Saat matahari terbenam, suasana kota Chunyu bergemuruh. Sorak sorai penduduk berpadu dengan tepukan tangan para pengunjung turnamen, menciptakan irama yang bergema di antara desau angin musim gugur. Dentang lonceng besar di menara, yang sudah lama tak terdengar, kini membahana, menggema di seluruh penjuru kota, menandai momen yang telah lama dinantikan.
Di panggung utama yang menjulang megah, Tuan Wu Zhengting berdiri dengan postur tegap. Matanya yang tajam menelusuri kerumunan, penuh rasa ingin tahu yang tersembunyi di balik ketenangannya. Jubah hitamnya yang berhiaskan benang emas berkibar lembut terkena angin, memberikan kesan sosok yang berwibawa dan misterius.Sekeliling panggung terasa seolah terputus dari hiruk pikuk kota. Di sana, hanya ada Tuan Wu dan orang kepercayaannya. Di luar panggung, hiruk pikuk suara warga dan pengunjung yang bertanya-tanya memenuhi udara, tetapi di atas panggung, hanya keheningan yang mendominasi. Seakan dua dunia yang terpisah oKeesokan paginya, kota Chunyu dipenuhi suasana semarak. Pagi itu, langit membentang cerah, dan sinar matahari yang hangat menembus lembut kabut tipis yang masih menggantung di atas jalan-jalan berbatu. Udara pagi membawa aroma manis dari kue-kue festival yang baru dipanggang, bercampur dengan harum arak segar yang baru diseduh. Jalan-jalan dipadati penduduk kota dan pengunjung dari luar yang berbondong-bondong menuju Menara Pengawas Langit. Hari ini adalah puncak perayaan Festival Musim Gugur, dan yang paling dinantikan adalah pertarungan final dalam turnamen bela diri yang sudah lama menjadi pembicaraan. Di tengah hiruk-pikuk kerumunan, dua sosok tampak berjalan berdampingan, Song Mingyu dan Junjie. Tak seperti biasanya, kali ini mereka hanya berdua. Ren Hui, tidak ikut serta karena harus mengantarkan arak ke Toko Daiyu, namun berjanji akan menyusul kemudian. Song Mingyu mengenakan hanfu putih yang sederhana namun elegan, dan di pinggangny
Song Mingyu dan Junjie berjalan beriringan menelusuri jalanan berbatu yang membentang menuju Menara Pengawas Langit. Mereka melangkah dengan tenang, tanpa terburu-buru, angin pagi yang lembut mengibarkan jubah mereka, membawa aroma dedaunan musim gugur yang mengering. Saat melewati kedai teh, Junjie mengangkat tangannya, seolah mengisyaratkan agar mereka berhenti sejenak. "Sepertinya aku harus menunggu di sini," kata Junjie, sambil melihat ke arah pintu kedai. “Kalau Ren Hui menyusul, dia pasti akan mencariku di sini.” Nada suaranya ringan, seperti biasa, menunjukkan bahwa ia tidak terburu-buru. Song Mingyu menatap sejenak ke arah menara yang menjulang, hanya beberapa langkah lagi. Dia mengangguk setuju, “Kedai ini memang strategis. Dari sini, kita bisa mengamati semuanya.” Song Mingyu kembali melanjutkan langkahnya menuju menara, setelah meninggalkan Junjie di kedai teh. Semakin dekat ia dengan menara, semakin jelas gemuruh para penonto
Di panggung utama yang menjulang megah di tengah kerumunan, Wu Zhengting duduk dengan sikap tenang, tetapi penuh perhatian. Matanya yang setajam pedang sesekali menyapu arena, seolah menilai tiap gerakan yang terjadi di depannya. Di sampingnya, Meng Yi, orang kepercayaannya yang setia, duduk tegap, tatapannya fokus ke arah pertarungan yang baru saja dimulai. Suara denting pedang dan hembusan angin yang dihasilkan dari gerakan para pendekar terdengar begitu jelas, seolah mengiringi detak jantung penonton yang ikut berdebar. "Kenapa harus Kasim Zheng yang mewakili kekaisaran kali ini?" tanya Wu Zhengting, suaranya pelan namun tajam, seakan memotong kebisingan sekitar. Ada nada curiga yang samar, meski ia menutupi ekspresinya dengan baik. Matanya yang tajam menelisik wajah Meng Yi, mencari jawaban yang mungkin lebih dari sekadar kata-kata. Meng Yi tak mengubah ekspresinya, menjawab dengan ketenangan yang sudah menjadi ciri khasnya, "Kasim Z
Song Mingyu berdiri di sudut teras menara, angin dingin yang datang dari dataran tinggi berputar-putar di sekitarnya, membuat ujung-ujung jubahnya melambai. Udara siang itu sejuk, membawa aroma bunga liar dan dedaunan berguguran yang khas. Matanya yang tajam menatap ke arah atap menara Chunyu, tempat pertempuran berlangsung dengan sengit. Pedang berbenturan, suara gemerincingnya bergema ke seluruh penjuru, seakan menantang langit. Sesekali, cahaya mentari memantul dari bilah pedang, menciptakan kilauan yang hampir menyilaukan. Pikiran Song Mingyu mulai tersesat dalam keraguan. Apakah dia harus turun tangan? Atau mungkin hanya menunggu waktu yang tepat? Namun, seketika lamunannya terpecah oleh suara yang memanggil dari kejauhan. "Anak muda, kau akan menunggu sampai kapan?" suara Lin Guiying terdengar jelas, disertai tawa pendek yang menyebalkan. "Apakah kau berpikir kami akan saling membunuh di sini?"
