"Jet itu tiba-tiba mengalami gangguan dan jatuh tak jauh dari bandara, Tuan Muda. Sekarang ini, evakuasi sedang dilakukan," ucap Edgar pelan.
Glenn tertawa. "Kau pikir aku akan percaya atas apa yang baru saja kau katakan?"
Edgar tertunduk dalam. Glenn berkali-kali menggumamkan dia tidak percaya tapi saat ia menyaksikan berita yang disiarkan secara langsung tersebut, ia tak bisa lagi mengelak dari kenyataan.
Jelas sekali disebutkan di berita tersebut jika jet pribadi yang membawa kedua orangtuanya dan beberapa kru pesawat itu telah ditemukan dan jenazah pun telah berhasil dievakuasi.
"Tuan Muda," panggil Edgar.
Glenn kesulitan berkata-kata. Tetapi ia tetap menyeret dirinya ke lokasi itu dan menyaksikan jenazah kedua orangtuanya dengan matanya sendiri.
"Siapkan pemakaman!" perintahnya pada bawahan ayahnya tersebut.
Glenn tampak terdiam sepanjang pemakaman itu digelar. Ia tak membalas ungkapan duka cita dari semua orang yang datang ke pemakaman itu.
Fero, asisten pribadinya tersebut begitu paham akan keadaan tuan mudanya saat ini dan memilih tetap berada di sampingnya.
Hanya selang beberapa jam dari upacara pemakaman itu, seorang pengacara keluarga besar Brawijaya, Angga Nayara tiba di sana.
"Apa maksudmu?" tanya Glenn yang masih mengenakan pakaian berkabungnya itu dengan marah.
Edgar membungkuk, "Sesuai perintah dari Tuan Andi, Tuan Muda. Jika terjadi sesuatu dengan beliau, pengacara harus segera mengumumkan surat wasiat."
"SINTING!" Glenn langsung berdiri.
"Aku tak mau menemuinya. Suruh dia kembali lain hari!" ujar Glenn tegas.
Edgar berkata, "Maaf, Tuan Muda. Tapi keluarga Anda yang lain sudah tiba dan sedang menunggu Anda untuk turun."
"Keluargaku yang lain? Maksudmu?"
"Tuan Satria dan keluarganya, Tuan Muda," ucap Edgar.
Glenn menghela napas panjang, "Apa yang mereka inginkan? Apakah mereka pikir mereka akan mendapatkan harta ayah ibuku?"
“Benar-benar tidak bisa dipercaya!” ujar Glenn sambil mengelengkan kepalanya, tidak mengerti.
Edgar terdiam. Ia hanya menunduk.
"Baiklah, kalau begitu. Kita lihat apa yang mereka mau," ucap Glenn kemudian.
Ia pun turun dari lantai empat dan menemui orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai keluarganya itu.
Begitu ia masuk, paman, bibi serta dua sepupunya segera menoleh ke arahnya. Angga Naraya pun ikut berdiri dan menyambutnya.
Dari semua orang itu, Glenn hanya mengangguk pada salah satu sepupunya, Armold. Saudara sepupunya yang memang tak pernah memiliki masalah dengannya sejak ia masih kecil.
Bahkan, bisa dikatakan mereka cukup dekat saat mereka masih belia. Hubungan mereka agak renggang saat Arnold dikirim belajar ke Amerika sementara ia dikirim ke Inggris.
Namun, selain karena jarak dan frekuensi pertemuan mereka yang minim, tak ada hal lain yang membuat hubungan mereka memburuk.
"Aku tidak akan bertanya bagaimana keadaanmu karena sudah pasti kau sangat kacau," ujar Arnold.
Glenn hanya mengangguk dan duduk di tempatnya. Ia tak melirik pada paman bibinya serta Narendra sama sekali. Ketiga orang itu pun hanya bisa menahan diri mereka meski sangat kesal sekali.
