“Hemmm, berarti otak semua itu adalah Ibunda Saka Galuh. Putranya itu hanya sebagai alat saja untuk menduduki tahta Kerajaan sementara semuanya dikendalikan olehnya,” ujar Arya memberi pandangan.
“Benar Arya, aku juga sependapat denganmu. Dwinta memang kejam wanita berhati iblis!” Wayan Bima turut geram.
“Oh, jadi nama Ibunda Saka Galuh itu Dwinta?” Wayan Bima hanya menjawab dengan anggukan kepalanya sementara rasa geramnya belum reda pada Ibu tiri dari Sekar itu.
“Dia memang kejam Mas Arya, semasa remajaku di belakang Ayahanda aku kerap diperlakukan tidak baik bahkan pernah diperintah untuk melakukan apa yang dikerjakan oleh para pembantu di istana,” Sekar menceritakan keluh-kesahnya saat diperlakukan rendah oleh Ibu tirinya itu sewaktu di istana.
“Kamu tak pernah menceritakan itu pada Ayahandamu?”
“Aku takut Mas, karena selalu diancam akan disakiti.”
“Paman Wayan dan Bi Lasmi tahu akan hal itu?” Arya alihkan pertanyaan pada Paman dan Bibi angkat Sekar.
“Awalnya kami tidak tahu, Arya. Karena memang Sekar tidak pernah juga menceritakan hal itu kepada kami, sampai akhirnya kami mengetahui sendiri saat memergoki Sekar tengah bersama para pembantu istana mencuci pakaian. Saat itulah Sekar menangis dan memohon agar kami juga tidak menceritakan perlakukan buruk Ibu tirinya itu kepada Prabu Swarna Dipa,” tutur Wayan Bima.
“Benar Arya, meskipun kami tidak tahu penyebab Sekar tidak ingin kami melaporkan itu pada Prabu karena diancam. Kami pikir karena Sekar tak ingin ribut-ribut saja makanya kami turuti permintaannya, setelah Prabu Swarna Dipa wafat dan kami membawanya ke desa ini barulah Sekar menceritakan semuanya termasuk ancaman dari Ibu tirinya itu,” tambah Bi Lasmi.
“Keserakahan dan kejahatan tidak hanya terjadi di Negeri Nusantara ini saja, tapi juga di Negeri Peri dan Negeri Di Atas Awan yang pernah aku singgahi. Benar-benar manusia selalu tak pernah puas atas apa yang telah ia peroleh, mereka juga bahkan tidak pernah bersyukur pada Sang Pencipta,” tutur Arya.
“Ya, terlebih terlebih berkaitan dengan kekuasaan dalam sebuah Kerajaan. Hanya sedikit Raja-raja yang arif dan bijaksana dalam memimpin rakyatnya, kebanyakan dari mereka hanya memikirkan diri sendiri dan kesejahteraan istana Kerajaan saja,” ujar Wayan Bima.
Sekar awalnya merasa enggan untuk menceritakan lebih lengkap tentang kejadian yang ia alami di istana Kerajaan Dharma, tapi setelah ia pikir-pikir lagi dan menimbang akan adanya sosok pemuda yang begitu serius ingin membantunya dan seluruh warga desa-desa di kawasan Pulau Dewata itu, ia pun kembali buka suara.
“Mas Arya, sebenarnya aku enggan untuk bercerita selengkapnya dengan semua peristiwa yang aku alami sewaktu di istana Kerajaan sebelum Ayahanda tewas dan kepemimpinan di ambil alih Saka Galuh. Karena hal itu membuat hatiku sedih, tapi karena Mas nampaknya sangat serius akan membantu kami, baiklah aku akan menceritakannya sekarang. Paman Wayan dan Bi Lasmi tak keberatan kan jika aku menceritakan semuanya?” ujar Sekar sembari bertanya meminta persetujuan pada Paman dan Bibi angkatnya itu terlebih dahulu .
“Tentu saja Paman dan Bibimu tidak akan keberatan Sekar, kami malah senang jika kamu mau menceritakan semua itu,” jawab Wayan Bima, Lasmi pun tampak anggukan kepalanya menyetujui.
