Meskipun Wayan Bima, Lasmi dan Sekar adalah mantan penghuni penting istana Kerajaan. Akan tetapi mereka tetap berpenampilan sederhana, begitu pula cara kehidupan mereka sehari-hari di rumah itu.Demikian pula dengan penyajian makanan saat makan bersama, semua alat-alat makan juga sederhana tak ada kesan mewah saat mereka dulu tinggal di istana Kerajaan. Namun begitu rasa masakan yang dibuat Lasmi dan Sekar sangat lezat tak kalah dengan yang dibuat para pembantu-pembantu istana, terlebih sop kepiting buatan Sekar yang jadi spesial dipenyajian makan saat itu.“Wah, kepiting ini sangat lezat sekali!” seru Arya yang nampak lahap sekali makannya.“Hemmm, sop kepiting ini Sekar yang memasak,” ujar Lasmi diiringi senyum dan matanya melirik pada Sekar yang nampak malu-malu.“Sungguh aku tak pernah merasakan masakan selezat ini, ternyata kepiting sangat enak bila di sop. Aku tak menyangka seorang putri Kerajaan pintar memasak,” puji Arya membuat Sekar kembali tersipu malu.“Aku belajar dari Bi
“Silahkan diminum dan dicicipi Mas panganan ala kadarnya, Mas,” ujar Sekar diiringi senyum manisnya.“Terima kasih, Sekar. Sudah hampir sore Paman Wayan belum jua kembali, apa para sahabatnya itu berada jauh dari tempat ini?” ucap Arya sembari bertanya.“Ada yang dekat ada pula yang jauh, Mas. Sahabat-sahabat Paman itu bermukim di berbagai desa di pulau ini, jadi wajar jika Paman menemui semua sahabatnya memakan waktu yang cukup lama,” jawab Sekar sambil ikut duduk di pendopo itu.“Saka Galuh memang kejam dalam memimpin Kerajaan terhadap rakyatnya, ada banyak para warga desa yang kelaparan akibat persediaan untuk makan mereka habis karena harus membayar upeti pada pihak istana setiap bulannya. Ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut, secepatnya kita harus melakukan tindakan pada istana Kerajaan itu,” tutur Arya yang merasa kasihan melihat para warga desa yang tadi ia temui sambil membagi-bagikan beras yang dibeli Wayan Bima di pasar.“Benar Mas Arya, rakyat telah bertahun-tahun menderit
“Ya Bi, jika sebentar lagi Paman belum pulang juga aku akan mandi dulu dan kembali menunggunya di sini.”“Kalau begitu aku yang pamitan untuk mandi dulu Bi, Mas Arya,” Sekar mohon diri.“Ya silahkan Sekar,” ujar Arya dan Lasmi bersamaan.Sepeninggalnya Sekar, Arya lanjut bercakap-cakap dengan Lasmi sembari menunggu Wayan Bima pulang dari mengunjungi para sahabatnya yang tinggal di berbagai desa di Pulau Dewata itu.****Sore itu di istana Kerajaan Dharma, Saka Galuh tampak mengumpul beberapa orang kepercayaannya di sebuah ruangan.“Maksud dan tujuanku mengumpulkan kalian di sini, untuk membicarakan mengenai upeti yang setiap bulan kita minta dari para warga desa,” Saka Galuh membuka pembicaraan di ruangan itu.“Maaf yang mulia, apakah upeti-upeti yang kita kumpulkan bulan yang lalu tidak mencukupi?” tanya salah seorang orang kepercayaan istana itu.“Bukan begitu, upeti yang didapatkan bulan kemarin cukup banyak. Akan tetapi aku menginginkan bulan depan upeti-upeti itu lebih banyak lag