"Maaf, Tuan Muda. Saya terpaksa harus menyampaikan hal ini lebih awal."
"Hm."
"Ini karena perintah langsung dari Tuan Andi, Tuan Muda," lanjut Angga.
"Ya. Cepat saja!" ucap Glenn.
Angga mengangguk paham dan segera memulai.
Pikiran Glenn mulai melayang kembali ke saat-saat terakhir percakapannya dengan kedua orangtuanya selagi Angga mulai membaca surat wasiat itu. Pikirannya terbelah. Namun, ia terperanjat kaget saat ia mendengar kata-kata yang menurutnya tidak masuk akal.
"Coba ulangi bagian pembagian itu!" ujar Glenn syok.
Satria dan Astuti Brawijaya terlihat tersenyum puas.
"Semua kekayaanku akan aku berikan pada adikku satu-satunya, Satria Brawijaya," ulang Angga.
Mata Glenn menatap tak percaya, "Tidak mungkin. Pengacara, kau pasti salah membaca."
"Tidak, Tuan Muda. Memang begitulah isinya," ucap Angga.
“Mana mungkin?” ulangnya syok.
Narendra Brawijaya berkata, “Kenapa? Kau tidak terima?”
Glenn memandang sinis ke arah Narendra yang kini sedang tersenyum lebar.
Glenn ingin tertawa sekarang. Sepertinya ayah dan ibunya begitu sangat membencinya sampai-sampai mereka mencoret dirinya dari daftar alih waris mereka. Dan yang paling menyebalkan adalah, ayah ibunya malah memberikan semua harta mereka pada Satria Brawijaya yang notabene terlihat sebagai seorang penjilat sejak awal.
Apakah orangtuanya sudah tidak waras?
Glenn sangat marah saat ini. Ia mungkin akan terima jika harta ayah ibunya itu disumbangkan pada panti asuhan atau semacamnya. Itu jelas lebih masuk akal, sesuai dengan karakter orang tuanya yang memang ia tahu suka sekali melakukan kebaikan-kebaikan semacam itu.
"Sudahlah, Glenn. Kau harus terima," ujar Astuti.
Satria ikut berkata, "Ini pasti karena kau yang tak bisa mengelola perusahaan. Makanya sudah Paman katakan kalau kau seharusnya-"
"Tutup mulut Paman!" potong Glenn.
"Heh, berandal. Jaga bicaramu!" bentak Narendra.
Glenn mendekat ke arah Narendra, "Kenapa? Kau sekarang merasa senang karena keluargamu mendapatkan harta keluargaku?"
"Kau-"
"Kak, sudahlah," ujar Arnold menahan lengan Narendra yang hampir berniat memukul Glenn.
Satria berujar, "Tadinya Paman ingin membiarkanmu untuk tetap tinggal di sini untuk menghargai kakakku. Tapi sepertinya kau tidak pantas.”
“Tidak pantas kata Paman? Keluarga Paman yang tidak pantas mendapatkan semua harta keluargaku. Kalian TIDAK BERHAK!”
Glenn menatap nyalang pada Satria Brawijaya. Tatapannya berapi-api.
Satria tidak lagi menahan diri, "Sepertinya kau tak bisa menjaga tingkah lakumu, baiklah lebih baik kau pergi dari sini."
Glenn tertawa nyaring, "Punya hak apa Paman berani mengusirku dari rumahku sendiri?"
Satria menjawab, "Apa kau lupa isi surat itu tadi, Glenn?"
Glenn terbungkam. Satria langsung saja tersenyum lebar, "Semuanya menjadi milik Paman. Tentu Paman bisa mengusirmu dari sini sekarang juga."
BUGH!
Glenn melayangkan tinjunya pada Satria.
"Ayah!" seru Narendra kaget.
“Dasar tidak tahu diri!” ujar Glenn marah luar biasa.
Narendra dan Arnold menghampiri Satria dengan cepat, membantu pria itu berdiri tegak lagi.
