Share

Bab 4. Air Mata Sekar

“Ya, sebagai seorang putra mahkota sudah selayaknya pula kamu memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari para prajurit dan bahkan Panglima Kerajaan. Berangkatlah besok pagi, kamu akan di antar oleh beberapa orang prajurit istana yang pernah Ayahanda bawa serta dulu ke sana,” pinta Sang Prabu memberi perintah.

Saka Galuh sebenarnya sama sekali tidak berminat dengan usulan Ayahandanya itu, namun ia tak berani menolak perintah meskipun kesehariannya seorang Saka Galuh selalu membangkang perintah di belakang Sang Prabu.

Pagi itu Saka Galuh memang terlihat bersiap seperti seorang yang akan berpergian jauh, tentu saja Sang Prabu senang karena putranya itu menjalani perintahnya dan akan menjadi seorang pemuda yang memiliki keahlian silat.

Akan tetapi harapan Sang Prabu itu tidak sesuai dengan yang sebenarnya terjadi, saat Saka Galuh dan beberapa orang prajurit istana berlayar dengan perahu ke Pulau Madura. Putra mahkotanya itu memilih menuju Pulau Jawa, ia sengaja berada di Pulau Jawa itu beberapa hari agar Ayahandanya percaya jika saat itu ia benar-benar datang menemui Kiai pemilik pemondokan di Pulau Madura itu untuk berlatih ilmu silat.

Di Pulau Jawa itu pulalah Saka Galuh bertemu dengan Ketua sebuah padepokan besar, ilmu kanuragannya sangat tinggi. Orang itu juga menawarkan pada Saka Galuh jika hendak berlatih dengan syarat membayar kepadanya setelah ia berhasil menguasai ilmu silat yang diajarkan, namun Saka Galuh tetap tidak ingin berlatih melainkan menyusun sebuah rencana jahat dengan Ketua padepokan itu pada Ayahandanya sendiri di istana Kerajaan Dharma.

Saka Galuh pun kembali ke istana setelah memperkirakan waktu berlatih seorang murid selesai dan itu akan dipercaya oleh Ayahandanya, benar saja Sang Prabu sangat senang ketika putranya itu kembali dan langsung menunjukan beberapa gerakan silat yang sebenarnya bukan di ajarkan Kiai di Pulau Madura itu melainkan gerakan silat Ketua sebuah padepokan di Pulau Jawa.

“Aku senang sekarang kau telah menjadi seorang putra mahkota yang memiliki ilmu silat,” Sang Prabu senang dan memuji Saka Galuh.

“Terima kasih Ayahanda, apakah Ayahanda akan memberiku hadiah atas semua yang telah Ananda jalini ini?”

“Oh tentu saja putraku, apa hadiah yang kamu inginkan?”

“Hemmm, Ananda tidak menginginkan hadiah apa-apa. Justru Ananda ingin menikmati keberhasilan ini dengan mengajak Ayahanda berburu, apakah Ayahanda bersedia?”

“Kamu memang putraku yang baik dan tahu saja cara membuat Ayahanda senang. Baik besok pagi kita akan pergi berburu,” Sang Prabu memutuskan, Saka Galuh pun tersenyum yang di dalam senyumannya itu tersembunyi rencana jahat terhadap Ayahandanya itu.

Esok paginya berangkatlah Sang Prabu dan Saka Galuh ke sebuah kawasan hutan tempat mereka akan berburu, di sana juga ada beberapa orang prajurit istana yang menemani. Baru saja mereka tiba di kawasan hutan, dua sosok bayangan berkelebat menghadang.

Yang satu berusaha melumpuhkan para prajurit, yang satu lagi berhadapan dengan Sang Prabu. Sosok pria yang berhadapan dengan Sang Prabu berpakaian merah bertubuh tegap, ilmunya jauh lebih tinggi dibandingkan Prabu Swarna Dipa hingga beberapa serangan membuat Raja Kerajaan Dharma itu terdesak.

“Deeeeeees..!  Breeeeeet..! Breeeeet..! Cleeeep…! Arghhhhh..!”

Sang Prabu meraung kesakitan saat hantaman kaki serta beberapa kali sayatan golok merobek pakaian dan menores luka di beberapa bagian tubuh, dan saat golok itu ditancapkan ke dada Sang Prabu, Raja Kerajaan Dharma itu pun tersungkur dengan darah memancur.

Dua pria misterius itu pun berkelebat pergi dari tempat itu setelah memastikan Sang Prabu tewas, Saka Galuh meraung-raung berlari menghampiri lalu memeluk tubuh Ayahandanya. Beberapa pajurit yang telah mampu berdiri akibat di hajar oleh salah seorang dari dua pria yang menyerang tadi pun ikut berlari menghampiri, Sang Prabu Swarna Dipa pun menghembuskan napas terakhirnya.

Para prajurit segera mengotong tubuh Sang Prabu ke atas kereta kuda, selama di perjalanan pulang kembali ke istana, Saka Galuh yang terlihat sedih itu ternyata sangat bahagia dalam hatinya karena dua pria yang ternyata orang suruhannya itu berhasil menghabisi nyawa Ayah kandungnya sendiri.

Sejak tewasnya Sang Prabu, Saka Galuh langsung mengambil alih tahta Kerajaan. Pada saat itulah Sekar semakin dibuat menderita di istana, bahkan Dwinta dan Saka Galuh juga berencana akan membunuhnya. Beruntung hal itu cepat diketahui Wayan Bima, hingga ia dan istrinya membawa pergi Sekar dari istana Kerajaan Dharma itu.

Saat menyudahi ceritanya itu Sekar tak mampu lagi membendung air matanya, kedua pipinya basah. Lasmi langsung mengelus-elus dan merangkul keponakan angkatnya itu, Arya pun sempat mengigit bibirnya merasakan betapa getirnya peristiwa yang dialami gads cantik yang duduk di hadapannya itu.

Sesaat kemudian setelah merasa cukup tenang Sekar kembali bersuara, namun bukan untuk melanjutkan ceritanya melainkan ada hal lain yang hendak ia sampaikan pada Arya.

“Aku sebenarnya tidak berambisi untuk merebut tahta Kerajaan itu kembali dari tangan Saka Galuh Mas, melainkan yang terpenting rakyat tidak lagi tertindas oleh kesewenang-wenangannya. Ayahanda bersusah payah mendirikan dan mempertahankan Kerajaan Dharma demi untuk kesejahteraan rakyatnya, kini dalam sekejab hancur di tangan orang yang tamak,” tutur Sekar.

“Aku mengerti Sekar, tujuan sebenarnya maksudku untuk membantu kalian menyerang istana Kerajaan Dharma bukan pula untuk membalaskan dendam atas apa yang dilakukan saudara tirimu itu pada Ayahmu Prabu Swarna Dipa, tapi lebih dari itu bertujuan untuk menegakan keadilan bagi rakyat dibawah kekuasaan Kerajaan itu,” Arya menjelaskan.

“Ya Sekar, Paman juga tidak ingin terjadi pertumpahan darah di pihak kita dan istana Kerajaan. Tapi ini semua tidak lain hanya untuk kepentingan seluruh masyarakat yang mendiami Pulau Dewata ini,” tambah Wayan Bima.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status