“Iya Lasmi, tadi aku terlalu lama diajak singgah Birowo di rumahnya bahkan aku juga sempat mandi dulu di sana sebelum pulang ke sini,” ujar Wayan Bima menyebut nama salah seorang sahabatnya yang ia kunjungi tadi.“Wah, berarti Kang Mas juga sudah makan malam bersama Birowo dan keluarga?”“Hemmm, tadinya aku memang dicegah untuk pulang sebelum makan malam bersama mereka, tapi karena aku beralasan karena sudah terlalu lama meninggalkan tamu di rumah mereka pun mengizinkan aku untuk kembali ke sini dengan tidak memenuhi ajakan mereka untuk makan malam bersama,” tutur Wayan Bima diiringi senyumnya.“Nah, kalau begitu mari sekarang kita makan malam bersama. Arya sudah sejak tadi menunggu Kang Mas,” ajak Lasmi.“Iya Lasmi, mari Arya kita makan malam dulu,” Wayan Bima mengajak Arya, sang pendekar hanya anggukan kepala sembari tersenyum dan mengikuti langkah Lasmi dan Wayan Bima ke dalam rumah.“Bagaimana Paman, apa para sahabat yang Paman temui tadi setuju dengan rencana kita untuk melakukan
“Ya, beliau juga sosok yang arif dan bijaksana. Meskipun agama beliau berbeda dengan kami, namun beliau sangat menghormati dan menghargai kami.”“Benar Paman, sosok ulama sejati di dalam agama Islam memang memiliki hati yang luhur serta bijaksana dalam bersikap. Hal itu pulalah salah satu yang diajarkan pada murid-murid beliau, agar kelak para santri di samping memiliki ilmu bela diri juga berperilaku baik,” jelas Arya.“Makanya Prabu Swarna Dipa juga sangat menghormati beliau sebagai sahabatnya, beliau juga sering membantu Kerajaan Dharma jika ada pihak luar yang hendak membuat kekacauan.”“Apa Kiyai Bimo tahu tentang tewasnya Prabu Swarna Dipa?”“Beliau hanya tahu Prabu Swarna Dipa tewas diserang secara tiba-tiba saat pergi berburu, tentang siapa para pendekar bayaran itu kami sendiri sampai saat ini tidak mengetahuinya. Yang pasti mereka berasal dari Pulau Jawa,” tutur Wayan Bima.“Saka Galuh benar-benar licik, dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu,” Arya kembali terli
Arya tak menghiraukan seruan dari Wayan Bima, dengan lincah kedua kakinya menjejak di permukaan laut sambil terus merentangkan jaring sejajar dengan ujung jaring yang ia ikat di buritan perahu.Hal yang tak terduga pun terlihat puluhan ekor ikan terjaring dan dengan cepat pula Arya melesat kembali ke atas perahu sambil menggulung jaring itu, Wayan Bima semakin heran dan kagum akan ilmu meringankan tubuh yang di pertontonkan Arya dengan menjejakan kaki di atas permukaan laut jangankan tenggelam mata kakinya pun tak basah terkena air.Setelah ikan-ikan yang terjaring dilepas dari jaring dan ditaruh di dalam perahu, kembali Arya melakukan yang sama seperti yang ia lakukan tadi secara berulang kali, hingga sebelum tengah hari tempat ikan berupa peti yang terbuat dari papan tipis yang dilapisi plastik berisi air sejumlah 4 buah penuh dengan ikan-ikan hasil tangkapan sang pendekar.“Wah, belum juga tengah hari peti-peti ini sudah penuh!” seru Wayan Bima yang masih dalam rasa heran dan takju
“Kamu mau menyimpannya di mana, Arya?” tanya Lasmi.“Di pendopo ini saja, Bi. Sekarang Bi Lasmi ambil seberapa perlunya untuk lauk makan malam nanti, aku akan coba untuk membuat agar ikan-ikan ini tetap segar di dalam peti,” jawab Arya seiring ia berdiri dari duduknya kemudian membuka ke seluruh tutup peti ikan itu.Setelah Lasmi dan Sekar memilih beberapa ekor ikan untuk keperluan makan malam nanti, Arya meminta mereka untuk menjauh dari peti-peti ikan itu beberapa langkah, sementara Wayan Bima hanya duduk di pendopo menyaksikan apa yang hendak dilakukan Pendekar Rajawali Dari Andalas itu selanjutnya.Arya memposisikan tubuhnya di depan empat buah peti yang berisi penuh ikan dicampur air laut seperempat bagian dari peti-peti itu, kemudian sang pendekar mencabut pedang yang selalu tersandang di punggungnya.Pedang itu tidak lain adalah Pedang Rajawali Putih yang memiliki dua mata berbeda warna, bagian mata pedang sebelah kanan berwarna kuning ke emasan yang dapat menghanguskan benda a