"Kurang ajar. Pengawal, beri dia pelajaran!" Narendra memerintah.
“Jangan, Bang!” ujar Arnold.
“Jangan katamu? Berandal sialan ini sudah berani menghajar ayah kita, Arnold!” ujar Narendra sambil menuding ke arah Glenn dengan jari telunjuknya.
“Tapi tidak perlu sepert ini!” ujar Arnold lagi.
Astuti yang sedikit ketakutan berkata, “Arnold, kau mau jadi anak durhaka dengan malah membela orang sepertinya? Ayahmu baru saja dipukul.”
Arnold terdiam.
Glenn berkata, “Paman Satria pantas dipukul, Bibi.”
“Kau-“
“Ibu, tidak perlu mengajaknya berbicara,” potong Narendra.
Satria menghela napas. Ia lalu memerintah, “Pengawal, usir dia dari sini!”
Tak ada satu pun yang berani bergerak.
Narendra jengkel sehingga ia berkata lagi, “Pengawal, hajar dia!”
Glenn tertawa pelan lalu berkata, "Mereka anak buah ayahku, Ren."
Narendra membelalak marah, ia menunjuk ke semua pengawal yang berdiri mengelilingi mereka saat ini. "Kalian semua mulai detik ini anak buah kami. Apa kalian tidak dengar isi surat wasiat yang baru saja dibacakan oleh pengacara keluarga Brawijaya?"
Semua pengawal itu terlihat kebingungan. Mereka sangat bimbang. Mereka tentu mendengar tapi untuk menghajar Glenn tentu mereka kesulitan. Glenn merupakan tuan muda mereka dan mereka telah mengabdikan diri mereka selama bertahun-tahun.
"CEPAT HAJAR DIA DAN USIR DARI SINI!" bentak Narendra sudah tak sabar.
Satria menambahkan, “Glenn sudah bukan tuan muda kalian lagi. Sekarang patuhi perintahku atau kalian aku pecat.” Glenn mengamati mereka dan berikutnya belum sempat ia memahami semuanya, ia telah dihajar oleh anak buah ayahnya dan kemudian dilempar ke luar rumah. “Maafkan kami, Tuan Muda Glenn. Maafkan kami.” “Semoga Tuan Muda hidup dengan baik di luar.” Glenn terbatuk darah malam itu dalam keadaan terbaring di tengah jalanan ditemani hujan deras yang mengguyur. Pria itu tak dapat bergerak lantaran rasa sakit yang begitu amat menyakitkan menyerang tubuhnya. Di tengah-tengah semuanya itu, seseorang mendekat ke arahnya dengan membawa payung serta sebuah tas ransel. Ia mengangkat Glenn ke arah pinggir dan membantunya untuk duduk. Pria muda itu memberinya sebotol air mineral dan membantunya untuk minum. Glenn yang membutuhkan tenaga itu dengan rakus meminumnya sampai ia tersedak. “Maaf, Tuan Muda.” "Fer!" panggil Glenn lemah. Laki-laki muda itu lalu memberikan sebuah ransel hitam b
