Share

Bab 2. Arya Geram

Pendekar Rajawali Dari Andalas itu membayangkan betapa menderitanya para warga desa di seluruh kawasan Pulau Dewata itu atas kekejaman Kerajaan Dharma yang dipimpin oleh Saka Galuh, dan memang perlakuan tidak manusiawi yang kerap diterima oleh para warga yang terlambat membayar upeti apalagi tidak dapat membayarnya sama sekali dalam bulan tertentu.

Para prajurit utusan Kerajaan bukan hanya akan mengambil paksa persediaan makanan berupa padi dan beras di rumah warga yang tidak mampu membayar upeti pada bulan itu, mereka juga akan mendapat penyiksaan terlebih jika warga itu berusaha menghalang-halangi para prajurit dalam melakukan tindakan pemaksaan itu.

Karena membayangkan betapa menderitanya para warga di bawah kepemimpinan Saka Galuh yang merupakan raja sebuah Kerajaan besar, sedangkan seorang Adipati yang pernah ia temui dulu di Tanah Minang saja yang hanya seorang Adipati dapat membuat warga desa semenderita begitu apalagi seorang raja yang kejam seperti Saka Galuh itu.

“Keparat..! Tak di mana-mana selalu saja ada pemimpin yang serakah..! Demi kesenangannya dia sampai hati membuat raktyatnya menderita..! Aku harus membuat perhitungan dengan Saka Galuh biadab itu...!” geram Arya dalam hati, kedua tangannya terlihat mengepal, kalau saja saat itu orang yang dimaksud ada di depannya mungkin saat itu juga sang pendekar akan menghajarnya.

Saat itu pulalah timbul di hati Arya untuk mengurungkan niatnya untuk segera kembali ke Tanah Jawa, Arya memilih bertahan di Desa Kuta itu dan tentu saja akan menyusun rencana untuk membebaskan penderitaan para warga desa di seluruh kawasan Pulau Dewata dari kebiadaban pihak istana Kerajaan Dharma yang di pimpin Saka Galuh itu.

Sekembalinya dari rumah Wijaksa kepala Desa Kuta, Arya dan Wayan Bima duduk di pendopo rumah tempat tadi sore murid Nyi Konde Perak itu terbaring pingsan. Arya bertanya secara lengkap mengenai keluarga Wayan Bima itu yang dikatakan Wijaksa mantan penghuni istana sebelum Saka Galuh memimpin, atau pada waktu itu di bawah kepemimpinan Prabu Swarna Dipa.

Wayan Bima pun bercerita kalau dia dan istrinya sengaja pergi dari istana itu dan secara diam-diam mendirikan pemukiman di pinggiran pantai itu memilih menjadi seorang nelayan, Wayan Bima juga mengatakan jika Sekar bukanlah putri kandungnya melainkan putri mahkota Prabu Swarna Dipa hanya saja antara dia dan Saka Galuh berbeda Ibu sebab pada waktu Sekar masih berusia 5 tahun Ibundanya wafat dan Prabu Swarna Dipa menikah kembali dengan Ibu dari Saka Galuh itu.

“Aku sengaja meminta istri dan keponakanku untuk ikut serta dalam obrolan kita di pendopo ini Arya, karena ada hal penting yang ingin aku ceritakan,” ulas Wayan Bima.

“Hal penting apa itu, Paman?”

“Begini Arya, Sekar bukanlah keponakan kandungku melainkan keponakan angkat yang kami bawa melarikan diri dari istana Kerajaan Dharma beberapa tahun yang lalu. Kami juga dulunya bagian dari istana Kerajaan itu,” tutur Wayan Bima.

“Apa? Kalian merupakan bagian dari istana Kerajaan Dharma? Lalu kenapa musti pergi apalagi melarikan diri dari sana, Paman?” Arya terkejut lalu ingin tahu cerita selengkapnya.

“Aku merupakan orang kepercayaan Baginda Prabu Swarna Dipa dulunya, namun sejak permaisuri Ayu Bestari yaitu Ibu kandung dari Sekar wafat dan Prabu menikah lagi kondisi Kerajaan berubah sangat menguatirkan, terutama saat putra mahkota Saka Galuh telah dewasa. Permaisuri yang baru sekaligus Ibunda dari Saka Galuh itu mengatur strategi licik untuk merebut kekuasaan dari tangan Prabu Swarna Dipa dengan bermaksud menjadikan Saka Galuh sebagai Raja,” tutur Wayan Dipa.

“Lalu apa yang terjadi selanjutnya, Paman?” Arya makin penasaran.

“Mereka berhasil menjebak Prabu Swarna Dipa dengan mengajaknya pergi berburu, dan di tempat berburu itulah Prabu Swarna Dipa tewas diserang oleh seorang yang berilmu sangat tinggi, para prajurit tak mampu melindungi Prabu Swarna Dipa sementara Saka Galuh yang saat itu juga ikut berburu tidak melakukan tindakan apa-apa terkesan membiarkan penyerangan itu hingga Prabu Swarna Dipa tewas,” lanjut Wayan Bima.

“Ada yang tidak beres dengan Saka Galuh itu, Paman. Aku curiga sosok yang menyerang Prabu Swarna Dipa itu adalah orang suruhannya,” Arya menduga.

“Aku juga mengira demikian, salah seorang prajurit istana menceritakan semuanya itu saat dia dan prajurit lainnya berusaha menghadang si penyerang Prabu Swarna Dipa, Saka Galuh hanya diam saja bahkan tersenyum senang,” Wayan Bima terlihat gusar jika ingat saat salah seorang prajurit memberi laporan padanya penyebab Prabu Swarna Dipa tewas di tempat ia pergi berburu.

“Tidak salah lagi berarti sosok yang menyerang Prabu Swarna Dipa itu adalah orang suruhan Saka Galuh, lantas setelah kejadian itu apa tindakan Paman dan anggota istana lainnya?”

“Aku bermaksud hendak mengumpulkan seluruh anggota istana termasuk juga dengan para prajurit untuk membicarakan hal itu, akan tetapi Saka Galuh melarangku untuk tidak memperpanjang masalah yang terjadi hingga tewasnya Prabu Swarna Dipa.”

“Lantas Paman menuruti keinginan Saka Galuh itu?”

“Aku terpaksa mengikutinya, Arya. Karena sebelumnya ternyata Saka Galuh telah mengatur siasat itu dengan mengancamku untuk tidak membahas tewasnya Prabu Swarna Dipa,” jawab Wayan Bima sedih.

“Jadi Sekar dan Saka Galuh saudara tiri?”

“Benar Mas Arya,” kali ini Sekar yang menjawab.

“Keparat..! Saudara tiri macam apa itu, tega-teganya membunuh Ayah kandung sendiri demi merebut tahta Kerajaan,” Arya benar-benar gusar.

“Aku sendiri sempat akan dibunuh Mas, beruntung Paman Wayan dan Bi Lasmi melarikan aku dari istana itu dan membawaku tinggal di desa ini,” ujar Sekar.

“Benar-benar manusia berhati iblis dia..! Aku akan bantu kamu Sekar untuk membalaskan dendam Ayahmu sekaligus merebut kembali tahta Kerajaan Dharma dari tangan iblis saudara tirimu itu,” tutur Arya penuh semangat berapi-api.

“Jangan Mas, itu sangat berbahaya. Para prajurit yang jumlahnya ratusan pasti akan menghadang Mas Arya saat hendak masuk ke istana,” cegah Sekar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status