"Glenn, kita sudah pernah membicarakan hal ini berulang lagi." Amelia menatap putranya dengan sedih.
"Kalau begitu, jangan coba atur-atur aku lagi! Ibu tidak berhak," ujar Glenn datar.
Amelia menghela napas panjang, "Ibu tahu kau sangat membenci Ibu tapi setidaknya-"
"Bagus kalau Ibu tahu," potong Glenn seenaknya.
"GLENN!" Sebuah teriakan keras tiba-tiba terdengar di sana.
Glenn hanya menoleh tanpa minat.
"Wah, Ayah pulang cepat!” seru Glenn.
"Sungguh suatu kejutan!" lanjutnya.
Andi berjalan mendekat diikuti Edgar di belakangnya, "Mau sampai kapan kau bersikap kurang ajar seperti ini?"
"Kurang ajar bagaimana? Ah, aku tahu. Ayah marah karena aku memakai uang 12 miliar itu. Begitu?"
"Tidak. Bukan soal jumlahnya, Glenn."
"Lantas?" tanya Glenn sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Kau sudah membuang-buang uang untuk hal yang tidak berguna," jawab Andi.
Glenn tersenyum, "Itu sangat berguna, Ayah. Bukankah Ayah dan Ibu bekerja keras selama ini untuk hal ini?"
Andi dan Amelia terdiam.
"Dari aku kecil, Ayah dan Ibu kerja sampai melupakan aku untuk membuatku hidup nyaman. Lalu, kenapa sekarang kalian memprotesnya? Ini kan yang kalian mau?" ujar Glenn, tatapan matanya sedingin es pada kedua orangtuanya.
Andi berkata, "Glenn, kau sudah bukan anak kecil lagi. Kenapa kau masih mengungkitnya?"
Glenn menyisir rambutnya dengan jarinya, "Aku tidak mencoba mengungkitnya. Yang ingin aku katakan adalah, aku seperti ini karena kalian sendiri. Jadi, berhentilah mengatur-atur hidupku!"
"Kau-"
"Ayah dan Ibu sendiri yang membuatku jadi orang seperti ini. Kalian penyebabnya, inilah hasil didikan kalian itu. Oh, aku salah. Kalian berdua tidak pernah mendidikku. Hm, jadi bagaimana-"
PLAK!
"Andi!" teriak Amelia kaget, ia langsung berjalan mendekati putranya tapi Glenn dengan cepat mundur.
Amelia berhenti bergerak, menatap nanar sang putra yang terlihat menjaga jarak dengannya.
"Kenapa, Ayah? Ayah tak terima kalau memiliki anak sepertiku? Kalau begitu, kenapa Ayah tak sekalian saja membuangku saat aku masih kecil?" tantang Glenn.
Andi kembali mengangkat tangannya, tapi Amelia dengan cepat mencegah suaminya. Ia menggelengkan kepalanya pada sang suami. Mata Andi memerah, menandakan kemarahan sekaligus kekecewaan yang sangat besar pada putranya.
Glenn tersenyum masam, "Apakah itu yang bisa Ayah lakukan sebagai orangtua? Menghajar putranya tanpa mau tahu alasan putranya melakukan sesuatu?"
Andi tak menjawab, kemarahan masih begitu menguasai dirinya.
Glenn berujar lagi, "Kalian berdua mau memiliki putra yang sempurna tapi kalian sendiri tak berusaha menjadi orangtua yang baik. Kalian berdua membuatku ingin tertawa."
"PERGI!" usir Andi tiba-tiba.
Glenn tertawa pelan, "Kemarin Ayah memintaku untuk tinggal di sini dan sekarang Ayah mengusirku?"
Glenn bertepuk tangan seolah ia baru saja mendapatkan hadiah.
Andi mengalihkan pandangannya pada putra yang telah membuat darahnya mendidih itu.
Glenn berujar santai lagi, "Baiklah, kalau begitu aku akan pergi."
