Home / Urban / Kembalinya sang Pewaris / Chapter 3: Kabar Mengejutkan

Share

Chapter 3: Kabar Mengejutkan

"Glenn, kita sudah pernah membicarakan hal ini berulang lagi." Amelia menatap putranya dengan sedih.

"Kalau begitu, jangan coba atur-atur aku lagi! Ibu tidak berhak," ujar Glenn datar.

Amelia menghela napas panjang, "Ibu tahu kau sangat membenci Ibu tapi setidaknya-"

"Bagus kalau Ibu tahu," potong Glenn seenaknya.

"GLENN!" Sebuah teriakan keras tiba-tiba terdengar di sana.

Glenn hanya menoleh tanpa minat.

"Wah, Ayah pulang cepat!” seru Glenn.

"Sungguh suatu kejutan!" lanjutnya.

Andi berjalan mendekat diikuti Edgar di belakangnya, "Mau sampai kapan kau bersikap kurang ajar seperti ini?"

"Kurang ajar bagaimana? Ah, aku tahu. Ayah marah karena aku memakai uang 12 miliar itu. Begitu?"

"Tidak. Bukan soal jumlahnya, Glenn."

"Lantas?" tanya Glenn sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Kau sudah membuang-buang uang untuk hal yang tidak berguna," jawab Andi.

Glenn tersenyum, "Itu sangat berguna, Ayah. Bukankah Ayah dan Ibu bekerja keras selama ini untuk hal ini?"

Andi dan Amelia terdiam.

"Dari aku kecil, Ayah dan Ibu kerja sampai melupakan aku untuk membuatku hidup nyaman. Lalu, kenapa sekarang kalian memprotesnya? Ini kan yang kalian mau?" ujar Glenn, tatapan matanya sedingin es pada kedua orangtuanya.

Andi berkata, "Glenn, kau sudah bukan anak kecil lagi. Kenapa kau masih mengungkitnya?"

Glenn menyisir rambutnya dengan jarinya, "Aku tidak mencoba mengungkitnya. Yang ingin aku katakan adalah, aku seperti ini karena kalian sendiri. Jadi, berhentilah mengatur-atur hidupku!"

"Kau-"

"Ayah dan Ibu sendiri yang membuatku jadi orang seperti ini. Kalian penyebabnya, inilah hasil didikan kalian itu. Oh, aku salah. Kalian berdua tidak pernah mendidikku. Hm, jadi bagaimana-"

PLAK!

"Andi!" teriak Amelia kaget, ia langsung berjalan mendekati putranya tapi Glenn dengan cepat mundur.

Amelia berhenti bergerak, menatap nanar sang putra yang terlihat menjaga jarak dengannya.

"Kenapa, Ayah? Ayah tak terima kalau memiliki anak sepertiku? Kalau begitu, kenapa Ayah tak sekalian saja membuangku saat aku masih kecil?" tantang Glenn.

Andi kembali mengangkat tangannya, tapi Amelia dengan cepat mencegah suaminya. Ia menggelengkan kepalanya pada sang suami. Mata Andi memerah, menandakan kemarahan sekaligus kekecewaan yang sangat besar pada putranya.

Glenn tersenyum masam, "Apakah itu yang bisa Ayah lakukan sebagai orangtua? Menghajar putranya tanpa mau tahu alasan putranya melakukan sesuatu?"

Andi tak menjawab, kemarahan masih begitu menguasai dirinya.

Glenn berujar lagi, "Kalian berdua mau memiliki putra yang sempurna tapi kalian sendiri tak berusaha menjadi orangtua yang baik. Kalian berdua membuatku ingin tertawa."

"PERGI!" usir Andi tiba-tiba.

Glenn tertawa pelan, "Kemarin Ayah memintaku untuk tinggal di sini dan sekarang Ayah mengusirku?"

Glenn bertepuk tangan seolah ia baru saja mendapatkan hadiah.

Andi mengalihkan pandangannya pada putra yang telah membuat darahnya mendidih itu.

Glenn berujar santai lagi, "Baiklah, kalau begitu aku akan pergi."

"Glenn!" panggil Amelia pelan.

"Selamat malam, Ibu!" ujar Glenn sebelum kembali menghilang dari rumah keluarga besarnya itu.

Sejak malam itu, Glenn tidak terlihat di Brawijaya Corporation dan juga tak pernah pulang ke rumah besar selama tiga hari lamanya.

Amelia Brawijaya terlihat begitu cemas saat sedang mengemas barang-barangnya. "Kau yakin tidak berusaha mencarinya lagi?"

"Untuk apa mencarinya? Biarkan saja. Kalau dia memang ingin pulang, dia akan pulang."

"Berhentilah menjadi keras kepala, Ndi!" ujar Amelia yang kesal.

