Setibanya di kedai teh, Junjie dan Ren Hui memesan meja di sudut yang menghadap langsung ke Menara Pengawas Langit. Mereka memilih duduk di sana, di sebuah meja yang diselimuti bayangan senja. Cahaya matahari yang perlahan memudar menorehkan semburat keemasan di langit, sementara mereka sesekali mencuri pandang ke arah menara, mengawasi Song Mingyu, yang tengah berjuang di tengah hiruk-pikuk turnamen bela diri.
"Kita tiba lebih awal," ucap Junjie, bersandar malas dengan satu tangan menopang dagu. Doupengnya—topi lebar penutup wajah—tersibak sedikit, tak terlalu mengkhawatirkan karena tempat itu cukup sepi dari orang-orang yang berlalu lalang.Ren Hui hanya mengangguk, kedua tangannya menghangatkan cangkir teh yang mengepul lembut. "Lebih baik begitu. Menunggu mungkin tak menyenangkan, tapi terlambat akan merusak kepercayaan.”Beberapa saat kemudian, langkah-langkah ringan terdengar menaiki tangga kayu. Dua sosok anggun dari Paviliun Yueliang muncul di ambaWei Jin tertegun, menajamkan pendengarannya saat desas-desus samar di sekitar mereka mulai menyebut nama "Song." Tanpa berpikir panjang, ia bertanya kepada Junjie yang duduk di hadapannya, "Apakah mereka sedang membicarakan Tuan Muda Song Mingyu dari Keluarga Song? Bukankah dia pernah kau ajak ke Paviliun Yueliang?" Mata Junjie memancarkan kilauan penuh teka-teki, senyum tipis menghiasi bibirnya. "Iya, dia."Di sebelah Wei Jin, Qiao Yang yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, mengernyitkan dahi. "Song Mingyu? Apakah dia orang yang sama dengan yang kau minta untuk kami selidiki dulu?" tanyanya, mencondongkan tubuh sedikit ke depan, rasa penasaran menyelinap dalam suaranya.Junjie mengangguk pelan, kali ini lebih tenang. "Benar. Dia orangnya."Wei Jin dan Qiao Yang saling berpandangan, berbagi pemahaman tanpa perlu sepatah kata pun. Hening sejenak menggantung di udara, diiringi gemerisik daun kering yang beterbangan tertiup angin. Qiao Yang,
Menara Pengawas LangitSong Mingyu melangkah dengan mantap, napasnya tak lagi tersengal setelah berhasil melewati jebakan demi jebakan yang dipasang dengan penuh perhitungan di setiap lantai menara. Setiap anak tangga yang dilaluinya adalah saksi bisu dari tekadnya yang tak tergoyahkan.Setelah lolos dari jebakan panah di lantai empat, pandangannya terpaku pada tangga yang berkelok menuju lantai lima. Di sekelilingnya, peserta lain masih terperangkap dalam jebakan—berusaha mati-matian meloloskan diri. Dengan tatapan tajam, dia bergumam, "Ternyata para penjaga itu hanya mengawasi... santai sekali."Ucapannya disambut oleh tawa pelan dari penjaga menara yang berdiri di sudut ruangan. Dia bersandar di tiang dengan santai, sembari mengamati jari jemarinya yang terbungkus sarung tangan besi. Pria itu berjalan mendekat, sorot matanya tak bisa dilepaskan dari Song Mingyu. "Kau pikir kami hanya menonton, bocah?" ucapnya sambil tersenyum tipis. "Jika kau
Di kedai teh di tepi hutan wisteria, tak jauh dari Menara Pengawas Langit yang menjadi arena turnamen, Junjie dan Ren Hui duduk berhadap-hadapan, ditemani kehangatan teh bunga hujan yang harum menguap dari cangkir mereka.Suasana kedai yang semula riuh kini mulai tenang. Hanya suara sesekali dari pelayan yang lalu lalang melayani tamu yang tak terlalu banyak. Ren Hui, dengan senyum tipis di wajahnya, memanggil seorang pelayan muda yang berdiri tak jauh dari meja mereka."Beritahu aku jika ada kabar terbaru dari turnamen," ujar Ren Hui sembari menyelipkan beberapa keping perak ke tangan si pelayan. Pelayan itu mengangguk cepat, wajahnya menampakkan keseriusan sebelum dia berbalik dan melangkah keluar kedai.Sementara itu, Junjie memandangi cangkir teh di tangannya, jari-jarinya yang lentik melingkari tepinya dengan santai. "Kau masih ingat, bukan? Turnamen musim semi tiga belas tahun lalu?" tanya Junjie, nadanya hangat tapi penuh arti.Ren Hui meng
Paviliun Hujan Musim SemiDi balik kabut tipis yang mengambang lembut, menyelimuti atap-atap genteng Paviliun Hujan Musim Semi, angin musim semi berembus pelan, membawa keharuman bunga-bunga yang baru saja mekar. Tempat ini berdiri tenang di ujung utara kota, tepat di belakang Menara Pengawas Langit. Paviliun itu tampak sunyi, menjadi kontras yang sempurna dengan hiruk-pikuk yang memenuhi kota di sekelilingnya. Di salah satu halamannya, seorang gadis pelayan berlari tergesa-gesa, gaunnya berkibar dalam angin, menciptakan riak halus di udara."Nyonya... Tuan Muda... Song Mingyu...," serunya dengan napas tersengal, suaranya tertelan oleh kecemasan yang mendesak.Di ambang pintu, seorang wanita berdiri tenang dengan balutan hanfu hijau tua berpadu putih. Nyonya Su Yang, istri ketua kamar dagang Kekaisaran Shenguang, Song Yanzhu, memancarkan pesona yang memukau. Rambutnya tersanggul anggun, tetapi beberapa helai dibiarkan jatuh lembut di sekitar wajahnya yang