“Hemmm, aku rasa itu akan lebih baik Sekar karena dipendam justru akan membuat hatimu akan selalu dirundung kesedihan yang mendalam,” tambah Arya tersenyum dan telah siap mendengar cerita secara detailnya dari putri mendiang Prabu Swarna Dipa itu.
Beberapa tahun yang lalu…………
Setelah permaisuri Raja Kerajaan Dharma meninggal dunia akibat sakit yang tak kunjung sembuh selama berbulan-bulan lamanya, Sekar gadis kecil seperti kehilangan salah satu tempat bergantung dan bersandar saat ia tergamang.
Prabu Swarna Dipa juga sangat sedih dan kehilangan, beberapa hari dia tampak murung dan suka menyendiri. Gadis kecil seperti Sekar tentu saja belum bisa memahami keadaan itu, dia hanya tahu jika Ibundanya telah berpulang dan pada saat itulah Lasmi dengan sepenuh hati dan kasih sayang mengasuh Raden Ayu Putri Sang Prabu.
Beberapa bulan kemudian setelah mempertimbangkan semuanya, Prabu Swarna Dipa memutuskan untuk menikah kembali dengan seorang gadis bernama Dwinta. Sang Prabu berharap Dwinta dapat berperan menjadi Ibu yang baik bagi Sekar, di samping tuntutan menjadi seorang Raja haruslah memiliki permaisuri.
Dwinta memang memperlakukan Sekar kecil dengan baik layaknya putri kandung sendiri, akan tetapi itu semua ia tunjukan hanya di depan Sang Prabu. Sementara di belakang Prabu Swarna Dipa terlebih Raja Kerajaan Dharma itu berpergian ke luar istana, Sekar tak pernah ia acuhkan.
Dari pernikahan Sang Prabu dengan Dwinta lahirlah seorang putra mahkota yang diberi nama Saka Galuh, sejak itu nyaris tak ada sedikitpun perhatian Dwinta pada Sekar. Justru perlakukannya sangat tidak sepantasnya dilakukan seorang Ibu, Dwinta sengaja menyetarakan Sekar yang telah tumbuh menjadi gadis remaja itu dengan pembantu dan pelayan istana.
Selama Sang Prabu meninggalkan istana karena berbagai keperluan ataupun urusan penting, Sekar remaja kerap di siksa dengan melakukan pekerjaan yang seharusnya di lakukan oleh pembantu atau pelayan istana Kerajaan Dharma itu.
Saka Galuh yang telah tumbuh menjadi pemuda remaja, siang itu dipanggil Sang Prabu untuk menghadap di sebuah ruangan yang di sana juga ada Dwinta Ibu kandungnya.
“Ayahanda memanggilku?”
“Benar putraku duduklah, Ayahanda ingin bicara,” Sang Prabu mempersilahkan Saka Galuh duduk.
“Ada apa Ayahanda?”
“Ayahanda menginginkan kamu untuk berguru pada sahabat Ayahanda di Pulau Madura, ia seorang Kiai pemilik sebuah pemondokan. Beliau memiliki keahlian bela diri dan ilmu kanuragan yang mempuni di samping ilmu agama yang ia ajarkan di pemondokan itu,” tutur Prabu Swarna Dipa.
“Berguru?”