"Aku bisa membantumu merebut kembali semua hakmu," ujar pria itu. Mendengar perkataan pria yang menatapnya dengan sorot penuh ketenangan itu, Glenn sontak tertawa nyaring. Ia bahkan nyaris terjatuh dari bangku saat tertawa. "Apa yang kau tertawakan?" tanya pria muda itu keheranan. Glenn bangkit dari tempat duduknya dan menatap pria itu dengan meneliti, ia lalu menjawab santai, "Tentu saja kau." "Kenapa? Apa yang salah denganku?" Glenn menggelengkan kepalanya lalu berjalan melewatinya tanpa berkata sepatah katapun lagi. Pria itu terhenyak. "Glenn!" Glenn tak berhenti dan terus berjalan tanpa berniat sedikit pun untuk menyahut. "Glenn!" panggilnya lagi. Ia menyusul Glenn dan berjalan di samping Glenn. "Setidaknya dengarkan aku dulu," ucap pria itu. Glenn tak menggubris dan tetap berjalan, menganggap orang itu sebagai angin lalu. "GLENN BRAWIJAYA!" teriak pria itu. Jengkel, Glenn menghela napas panjang. "Pergilah!" "Tidak. Kau harus mendengarkan aku dulu," ucapnya, masih beru
"Aku? Apakah setelah aku mengatakan siapa diriku, kau mau merebut kembali hakmu?" tanya pria muda itu. Glenn berkata, "Sudah, lupakan saja omong kosongmu itu. Aku juga tak ingin tahu siapa dirimu." Glenn hampir saja kembali berjalan, tapi pria muda itu mencegahnya lagi dengan berdiri tepat di depannya. "Minggirlah!" geram Glenn. "Alexander Barata." Glenn terdiam sejenak, "Terus?" "Aku salah satu orang yang pernah dibantu ayahmu. Saat ini aku menjalankan bisnisku sendiri dan kebetulan cukup maju. Semuanya berkat ayahmu, Paman Andi yang selalu membantuku sekaligus menjadi mentorku," jelas pria bernama Alexander itu. Glenn manggut-manggut, "Aku tak pernah mendengar namamu. Tapi hm, itu tidak penting. Ya sudah, Barata. Aku pergi." "Tidak. Kau tidak bisa pergi begitu saja." Glenn bersedekap, menatap Alex dengan menyipitkan matanya. "Kenapa kau begitu bersikeras, Barata?" Alexander menjawab, "Aku ... harus melakukannya." Glenn mencibir, "Ah. Aku tahu sekarang. Kau berniat membalas
"Aku sudah membayarnya, bukankah kau tidak berhak mengomel lagi?" ujar Glenn dingin, tatapannya terlihat menakutkan. Sang pemilik warung itu hanya terdiam, merasa kalah lantaran uang yang diberikan oleh Glenn kepadanya jumlahnya lebih banyak dibandingkan yang seharusnya. Glenn tersenyum sinis melihat orang itu lalu melangkahkan kakinya menjauh dari warung yang sedang penuh pelanggan itu. Akan tetapi, ketika ia baru saja sampai di depan warung, ia meringis kaget saat kepalanya dihantam oleh sesuatu. Ia memegang bagian belakang kepalanya yang ternyata terkena pecahan telur mentah. Semua orang sontak menertawakannya. Sebagian dari mereka bahkan bersorak seolah kejadian yang baru saja terjadi itu merupakan sebuah pertunjukan yang sangat bagus. "Sana pergi, gelandangan!" teriak istri dari pemilik warung itu. "Dasar miskin!" ejek wanita yang tadi sempat berdebat dengannya. Glenn tidak tahu siapa yang telah melemparkan telur itu kepadanya, sehingga ia tidak bisa membuat perhitungan.