"Glenn!" panggil Amelia pelan.
"Selamat malam, Ibu!" ujar Glenn sebelum kembali menghilang dari rumah keluarga besarnya itu.
Sejak malam itu, Glenn tidak terlihat di Brawijaya Corporation dan juga tak pernah pulang ke rumah besar selama tiga hari lamanya.
Amelia Brawijaya terlihat begitu cemas saat sedang mengemas barang-barangnya. "Kau yakin tidak berusaha mencarinya lagi?"
"Untuk apa mencarinya? Biarkan saja. Kalau dia memang ingin pulang, dia akan pulang."
"Berhentilah menjadi keras kepala, Ndi!" ujar Amelia yang kesal.
Ia pun menutup koper besarnya itu dan meminta pelayan menyingkirkan benda itu dari hadapannya.
"Anak kurang ajar itu yang keras kepala. Selalu begitu. Mengungkit apa yang terjadi di masa lalu, sangat kekanakan."
"Kau sendiri bagaimana? Kau sama saja, Ndi. Kau tak pernah mengalah dari putramu sama sekali," terang Amelia.
Andi tak menyahut.
Amelia mendesah, sebelum berbicara lagi, "Kita memang bersalah. Kita terlalu sibuk sampai tak memiliki waktu untuknya."
Andi melipat surat kabarnya, "Itu demi dia juga, Mel. Tapi anak itu mana mau mengerti? Yang hanya dia pikirkan hal jeleknya saja. Ia tak pernah berpikir hal baik yang ia dapatkan setelah kita sukses."
Amelia menunduk, "Andai waktu bisa diputar lagi, aku pasti akan lebih memilih bersamanya."
"Omong kosong apa yang sedang kau bicarakan itu? Kalau kita tidak berusaha keras di masa itu, mana mungkin kita bisa sesukses sekarang ini? Mana mungkin anak itu menghabiskan uang miliaran rupiah dalam sehari dengan begitu mudahnya? Apa kau tidak memikirkan hal itu?"
Amelia terdiam, merasa sangat percuma berbicara dengan suaminya. Hal itu tetap saja akan berputar di tempat yang sama, tak akan pernah berkembang.
"Kalau dibiarkan, bagaimana dia bisa memimpin perusahaan ini kelak?" ujar Amelia dalam.
Andi mengusap wajahnya, "Kita pikirkan setelah kita kembali dari Jepang."
***
"Kau tak mau pulang, Glenn?" tanya Zayn yang sedang menemani Glenn di sebuah klub malam.
"Tidak."
Zayn membalas, "Mau sampai kapan?"
"Sampai ayah ibuku tiba di Jepang."
Glenn melirik ponselnya lagi, "Ah, seharusnya mereka sudah tiba di sana sekarang."
Zayn mengerutkan keningnya. "Ada acara di sana?"
"Ya. Ada undangan pernikahan putri koleganya."
"Kau tidak ikut?"
Glenn tergelak, "Untuk apa? Apa pentingnya acara itu?"
"Tentu saja penting. Hal itu biasanya bisa digunakan untuk membangun relasi bisnis, Glenn. Astaga, bagaimana kau tidak tahu akan hal itu?" ujar Zayn tak percaya.
Glenn menjawab santai, "Itu bukan urusanku."
"Bagaimana mungkin itu bukan menjadi urusanmu? Kau itu pewaris Brawijaya Corporation. Kau harus mengerti hal-hal semacam ini," jelas Zayn tak percaya.
Glenn tertawa. "Aku tidak peduli."
Zayn menggelengkan kepalanya, "Dasar gila!"
Tiba-tiba saja ponsel milik Glenn bergetar. Ia melirik ponselnya dan sedikit terkejut saat melihat siapa yang menelepon dirinya. Bergegas ia menyingkir dari kerumunan dan ke luar dari klub tersebut baru kemudian ia mengangkat panggilan itu.