“Ya, sebagai seorang putra mahkota sudah selayaknya pula kamu memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari para prajurit dan bahkan Panglima Kerajaan. Berangkatlah besok pagi, kamu akan di antar oleh beberapa orang prajurit istana yang pernah Ayahanda bawa serta dulu ke sana,” pinta Sang Prabu memberi perintah.Saka Galuh sebenarnya sama sekali tidak berminat dengan usulan Ayahandanya itu, namun ia tak berani menolak perintah meskipun kesehariannya seorang Saka Galuh selalu membangkang perintah di belakang Sang Prabu.Pagi itu Saka Galuh memang terlihat bersiap seperti seorang yang akan berpergian jauh, tentu saja Sang Prabu senang karena putranya itu menjalani perintahnya dan akan menjadi seorang pemuda yang memiliki keahlian silat.Akan tetapi harapan Sang Prabu itu tidak sesuai dengan yang sebenarnya terjadi, saat Saka Galuh dan beberapa orang prajurit istana berlayar dengan perahu ke Pulau Madura. Putra mahkotanya itu memilih menuju Pulau Jawa, ia sengaja berada di Pulau Jawa i
“Benar, jika dibiarkan bukan tidak mungkin makin lama rakyat akan semakin menderita.”“Sepertinya malam telah kian larut Arya, sebaiknya kita sekarang istirahat. Mari kita tidur di dalam,” ajak Wayan Bima.“Kalian saja yang tidur di dalam, aku di sini saja.”“Jangan Arya, di luar udaranya terlalu dingin. Kita bisa tidur di ruangan depan,” ujar Wayan Bima.“Tidak apa-apa, Paman. Kalian masuk dan beristirahatlah di dalam, aku di sini saja sembari memantau situasi Desa Kuta ini.”“Baiklah jika begitu kami pamit untuk istirahat dulu,” Arya anggukan kepalanya sembari tersenyum, Wayan Bima, Lasmi dan Sekar masuk ke dalam rumah.Udara malam di pendopo terlebih letaknya tidak jauh dari pinggiran pantai tentu saja dingin apalagi jika angin bertiup dari lautan, namun bagi Arya hal itu merupakan hal biasa bahkan lebih nyaman berada di pendopo itu karena biasanya dia tidur di pinggir hutan yang terkadang diterpa hujan yang tentu lebih dingin lagi.Arya memang telah rebahkan tubuhnya berbaring di
“Justru berlebih makanya uang hasil penjualan ikan-ikan ini aku bagikan pada para warga desa yang kehidupannya sangat sulit, sebab penghasilan mereka tidak mencukupi karena harus menyisihkan untuk upeti buat istana Kerajaan.”“Paman Wayan memang luar biasa, sangat mulia hatimu Paman,” puji Arya dengan rasa kagumnya.“Hanya membantu sesama saja Arya, dan hal itu aku lakukan karena kepemimpinan Saka Galuh telah banyak membuat para warga desa menderita. Para sahabatku di desa-desa lain juga melakukan itu jika penghasilan mereka berlebih dari kebutuhan sehari-hari,” tutur Wayan Bima sambil mengendalikan gerobak kudanya.“Pada saat Prabu Swarna Dipa memimpin apa tidak ada upeti yang ditarik pihak istana, Paman?”“Tentu saja ada, Arya. Dan itu memang sudah ketentuannya di setiap kawasan yang dikuasai sebuah Kerajaan, hanya saja upeti yang beliau anjurkan pada rakyatnya semasa kepemimpinan Prabu Swarna Dipa terbilang kecil dan tidak memberatkan para warga desa,” jawab Wayan Bima menjelaskan
“Hemmm, istana Kerajaan ini cukup besar dan megah juga. Para prajurit dan penjaga di sini juga tidak terkesan ketat dengan membolehkan siapa saja masuk hingga taman di halaman istana ini,” gumam Arya sambil terus mengitari pandangannya ke seluruh bagian luar istana itu yang tentunya dengan tetap bersikap santai dan tak menunjukan gerak-gerik mencurigakan.Sekitar setengah jam Arya duduk di taman mengamati kawasan istana Kerajaan itu, ia pun kembali ke pasar menemui Wayan Bima.“Wah, cepat sekali ikan-ikan Paman terjual habis!” seru Arya girang bercampur terkejut saat ia tiba di meja di mana Wayan Bima dan dia tadi berjualan ikan.“Itu karena ada beberapa orang pelangganku memborongnya untuk dijual lagi di pasar-pasar kecil di desa mereka,” tutur Wayan Bima diiringi senyumnya. “Menyenangkan sekali berdagang ikan di pasar ini ya, Paman?” Arya begitu semangatnya membantu Paman Wayan membereskan tempat ikan-ikan yang tadi mereka bawa dari rumah, kemudian merapikan meja dan tempat mereka
Meskipun Wayan Bima, Lasmi dan Sekar adalah mantan penghuni penting istana Kerajaan. Akan tetapi mereka tetap berpenampilan sederhana, begitu pula cara kehidupan mereka sehari-hari di rumah itu.Demikian pula dengan penyajian makanan saat makan bersama, semua alat-alat makan juga sederhana tak ada kesan mewah saat mereka dulu tinggal di istana Kerajaan. Namun begitu rasa masakan yang dibuat Lasmi dan Sekar sangat lezat tak kalah dengan yang dibuat para pembantu-pembantu istana, terlebih sop kepiting buatan Sekar yang jadi spesial dipenyajian makan saat itu.“Wah, kepiting ini sangat lezat sekali!” seru Arya yang nampak lahap sekali makannya.“Hemmm, sop kepiting ini Sekar yang memasak,” ujar Lasmi diiringi senyum dan matanya melirik pada Sekar yang nampak malu-malu.“Sungguh aku tak pernah merasakan masakan selezat ini, ternyata kepiting sangat enak bila di sop. Aku tak menyangka seorang putri Kerajaan pintar memasak,” puji Arya membuat Sekar kembali tersipu malu.“Aku belajar dari Bi
“Silahkan diminum dan dicicipi Mas panganan ala kadarnya, Mas,” ujar Sekar diiringi senyum manisnya.“Terima kasih, Sekar. Sudah hampir sore Paman Wayan belum jua kembali, apa para sahabatnya itu berada jauh dari tempat ini?” ucap Arya sembari bertanya.“Ada yang dekat ada pula yang jauh, Mas. Sahabat-sahabat Paman itu bermukim di berbagai desa di pulau ini, jadi wajar jika Paman menemui semua sahabatnya memakan waktu yang cukup lama,” jawab Sekar sambil ikut duduk di pendopo itu.“Saka Galuh memang kejam dalam memimpin Kerajaan terhadap rakyatnya, ada banyak para warga desa yang kelaparan akibat persediaan untuk makan mereka habis karena harus membayar upeti pada pihak istana setiap bulannya. Ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut, secepatnya kita harus melakukan tindakan pada istana Kerajaan itu,” tutur Arya yang merasa kasihan melihat para warga desa yang tadi ia temui sambil membagi-bagikan beras yang dibeli Wayan Bima di pasar.“Benar Mas Arya, rakyat telah bertahun-tahun menderit
“Ya Bi, jika sebentar lagi Paman belum pulang juga aku akan mandi dulu dan kembali menunggunya di sini.”“Kalau begitu aku yang pamitan untuk mandi dulu Bi, Mas Arya,” Sekar mohon diri.“Ya silahkan Sekar,” ujar Arya dan Lasmi bersamaan.Sepeninggalnya Sekar, Arya lanjut bercakap-cakap dengan Lasmi sembari menunggu Wayan Bima pulang dari mengunjungi para sahabatnya yang tinggal di berbagai desa di Pulau Dewata itu.****Sore itu di istana Kerajaan Dharma, Saka Galuh tampak mengumpul beberapa orang kepercayaannya di sebuah ruangan.“Maksud dan tujuanku mengumpulkan kalian di sini, untuk membicarakan mengenai upeti yang setiap bulan kita minta dari para warga desa,” Saka Galuh membuka pembicaraan di ruangan itu.“Maaf yang mulia, apakah upeti-upeti yang kita kumpulkan bulan yang lalu tidak mencukupi?” tanya salah seorang orang kepercayaan istana itu.“Bukan begitu, upeti yang didapatkan bulan kemarin cukup banyak. Akan tetapi aku menginginkan bulan depan upeti-upeti itu lebih banyak lag