Ia pun menutup koper besarnya itu dan meminta pelayan menyingkirkan benda itu dari hadapannya.

"Anak kurang ajar itu yang keras kepala. Selalu begitu. Mengungkit apa yang terjadi di masa lalu, sangat kekanakan."

"Kau sendiri bagaimana? Kau sama saja, Ndi. Kau tak pernah mengalah dari putramu sama sekali," terang Amelia.

Andi tak menyahut.

Amelia mendesah, sebelum berbicara lagi, "Kita memang bersalah. Kita terlalu sibuk sampai tak memiliki waktu untuknya."

Andi melipat surat kabarnya, "Itu demi dia juga, Mel. Tapi anak itu mana mau mengerti? Yang hanya dia pikirkan hal jeleknya saja. Ia tak pernah berpikir hal baik yang ia dapatkan setelah kita sukses."

Amelia menunduk, "Andai waktu bisa diputar lagi, aku pasti akan lebih memilih bersamanya."

"Omong kosong apa yang sedang kau bicarakan itu? Kalau kita tidak berusaha keras di masa itu, mana mungkin kita bisa sesukses sekarang ini? Mana mungkin anak itu menghabiskan uang miliaran rupiah dalam sehari dengan begitu mudahnya? Apa kau tidak memikirkan hal itu?"

Amelia terdiam, merasa sangat percuma berbicara dengan suaminya. Hal itu tetap saja akan berputar di tempat yang sama, tak akan pernah berkembang.

"Kalau dibiarkan, bagaimana dia bisa memimpin perusahaan ini kelak?" ujar Amelia dalam.

Andi mengusap wajahnya, "Kita pikirkan setelah kita kembali dari Jepang."

***

"Kau tak mau pulang, Glenn?" tanya Zayn yang sedang menemani Glenn di sebuah klub malam.

"Tidak."

Zayn membalas, "Mau sampai kapan?"

"Sampai ayah ibuku tiba di Jepang."

Glenn melirik ponselnya lagi, "Ah, seharusnya mereka sudah tiba di sana sekarang."

Zayn mengerutkan keningnya. "Ada acara di sana?"

"Ya. Ada undangan pernikahan putri koleganya."

"Kau tidak ikut?"

Glenn tergelak, "Untuk apa? Apa pentingnya acara itu?"

"Tentu saja penting. Hal itu biasanya bisa digunakan untuk membangun relasi bisnis, Glenn. Astaga, bagaimana kau tidak tahu akan hal itu?" ujar Zayn tak percaya.

Glenn menjawab santai, "Itu bukan urusanku."

"Bagaimana mungkin itu bukan menjadi urusanmu? Kau itu pewaris Brawijaya Corporation. Kau harus mengerti hal-hal semacam ini," jelas Zayn tak percaya.

Glenn tertawa. "Aku tidak peduli."

Zayn menggelengkan kepalanya, "Dasar gila!"

Tiba-tiba saja ponsel milik Glenn bergetar. Ia melirik ponselnya dan sedikit terkejut saat melihat siapa yang menelepon dirinya. Bergegas ia menyingkir dari kerumunan dan ke luar dari klub tersebut baru kemudian ia mengangkat panggilan itu.

"Halo, ada apa, sepupu? Tumben kau meng-"

"Glenn, kenapa kau tidak mengangkat ponselmu dari tadi?" teriak Arnold.

Glenn menjauhkan ponselnya dari telinganya sejenak sebelum ia kembali mendekatkannnya di dekat telinganya. "Memangnya kenapa?"

"Astaga. Kau benar-benar tidak membaca pesanku ya?"

"Pesan?" ujar Glenn bingung.

Ia pun segera membuka aplikasi ponselnya dan terkejut ketika melihat ada puluhan pesan dari orang yang berbeda. Ia membuka pesan dari Arnold.

Matanya melebar seketika. Ponselnya hampir saja jatuh dari tangannya, "Kau sedang bercanda kan?"

"Apa maksudmu? Mana mungkin aku bercanda?"

"Maksudmu ayah ibuku benar-benar mengalami kecelakaan pesawat?"

"Ya. Mereka-"

Glenn memutus panggilan itu dan langsung menuju bandara dengan kecepatan tinggi. Ia berlari menuju pusat informasi yang sedang penuh dengan orang. Kebingungan telah melanda dirinya.

"Tuan Muda."

Glenn menoleh dengan cepat. Ia lalu mencengkeram kerah orang itu, "Katakan itu jika itu tidak benar!"

Edgar membisu.

"KATAKAN!"

Pria itu masih terdiam, tak mau menjawab. Glenn berkata dengan sorot mata tidak percaya, "Bagaimana mungkin mereka bisa kecelakaan? Mereka menggunakan jet pribadi. Ini tidak mungkin. TIDAK MUNGKIN!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status