Song Mingyu mendarat dengan mulus di ujung atap menara, langkahnya nyaris tak bersuara di atas genteng. Ia menunduk, memandang ke bawah di mana Nyonya Sun Yang, ibunya, berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang. Wajah wanita itu memerah, amarahnya seakan mendidih di bawah kulitnya yang pucat diterangi sinar matahari. "Mingyu!" teriak Nyonya Sun Yang dengan suara tegas, suaranya menggema hingga ke menara-menara sekitarnya. "Apa kau pikir bisa lari dariku setelah apa yang kau lakukan?!" Song Mingyu menarik napas panjang, udara dingin terasa menusuk paru-parunya. Ia sadar, tak ada tempat di dunia ini yang bisa menyelamatkannya dari kemarahan ibunya. Dengan nada sedikit menyerah, ia menjawab, "Nanti, Ibu! Setelah turnamen ini selesai, aku akan jelaskan semuanya!" Suaranya bergema, menembus celah-celah atap yang mulai retak. Nyonya Sun Yang tampak ragu, bibirnya terkatup rapat sejenak, namun akhirnya ia berbalik dengan kesal. Pelayan setia
Song Mingyu mendongakkan kepalanya, menatap langit yang berpendar keemasan. Perlahan, sang surya bergerak ke barat, pertanda waktu mereka untuk bertarung di turnamen hampir habis. "Waktunya tak banyak lagi," bisiknya dalam hati, suaranya tenggelam dalam riak angin senja yang sejuk. Ia menarik napas panjang, sebelum akhirnya berdiri tegak, membulatkan tekad. Di depannya, He Tu dan Jia Delan, bertarung dengan intensitas yang memukau. Gerakan mereka begitu cepat, penuh tenaga, lincah namun elegan seperti angin yang berembus. Denting pedang mereka yang beradu menciptakan ritme tajam, harmonis dengan suara gemerisik hanfu yang menari-nari dalam tiupan angin. Setiap langkah mereka seperti bagian dari sebuah tarian maut yang indah. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Song Mingyu melesat ke udara dengan kecepatan yang tak kasat mata. Tubuhnya seolah ringan, melayang di antara tiupan angin senja yang semakin dingin. Dengan satu gerakan yang anggun, ia menca
Wei Jin dan Qiao Yang berdiri diam di pinggir arena, menatap menara yang kini hanya tersisa separuh. Struktur yang dulunya megah itu telah roboh sebagian, menyisakan kerangka rapuh yang tampak renta di bawah langit yang mulai meredup. Di puncak menara, tiga pendekar terakhir dari turnamen masih berdiri tegap, meski atap tempat mereka berpijak sudah mulai retak dan tampak siap runtuh kapan saja.Wei Jin menghela napas pelan, matanya menyipit sambil mengamati dengan seksama. Ia bergumam, disertai tawa ringan, "Pedang Naga Langit dan Jurus Pedang Musim Panas... Hanya Pangeran Yongle yang bisa memberi kejutan sebesar itu."Di sampingnya, Qiao Yang, seorang wanita berparas anggun dengan hanfu hitam yang berkibar lembut tertiup angin sore, ikut tertawa. Suaranya lembut, namun tajam seperti bilah pedang yang baru diasah. "Sepertinya kejutan yang lebih besar masih menanti kita. Aku tak sabar menantikan apa yang akan terjadi." Matanya yang berbinar melirik ke arah Wei Jin,
Sekali lagi Wei Jin dan Qiao Yang terpukau, meski seolah telah menduga apa yang akan terjadi, kejutan di hadapan mereka tetap melampaui harapan. Qiao Yang tersenyum tipis, melangkah anggun ke tengah halaman menara.Setiap pasang mata langsung tertuju padanya. Bahkan Tuan Wu Zhengting, yang selama ini tak tergoyahkan, sedikit menegang di panggung kehormatan. Kehadiran salah satu majikan Paviliun Yueliang ini jelas membawa atmosfer baru.Wu Zhengting, meski berusaha menjaga ketenangan, tak bisa menyembunyikan rasa was-wasnya. Sosok Qiao Yang, dengan langkah ringan namun penuh keyakinan, memancarkan kekuatan yang membuat siapa pun merasa terintimidasi."Teruslah bertarung hingga matahari benar-benar tenggelam!" Seru Qiao Yang kepada tiga pendekar di atas menara. Suaranya tenang, namun memancarkan wibawa.Tanpa banyak bicara, ia merentangkan tangannya, melemparkan selendang hitamnya ke arah menara. Selendang itu melesat ke udara dengan keang