“Iya Lasmi, tadi aku terlalu lama diajak singgah Birowo di rumahnya bahkan aku juga sempat mandi dulu di sana sebelum pulang ke sini,” ujar Wayan Bima menyebut nama salah seorang sahabatnya yang ia kunjungi tadi.“Wah, berarti Kang Mas juga sudah makan malam bersama Birowo dan keluarga?”“Hemmm, tadinya aku memang dicegah untuk pulang sebelum makan malam bersama mereka, tapi karena aku beralasan karena sudah terlalu lama meninggalkan tamu di rumah mereka pun mengizinkan aku untuk kembali ke sini dengan tidak memenuhi ajakan mereka untuk makan malam bersama,” tutur Wayan Bima diiringi senyumnya.“Nah, kalau begitu mari sekarang kita makan malam bersama. Arya sudah sejak tadi menunggu Kang Mas,” ajak Lasmi.“Iya Lasmi, mari Arya kita makan malam dulu,” Wayan Bima mengajak Arya, sang pendekar hanya anggukan kepala sembari tersenyum dan mengikuti langkah Lasmi dan Wayan Bima ke dalam rumah.“Bagaimana Paman, apa para sahabat yang Paman temui tadi setuju dengan rencana kita untuk melakukan
“He.. he.. he..! Baru disentil sedikit saja kau sudah kasak kusuk, benar-benar gagak lumpuh..!” Arya cengengesan membuat Sandaka makin gusar.“Jangan sombong kau bocah edan..! Hiyaaaaat...! Wuuuuuus..!” kedua kaki Sandaka melesat seperti hendak menggunting bagian pergelangan kaki Arya, dengan cepat pula Arya lambungkan tubuhnya ke udara hingga sapuan itu hanya menerpa udara kosong.“Wuuuuuuuuuuuuus..! Deeeeeees..! Bruuuuuk..!” tiba-tiba saja sebuah sinar hitam melesat cepat membuat Arya terkejut dan hanya menangkis dengan tangan kosong bertenaga dalam rendah, akibatnya sang pendekar yang masih berada di udara terpental bergulung-gulung lalu jatuh tertelungkup di tanah.“Sial..! Curang kau gagak jelek..!” umpat Arya sambil berdiri dan mengeletik-letik pergelangan tangannya yang terasa panas dan keram.“Ha.. ha.. ha..! Bagaimana ajian Gagak Menepuk Semut ku ampuh kan?” Sandaka tertawa senang karena telah berhasil membuat Arya terjatuh tertelungkup di tanah dengan melepaskan ajian yang i
Sementara beberapa santri yang ditunjuk Kiai Bimo mendampingi Mantili tentu saja para santri terbaik dari segi bela diri, mereka diperkirakan akan cukup berpengaruh bergabung dengan para warga menghadapi anggota Padepokan Gagak Hitam.“Saudara-saudaraku semuanya, terima kasih kalian telah berkumpul di sini. Aku sebagai kepala Desa Kidung mewakili seluruh warga desa juga menyampaikan permintaan maaf, karena tampa kami sadari telah terpengaruh oleh anggota Padepokan Gagak Hitam yang sesungguhnya mereka lah gerombolan penjahat telah membuat saudara-saudara kita di Desa Sampang terpaksa meninggalkan desa mereka itu akibat di serang dengan keji dan biadab,” ucap Suryo di depan ratusan orang gabungan dari 3 desa yang berkumpul di halaman itu.“Tidak apa-apa Paman Suryo, yang terpenting sekarang Paman dan seluruh warga di sini telah mengetahui tentang Padepokan Gagak Hitam itu,” ujar Mahfud.“Terima kasih, sekarang saudara dipersilahkan untuk memberi pengarahan sebagai pemimpin dalam rencana