Lantai empat belas, Menara Pengawas Langit Song Mingyu tertegun saat tiba di lantai empat belas. Keringat membasahi dahinya setelah berjuang melawan jebakan dan terlibat dalam beberapa duel dengan peserta lain. Kini, ia berdiri di ambang lantai terakhir sebelum mencapai puncak menara. Seorang pria berhanfu hitam bersandar di sebuah tiang besar dan bersiul dengan santai. Dengan sebuah golok besar tersandang di punggung, pria itu menatap Song Mingyu dengan senyum meremehkan. “Kau orang keempat yang tiba di sini,” katanya terdengar dingin dan acuh tak acuh, “dan mungkin, yang terakhir.” Song Mingyu menelan ludah, merasakan tekanan yang tiba-tiba mencekam dadanya. Dari ratusan peserta turnamen yang memulai perjuangan dari babak pertama, ternyata hanya dia yang tersisa. Kenyataan ini membuatnya dihinggapi perasaan aneh, antara bangga dan cemas. Para pendekar lain yang berhasil sampai di lantai ini pasti adalah yang terkuat. Tangannya mengepal
Song Mingyu berlari menyusuri halaman Menara Pengawas Langit, matanya mengamati sekeliling dengan cermat, mencari kedai teh yang disebut-sebut oleh Ren Hui dan Junjie. Angin lembut yang bertiup dari celah pepohonan membuat jubahnya berkibar halus, mengisi udara dengan aroma dedaunan segar. Meski demikian, pikirannya tak bisa lepas dari rasa cemas. Dia belum juga menemukan kedai yang dimaksud. Ketika kebingungan mulai menyelimuti pikirannya, seorang pemuda tanggung tiba-tiba muncul dari balik kerumunan dengan langkah cepat, mendekatinya tanpa ragu.“Apakah Anda Tuan Song Mingyu?” Pemuda itu menatapnya dengan tajam, sorot matanya seakan menembus lapisan jiwa Mingyu.Song Mingyu mengangguk perlahan. "Ya, benar. Ada apa?" tanyanya, sedikit waspada.“Saya membawa pesan dari Junjie,” ujar pemuda itu dengan napas terengah-engah. Wajahnya tampak penuh keseriusan. “Mereka menunggu Anda di hutan wisteria. Segera.”Mendengar pesan itu, dada Song Mingyu langs
Saat matahari terbenam, suasana kota Chunyu bergemuruh. Sorak sorai penduduk berpadu dengan tepukan tangan para pengunjung turnamen, menciptakan irama yang bergema di antara desau angin musim gugur. Dentang lonceng besar di menara, yang sudah lama tak terdengar, kini membahana, menggema di seluruh penjuru kota, menandai momen yang telah lama dinantikan. Di panggung utama yang menjulang megah, Tuan Wu Zhengting berdiri dengan postur tegap. Matanya yang tajam menelusuri kerumunan, penuh rasa ingin tahu yang tersembunyi di balik ketenangannya. Jubah hitamnya yang berhiaskan benang emas berkibar lembut terkena angin, memberikan kesan sosok yang berwibawa dan misterius.Sekeliling panggung terasa seolah terputus dari hiruk pikuk kota. Di sana, hanya ada Tuan Wu dan orang kepercayaannya. Di luar panggung, hiruk pikuk suara warga dan pengunjung yang bertanya-tanya memenuhi udara, tetapi di atas panggung, hanya keheningan yang mendominasi. Seakan dua dunia yang terpisah o
Keesokan paginya, kota Chunyu dipenuhi suasana semarak. Pagi itu, langit membentang cerah, dan sinar matahari yang hangat menembus lembut kabut tipis yang masih menggantung di atas jalan-jalan berbatu. Udara pagi membawa aroma manis dari kue-kue festival yang baru dipanggang, bercampur dengan harum arak segar yang baru diseduh. Jalan-jalan dipadati penduduk kota dan pengunjung dari luar yang berbondong-bondong menuju Menara Pengawas Langit. Hari ini adalah puncak perayaan Festival Musim Gugur, dan yang paling dinantikan adalah pertarungan final dalam turnamen bela diri yang sudah lama menjadi pembicaraan. Di tengah hiruk-pikuk kerumunan, dua sosok tampak berjalan berdampingan, Song Mingyu dan Junjie. Tak seperti biasanya, kali ini mereka hanya berdua. Ren Hui, tidak ikut serta karena harus mengantarkan arak ke Toko Daiyu, namun berjanji akan menyusul kemudian. Song Mingyu mengenakan hanfu putih yang sederhana namun elegan, dan di pinggangny
Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga
Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija
Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai
Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu
Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak
Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam