit.Arnold berkata dengan cepat, "Apa Anda terluka?"Pria yang baru saja berdiri dan membelakanginya itu tak menjawab."Maafkan saya. Saya tidak sengaja. Mari saya bawa Anda ke rumah sakit!" ujar Arnold dengan cemas.Pria itu mengangkat sebelah tangannya, menandakan penolakan."Tapi ...."Lelaki yang ia tabrak itu tidak menyahut dan malah berlari-lari kecil menjauh dari sana."Hei, tunggu dulu!" panggil Arnold.Arnold mengerutkan dahinya, kebingungan. "Aneh.""Tapi ... apa benar dia tidak apa-apa?" gumam Arnold sedikit khawatir.Namun, setelah melihat jalanan yang mulai terlihat ramai itu, ia memilih untuk segera pergi dari area itu. Ia mengarahkan mobilnya menuju ke sebuah klub malam, tempat yang biasanya dikunjungi oleh beberapa teman-temannya termasuk Glenn dulu.Begitu masuk ke dalam, ia langsung disambut oleh Zayn, "Ada apa dengan wajahmu itu? Kau punya masalah?"
Damar menjawab, "Narendra Brawijaya berniat menjual salah satu stasiun televisi, Tuan."Alexander terhenyak, tidak bisa lagi tidak terkejut."Stasiun televisi mana yang dia mau jual?" tanya Glenn yang masih mencoba menahan diri.Damar dengan ragu-ragu berkata pelan, "Brawijaya TV 1, Tuan Muda Glenn."Glenn terdiam selama beberapa detik baru kemudian tawa getir meluncur darinya. Ia sampai memukul-mukul meja."Glenn!" ujar Alexander cemas.Glenn menggelengkan kepalanya. Ia mencekeram gelas minumnya. Setelah tawanya mereda, cengkeraman tangannya pada gelas minumnya semakin kuat. "Kau tidak apa-apa?" tanya Alexander hati-hati.Glenn menoleh, "Barata, keluargaku itu memiliki enam stasiun televisi dan semuanya tidak ada yang bermasalah. Tapi, yang ia jual malah Brawijaya TV 1. Itu adalah stasiun televisi pertama yang ayahku dirikan."Alexander tahu akan hal itu tetapi masih belum tahu harus bagaimana berkomentar."Stasiun satu itu adalah stasiun favorit ayahku," lanjut Glenn.Damar juga ti
"Oh, kau cukup pintar rupanya." Seseorang yang mendorong dirinya tadi menyeringai lebar.Glenn berujar pelan, "Akan aku ladeni kalian, tapi tidak sekarang."Pria bertubuh tinggi itu terlihat heran dengan wajah tenang yang ditunjukkan oleh Glenn. Ia berkata, "Kau-""Nanti setelah jam kerja selesai. Di gang depan," potong Glenn cepat.Pria itu hendak membuka mulutnya untuk berbicara tapi kembali didahului oleh Glenn, "Aku yakin kalian juga tidak mungkin mau mendapat masalah di sini kan?" Seseorang menyenggol temannya tersebut, "Dia benar."Pria dengan sorot mata yang terlihat marah itu menimbang-nimbang sebentar baru kemudian berujar, "Baiklah, aku tunggu kau di gang depan. Awas saja jika kau berani kabur."Glenn tersenyum puas, "Aku bukan pengecut. Jangan khawatir!"Usai berkata demikian, Glenn kembali menjalankan tugasnya melayani para pengunjung. Beberapa rekan kerjanya yang tadi mengancamnya menatap Glenn dengan heran, salah satu dari mereka berkata, "Kau yakin dia tidak akan kabu