Song Mingyu mendarat dengan mulus di ujung atap menara, langkahnya nyaris tak bersuara di atas genteng. Ia menunduk, memandang ke bawah di mana Nyonya Sun Yang, ibunya, berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang. Wajah wanita itu memerah, amarahnya seakan mendidih di bawah kulitnya yang pucat diterangi sinar matahari.
"Mingyu!" teriak Nyonya Sun Yang dengan suara tegas, suaranya menggema hingga ke menara-menara sekitarnya. "Apa kau pikir bisa lari dariku setelah apa yang kau lakukan?!" Song Mingyu menarik napas panjang, udara dingin terasa menusuk paru-parunya. Ia sadar, tak ada tempat di dunia ini yang bisa menyelamatkannya dari kemarahan ibunya. Dengan nada sedikit menyerah, ia menjawab, "Nanti, Ibu! Setelah turnamen ini selesai, aku akan jelaskan semuanya!" Suaranya bergema, menembus celah-celah atap yang mulai retak. Nyonya Sun Yang tampak ragu, bibirnya terkatup rapat sejenak, namun akhirnya ia berbalik dengan kesal. Pelayan setiaSong Mingyu mendongakkan kepalanya, menatap langit yang berpendar keemasan. Perlahan, sang surya bergerak ke barat, pertanda waktu mereka untuk bertarung di turnamen hampir habis. "Waktunya tak banyak lagi," bisiknya dalam hati, suaranya tenggelam dalam riak angin senja yang sejuk. Ia menarik napas panjang, sebelum akhirnya berdiri tegak, membulatkan tekad. Di depannya, He Tu dan Jia Delan, bertarung dengan intensitas yang memukau. Gerakan mereka begitu cepat, penuh tenaga, lincah namun elegan seperti angin yang berembus. Denting pedang mereka yang beradu menciptakan ritme tajam, harmonis dengan suara gemerisik hanfu yang menari-nari dalam tiupan angin. Setiap langkah mereka seperti bagian dari sebuah tarian maut yang indah. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Song Mingyu melesat ke udara dengan kecepatan yang tak kasat mata. Tubuhnya seolah ringan, melayang di antara tiupan angin senja yang semakin dingin. Dengan satu gerakan yang anggun, ia menca
Wei Jin dan Qiao Yang berdiri diam di pinggir arena, menatap menara yang kini hanya tersisa separuh. Struktur yang dulunya megah itu telah roboh sebagian, menyisakan kerangka rapuh yang tampak renta di bawah langit yang mulai meredup. Di puncak menara, tiga pendekar terakhir dari turnamen masih berdiri tegap, meski atap tempat mereka berpijak sudah mulai retak dan tampak siap runtuh kapan saja.Wei Jin menghela napas pelan, matanya menyipit sambil mengamati dengan seksama. Ia bergumam, disertai tawa ringan, "Pedang Naga Langit dan Jurus Pedang Musim Panas... Hanya Pangeran Yongle yang bisa memberi kejutan sebesar itu."Di sampingnya, Qiao Yang, seorang wanita berparas anggun dengan hanfu hitam yang berkibar lembut tertiup angin sore, ikut tertawa. Suaranya lembut, namun tajam seperti bilah pedang yang baru diasah. "Sepertinya kejutan yang lebih besar masih menanti kita. Aku tak sabar menantikan apa yang akan terjadi." Matanya yang berbinar melirik ke arah Wei Jin,