Seperti biasa setelah bercinta dengan permaisurinya di dalam kamar, Saka Galuh menuju ruangan di mana di sana tersedia berbagai macam makanan serta buah-buahan segar serta tuak memabukan. Di sana juga terdapat beberapa orang wanita cantik yang bertugas sebagai pelayan, baik menuang tuak ke dalam cangkir, mengambilkan buah-buahan dan makanan yang diinginkan serta memijit-mijit sang raja.Saka Galuh bersenang-senang di ruangan itu biasanya hingga mabuk baru ia akan berhenti meneguk tuak, kemudian beberapa pelayan memapahnya ke dalam kamar. Tak cukup sampai di situ saja, dalam keadaan mabuk Saka Galuh masih sempat-sempatnya menggerinyangi tubuh pelayan-pelayan istana itu bahkan sampai di setubuhi.*****Siang itu beberapa orang berpakaian prajurit memasuki sebuah desa dengan menunggang kuda, desa itu tidak jauh dari Desa Kuta hanya berbatas anak sungai saja. Cukup lama para prajurit itu mengitari kawasan desa itu, hingga mereka berhenti di depan sebuah rumah yang di pendapanya tampak dud
“Bagaimana Samin, apakah ada laporan mencurigakan dari para warga yang ditugasi di seberang hutan?” tanya Mahfud membuka obrolan di pendopo itu.“Tidak ada Mas, mereka melaporkan beberapa hari bergiliran tugas di sana aman-aman saja tidak ada hal yang mencurigakan. Sepertinya memang tidak perlu juga kita meminta warga desa mengawasi hingga ke seberang hutan sana,” ujar Samin.“Bisa jadi memang para gerombolan yang datang menyerang tiba-tiba ke desa kami itu hanya sebatas ingin mengacau Desa Sampang saja, sebaiknya memang mulai besok tidak perlu lagi diadakan giliran mengawas di seberang hutan itu,” ulas Mahfud setuju dengan pendapat Samin.“Ya Mas, mulai besok aku akan beritahu para warga untuk tidak lagi berjaga-jaga di sana. Cukup waspada saja di kawasan desa ini,” ujar Samin setuju.Para wanita dan anak-anak yang suami mereka tewas akibat serangan anggota Padepokan Gagak Hitam, kini telah di tempatkan di berbagai rumah warga Desa Karapan. Terkecuali anak dan istri dari Mahfud kepal
Di samping kiri bangunan pemondokan tempat para santri berlatih ilmu bela diri, Kiai Bimo mengajarkan gerakan-gerakan menangkis dan mengunci lawan. Para santri mengikuti gerakan-gerakan itu dengan berpasang-pasangan, satu menyerang satu lagi menangkis dan melakukan gerakan kuncian yang diajar pemilik pemondokan itu.Meskipun gerakan-gerakan silat yang diajarkan masih tahap dasar karena belum masuk ke tahap melakukan tangkisan dan serangan dengan tenaga dalam, namun semua yang telah dikuasai para santri saat ini sudah dapat dipergunakan untuk menjaga diri mereka masing-masing dari serangan yang tak terduga oleh orang lain.****Belasan obor di sekitaran bangunan Padepokan Gagak Hitam tampak menyala saat hari sudah mulai gelap, berbagai kegiatan anggota padepokan mulai dari membuat pagar di sekeliling kawasan padepokan hingga berlatih ilmu kanuragan.Sandaka meminta Sabo untuk mengumpulkan seluruh anggota padepokan itu di ruangan biasa mereka gunakan untuk pertemuan, mendapat perintah i