Seseorang dengan pakaian trendi dan terlihat begitu berkelas menghampiri Glenn yang masih sedang berdiri sana. "Kenapa kau malah pergi?" tanya Narendra. Glenn yang memunggunginya tak menjawab dan malah mulai melangkah menjauh. Akan tetapi Narendra tidak membiarkannya lepas begitu saja. Ia kembali memanggil, "Glenn! Apa itu kau?" Glenn seketika berhenti melangkah. Napasnya mulai memburu. Mendengar suara sialan itu memanggil namanya rasanya ia ingin menghajarnya. Tapi tentu ia tidak bisa melakukannya sekarang. Ia tidak akan pernah bisa menyentuh sepupu brengseknya itu. Narendra tersenyum miring, "Benar kan? Kau Glenn, sepupuku. Kau-" "Astaga, apa kau itu buta, Rendra? Pengemis ini kau bilang Glenn?" ujar Zayn, teman Glenn di masa dulu yang kini menjadi teman Narendra. Glenn dengan mudah mengenali suara mantan sahabat dekatnya itu. Dia tidak mungkin salah. Itu memang Zayn, sahabat dekatnya yang ia datangi pertama kali saat malam ia diusir kala itu. Namun, kala itu Zayn justru men
Usai mengatakan hal itu, Glenn segera pergi dari tempat itu, meninggalkan Dewa yang masih terbatuk-batuk akibat ia cekik. Glenn memang tidak mencengkeram lehernya dengan begitu kuat tapi tetap saja tenggorakannya luar biasa sakit. Ia kesulitan bernapas. "Dasar orang aneh!" ujar Dewa heran. "Ke mana dia pergi?" lanjutnya usai melihat Glenn sudah tak terlihat lagi. Dewa mengambil napas dalam-dalam dengan begitu rakus sebelum kembali berguman tidak jelas, "Apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Apa benar dia memang memiliki hubungan ada dengan orang-orang sialan itu?" Glenn sendiri berjalan tanpa arah tujuan yang jelas selama belasan menit sampai ia memilih berhenti di sebuah taman kota. Taman itu tak terlalu ramai dan kebetulan terdapat banyak tempat duduk di sana. Ia pun memilih salah satu bangku panjang dan duduk di bangku itu dengan tatapan kosong. "Sudahlah, Glenn. Memang apa yang sekarang bisa kau lakukan? Tidak ada. Kau ini hanya seorang gelandangan yang tidak punya apa-apa,
"Kau ... hentikan!" ujar Glenn menatap kesal pada Dewa yang masih terlihat tenang itu."Kenapa? Apa kau mau membunuhku hanya karena aku mengungkapkan fakta yang sebenarnya?" balas Dewa dengan seringai yang tajam.Glenn yang tidak ingin kehilangan kendali diri segera menyingkir dari tubuh Dewa. Pria itu mengambil tas ranselnya yang tergeletak di atas aspal dan berniat untuk pergi.Akan tetapi, Dewa tak akan membiarkannya pergi begitu saja. "Glenn Brawijaya, aku memang tak tahu bagaimana kisahmu yang sesungguhnya. Aku hanya mendengar kau mendapatkan ketidakadilan dari orang-orang terdekatmu."Ia berhenti sejenak, mengamati reaksi Glenn."Tapi, jika aku jadi kau, aku pasti akan membuat orang-orang biadab itu mendapat balasan yang lebih pedih. Bukan malah menjadi seorang pengecut yang pura-pura menutup mata dan telinga seperti yang kau lakukan sekarang."Tangan Glenn mengepal begitu erat. "Kau tidak tahu apa-apa.""Memang. Sudah aku katakan aku memang tidak tahu apa-apa."Glenn tertawa s
"Sekali kali lagi aku minta maaf," ucap Alexander merasa tidak enak."Tak perlu dipikirkan, aku sudah terbiasa dengan perlakuan semacam itu," sahut Glenn.Alexander mengangguk dan meminta Glenn masuk ke dalam sebuah lift yang akan mereka gunakan menuju ruang kerja Alexander.Saat keduanya masuk, Alexander meminta para pengawalnya untuk tidak mengikutinya. Glenn mengerutkan keningnya, "Kau benar-benar tuan muda rupanya."Alexander tersenyum, "Berkat ayahmu."Glenn tak membalas dan hanya mengalihkan perhatiannya untuk melihat-lihat bagian atas lift tersebut.Alexander yang merasa tidak nyaman karena tak ada obrolan pun kembali bertanya, "Bagaimana perjalananmu ke sini?""Tak ada hambatan."Pria itu mengangguk, "Kau ... naik apa?"Glenn menoleh, "Apa kau bermaksud bertanya apa aku jalan kaki ke sini, Barata?"Sejujurnya memang hal itu yang ada di dalam pikiran Alexander, tapi tentu saja ia tidak mungkin mengatakannya kan? Ia pun menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Ti-tidak. Maksudku