"Halo, ada apa, sepupu? Tumben kau meng-"
"Glenn, kenapa kau tidak mengangkat ponselmu dari tadi?" teriak Arnold.
Glenn menjauhkan ponselnya dari telinganya sejenak sebelum ia kembali mendekatkannnya di dekat telinganya. "Memangnya kenapa?"
"Astaga. Kau benar-benar tidak membaca pesanku ya?"
"Pesan?" ujar Glenn bingung.
Ia pun segera membuka aplikasi ponselnya dan terkejut ketika melihat ada puluhan pesan dari orang yang berbeda. Ia membuka pesan dari Arnold.
Matanya melebar seketika. Ponselnya hampir saja jatuh dari tangannya, "Kau sedang bercanda kan?"
"Apa maksudmu? Mana mungkin aku bercanda?"
"Maksudmu ayah ibuku benar-benar mengalami kecelakaan pesawat?"
"Ya. Mereka-"
Glenn memutus panggilan itu dan langsung menuju bandara dengan kecepatan tinggi. Ia berlari menuju pusat informasi yang sedang penuh dengan orang. Kebingungan telah melanda dirinya.
"Tuan Muda."
Glenn menoleh dengan cepat. Ia lalu mencengkeram kerah orang itu, "Katakan itu jika itu tidak benar!"
Edgar membisu.
"KATAKAN!"
Pria itu masih terdiam, tak mau menjawab. Glenn berkata dengan sorot mata tidak percaya, "Bagaimana mungkin mereka bisa kecelakaan? Mereka menggunakan jet pribadi. Ini tidak mungkin. TIDAK MUNGKIN!"
"Jet itu tiba-tiba mengalami gangguan dan jatuh tak jauh dari bandara, Tuan Muda. Sekarang ini, evakuasi sedang dilakukan," ucap Edgar pelan. Glenn tertawa. "Kau pikir aku akan percaya atas apa yang baru saja kau katakan?" Edgar tertunduk dalam. Glenn berkali-kali menggumamkan dia tidak percaya tapi saat ia menyaksikan berita yang disiarkan secara langsung tersebut, ia tak bisa lagi mengelak dari kenyataan. Jelas sekali disebutkan di berita tersebut jika jet pribadi yang membawa kedua orangtuanya dan beberapa kru pesawat itu telah ditemukan dan jenazah pun telah berhasil dievakuasi. "Tuan Muda," panggil Edgar. Glenn kesulitan berkata-kata. Tetapi ia tetap menyeret dirinya ke lokasi itu dan menyaksikan jenazah kedua orangtuanya dengan matanya sendiri. "Siapkan pemakaman!" perintahnya pada bawahan ayahnya tersebut. Glenn tampak terdiam sepanjang pemakaman itu digelar. Ia tak membalas ungkapan duka cita dari semua orang yang datang ke pemakaman itu. Fero, asisten pribadinya terseb
Satria menambahkan, “Glenn sudah bukan tuan muda kalian lagi. Sekarang patuhi perintahku atau kalian aku pecat.” Glenn mengamati mereka dan berikutnya belum sempat ia memahami semuanya, ia telah dihajar oleh anak buah ayahnya dan kemudian dilempar ke luar rumah. “Maafkan kami, Tuan Muda Glenn. Maafkan kami.” “Semoga Tuan Muda hidup dengan baik di luar.” Glenn terbatuk darah malam itu dalam keadaan terbaring di tengah jalanan ditemani hujan deras yang mengguyur. Pria itu tak dapat bergerak lantaran rasa sakit yang begitu amat menyakitkan menyerang tubuhnya. Di tengah-tengah semuanya itu, seseorang mendekat ke arahnya dengan membawa payung serta sebuah tas ransel. Ia mengangkat Glenn ke arah pinggir dan membantunya untuk duduk. Pria muda itu memberinya sebotol air mineral dan membantunya untuk minum. Glenn yang membutuhkan tenaga itu dengan rakus meminumnya sampai ia tersedak. “Maaf, Tuan Muda.” "Fer!" panggil Glenn lemah. Laki-laki muda itu lalu memberikan sebuah ransel hitam b