“Wargaku semuanya, kalian aku minta hadir berkumpul di halaman ini menyambung dengan rencana Mas Arya yang aku katakan kemarin, beberapa di antara kalian akan aku pilih untuk ikut serta besok pagi ke Desa Kidung. Dari sana nantinya kita akan bersama-sama dengan para warga desa lainnya menyerang ke Padepokan Gagak Hitam yang kemarin pagi telah berusaha berbuat kekacauan di Desa Tengger ini, apa kalian bersedia?” tutur Karta Dimo.“Bersedia Mas Karta, orang-orang biadab seperti mereka harus ditumpas..!” seru para pria warga Desa Tengger yang berkumpul di halaman rumah kepala desa itu.“Baiklah sekarang aku akan memilih beberapa orang di antara kalian, karena sebagiannya musti tinggal dan menjaga desa kita ini selama kami nanti pergi bergabung dengan yang lainnya di Desa Kidung,” sambil berucap Karta Dimo memilih beberapa orang dari mereka untuk dibawa ikut serta besok pagi ke Desa Kidung.Sebelum gelap Mantili dan beberapa orang santri yang ditunjuk Kiai Bimo mendampingi muridnya itu ti
Sedangkan Arya yang saat ini menuju Desa Tengger tentu tidak akan merasa kesulitan pula dalam mewujudkan semua yang telah direncanakannya itu, sebab sebelumnya Karta selaku kepala desa itu juga berharap sesegera mungkin bergerak menumpas Padepokan Gagak Hitam yang telah membuat kekacauan di desanya.Kembali Kiai Bimo didatangi muridnya itu saat tengah melatih para santri ilmu bela diri di sebelah kiri bangunan-bangunan pemondokan, namun kali ini Mantili tidak melakukan serangan secara tiba-tiba seperti yang ia lakukan pada Gurunya itu saat Arya juga berada di sana, Mantili menghampiri Kiai Bimo dengan berjalan santai dan itu diketahui oleh pemilik pemondokan itu.“Hemmm, rupanya kamu telah kembali Mantili. Arya mana?” tanya Kiai Bimo.“Mas Arya tidak bisa ikut ke sini karena ada sesuatu yang musti ia rembukan dengan 3 orang kepala desa di Desa Karapan, ia memintaku untuk kembali sendiri menemui Eyang Guru di pemondokan ini.”“Merembukan sesuatu dengan 3 orang kepala desa? Kamu tahu pe
“Jadi sekarang apa yang musti aku lakukan dengan para warga di desa ini?”“Aku rasa hari ini mereka tidak akan datang ke desa ini untuk kembali menyerang, mereka tentunya akan menunggu sampai besok pagi karena jarak Padepokan Gagak Hitam dari Desa Tengger ini cukup jauh. Jadi Mas Karta dan seluruh warga desa ini tidak perlu terlalu kuatir cukup berjaga-jaga saja, kami juga akan pamit dulu kembali ke Desa Karapan,” ujar Arya.“Mas Arya dan Mbak Mantili akan kembali ke Desa Karapan?”“Benar Mas Karta, ada yang harus kami rembukan dengan beberapa kepala desa menyangkut rencana yang akan kita lakukan selanjutnya menumpas Padepokan Gagak Hitam itu,” jawab Arya.“Apa perlu aku ikut serta juga ke sana Mas Arya?”“Aku rasa tidak usah Mas, karena Mas Karta sudah mengetahui akan rencana yang akan kami lakukan pada Padepokan Gagak Hitam itu.”“Tapi aku dan warga Desa Tengger juga ingin ikut serta dalam menumpas Padepokan Gagak Hitam yang biadab itu, terlebih sebagian anggota mereka telah menyera
“Treeeeeeek... Teeekteeeeek! Tolooooooooooong...!” beberapa atap rumah mulai terbakar akibat lesatan obor-obor yang dilempar anggota Padepokan Gagak Hitam beriringan dengar pekikan para wanita warga desa itu.Bayangan putih dan ungu tiba-tiba bersamaan berkelebat cepat di udara, membuat para anggota Padepokan Gagak Hitam terkejut.“Blaaaaar..! Bruuuuuuuuuuuk..!” sebuah kilatan putih yang berasal dari telapak tangan salah satu sosok bayangan yang masih berkelebat di udara itu, menghantam para anggota Padepokan Gagak Hitam hingga belasan orang di barisan depan terpental dari tertelentang di tanah.Ternyata sosok bayangan yang melesatkan pukulan sewaktu masih berkelebat di udara itu adalah Arya, sementara Mantili saat ini tengah menghadang para anggota Padepokan Gagak Hitam yang lainnya.“Hiyaaaaaat..! Deeeeeees..! Deeeeeeees..! Bruuuuuuuk..!” tendangan memutar cepat dihantamkan wanita cantik berpakaian ungu itu pada beberapa anggota Padepokan Gagak Hitam yang hendak melakukan serangan b
Sementara beberapa warga yang tadi dibawa dari desa-desa yang setuju bergabung dengan padepokan itu, sama sekali tidak mengetahui jika para anggota Padepokan Gagak Hitam yang membawa mereka ke padepokan itu akan menyerang desa mereka saat itu juga.Kedatangan Arya dan Mantili kembali ke Desa Karapan tentu memunculkan rasa penasaran pada Mahfud dan Samin, kedua kepala desa itu membawa Arya dan Mantili ke dalam rumah tepatnya di ruangan depan karena sebelumnya sang pendekar memberitahu jika ada hal yang sangat rahasia sifatnya yang akan disampaikan.“Hal apa yang hendak Mas Arya sampaikan hingga harus dirahasiakan?” tanya Samin.“Begini, di antara Mas berdua siapa yang kenal dengan Suryo kepala Desa Kidung?” Arya balik bertanya.“Paman Suryo? Aku kenal dengan beliau, dan sering berkunjung ke Desa Kidung itu,” jawab Samin.“Aku juga Mas Arya,” tambah Mahfud.“Memangnya ada apa dengan Paman Suryo itu?” sambung Samin penasaran.“Setelah kami berdua menyelidiki, ternyata gerombolan orang ya
Pagi itu cuaca agak mendung, di beberapa kawasan terlihat awan hitam menyelimuti langit. Karena tak setetespun gerimis turun, Arya dan Mantili memutuskan untuk berpamitan pada Suryo dan keluarganya meninggalkan Desa Kidung.“Terima kasih Paman Suryo dan keluarga telah mengizinkan kami bermalam di sini, sekarang kami mohon diri untuk melanjutkan perjalanan kami,” ucap Arya.“Apa tidak sebaiknya nanti saja Arya, hari tampaknya mendung dan dikuatirkan akan turun hujan sebentar lagi.”“Tidak apa-apa Paman, mumpung hujan belum turun sebaiknya kami berangkat sekarang biar nanti dapat mencari tempat berteduh jika memang di perjalanan hujan turun.”“Baiklah jika memang begitu keinginan kalian kami pun tak dapat mencegah lagi, hati-hati di jalan.”“Baik Paman, Assalamu alaikum,” ucap Arya.“Waalaikum salam,” balas Suryo, Arya dan Mantili berjalan ke arah timur sesuai dengan yang mereka katakan pada kepala Desa Kidung itu.Setelah cukup jauh meninggalkan Desa Kidung itu, Arya mengajak Mantili u
Arya kemudian melayangkan pandangannya ke sekeliling kawasan dari tempat ia dan Mantili berdiri dihadang beberapa pemuda Desa Kidung itu, hari sudah mulai gelap dan tak mungkin rasanya melanjutkan perjalanan.Sebenarnya bagi Arya bukan karena hari telah gelap dan di larang masuk ke pemukiman desa oleh beberapa pemuda itu yang menjadi pikirannya, melainkan Arya merasa aneh saja karena tak biasanya para warga sebuah desa termasuk pemuda di sana bersikap seperti itu.“Kenapa para pemuda ini melarang kami masuk ke pemukiman desa mereka? Ada rahasia apa yang mereka sembunyikan di dalam desa itu hingga orang dari luar desa ini tak di izinkan masuk?” pikir Arya rasa penasarannya pun semakin besar.Arya kembali berfikir bagaimana caranya melunakan hati para pemuda di depan mereka itu, agar berkenan mempersilahkan mereka masuk ke pemukiman warga serta di izinkan menginap di sana.“Sebenarnya jika aku sendiri saja tidak akan jadi masalah bagiku jika kalian memang tidak mengizinkan masuk ke pemu