Satria menambahkan, “Glenn sudah bukan tuan muda kalian lagi. Sekarang patuhi perintahku atau kalian aku pecat.”
Glenn mengamati mereka dan berikutnya belum sempat ia memahami semuanya, ia telah dihajar oleh anak buah ayahnya dan kemudian dilempar ke luar rumah.
“Maafkan kami, Tuan Muda Glenn. Maafkan kami.”
“Semoga Tuan Muda hidup dengan baik di luar.”
Glenn terbatuk darah malam itu dalam keadaan terbaring di tengah jalanan ditemani hujan deras yang mengguyur. Pria itu tak dapat bergerak lantaran rasa sakit yang begitu amat menyakitkan menyerang tubuhnya.
Di tengah-tengah semuanya itu, seseorang mendekat ke arahnya dengan membawa payung serta sebuah tas ransel. Ia mengangkat Glenn ke arah pinggir dan membantunya untuk duduk.
Pria muda itu memberinya sebotol air mineral dan membantunya untuk minum. Glenn yang membutuhkan tenaga itu dengan rakus meminumnya sampai ia tersedak.
“Maaf, Tuan Muda.”
"Fer!" panggil Glenn lemah.
Laki-laki muda itu lalu memberikan sebuah ransel hitam besar itu pada Glenn yang begitu lemah.
"Tuan Muda. Maafkan saya. Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk Anda," ujar Fero pelan.
"Jaga diri Tuan Muda baik-baik!" tambahnya.
Setelah itu, kesadaran Glenn pun mulai menghilang secara perlahan. Glenn pingsan sepenuhnya.
***
Satu tahun kemudian
Bunyi peluit mengagetkan Glenn hingga pria muda itu terbangun dari tidur siangnya di sebuah taman kota. Ia sangat kelelahan setelah mengerjakan pekerjaan kasar demi menyambung hidupnya yang begitu menyedihkan.
"Ah, kurang ajar. Mengganggu saja."
Dengan sangat terpaksa ia berlari dari kejaran polisi yang selalu menangkap gelandangan yang berkeliaran di bagian taman itu.
Glenn sudah terbiasa menghindari mereka sehingga ia selalu lolos dengan mudah.
Setelah hampir kehabisan napas akibat berlari, ia masuk ke dalam sebuah minimarket dan membeli air minum.
Ia melihat berita di televisi yang sedang disiarkan di minimarket itu.
"Pemimpin Brawijaya Corporation, Narendra Brawijaya baru saja meresmikan mall baru di kawasan ex-sky."
Glenn hanya meliriknya sekilas dan ke luar dari minimarket itu. Namun, secara tidak sengaja ia bertabrakan dengan seorang gadis berpakaian trendi.
"Kau ... bukankah kau ... Glenn Brawijaya?"
Glenn menjawab santai, “Bukan.”
“Tidak mungkin. Kau jelas-jelas Glenn. Ini aku, Melly. Apa kau lupa? Aku sepupu Zayn.”
“Maaf, kau salah orang.”
“Tidak mungkin. Aku tidak mungkin salah orang,” ujar gadis itu masih sangat yakin.
Glenn menggelengkan kepalanya menanggapi ucapan gadis itu.
“Tunggu dulu!” cegah Melly.
Glenn mendesah, “Tolong. Aku mau ke luar.”
Melly terlihat menatap Glenn dengan teliti. “Ah, aku tahu sekarang. Kau tidak mau mengakui identitasmu karena keadaanmu sekarang kan?”
Glenn tak membalas.
“Ah, bukankah hidup itu aneh. Kau dulu begitu sombong sampai menolakku. Kau bilang aku tak sederajat denganmu. Tapi, lihatlah sekarang dirimu ini!” Melly menatap dengan tatapan merendahkan.
“Hm. Ada lagi yang ingin kau katakan?” balas Glenn dingin.
Melly mencibir, “Astaga. Kau sudah miskin begini masih belagu. Dasar menyedihkan!”