Sekali lagi Wei Jin dan Qiao Yang terpukau, meski seolah telah menduga apa yang akan terjadi, kejutan di hadapan mereka tetap melampaui harapan. Qiao Yang tersenyum tipis, melangkah anggun ke tengah halaman menara.Setiap pasang mata langsung tertuju padanya. Bahkan Tuan Wu Zhengting, yang selama ini tak tergoyahkan, sedikit menegang di panggung kehormatan. Kehadiran salah satu majikan Paviliun Yueliang ini jelas membawa atmosfer baru.Wu Zhengting, meski berusaha menjaga ketenangan, tak bisa menyembunyikan rasa was-wasnya. Sosok Qiao Yang, dengan langkah ringan namun penuh keyakinan, memancarkan kekuatan yang membuat siapa pun merasa terintimidasi."Teruslah bertarung hingga matahari benar-benar tenggelam!" Seru Qiao Yang kepada tiga pendekar di atas menara. Suaranya tenang, namun memancarkan wibawa.Tanpa banyak bicara, ia merentangkan tangannya, melemparkan selendang hitamnya ke arah menara. Selendang itu melesat ke udara dengan keang
Meng Yi bergerak secepat kilat, pedangnya melesat tajam, menangkis kipas putih yang hampir menebas leher Tuan Wu Zhengting. Suara denting logam terdengar jelas, menggetarkan udara di sekitarnya. Senjata lipat itu berputar kembali ke tangan pemiliknya, seakan tertarik oleh kekuatan tak terlihat. Namun, tak ada waktu bagi Meng Yi untuk bernapas lega. "Prajurit! Kepung dia!" teriaknya, suaranya tegas menggema di tengah hiruk-pikuk. Mata Meng Yi bersinar tajam, penuh kewaspadaan, menyapu medan yang semakin dipenuhi prajurit yang berdatangan.Di panggung kehormatan, Kasim Zheng memberi isyarat cepat kepada penjaga kekaisaran. "Lindungi Putri Tian Xing Hui," bisiknya dengan nada penuh tekanan. Meskipun hatinya yakin sosok-sosok misterius itu tak berniat melukai sang Putri, kehati-hatiannya, yang sudah terpatri sejak lama, tak bisa ia abaikan. Matanya melirik Chu Wang yang duduk di sebelahnya, Perdana Menteri muda yang dikenal tenang dalam segala situasi. Chu W
Ren Hui berjalan terhuyung-huyung di bawah deretan pohon-pohon wisteria tua. Setiap langkahnya terasa berat, tubuhnya seperti tertusuk ribuan jarum. Dadanya sesak, dan pandangannya perlahan mengabur. Dia tahu, tenaga dalam yang digunakannya telah memaksa racun bunga biru tujuh rupa untuk kembali bereaksi. Racun yang selama ini ditahannya, kini mulai mendominasi.Dia berhenti sejenak, bertumpu pada batang pohon wisteria yang kokoh. Mengangkat kepalanya, matanya menatap langit malam yang mulai pudar. Kilauan pelangi yang sempat menyala terang kini perlahan hilang, meninggalkan sisa-sisa warna yang perlahan memudar. Kelopak-kelopak bunga masih berjatuhan, meski tidak sederas sebelumnya. Setiap kelopak seakan membawa serpihan kenangan yang tak pernah kembali.Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya yang pucat. Ren Hui berbisik pelan, "Aku tak menyesal... menghibur Kota Chunyu. Meski kini tubuhku semakin melemah ..." Bisikannya terbawa angin, lenyap bersama sisa-sisa ma
Di pinggiran Kota Chunyu, di tepi Sungai Empat Musim yang tenang membelah kota, berdirilah Kuil Bulan Perak. Kuil tua namun megah ini tampak anggun, tenggelam dalam keheningan malam. Cahaya lembut bulan purnama menggantung di langit, memeluk bangunan itu dengan sinarnya yang perak. Hawa malam terasa sejuk, menelusup perlahan melalui celah-celah dinding, membawa aroma khas musim gugur yang tenang.Di teras kamar pribadinya, Chu Wang berdiri diam. Sosoknya tegap, sementara matanya memandang jauh ke arah bulan yang menggantung tinggi. Tangannya tersilang di belakang punggung, postur tubuhnya mencerminkan ketenangan seorang pemimpin yang bijak.Di belakangnya, Kasim Zheng berdiri dalam diam penuh hormat. Wajahnya tunduk dalam-dalam, seolah menjadi bagian dari bayang-bayang malam yang menyelimuti perdana menteri muda itu. Suasana hening di antara mereka, hanya angin malam yang menggesek dedaunan pepohonan.Namun, keheningan itu perlahan pecah oleh suara Chu Wan