"Aku bisa membantumu merebut kembali semua hakmu," ujar pria itu. Mendengar perkataan pria yang menatapnya dengan sorot penuh ketenangan itu, Glenn sontak tertawa nyaring. Ia bahkan nyaris terjatuh dari bangku saat tertawa. "Apa yang kau tertawakan?" tanya pria muda itu keheranan. Glenn bangkit dari tempat duduknya dan menatap pria itu dengan meneliti, ia lalu menjawab santai, "Tentu saja kau." "Kenapa? Apa yang salah denganku?" Glenn menggelengkan kepalanya lalu berjalan melewatinya tanpa berkata sepatah katapun lagi. Pria itu terhenyak. "Glenn!" Glenn tak berhenti dan terus berjalan tanpa berniat sedikit pun untuk menyahut. "Glenn!" panggilnya lagi. Ia menyusul Glenn dan berjalan di samping Glenn. "Setidaknya dengarkan aku dulu," ucap pria itu. Glenn tak menggubris dan tetap berjalan, menganggap orang itu sebagai angin lalu. "GLENN BRAWIJAYA!" teriak pria itu. Jengkel, Glenn menghela napas panjang. "Pergilah!" "Tidak. Kau harus mendengarkan aku dulu," ucapnya, masih beru
"Aku? Apakah setelah aku mengatakan siapa diriku, kau mau merebut kembali hakmu?" tanya pria muda itu. Glenn berkata, "Sudah, lupakan saja omong kosongmu itu. Aku juga tak ingin tahu siapa dirimu." Glenn hampir saja kembali berjalan, tapi pria muda itu mencegahnya lagi dengan berdiri tepat di depannya. "Minggirlah!" geram Glenn. "Alexander Barata." Glenn terdiam sejenak, "Terus?" "Aku salah satu orang yang pernah dibantu ayahmu. Saat ini aku menjalankan bisnisku sendiri dan kebetulan cukup maju. Semuanya berkat ayahmu, Paman Andi yang selalu membantuku sekaligus menjadi mentorku," jelas pria bernama Alexander itu. Glenn manggut-manggut, "Aku tak pernah mendengar namamu. Tapi hm, itu tidak penting. Ya sudah, Barata. Aku pergi." "Tidak. Kau tidak bisa pergi begitu saja." Glenn bersedekap, menatap Alex dengan menyipitkan matanya. "Kenapa kau begitu bersikeras, Barata?" Alexander menjawab, "Aku ... harus melakukannya." Glenn mencibir, "Ah. Aku tahu sekarang. Kau berniat membalas
"Aku sudah membayarnya, bukankah kau tidak berhak mengomel lagi?" ujar Glenn dingin, tatapannya terlihat menakutkan. Sang pemilik warung itu hanya terdiam, merasa kalah lantaran uang yang diberikan oleh Glenn kepadanya jumlahnya lebih banyak dibandingkan yang seharusnya. Glenn tersenyum sinis melihat orang itu lalu melangkahkan kakinya menjauh dari warung yang sedang penuh pelanggan itu. Akan tetapi, ketika ia baru saja sampai di depan warung, ia meringis kaget saat kepalanya dihantam oleh sesuatu. Ia memegang bagian belakang kepalanya yang ternyata terkena pecahan telur mentah. Semua orang sontak menertawakannya. Sebagian dari mereka bahkan bersorak seolah kejadian yang baru saja terjadi itu merupakan sebuah pertunjukan yang sangat bagus. "Sana pergi, gelandangan!" teriak istri dari pemilik warung itu. "Dasar miskin!" ejek wanita yang tadi sempat berdebat dengannya. Glenn tidak tahu siapa yang telah melemparkan telur itu kepadanya, sehingga ia tidak bisa membuat perhitungan.