Glenn tidak sabar lagi, “Aku ada urusan, bisa kau simpan kata-kata tidak pentingmu itu?”
Melly menatap marah. Ia lalu menyiram es yang baru saja ia beli di depan minimarket tersebut ke arah Glenn.
Glenn berujar, “Kau-“
“Aku apa?” tantang Melly.
Sadar Glenn tidak bisa melawan gadis itu. Ia pun hanya mengusap bajunya.
Tanpa peduli lagi, Glenn berjalan ke luar dari minimarket itu dan duduk di pinggir jalan. Pikirannya kembali kacau hanya karena gadis menyebalkan itu.
“Merusak mood saja,” gumam pria muda itu.
Tanpa pikir panjang, Glenn langsung membuka botol minuman itu dan meminumnya sampai tandas.
Pria itu lalu berjalan sampai ia menemukan sebuah bangku dan kembali membaringkan badannya di sana lalu memejamkn matanya.
Baru beberapa detik ia terpejam, ia kembali mendengar seseorang berkata, “Glenn Brawijaya.”
Glenn mengertakkan giginya karena kesal, “Kau salah orang.”
“Tidak. Kau memang Glenn Brawijaya.”
Glenn masih dengan mata terpejam menyahut, “Memangnya kenapa kalau aku Glenn Brawijaya? Mau menghinaku karena aku miskin? Atau kau mau mengatakan keburukan-keburukan dulu?”
“Tidak, Glenn. Justru sebaliknya, aku ingin membantu.”
“Membantuku? Membantu apa bagaimana maksudmu? Memberi uang receh? Begitu?”
“Tidak. Ini-“
“Tidak perlu. Pergilah. Jangan ganggu aku!” usir Glenn.
Pria itu mendesah, “Aku ingin membantu merebut semua milikmu lagi, Glenn.”
Mata Glenn sontak terbuka lebar, ia memutar arah pandangnya dan kini melihat orang yang baru saja berbicara dengannya itu. “Apa yang kau bilang barusan?”
"Aku bisa membantumu merebut kembali semua hakmu," ujar pria itu. Mendengar perkataan pria yang menatapnya dengan sorot penuh ketenangan itu, Glenn sontak tertawa nyaring. Ia bahkan nyaris terjatuh dari bangku saat tertawa. "Apa yang kau tertawakan?" tanya pria muda itu keheranan. Glenn bangkit dari tempat duduknya dan menatap pria itu dengan meneliti, ia lalu menjawab santai, "Tentu saja kau." "Kenapa? Apa yang salah denganku?" Glenn menggelengkan kepalanya lalu berjalan melewatinya tanpa berkata sepatah katapun lagi. Pria itu terhenyak. "Glenn!" Glenn tak berhenti dan terus berjalan tanpa berniat sedikit pun untuk menyahut. "Glenn!" panggilnya lagi. Ia menyusul Glenn dan berjalan di samping Glenn. "Setidaknya dengarkan aku dulu," ucap pria itu. Glenn tak menggubris dan tetap berjalan, menganggap orang itu sebagai angin lalu. "GLENN BRAWIJAYA!" teriak pria itu. Jengkel, Glenn menghela napas panjang. "Pergilah!" "Tidak. Kau harus mendengarkan aku dulu," ucapnya, masih beru
"Aku? Apakah setelah aku mengatakan siapa diriku, kau mau merebut kembali hakmu?" tanya pria muda itu. Glenn berkata, "Sudah, lupakan saja omong kosongmu itu. Aku juga tak ingin tahu siapa dirimu." Glenn hampir saja kembali berjalan, tapi pria muda itu mencegahnya lagi dengan berdiri tepat di depannya. "Minggirlah!" geram Glenn. "Alexander Barata." Glenn terdiam sejenak, "Terus?" "Aku salah satu orang yang pernah dibantu ayahmu. Saat ini aku menjalankan bisnisku sendiri dan kebetulan cukup maju. Semuanya berkat ayahmu, Paman Andi yang selalu membantuku sekaligus menjadi mentorku," jelas pria bernama Alexander itu. Glenn manggut-manggut, "Aku tak pernah mendengar namamu. Tapi hm, itu tidak penting. Ya sudah, Barata. Aku pergi." "Tidak. Kau tidak bisa pergi begitu saja." Glenn bersedekap, menatap Alex dengan menyipitkan matanya. "Kenapa kau begitu bersikeras, Barata?" Alexander menjawab, "Aku ... harus melakukannya." Glenn mencibir, "Ah. Aku tahu sekarang. Kau berniat membalas
