Festival Musim Gugur akhirnya tiba. Kota Chunyu yang biasanya damai, kini bergemuruh dengan suara riuh dari pasar dan para pengunjung, dipenuhi aroma harum dupa yang terbawa bersama desau angin musim gugur yang sejuk. Di sepanjang jalan, daun-daun keemasan berguguran, berputar di udara sebelum jatuh perlahan ke tanah, memberikan nuansa magis pada kota itu. Alun-alun pusat, yang menjadi pusat perayaan, dipenuhi penduduk setempat dan para pengunjung yang menantikan pembukaan turnamen bela diri, sebuah acara besar yang paling ditunggu setiap tahun.
Sejak pagi buta, Song Mingyu sudah mempersiapkan dirinya. Ketika matahari baru saja menampakkan diri di ufuk timur, dia telah menggenggam gagang pedang Naga Langit—pedang legendaris yang dahulu merupakan pedang milik Ren Jie sang Dewa Pedang, yang tergantung di pinggangnya. Hanfu putih sederhana yang dikenakannya berkibar lembut dihembus angin pagi, sementara jubahnya yang panjang melambai seiring langkah kakinya.<Ren Hui hanya tersenyum tipis saat mendengar pertanyaan Song Mingyu. "Kita lihat saja nanti. Mungkin kaulah kejutan itu, Mingyu," katanya, sambil menepuk bahu pemuda itu dengan lembut.Song Mingyu tersipu, meringis kikuk sebelum menjawab, "Rasanya tidak mungkin." Dia menggaruk tengkuknya, sedikit gelisah. Ren Hui tergelak melihatnya, tertawa ringan yang seakan menari di antara angin musim gugur yang lembut."Daripada memikirkan kejutan, bagaimana kalau kau fokus saja mencari ibumu?" ujar Junjie, suara santainya memecah kehangatan perbincangan. Mendengar itu, mata Song Mingyu membelalak, dan tanpa sadar tangannya terangkat memukul lengan Junjie, meski jelas tidak serius. "Kau benar-benar tidak tahu cara berbicara!" gerutunya.Namun, sebelum Junjie sempat membalas, seseorang tiba-tiba datang, langkahnya tergesa, menghampiri mereka. Napas orang itu terengah-engah, namun ada ketenangan yang terjaga dalam sikapnya. Mata Junjie berkilat, rasa penasaran
Song Mingyu berdiri di halaman terluar Menara Pengawas Langit. Matahari yang berada tepat di atas kepala memancarkan sinar keemasan, menciptakan bayangan samar di bawah kaki para peserta turnamen. Halaman yang luas, dikelilingi oleh tembok-tembok kokoh yang menjulang, terasa semakin hampa oleh udara yang berdesir ringan. Di depannya, sekumpulan pendekar dari berbagai sekte kecil dan pendekar lepas, berdiri berkerumun, mempersiapkan diri untuk menantang nasib dalam pertarungan yang akan segera dimulai.Suasana dipenuhi deru langkah-langkah resah di atas tanah kering, sementara obrolan berbisik pelan memenuhi udara yang berdebu. Kilatan cahaya memantul dari permukaan pedang dan tombak yang tergenggam erat di tangan para pendekar, seolah siap menumpahkan darah demi ambisi mereka. Di antara semua itu, Song Mingyu tetap tenang, pandangannya menyapu sekeliling, menilai situasi dengan ketelitian seorang ahli strategi.Di depan mereka, seratus prajurit berbaris rapi, membe
Setibanya di kedai teh, Junjie dan Ren Hui memesan meja di sudut yang menghadap langsung ke Menara Pengawas Langit. Mereka memilih duduk di sana, di sebuah meja yang diselimuti bayangan senja. Cahaya matahari yang perlahan memudar menorehkan semburat keemasan di langit, sementara mereka sesekali mencuri pandang ke arah menara, mengawasi Song Mingyu, yang tengah berjuang di tengah hiruk-pikuk turnamen bela diri."Kita tiba lebih awal," ucap Junjie, bersandar malas dengan satu tangan menopang dagu. Doupengnya—topi lebar penutup wajah—tersibak sedikit, tak terlalu mengkhawatirkan karena tempat itu cukup sepi dari orang-orang yang berlalu lalang.Ren Hui hanya mengangguk, kedua tangannya menghangatkan cangkir teh yang mengepul lembut. "Lebih baik begitu. Menunggu mungkin tak menyenangkan, tapi terlambat akan merusak kepercayaan.”Beberapa saat kemudian, langkah-langkah ringan terdengar menaiki tangga kayu. Dua sosok anggun dari Paviliun Yueliang muncul di amba
Wei Jin tertegun, menajamkan pendengarannya saat desas-desus samar di sekitar mereka mulai menyebut nama "Song." Tanpa berpikir panjang, ia bertanya kepada Junjie yang duduk di hadapannya, "Apakah mereka sedang membicarakan Tuan Muda Song Mingyu dari Keluarga Song? Bukankah dia pernah kau ajak ke Paviliun Yueliang?" Mata Junjie memancarkan kilauan penuh teka-teki, senyum tipis menghiasi bibirnya. "Iya, dia."Di sebelah Wei Jin, Qiao Yang yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, mengernyitkan dahi. "Song Mingyu? Apakah dia orang yang sama dengan yang kau minta untuk kami selidiki dulu?" tanyanya, mencondongkan tubuh sedikit ke depan, rasa penasaran menyelinap dalam suaranya.Junjie mengangguk pelan, kali ini lebih tenang. "Benar. Dia orangnya."Wei Jin dan Qiao Yang saling berpandangan, berbagi pemahaman tanpa perlu sepatah kata pun. Hening sejenak menggantung di udara, diiringi gemerisik daun kering yang beterbangan tertiup angin. Qiao Yang,
