"Telingamu tidak bermasalah kan?" balas Glenn dengan begitu santainya.Alexander mencoba mengabaikan sindiran Glenn dan berkata, "Kenapa menjadi pelayan? Aku bahkan bisa memberimu posisi tertinggi di perusahaanku jika kau ingin.""Tapi aku tidak mau. Aku mau jadi pelayan karena saat ini hanya itu yang bisa aku kerjakan."Alexander sungguh tidak mengerti jalan pikiran Glenn, dan lebih tidak mengerti lagi saat ia mendengar Glenn juga berkata, "Rahasiakan hubungan kita. Maksudku, bersikaplah seolah kau tidak mengenalku di depan semua orang, terutama di depan keluarga Brawijaya.""Kenapa harus begitu?"Glenn menatap heran Alexander, "Bukankah kau bilang aku harus mempelajari semua aset orangtuaku? Itu artinya aku harus bersembunyi dari siapapun bukan?""Tidak harus seperti itu, Glenn. Kau bisa-"Glenn menyela, "Tidak. Akan jauh lebih baik jika mereka menganggapku sebagai sampah tak berguna. Itu akan membantuku lebih leluasa bergerak."Alexander Barata tidak menyetujuinya. Pria yang hidup
Arnold segera ke luar dari mobilnya dan berjalan menuju ke arah depan mobilnya. Seorang pria terlihat baru saja bangkit.Arnold berkata dengan cepat, "Apa Anda terluka?"Pria yang baru saja berdiri dan membelakanginya itu tak menjawab."Maafkan saya. Saya tidak sengaja. Mari saya bawa Anda ke rumah sakit!" ujar Arnold dengan cemas.Pria itu mengangkat sebelah tangannya, menandakan penolakan."Tapi ...."Lelaki yang ia tabrak itu tidak menyahut dan malah berlari-lari kecil menjauh dari sana."Hei, tunggu dulu!" panggil Arnold.Arnold mengerutkan dahinya, kebingungan. "Aneh.""Tapi ... apa benar dia tidak apa-apa?" gumam Arnold sedikit khawatir.Namun, setelah melihat jalanan yang mulai terlihat ramai itu, ia memilih untuk segera pergi dari area itu. Ia mengarahkan mobilnya menuju ke sebuah klub malam, tempat yang biasanya dikunjungi oleh beberapa teman-temannya termasuk Glenn dulu.Begitu masuk ke dalam, ia langsung disambut oleh Zayn, "Ada apa dengan wajahmu itu? Kau punya masalah?"
Damar menjawab, "Narendra Brawijaya berniat menjual salah satu stasiun televisi, Tuan."Alexander terhenyak, tidak bisa lagi tidak terkejut."Stasiun televisi mana yang dia mau jual?" tanya Glenn yang masih mencoba menahan diri.Damar dengan ragu-ragu berkata pelan, "Brawijaya TV 1, Tuan Muda Glenn."Glenn terdiam selama beberapa detik baru kemudian tawa getir meluncur darinya. Ia sampai memukul-mukul meja."Glenn!" ujar Alexander cemas.Glenn menggelengkan kepalanya. Ia mencekeram gelas minumnya. Setelah tawanya mereda, cengkeraman tangannya pada gelas minumnya semakin kuat. "Kau tidak apa-apa?" tanya Alexander hati-hati.Glenn menoleh, "Barata, keluargaku itu memiliki enam stasiun televisi dan semuanya tidak ada yang bermasalah. Tapi, yang ia jual malah Brawijaya TV 1. Itu adalah stasiun televisi pertama yang ayahku dirikan."Alexander tahu akan hal itu tetapi masih belum tahu harus bagaimana berkomentar."Stasiun satu itu adalah stasiun favorit ayahku," lanjut Glenn.Damar juga ti
"Oh, kau cukup pintar rupanya." Seseorang yang mendorong dirinya tadi menyeringai lebar.Glenn berujar pelan, "Akan aku ladeni kalian, tapi tidak sekarang."Pria bertubuh tinggi itu terlihat heran dengan wajah tenang yang ditunjukkan oleh Glenn. Ia berkata, "Kau-""Nanti setelah jam kerja selesai. Di gang depan," potong Glenn cepat.Pria itu hendak membuka mulutnya untuk berbicara tapi kembali didahului oleh Glenn, "Aku yakin kalian juga tidak mungkin mau mendapat masalah di sini kan?" Seseorang menyenggol temannya tersebut, "Dia benar."Pria dengan sorot mata yang terlihat marah itu menimbang-nimbang sebentar baru kemudian berujar, "Baiklah, aku tunggu kau di gang depan. Awas saja jika kau berani kabur."Glenn tersenyum puas, "Aku bukan pengecut. Jangan khawatir!"Usai berkata demikian, Glenn kembali menjalankan tugasnya melayani para pengunjung. Beberapa rekan kerjanya yang tadi mengancamnya menatap Glenn dengan heran, salah satu dari mereka berkata, "Kau yakin dia tidak akan kabu
