Glenn menertawakan kepercayaan diri yang begitu tinggi itu dan masuk ke dalam lift dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celananya.
"Apa yang kau tertawakan?" ujar Narendra marah.
Glenn menghentikan tawanya sejenak dan berkata dengan santai sebelum lift itu tertutup, "Kau terlalu banyak mengkhayal, Narendra.”
"Me-ngkhayal?"
Glenn tersenyum meremehkan.
“Ya. Ingat, kau itu hanya keponakan ayahku. Tidak akan mungkin ayahku mewariskan perusahaan ini kepadamu,” ucap Glenn datar.
Begitu pintu lift tertutup, Narendra mengamuk. Ia menendang tempat sampah besar. Tak dia pedulikan para karyawan yang melihat ke arah dirinya dengan tatapan penuh tanya.
"Awas saja kau, Glenn. Awas saja!" ujar pria itu.
Sementara itu, Glenn yang baru saja tiba di unit apartemen Gardenia Hills miliknya itu terkejut luar biasa saat melihat Fero, asisten perbadinya itu berdiri di depan pintu apartemen dengan beberapa koper besar di dekatnya.
"Apa yang kau lakukan di depan sini? Kenapa koper-koperku kau bawa ke luar?" tanya Glenn keheranan.
Fero menjawab dengan terbata-bata, "Anda tidak diizinkan tinggal di dalam lagi, Tuan Muda."
"A-apa maksudmu?" Glenn melotot kaget.
Fero menggaruk bagian belakang kepalanya.
"Itu Tuan Muda ... ada yang membeli gedung apartemen ini, Tuan."
Glenn membuang napasnya dengan kasar. Seketika ia paham, "Ayahku. Ah, tentu saja hanya dia yang bisa melakukan semua ini."
Glenn lalu berkata, "Pulanglah ke rumah ayahku. Aku akan meminta orang untuk membantumu."
Fero agak kaget. "Lalu Anda bagaimana, Tuan?"
Glenn menjawab, "Kau pikir aku anak kecil yang bingung saat dipermainkan orangtuanya, Fer?"
"B-bukan seperti itu, Tuan Muda."
"Kau tak perlu pikirkan itu."
"Tapi Anda nanti akan pulang, Tuan?"
Glenn mengangguk, "Tentu saja. Tapi sebelum itu, aku harus memberi kejutan pada ayahku dulu."
Mendadak Fero merasakan firasat tidak enak, terlebih lagi saat ia melihat senyum miring tuan mudanya tersebut.
Sepeninggal Fero, Glenn melajukan mobilnya menuju ke sebuah showroom mobil. Kedatangannya langsung membuat kegaduhan.
"Hei, itu si Glenn Brawijaya kan? Apa yang sedang dia lakukan di sini?" bisik salah seorang wanita muda.
Karena temannya menggelengkan kepalanya, ia beralih pada seorang sales, "Apa yang dilakukan oleh Glenn Brawijaya di sini? Apa Brawijaya Corporation memiliki saham di showroom ini?"
"Oh, tidak Nona. Tuan Muda Glenn adalah pelanggan tetap di showroom ini. Beliau termasuk pelanggan platinum kami," ucap sales wanita itu.
Sang wanita muda tertarik, "Pelanggan platinum?"
"Ya. Pelanggan yang membeli mobil di showroom kami sebanyak 12 buah mobil per tahunnya," jawabnya.
"Luar biasa, 12 mobil per tahun, Angela. Gila, dia benar-benar kaya!" seru teman wanita itu.
Angela berseru, "Dia memang kaya, Jen. Jelas sekali. Brawijaya Corporation memang sangat besar. Cabang dan anak perusahaannya ada di mana-mana."
"Tapi jika dia sekaya itu, kenapa dia pergi sendirian ke showroom mobil? Kenapa dia tidak meminta anak buahnya saja?"