"Aku sudah membayarnya, bukankah kau tidak berhak mengomel lagi?" ujar Glenn dingin, tatapannya terlihat menakutkan. Sang pemilik warung itu hanya terdiam, merasa kalah lantaran uang yang diberikan oleh Glenn kepadanya jumlahnya lebih banyak dibandingkan yang seharusnya. Glenn tersenyum sinis melihat orang itu lalu melangkahkan kakinya menjauh dari warung yang sedang penuh pelanggan itu. Akan tetapi, ketika ia baru saja sampai di depan warung, ia meringis kaget saat kepalanya dihantam oleh sesuatu. Ia memegang bagian belakang kepalanya yang ternyata terkena pecahan telur mentah. Semua orang sontak menertawakannya. Sebagian dari mereka bahkan bersorak seolah kejadian yang baru saja terjadi itu merupakan sebuah pertunjukan yang sangat bagus. "Sana pergi, gelandangan!" teriak istri dari pemilik warung itu. "Dasar miskin!" ejek wanita yang tadi sempat berdebat dengannya. Glenn tidak tahu siapa yang telah melemparkan telur itu kepadanya, sehingga ia tidak bisa membuat perhitungan.
Seseorang dengan pakaian trendi dan terlihat begitu berkelas menghampiri Glenn yang masih sedang berdiri sana. "Kenapa kau malah pergi?" tanya Narendra. Glenn yang memunggunginya tak menjawab dan malah mulai melangkah menjauh. Akan tetapi Narendra tidak membiarkannya lepas begitu saja. Ia kembali memanggil, "Glenn! Apa itu kau?" Glenn seketika berhenti melangkah. Napasnya mulai memburu. Mendengar suara sialan itu memanggil namanya rasanya ia ingin menghajarnya. Tapi tentu ia tidak bisa melakukannya sekarang. Ia tidak akan pernah bisa menyentuh sepupu brengseknya itu. Narendra tersenyum miring, "Benar kan? Kau Glenn, sepupuku. Kau-" "Astaga, apa kau itu buta, Rendra? Pengemis ini kau bilang Glenn?" ujar Zayn, teman Glenn di masa dulu yang kini menjadi teman Narendra. Glenn dengan mudah mengenali suara mantan sahabat dekatnya itu. Dia tidak mungkin salah. Itu memang Zayn, sahabat dekatnya yang ia datangi pertama kali saat malam ia diusir kala itu. Namun, kala itu Zayn justru men
Usai mengatakan hal itu, Glenn segera pergi dari tempat itu, meninggalkan Dewa yang masih terbatuk-batuk akibat ia cekik. Glenn memang tidak mencengkeram lehernya dengan begitu kuat tapi tetap saja tenggorakannya luar biasa sakit. Ia kesulitan bernapas. "Dasar orang aneh!" ujar Dewa heran. "Ke mana dia pergi?" lanjutnya usai melihat Glenn sudah tak terlihat lagi. Dewa mengambil napas dalam-dalam dengan begitu rakus sebelum kembali berguman tidak jelas, "Apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Apa benar dia memang memiliki hubungan ada dengan orang-orang sialan itu?" Glenn sendiri berjalan tanpa arah tujuan yang jelas selama belasan menit sampai ia memilih berhenti di sebuah taman kota. Taman itu tak terlalu ramai dan kebetulan terdapat banyak tempat duduk di sana. Ia pun memilih salah satu bangku panjang dan duduk di bangku itu dengan tatapan kosong. "Sudahlah, Glenn. Memang apa yang sekarang bisa kau lakukan? Tidak ada. Kau ini hanya seorang gelandangan yang tidak punya apa-apa,