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"
Junjie dengan tenang mencabut anak panah yang menancap di tanah, di ujung kaki mereka. Jarinya yang ramping memutar anak panah itu, mengamatinya dengan seksama. Sambil memegang anak panah tersebut, dia melambai pada pasukan berkuda yang dipimpin Jenderal Miu."Jenderal Miu! Kami hanya pengelana yang singgah sebentar! Izinkan kami pergi!" serunya dengan penuh percaya diri, suaranya tegas tetapi tidak berlebihan.Namun, kedua pasukan itu bergerak mendekat, mengencangkan formasi hingga ruang gerak semakin sempit. Tatapan penuh curiga mengarah pada Junjie dan Ren Hui, seolah menyiratkan bahwa mereka menyembunyikan sesuatu.Ren Hui menghela napas panjang, sebelum memasang wajah memelas yang sangat meyakinkan. "Aiyo! Kami hanya pedagang arak miskin yang kebetulan lewat. Sungguh sial kami terjebak dalam kekacauan seperti ini!" rengeknya memelas, suaranya terdengar dibuat-buat tetapi mengundang simpati.Beberapa prajurit di sekitar mereka memandang dengan
Suasana seketika menjadi hening. Angin gurun berdesir pelan, membawa aroma pasir dan dedaunan kering yang bergesekan di sekitar oasis. Beberapa prajurit segera bergerak cepat, melindungi teman-teman mereka yang tengah mengambil air. Ren Hui dan Junjie pun segera mengangkat kaki mereka dari air, mengeringkannya dengan tergesa-gesa sebelum mengenakan kembali sepatu bot.Tiba-tiba, desingan anak-anak panah memecah ketenangan. Kali ini, serangkaian anak panah meluncur deras ke arah mereka. Ren Hui bereaksi secepat kilat, mengeluarkan payung di punggungnya dan membukanya dengan gerakan gesit. Payung itu berputar, mematahkan setiap anak panah yang mengarah padanya dan Junjie.Gerakannya begitu lincah dan anggun, membuat para prajurit di sekitarnya tertegun. Mereka menatap pemandangan itu dengan kekaguman, bahkan sempat lupa dengan ancaman yang baru saja melintas.Ren Hui tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya. "Maaf, kam
Ren Hui dan Junjie berdiri di tepi oasis, menatap kagum pada pemandangan yang tersaji di depan mereka. Air jernih yang memantulkan sinar matahari senja berkilauan seperti hamparan emas dan merah delima. Oasis di kota Hóngshā ini sungguh terlihat seperti permata yang berkilauan di tengah gurun pasir merah yang luas dan gersang."Indah sekali, bak bunga mawar merah keemasan," gumam Ren Hui, suaranya hampir tenggelam dalam lembutnya hembusan angin senja. Matanya memancarkan kekaguman yang tulus.Junjie menoleh, memperhatikan Ren Hui yang berdiri di sampingnya. Meski panorama oasis begitu menakjubkan, pikirannya lebih terpaku pada sosok pria itu. Ren Hui, dengan jubah putih yang berkibar tertiup angin, rambut hitamnya yang tergerai, dan senyum yang terpancar alami, terlihat seperti bagian dari pemandangan itu sendiri—indah dan tak tergantikan."Aku tak menyangka ada sedikit kehidupan di tempat segersang ini," ujar Ren Hui, matanya menyapu area oasis yang mulai