"Tuan Muda Glenn pernah mengatakan jika mobil itu sangat penting baginya. Dia memang sangat teliti, Nona dan juga memiliki selera yang sangat bagus. Tak mengherankan jika dia selalu datang langsung ke show room ini," jelas sales itu.
Angela manggut-manggut.
"Berikan aku series terbaru dari MCB ini!" ujar Glenn.
"Apa Anda ingin mencobanya dulu?" tanya karyawan yang terlihat akrab dengan Glenn.
Glenn menggelengkan kepalanya, "Tidak. Aku sedang terburu-buru. Aku hanya akan memilih warnanya saja."
"B-baik, Tuan Glenn."
Tak sampai tiga puluh menit, Glenn sudah membawa mobil baru itu keluar. Decak kagum terdengar begitu jelas saat ia mengemudikan mobil barunya itu dengan kecepatan lambat.
"Ayah, aku pulang," gumamnya saat ia memasuki gerbang rumah keluarga Brawijaya.
Rumah yang dijaga oleh belasan pengawal berseragam hitam yang kini juga sedang memandang tuan muda mereka dengan sorot mata bercampur aduk.
Fero berlari-lari kecil menghampiri tuan mudanya begitu ia melihat Glenn turun dari mobil. "Tuan Muda."
Glenn mengangguk dan mengedipkan sebelah matanya pada asisten pribadinya itu. Fero menelan salivanya dengan susah payah, "Anda membeli mobil baru lagi, Tuan Muda?"
"Seperti yang kau lihat, ini series terbaru MCB. Baru keluar dua hari yang lalu."
Fero melongo, "Bukankah Anda sudah membeli mobil baru satu minggu yang lalu, Tuan Muda?"
"Iya. Lalu kenapa?"
"Anda kan hanya diizinkan membeli mobil satu kali dalam sebulan. Ayah Anda ... Tuan Andi ...."
Glenn tersenyum miring, "Tak masalah, Fer. Lagi pula, 12 miliar itu tak ada apa-apanya untuk ayahku."
Fero terbelalak kaget, "Tu-Tuan. Minggu lalu Anda baru menghabiskan 4 miliar untuk series Porsas."
Glenn tersenyum lebar, "Itu series favoritku."
"Lalu ini, Tuan?"
"Ini jadi favoritku selanjutnya. Kau lihat ini? Sangat unik." Glenn menyentuh body mobil itu dengan begitu bangga.
"Iya, saya setuju Tuan Muda. Tapi ... tapi ...."
Glenn sontak menoleh jengkel, Fero sontak mengatupkan mulutnya kembali.
Melihat Fero sudah terdiam, Glenn pun melemparkan kunci mobilnya pada salah satu pengawal, "Parkir tepat di depan pintu utama."
Fero melotot kaget.
Ah, dia mengerti sekarang. Tuan mudanya pastilah hanya sedang berusaha membalas kekesalannya pada sang ayah dengan cara itu.
***
Andi Brawijaya baru saja membanting ponsel mahalnya setelah mendapatkan info dari sekretaris pribadinya jika putranya baru saja membeli mobil baru lagi. Ia membuat pengunjung restoran itu menoleh ke arahnya dengan kaget.
"12 Miliar," gumamnya pelan.
"GLENN!" teriaknya, suaranya mendadak naik satu oktaf.
"Anak kurang ajar itu."
Napasnya mulai tak beraturan lagi.
"Apa yang harus aku lakukan pada berandal itu?" teriaknya mulai frustrasi.
Edgar yang berdiri tepat di belakang tuannya tersebut hanya bisa terdiam bagai patung.
Jeda beberapa saat sebelum akhirnya ia berkata dengan sangat berat, "Edgar, hubungi sekretarisku. Batalkan meeting sore ini. Kita pulang sekarang."
"Ta-tapi Tuan-"
"Kau tidak mendengarku ya?" ujar Andi tajam.
Edgar langsung menunduk, "Dengar, Tuan. Tapi meeting ini sudah pernah ditunda, Tuan. Akan sangat-"
"Kau mau mengajari aku, Ed?"
"Ti-tidak, Tuan. Baik, baik. Akan saya lakukan," putus Edgar cepat, tak ingin menjadi sasaran kemarahan sang tuan.
Andi tak berkomentar dan langsung saja angkat kaki dari tempat itu.
Edgar menghela napas panjang, "Mereka sama saja. Tidak ada yang mau mengalah."
***
"Kenapa kau baru pulang, Glenn?" tanya Amelia Brawijaya yang tengah duduk sambil membaca majalah di ruang bersantai.
Glenn menjawab, "Memangnya kenapa aku harus cepat-cepat pulang?"
"Apa kau tak ingin bertemu dengan ibumu?"
"Kita sudah bertemu sekarang. Apa mau Ibu?"
Amelia mendesah, "Mau sampai kapan kau akan bersikap seperti ini terus?"
Glenn yang baru saja duduk itu langsung saja berdiri, "Kalau Ibu mau bertemu denganku hanya untuk menceramahiku, lebih baik aku masuk ke kamarku saja"
Amelia meletakkan majalah itu di atas meja, "Glenn, kau sudah 25 tahun. Sebentar lagi perusahaan akan beralih ke tanganmu. Kalau kau bersikap seenakmu terus, bagaimana kau akan memimpin perusahaan kita?"
Glenn membalas, "Kenapa aku tak boleh bersikap seenaknya sementara kalian berdua boleh?"
"Glenn, kita sudah pernah membicarakan hal ini berulang lagi." Amelia menatap putranya dengan sedih. "Kalau begitu, jangan coba atur-atur aku lagi! Ibu tidak berhak," ujar Glenn datar. Amelia menghela napas panjang, "Ibu tahu kau sangat membenci Ibu tapi setidaknya-" "Bagus kalau Ibu tahu," potong Glenn seenaknya. "GLENN!" Sebuah teriakan keras tiba-tiba terdengar di sana. Glenn hanya menoleh tanpa minat. "Wah, Ayah pulang cepat!” seru Glenn. "Sungguh suatu kejutan!" lanjutnya. Andi berjalan mendekat diikuti Edgar di belakangnya, "Mau sampai kapan kau bersikap kurang ajar seperti ini?" "Kurang ajar bagaimana? Ah, aku tahu. Ayah marah karena aku memakai uang 12 miliar itu. Begitu?" "Tidak. Bukan soal jumlahnya, Glenn." "Lantas?" tanya Glenn sambil menaikkan sebelah alisnya. "Kau sudah membuang-buang uang untuk hal yang tidak berguna," jawab Andi. Glenn tersenyum, "Itu sangat berguna, Ayah. Bukankah Ayah dan Ibu bekerja keras selama ini untuk hal ini?" Andi dan Amelia terdi
"Jet itu tiba-tiba mengalami gangguan dan jatuh tak jauh dari bandara, Tuan Muda. Sekarang ini, evakuasi sedang dilakukan," ucap Edgar pelan. Glenn tertawa. "Kau pikir aku akan percaya atas apa yang baru saja kau katakan?" Edgar tertunduk dalam. Glenn berkali-kali menggumamkan dia tidak percaya tapi saat ia menyaksikan berita yang disiarkan secara langsung tersebut, ia tak bisa lagi mengelak dari kenyataan. Jelas sekali disebutkan di berita tersebut jika jet pribadi yang membawa kedua orangtuanya dan beberapa kru pesawat itu telah ditemukan dan jenazah pun telah berhasil dievakuasi. "Tuan Muda," panggil Edgar. Glenn kesulitan berkata-kata. Tetapi ia tetap menyeret dirinya ke lokasi itu dan menyaksikan jenazah kedua orangtuanya dengan matanya sendiri. "Siapkan pemakaman!" perintahnya pada bawahan ayahnya tersebut. Glenn tampak terdiam sepanjang pemakaman itu digelar. Ia tak membalas ungkapan duka cita dari semua orang yang datang ke pemakaman itu. Fero, asisten pribadinya terseb
Satria menambahkan, “Glenn sudah bukan tuan muda kalian lagi. Sekarang patuhi perintahku atau kalian aku pecat.” Glenn mengamati mereka dan berikutnya belum sempat ia memahami semuanya, ia telah dihajar oleh anak buah ayahnya dan kemudian dilempar ke luar rumah. “Maafkan kami, Tuan Muda Glenn. Maafkan kami.” “Semoga Tuan Muda hidup dengan baik di luar.” Glenn terbatuk darah malam itu dalam keadaan terbaring di tengah jalanan ditemani hujan deras yang mengguyur. Pria itu tak dapat bergerak lantaran rasa sakit yang begitu amat menyakitkan menyerang tubuhnya. Di tengah-tengah semuanya itu, seseorang mendekat ke arahnya dengan membawa payung serta sebuah tas ransel. Ia mengangkat Glenn ke arah pinggir dan membantunya untuk duduk. Pria muda itu memberinya sebotol air mineral dan membantunya untuk minum. Glenn yang membutuhkan tenaga itu dengan rakus meminumnya sampai ia tersedak. “Maaf, Tuan Muda.” "Fer!" panggil Glenn lemah. Laki-laki muda itu lalu memberikan sebuah ransel hitam b
"Aku bisa membantumu merebut kembali semua hakmu," ujar pria itu. Mendengar perkataan pria yang menatapnya dengan sorot penuh ketenangan itu, Glenn sontak tertawa nyaring. Ia bahkan nyaris terjatuh dari bangku saat tertawa. "Apa yang kau tertawakan?" tanya pria muda itu keheranan. Glenn bangkit dari tempat duduknya dan menatap pria itu dengan meneliti, ia lalu menjawab santai, "Tentu saja kau." "Kenapa? Apa yang salah denganku?" Glenn menggelengkan kepalanya lalu berjalan melewatinya tanpa berkata sepatah katapun lagi. Pria itu terhenyak. "Glenn!" Glenn tak berhenti dan terus berjalan tanpa berniat sedikit pun untuk menyahut. "Glenn!" panggilnya lagi. Ia menyusul Glenn dan berjalan di samping Glenn. "Setidaknya dengarkan aku dulu," ucap pria itu. Glenn tak menggubris dan tetap berjalan, menganggap orang itu sebagai angin lalu. "GLENN BRAWIJAYA!" teriak pria itu. Jengkel, Glenn menghela napas panjang. "Pergilah!" "Tidak. Kau harus mendengarkan aku dulu," ucapnya, masih beru
"Aku? Apakah setelah aku mengatakan siapa diriku, kau mau merebut kembali hakmu?" tanya pria muda itu. Glenn berkata, "Sudah, lupakan saja omong kosongmu itu. Aku juga tak ingin tahu siapa dirimu." Glenn hampir saja kembali berjalan, tapi pria muda itu mencegahnya lagi dengan berdiri tepat di depannya. "Minggirlah!" geram Glenn. "Alexander Barata." Glenn terdiam sejenak, "Terus?" "Aku salah satu orang yang pernah dibantu ayahmu. Saat ini aku menjalankan bisnisku sendiri dan kebetulan cukup maju. Semuanya berkat ayahmu, Paman Andi yang selalu membantuku sekaligus menjadi mentorku," jelas pria bernama Alexander itu. Glenn manggut-manggut, "Aku tak pernah mendengar namamu. Tapi hm, itu tidak penting. Ya sudah, Barata. Aku pergi." "Tidak. Kau tidak bisa pergi begitu saja." Glenn bersedekap, menatap Alex dengan menyipitkan matanya. "Kenapa kau begitu bersikeras, Barata?" Alexander menjawab, "Aku ... harus melakukannya." Glenn mencibir, "Ah. Aku tahu sekarang. Kau berniat membalas