"Kau ... hentikan!" ujar Glenn menatap kesal pada Dewa yang masih terlihat tenang itu."Kenapa? Apa kau mau membunuhku hanya karena aku mengungkapkan fakta yang sebenarnya?" balas Dewa dengan seringai yang tajam.Glenn yang tidak ingin kehilangan kendali diri segera menyingkir dari tubuh Dewa. Pria itu mengambil tas ranselnya yang tergeletak di atas aspal dan berniat untuk pergi.Akan tetapi, Dewa tak akan membiarkannya pergi begitu saja. "Glenn Brawijaya, aku memang tak tahu bagaimana kisahmu yang sesungguhnya. Aku hanya mendengar kau mendapatkan ketidakadilan dari orang-orang terdekatmu."Ia berhenti sejenak, mengamati reaksi Glenn."Tapi, jika aku jadi kau, aku pasti akan membuat orang-orang biadab itu mendapat balasan yang lebih pedih. Bukan malah menjadi seorang pengecut yang pura-pura menutup mata dan telinga seperti yang kau lakukan sekarang."Tangan Glenn mengepal begitu erat. "Kau tidak tahu apa-apa.""Memang. Sudah aku katakan aku memang tidak tahu apa-apa."Glenn tertawa s
"Sekali kali lagi aku minta maaf," ucap Alexander merasa tidak enak."Tak perlu dipikirkan, aku sudah terbiasa dengan perlakuan semacam itu," sahut Glenn.Alexander mengangguk dan meminta Glenn masuk ke dalam sebuah lift yang akan mereka gunakan menuju ruang kerja Alexander.Saat keduanya masuk, Alexander meminta para pengawalnya untuk tidak mengikutinya. Glenn mengerutkan keningnya, "Kau benar-benar tuan muda rupanya."Alexander tersenyum, "Berkat ayahmu."Glenn tak membalas dan hanya mengalihkan perhatiannya untuk melihat-lihat bagian atas lift tersebut.Alexander yang merasa tidak nyaman karena tak ada obrolan pun kembali bertanya, "Bagaimana perjalananmu ke sini?""Tak ada hambatan."Pria itu mengangguk, "Kau ... naik apa?"Glenn menoleh, "Apa kau bermaksud bertanya apa aku jalan kaki ke sini, Barata?"Sejujurnya memang hal itu yang ada di dalam pikiran Alexander, tapi tentu saja ia tidak mungkin mengatakannya kan? Ia pun menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Ti-tidak. Maksudku
"Telingamu tidak bermasalah kan?" balas Glenn dengan begitu santainya.Alexander mencoba mengabaikan sindiran Glenn dan berkata, "Kenapa menjadi pelayan? Aku bahkan bisa memberimu posisi tertinggi di perusahaanku jika kau ingin.""Tapi aku tidak mau. Aku mau jadi pelayan karena saat ini hanya itu yang bisa aku kerjakan."Alexander sungguh tidak mengerti jalan pikiran Glenn, dan lebih tidak mengerti lagi saat ia mendengar Glenn juga berkata, "Rahasiakan hubungan kita. Maksudku, bersikaplah seolah kau tidak mengenalku di depan semua orang, terutama di depan keluarga Brawijaya.""Kenapa harus begitu?"Glenn menatap heran Alexander, "Bukankah kau bilang aku harus mempelajari semua aset orangtuaku? Itu artinya aku harus bersembunyi dari siapapun bukan?""Tidak harus seperti itu, Glenn. Kau bisa-"Glenn menyela, "Tidak. Akan jauh lebih baik jika mereka menganggapku sebagai sampah tak berguna. Itu akan membantuku lebih leluasa bergerak."Alexander Barata tidak menyetujuinya. Pria yang hidup