Glenn berjalan sambil menguap ke apartemen Gardenia Hills. Saat ia sampai di depan gedung dengan puluhan lantai itu, ia tiba-tiba teringat akan keinginan sang ayah saat berniat membangun sebuah apartemen."Kau pergi sebelum mewujudkan hal itu, Ayah. Kenapa kau tidak pernah menepati janjimu?" gumam Glenn pelan. Dadanya sesak setiap kali ia teringat akan sosok kedua orangtuanya itu, bercampur aduk. Selain ada perasaan sesal karena hubungan mereka buruk sebelum mereka pergi, Glenn juga marah lantaran belum bisa berbuat apapun demi keduanya. "Tapi aku akan segera merebut semua itu kembali, Ayah, Ibu," ujar pemuda itu sebelum ia melangkah ke dalam area apartemen. Ia langsung disambut oleh Alexander yang telah memakai piyama mewahnya."S and R. Dua ratus juta," gumam Glenn sambil melempar dirinya ke atas soda.Alexander sedikit melongo saat Glenn menyebutkan merk piyama biru tua berbahan satin dengan kualitas terbaik itu, "Kau tahu?"Dengan menyangga kepalanya, Glenn berkata, "Lebih dari
Glenn menyeringai lebar, begitu puas melihat Mike telah menyerah kepadanya. Ia berpikir setidaknya ia bisa bekerja di restoran itu dengan tenang tanpa adanya gangguan lagi.Walaupun ia yakin jika orang seperti Mike itu tidak akan mungkin bisa berubah, tapi ia cukup puas dengan membuat orang itu tidak akan menyerangnya selama beberapa waktu ke depan.Begitu urusannya selesai di restoran milik Alexander Barata itu, Glenn segera pulang ke apartemen untuk membicarakan masalah lelang yang akan digelar besok.Alexander yang memang sedang menunggu kedatangan Glenn, dengan segera bertanya cepat, "Jadi, apa yang harus aku lakukan di acara lelang itu?"Glenn tersenyum sekilas, "Kau sepertinya terlihat tidak sabar untuk segera datang ke sana.""Ya, harus aku akui memang aku sangat penasaran siapa yang akan berhasil mendapatkan stasiun televisi milik keluargamu itu," ujar Alexander jujur.Glen manggut-manggut, "Aku yang akan mendapatkan stasiun televisi itu.""Hah?""Lebih tepatnya kau yang akan
Keesokan harinya, Glenn pun menemani Alexander menghadiri acara lelang tersebut. Sebelum Alexander keluar dari mobil mewahnya itu, Glenn berkata, "Dapatkan itu untukku!" Kata-kata itu terdengar seperti sebuah perintah di telinga Alexander, namun ia sama sekali tidak keberatan. Ia menjawab dengan penuh percaya diri, "Glenn, aku ini Alexander Barata, aku tidak akan mungkin bisa dikalahkan dengan begitu mudah. Aku pasti akan mendapatkannya." Glenn mengangguk yakin dan kemudian menepuk punggung Alexander yang langsung mendapat balasan sebuah pelototan tajam dari Alexander. Ia memprotes, "Aku jadi terlihat seperti seekor kuda yang diminta untuk berlari." Glenn mengangkat sebelah alisnya sebagai sebuah balasan. "Ah, iya. Kau bisa mendengarkan seluruh percakapan kamu melewati monitor dan juga earphone itu," ujar Alexander. Glenn mendengus keras dan membalas, "Apa kau pikir aku ini orang yang bodoh sampai kau mengulanginya berkali-kali?" Alexander tertawa kecil lalu segera turun dari
"Untuk Brawijaya TV 1 yang telah memberikan pundi-pundi rupiah untuk kita," ujar Satria sambil mengangkat gelas kaca mewahnya yang berisi minuman memabukkan.Narendra juga mengangkat gelasnya lalu membalas, "Untuk Alexander Barata yang telah memberikan kita uang secara cuma-cuma."Astuti Brawijaya yang tidak ikut minum pun ikut bertepuk tangan, "Kau memang hebat, Ren. Ibu bangga sekali kau bisa menemukan ide seperti ini.""Tentu saja, Ibu. Aku harus memutar otak untuk lebih banyak mengeruk harta Om Andi. Kita tidak bisa hanya mengelola saja. Karena kita kan juga tidak tahu sampai kapan perusahaan itu bisa kita ambil manfaatnya jadi lebih baik kita menjualnya saja sekarang kan saat nilainya sedang tinggi-tingginya."Narendra menjelaskan seolah memang idenya tersebut adalah ide yang cemerlang.Satria Brawijaya mangut mangut. Ia awalnya tidak menyetujui ide sang putra tetapi ketika Narendra menjelaskan tentang keuntungan-keuntungan yang bisa mereka dapatkan maka ia tidak memiliki alasan