"Aku sudah membayarnya, bukankah kau tidak berhak mengomel lagi?" ujar Glenn dingin, tatapannya terlihat menakutkan. Sang pemilik warung itu hanya terdiam, merasa kalah lantaran uang yang diberikan oleh Glenn kepadanya jumlahnya lebih banyak dibandingkan yang seharusnya. Glenn tersenyum sinis melihat orang itu lalu melangkahkan kakinya menjauh dari warung yang sedang penuh pelanggan itu. Akan tetapi, ketika ia baru saja sampai di depan warung, ia meringis kaget saat kepalanya dihantam oleh sesuatu. Ia memegang bagian belakang kepalanya yang ternyata terkena pecahan telur mentah. Semua orang sontak menertawakannya. Sebagian dari mereka bahkan bersorak seolah kejadian yang baru saja terjadi itu merupakan sebuah pertunjukan yang sangat bagus. "Sana pergi, gelandangan!" teriak istri dari pemilik warung itu. "Dasar miskin!" ejek wanita yang tadi sempat berdebat dengannya. Glenn tidak tahu siapa yang telah melemparkan telur itu kepadanya, sehingga ia tidak bisa membuat perhitungan.
Seseorang dengan pakaian trendi dan terlihat begitu berkelas menghampiri Glenn yang masih sedang berdiri sana. "Kenapa kau malah pergi?" tanya Narendra. Glenn yang memunggunginya tak menjawab dan malah mulai melangkah menjauh. Akan tetapi Narendra tidak membiarkannya lepas begitu saja. Ia kembali memanggil, "Glenn! Apa itu kau?" Glenn seketika berhenti melangkah. Napasnya mulai memburu. Mendengar suara sialan itu memanggil namanya rasanya ia ingin menghajarnya. Tapi tentu ia tidak bisa melakukannya sekarang. Ia tidak akan pernah bisa menyentuh sepupu brengseknya itu. Narendra tersenyum miring, "Benar kan? Kau Glenn, sepupuku. Kau-" "Astaga, apa kau itu buta, Rendra? Pengemis ini kau bilang Glenn?" ujar Zayn, teman Glenn di masa dulu yang kini menjadi teman Narendra. Glenn dengan mudah mengenali suara mantan sahabat dekatnya itu. Dia tidak mungkin salah. Itu memang Zayn, sahabat dekatnya yang ia datangi pertama kali saat malam ia diusir kala itu. Namun, kala itu Zayn justru men
Usai mengatakan hal itu, Glenn segera pergi dari tempat itu, meninggalkan Dewa yang masih terbatuk-batuk akibat ia cekik. Glenn memang tidak mencengkeram lehernya dengan begitu kuat tapi tetap saja tenggorakannya luar biasa sakit. Ia kesulitan bernapas. "Dasar orang aneh!" ujar Dewa heran. "Ke mana dia pergi?" lanjutnya usai melihat Glenn sudah tak terlihat lagi. Dewa mengambil napas dalam-dalam dengan begitu rakus sebelum kembali berguman tidak jelas, "Apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Apa benar dia memang memiliki hubungan ada dengan orang-orang sialan itu?" Glenn sendiri berjalan tanpa arah tujuan yang jelas selama belasan menit sampai ia memilih berhenti di sebuah taman kota. Taman itu tak terlalu ramai dan kebetulan terdapat banyak tempat duduk di sana. Ia pun memilih salah satu bangku panjang dan duduk di bangku itu dengan tatapan kosong. "Sudahlah, Glenn. Memang apa yang sekarang bisa kau lakukan? Tidak ada. Kau ini hanya seorang gelandangan yang tidak punya apa-apa,