“Ya Eyang, tapi dia dikabarkan telah tewas saat berada di Pulau Andalas beberapa tahun yang lalu.”“Hemmm, aku juga mendengar kabar begitu. Akan tetapi kabar itu tidak benar, karena pendekar itu sekarang ada bersama kita di ruangan ini,” tutur Kiai Bimo, seketika Mantili terkejut dan langsung memberi hormat pada Arya.“Maaf Mas, jika aku tadi bersikap lancang,” ucap Mantili merasa malu dan segan.“Hemmm, Kiai Bimo terlalu berlebihan memuji. Aku pendekar biasa saja dan julukan itu terlalu dibesar-besar,” ujar Arya kembali diiringi senyumannya.“Kamu mendengar dan melihat sendiri kan Mantili? Pendekar sejati itu tidak akan pernah menyombongkan dirinya, meskipun nama dan julukannya disegani dan di agung-agungkan karena telah banyak berbuat kebaikan membela kebenaran.”“Apalah artinya sebuah nama dan julukan Kiai, kalaupun aku telah banyak berbuat baik membela kebenaran itu semua datangnya dari Gusti Allah, kita hanya sebagai perantara-Nya saja,” ulas Arya yang kembali membuat Kiai tersen
“Hemmm, ya benar Arya. Akan tetapi putra Prabu Swarna Dipa itu tidak pernah datang ke sini,” ujar Kiai Bimo tersenyum.“Saka Galuh memang tidak pernah menurut dan kerap membohongi Prabu Swarna Dipa sejak usianya masih remaja, dan begitu dewasa ia menjadi anak yang durhaka demi tahta ia rela membunuh Ayahnya sendiri.”“Itulah ujian hidup Arya, ambisi dan keserakahan kerap membuat orang gelap mata. Makanya dibutuhkan ilmu agama yang mendalam untuk mendidik manusia menjadi manusia yang memiliki akhlak yang baik,” tutur Kiai Bimo.“Benar Kiai, keserakahan memang kerap membuat orang berbuat kejahatan dan tak segan-segan membunuh.”“Manusia yang hidup di dunia ini tidak pernah puas dengan apa yang ia dapati dan miliki, bahkan kebanyakan dari mereka tidak pandai bersyukur atas semua yang telah dilimpahkan Gusti Allah. Harta yang dimiliki takan bisa menolong mereka jika tiba waktunya kembali menghadap yang kuasa, hanya amal dan perbuatan baiklah yang menjadi bekal penting saat kita akan mengh
Tak biasanya Pangeran Durjana keluar dari ruangannya menuju teras depan bangunan padepokan dan duduk sendirian di salah satu deretan kursi yang terdapat di teras itu, deretan kursi yang ia duduki menghadap ke halaman dan pintu gerbang padepokan.Tak beberapa lama Dipo Geni datang menghampiri, ia berjalan dari arah depan padepokan melakukan tugas rutinnya memantau dan mengawasi para murid dan seluruh anggota Padepokan Neraka dalam segala urusan termasuk mengetahui jumlah jatah bulanan yang dikirim Kerajaan-kerajaan.Jika Padepokan Neraka itu berupa sebuah Kerajaan boleh dikatakan Dipo Geni sebagai Panglimanya dan Pangeran Durjana adalah Raja, itu melihat kepercayaan yang diberikan Pangeran Durjana kepadanya.“Tumben Ketua keluar ruangan dan duduk seorang diri di sini?” tanya Dipo Geni.“Terlalu lama di ruangan menimbulkan rasa bosan juga, kiriman dari Kerajaan-kerajaan tetap lancarkan Dipo?” Pangeran Durjana balik bertanya akan tetapi sikapnya tidak bersemangat.“Lancar-lancar saja Ket
“Baik Kiai, terima kasih,” ucap Arya, Kiai Bimo hanya mengangguk sembari tersenyum lalu ia melangkah keluar dari ruangan itu melihat para santrinya yang tengah melakukan kegiatan kemandirian.Selama berhari-hari 2 orang murid Padepokan Neraka yang berhasil melarikan diri dari amukan para warga sewaktu berkecamuknya pemberontakan ke istana Kerajaan Dharma berdiam diri di hutan di kawasan Pulau Dewata, akhirnya berhasil menyeberang kembali ke Pulau Jawa.Mereka berdua melakukan penyamaran dan bekerja di pelabuhan mengangkat dan menurunkan barang para penumpang kapal, setelah mendapatkan uang yang cukup untuk ongkos kapal mereka pun berhenti bekerja di pelabuhan itu dan menyeberang ke Pulau Jawa dengan penumpang yang lainnya.Tiba di pelabuhan di ujung timur Pulau Jawa terasa terbebas dari penjara bagi kedua murid Padepokan Neraka itu, karena dalam beberapa hari belakangan ini seperti dihantui ketakukan akan tertangkapnya mereka oleh prajurit atau warga desa yang mengenalinya di pelabuha