Seseorang dengan pakaian trendi dan terlihat begitu berkelas menghampiri Glenn yang masih sedang berdiri sana. "Kenapa kau malah pergi?" tanya Narendra. Glenn yang memunggunginya tak menjawab dan malah mulai melangkah menjauh. Akan tetapi Narendra tidak membiarkannya lepas begitu saja. Ia kembali memanggil, "Glenn! Apa itu kau?" Glenn seketika berhenti melangkah. Napasnya mulai memburu. Mendengar suara sialan itu memanggil namanya rasanya ia ingin menghajarnya. Tapi tentu ia tidak bisa melakukannya sekarang. Ia tidak akan pernah bisa menyentuh sepupu brengseknya itu. Narendra tersenyum miring, "Benar kan? Kau Glenn, sepupuku. Kau-" "Astaga, apa kau itu buta, Rendra? Pengemis ini kau bilang Glenn?" ujar Zayn, teman Glenn di masa dulu yang kini menjadi teman Narendra. Glenn dengan mudah mengenali suara mantan sahabat dekatnya itu. Dia tidak mungkin salah. Itu memang Zayn, sahabat dekatnya yang ia datangi pertama kali saat malam ia diusir kala itu. Namun, kala itu Zayn justru men
Usai mengatakan hal itu, Glenn segera pergi dari tempat itu, meninggalkan Dewa yang masih terbatuk-batuk akibat ia cekik. Glenn memang tidak mencengkeram lehernya dengan begitu kuat tapi tetap saja tenggorakannya luar biasa sakit. Ia kesulitan bernapas. "Dasar orang aneh!" ujar Dewa heran. "Ke mana dia pergi?" lanjutnya usai melihat Glenn sudah tak terlihat lagi. Dewa mengambil napas dalam-dalam dengan begitu rakus sebelum kembali berguman tidak jelas, "Apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Apa benar dia memang memiliki hubungan ada dengan orang-orang sialan itu?" Glenn sendiri berjalan tanpa arah tujuan yang jelas selama belasan menit sampai ia memilih berhenti di sebuah taman kota. Taman itu tak terlalu ramai dan kebetulan terdapat banyak tempat duduk di sana. Ia pun memilih salah satu bangku panjang dan duduk di bangku itu dengan tatapan kosong. "Sudahlah, Glenn. Memang apa yang sekarang bisa kau lakukan? Tidak ada. Kau ini hanya seorang gelandangan yang tidak punya apa-apa,
"Kau ... hentikan!" ujar Glenn menatap kesal pada Dewa yang masih terlihat tenang itu."Kenapa? Apa kau mau membunuhku hanya karena aku mengungkapkan fakta yang sebenarnya?" balas Dewa dengan seringai yang tajam.Glenn yang tidak ingin kehilangan kendali diri segera menyingkir dari tubuh Dewa. Pria itu mengambil tas ranselnya yang tergeletak di atas aspal dan berniat untuk pergi.Akan tetapi, Dewa tak akan membiarkannya pergi begitu saja. "Glenn Brawijaya, aku memang tak tahu bagaimana kisahmu yang sesungguhnya. Aku hanya mendengar kau mendapatkan ketidakadilan dari orang-orang terdekatmu."Ia berhenti sejenak, mengamati reaksi Glenn."Tapi, jika aku jadi kau, aku pasti akan membuat orang-orang biadab itu mendapat balasan yang lebih pedih. Bukan malah menjadi seorang pengecut yang pura-pura menutup mata dan telinga seperti yang kau lakukan sekarang."Tangan Glenn mengepal begitu erat. "Kau tidak tahu apa-apa.""Memang. Sudah aku katakan aku memang tidak tahu apa-apa."Glenn tertawa s