Menara Pengawas LangitSong Mingyu melangkah dengan mantap, napasnya tak lagi tersengal setelah berhasil melewati jebakan demi jebakan yang dipasang dengan penuh perhitungan di setiap lantai menara. Setiap anak tangga yang dilaluinya adalah saksi bisu dari tekadnya yang tak tergoyahkan.Setelah lolos dari jebakan panah di lantai empat, pandangannya terpaku pada tangga yang berkelok menuju lantai lima. Di sekelilingnya, peserta lain masih terperangkap dalam jebakan—berusaha mati-matian meloloskan diri. Dengan tatapan tajam, dia bergumam, "Ternyata para penjaga itu hanya mengawasi... santai sekali."Ucapannya disambut oleh tawa pelan dari penjaga menara yang berdiri di sudut ruangan. Dia bersandar di tiang dengan santai, sembari mengamati jari jemarinya yang terbungkus sarung tangan besi. Pria itu berjalan mendekat, sorot matanya tak bisa dilepaskan dari Song Mingyu. "Kau pikir kami hanya menonton, bocah?" ucapnya sambil tersenyum tipis. "Jika kau
Di kedai teh di tepi hutan wisteria, tak jauh dari Menara Pengawas Langit yang menjadi arena turnamen, Junjie dan Ren Hui duduk berhadap-hadapan, ditemani kehangatan teh bunga hujan yang harum menguap dari cangkir mereka.Suasana kedai yang semula riuh kini mulai tenang. Hanya suara sesekali dari pelayan yang lalu lalang melayani tamu yang tak terlalu banyak. Ren Hui, dengan senyum tipis di wajahnya, memanggil seorang pelayan muda yang berdiri tak jauh dari meja mereka."Beritahu aku jika ada kabar terbaru dari turnamen," ujar Ren Hui sembari menyelipkan beberapa keping perak ke tangan si pelayan. Pelayan itu mengangguk cepat, wajahnya menampakkan keseriusan sebelum dia berbalik dan melangkah keluar kedai.Sementara itu, Junjie memandangi cangkir teh di tangannya, jari-jarinya yang lentik melingkari tepinya dengan santai. "Kau masih ingat, bukan? Turnamen musim semi tiga belas tahun lalu?" tanya Junjie, nadanya hangat tapi penuh arti.Ren Hui meng
Paviliun Hujan Musim SemiDi balik kabut tipis yang mengambang lembut, menyelimuti atap-atap genteng Paviliun Hujan Musim Semi, angin musim semi berembus pelan, membawa keharuman bunga-bunga yang baru saja mekar. Tempat ini berdiri tenang di ujung utara kota, tepat di belakang Menara Pengawas Langit. Paviliun itu tampak sunyi, menjadi kontras yang sempurna dengan hiruk-pikuk yang memenuhi kota di sekelilingnya. Di salah satu halamannya, seorang gadis pelayan berlari tergesa-gesa, gaunnya berkibar dalam angin, menciptakan riak halus di udara."Nyonya... Tuan Muda... Song Mingyu...," serunya dengan napas tersengal, suaranya tertelan oleh kecemasan yang mendesak.Di ambang pintu, seorang wanita berdiri tenang dengan balutan hanfu hijau tua berpadu putih. Nyonya Su Yang, istri ketua kamar dagang Kekaisaran Shenguang, Song Yanzhu, memancarkan pesona yang memukau. Rambutnya tersanggul anggun, tetapi beberapa helai dibiarkan jatuh lembut di sekitar wajahnya yang
Lantai empat belas, Menara Pengawas Langit Song Mingyu tertegun saat tiba di lantai empat belas. Keringat membasahi dahinya setelah berjuang melawan jebakan dan terlibat dalam beberapa duel dengan peserta lain. Kini, ia berdiri di ambang lantai terakhir sebelum mencapai puncak menara. Seorang pria berhanfu hitam bersandar di sebuah tiang besar dan bersiul dengan santai. Dengan sebuah golok besar tersandang di punggung, pria itu menatap Song Mingyu dengan senyum meremehkan. “Kau orang keempat yang tiba di sini,” katanya terdengar dingin dan acuh tak acuh, “dan mungkin, yang terakhir.” Song Mingyu menelan ludah, merasakan tekanan yang tiba-tiba mencekam dadanya. Dari ratusan peserta turnamen yang memulai perjuangan dari babak pertama, ternyata hanya dia yang tersisa. Kenyataan ini membuatnya dihinggapi perasaan aneh, antara bangga dan cemas. Para pendekar lain yang berhasil sampai di lantai ini pasti adalah yang terkuat. Tangannya mengepal
Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil
Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk
Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan
Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.
Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny
Baihua mendengking lebih keras, ekornya yang lebat melambai gelisah. Rubah putih itu duduk tegak di tengah jalan, tepat di depan Ren Hui, seolah menjadi penghalang agar tuannya tidak melangkah lebih jauh."Ada apa, Baihua?" Ren Hui berjongkok di sisinya, menepuk lembut kepala rubah itu. Bulu putihnya terasa dingin di telapak tangan. "Kalau tidak bergegas, kita akan kemalaman," lanjutnya, mendongak menatap langit. Sinar matahari kian memudar, membiaskan rona jingga samar di cakrawala yang mulai dilingkupi bayangan senja.Baihua kembali mendengking, suaranya menggema lirih di antara desir angin musim dingin. Matanya yang bening berkilau menatap Ren Hui, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Ren Hui hanya tersenyum, mengusap kepala rubah itu dengan lebih lembut, lalu mengangkatnya ke dalam pelukan."Apa kau takut?" bisiknya, suaranya selembut bisikan angin. "Jangan khawatir, bukankah kita selalu bersama? Selamanya?"Rubah itu tidak
Ren Hui menapaki jalan setapak berbatu dengan hati-hati. Angin dingin berembus perlahan, membawa aroma salju yang menggantung di udara. Di depan, Baihua berlari kecil mendahuluinya, meninggalkan jejak-jejak samar di atas salju tipis yang menutupi bebatuan. Rubah putih itu seharusnya tetap berada di tepi sungai bersama Yingying, tetapi ketika Ren Hui melangkah menyeberangi jembatan kayu tua, Baihua justru menyusulnya tanpa ragu."Baihua, setelah tiba di atas, kau harus kembali ke sungai. Temani Yingying!" seru Ren Hui.Baihua berhenti berlari, mendengking pelan seolah memprotes perintah itu. Ren Hui terkekeh. Sudah terbiasa dengan tingkah rubah putihnya yang keras kepala. Mereka kembali berjalan, melewati jalan setapak yang mulai menanjak. Batu-batu di bawah kaki mereka terasa licin, tersembunyi di balik lapisan es tipis yang nyaris tak terlihat. Ren Hui menghela napas, memusatkan perhatian pada setiap pijakannya."Baihua, tempat ini tidak banyak berubah,"
Mentari musim dingin baru saja menyembul dari balik awan-awan putih, menyinari lembut permukaan sungai yang mulai membeku. Kabut tipis masih melayang, menyelimuti tanah dengan hawa dingin yang menggigit.Di tepi sungai, Ren Hui duduk santai di atas batang kayu tua, meniup uap tipis dari cangkir teh jahe di tangannya. Aroma hangat jahe bercampur dengan wangi samar goji berry, lavender, madu dan chamomile, menenangkan pikirannya. Baihua, rubah putih berbulu lembut, meringkuk di dekat kakinya. Sesekali mengibaskan ekor, tampak menikmati kedamaian pagi itu.Tak jauh dari tempatnya duduk, sebuah keranjang bambu berisi bekal tertata rapi di atas rerumputan yang mulai tertutup embun beku. Hari ini, dia akan memulai perjalanannya menuju Kota Es, tempat yang hingga kini hanya dianggap legenda oleh penduduk setempat.Suara nyaring memecah ketenangan pagi, menggema di antara dahan pohon yang tertutup salju. "Ren Hui!" Dari teras rumah beroda, Yingying memanggilnya de
Musim berlalu seakan berkejaran dengan waktu. Guguran daun kemerahan musim gugur telah lama tertiup angin, menyertai perjalanan rumah beroda yang bergerak perlahan menuju Báiyuè Shān. Kini, saat salju tipis turun menutupi tanah, musim dingin hampir merampungkan masanya. Rumah beroda milik Ren Hui tetap berjalan tertatih-tatih, menembus rintik salju hingga mencapai kaki pegunungan.Di tengah perjalanan panjang ini, berbagai kabar besar telah berlalu begitu saja—termasuk eksekusi Liuxing dan bahkan mangkatnya Ibu Suri. Namun, roda nasib terus berputar, membawa mereka semakin jauh dari masa lalu.Di Kota Yanyang, kota terakhir sebelum pendakian ke Báiyuè Shān, rumah beroda melaju pelan. Langit kelabu menaungi kota yang namanya memiliki makna "embun beku," membingkai perhentian terakhir sebelum mereka menapaki jalur menuju Kota Es, tempat yang konon hanya ada dalam legenda.Di depan rumah beroda, seorang pria bermantel putih duduk mengemudikan kendaraan sederh