“Ada apa Kiai? Ada yang salah dengan yang aku ucapkan?” Arya ikut terkejut melihat reaksi Kiai Bimo saat ia mengatakan nama Gurunya.“Tidak, tidak. Tidak ada yang salah dengan jawabanmu itu Arya, aku hanya terkejut saja karena aku tahu betul akan sosok Gurumu itu semasa mudaku dulu. Nyi Konde Perak sangat sakti mandraguna dan juga memiliki ilmu agama yang tinggi, saat itu beliau sangat di segani baik dari sesama pendekar golongan putih terlebih lagi pendekar golongan hitam.”“Berarti Kiai kenal dan sering bertemu dengan Guruku itu?”“Ya, tentu saja aku mengenali dan sering bertemu dengannya semasa kami masih muda dulu. Beliau sering memberiku nasehat serta mengajariku tentang ilmu agama Islam, waktu itu aku tinggal dan mengabdi di Kesultanan Demak,” ujar Kiai Bimo.“Eyang Guru memang memiliki banyak sahabat sewaktu beliau masih muda, hanya saja dia jarang mau menceritakan masa mudanya itu sejak aku masih diasuhnya dari bayi hingga digembleng menjadi seorang pendekar di puncak Gunung S
“Itu Kiai, Mas Arya katanya dia datang dari Pulau Dewata,” Arif mundur selangkah lalu membalikan tubuhnya menyamping diiringi menunjuk dengan jempol tangannya ke arah Arya.Dari jarak beberapa langkah dari pintu ruangan itu Arya terlihat memberi hormat dengan adab sopan santun seperti yang kerap dilakukan para santri di sana pada Kiai Bimo saat bertemu, Kiai Bimo pun membalas dengan senyum dan sikap yang ramah dan sopan pula.“Assalamu alaikum,” ucap Arya memberi salam.“Waalaikum Salam, mari kisanak silahkan masuk,” balas Kiai Bimo lalu mengajak Arya masuk ke dalam ruangan itu.“Terima kasih Kiai,” ucap Arya sambil melangkah masuk, seiring dengan itu ia pun berterima kasih pada Arif yang telah mengantarnya bertemu dengan pemilik pemondokan itu.Arif tidak langsung pergi meninggalkan mereka, melainkan ikut masuk ke dalam ruangan setelah Kiai Bimo memberi isyarat padanya untuk membuatkan minum untuk Arya. Setelah meletakan 2 cangkir teh hangat di atas tikar pandan di depan Kiai Bimo d
“Ya, agar para warga juga mengetahui di samping tugas giliran ronda tiap malam juga akan diadakan tugas giliran memantau orang luar yang akan masuk ke Desa Karapan terutama dari arah Desa Sampang, dari seberang hutan di ujung kawasan desa ini,” seluruh pria yang ada di pendopo mengangguk faham mendengar penjelasan dari Mahfud.Pesta minuman keras yang berlangsung di depan Padepokan Gagak Hitam kian menjadi-jadi, Sandaka dan seluruh anak buahnya benar-benar telah mabuk. Beberapa orang di antara mereka ada yang tumbang tergeletak di tanah, karena tak mampu lagi menahan keseimbangan tubuhnya yang oleng akibat pengaruh arak dan tuak yang terlalu banyak mereka minum.Sandaka sendiri sekarang dibantu Sabo dan 2 orang anak buahnya memapah ke kamarnya, setelah sebelumnya muntah dan sempoyongan di depan padepokan itu. Anehnya mereka justru ketagihan dan sangat senang melakukan pesta minuman keras hingga mabuk sedemikian rupa, meskipun mereka terkadang tak sadarkan diri dan tidur di sembarang t