Manor Wu, pusat kota Chunyu, tampak sunyi. Di dalam aula besar yang mewah, Wu Zhengting duduk dengan anggun di atas kursi tinggi berukir. Jari-jarinya yang ramping dengan lembut memegang cangkir teh porselen giok. Tatapannya, meski terlihat tenang, menancap tajam pada lantai dingin di depannya.Di hadapannya, beberapa bawahan berlutut dalam ketakutan yang terpendam, kepala mereka tertunduk dalam-dalam, seolah takut menatap penguasa Kota Chunyu itu. Turnamen bela diri yang awalnya dimaksudkan untuk menjadi panggung kejayaan kota Chunyu justru berakhir dalam kekacauan memalukan. Di depan pejabat penting seperti Perdana Menteri kiri Chu Wang dan Kasim Zheng, serta para tamu kehormatan, insiden itu telah mencoreng nama baik Chunyu. Kabar tentang peristiwa ini akan segera mencapai telinga kaisar di ibu kota, dan Tuan Wu tahu benar bahwa ini bisa memicu masalah politik besar. Kesalahan ini berbahaya.Meski begitu, Tuan Wu tetap menampilkan ketenangan yang luar
Wisma Empat Musim, Jalan KenanganDi ruang yang sunyi, aroma teh melati bercampur harum krisan mengisi udara, menenangkan sekaligus mengisi keheningan yang menyelimuti. Xue Xue duduk diam, matanya menatap kosong pada meja di depannya, seolah terhanyut dalam pikirannya yang dalam. Angin musim gugur yang lembut menyusup melalui jendela, membawa dedaunan kering yang jatuh perlahan di atas lantai kayu yang berderit halus. Ujung lengan hanfu-nya yang putih lembut berpadu biru muda tersentuh angin, tetapi tubuhnya tetap tak bergeming, seolah angin pun tak bisa menyentuh kegelisahan dalam hatinya.Di sebelahnya, seorang murid wanita muda, A Yao, berdiri dengan tegang, memegang teko perak berukir. Setiap gerakannya sangat hati-hati, seolah takut suara air teh yang mengalir ke dalam cangkir akan mengganggu ketenangan Xue Xue. Suasana masih tetap hening, hanya ada suara tetesan teh yang tenang, menyatu dengan hembusan angin yang menggerakkan tirai tipis di jendela.
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"
Junjie dengan tenang mencabut anak panah yang menancap di tanah, di ujung kaki mereka. Jarinya yang ramping memutar anak panah itu, mengamatinya dengan seksama. Sambil memegang anak panah tersebut, dia melambai pada pasukan berkuda yang dipimpin Jenderal Miu."Jenderal Miu! Kami hanya pengelana yang singgah sebentar! Izinkan kami pergi!" serunya dengan penuh percaya diri, suaranya tegas tetapi tidak berlebihan.Namun, kedua pasukan itu bergerak mendekat, mengencangkan formasi hingga ruang gerak semakin sempit. Tatapan penuh curiga mengarah pada Junjie dan Ren Hui, seolah menyiratkan bahwa mereka menyembunyikan sesuatu.Ren Hui menghela napas panjang, sebelum memasang wajah memelas yang sangat meyakinkan. "Aiyo! Kami hanya pedagang arak miskin yang kebetulan lewat. Sungguh sial kami terjebak dalam kekacauan seperti ini!" rengeknya memelas, suaranya terdengar dibuat-buat tetapi mengundang simpati.Beberapa prajurit di sekitar mereka memandang dengan
Suasana seketika menjadi hening. Angin gurun berdesir pelan, membawa aroma pasir dan dedaunan kering yang bergesekan di sekitar oasis. Beberapa prajurit segera bergerak cepat, melindungi teman-teman mereka yang tengah mengambil air. Ren Hui dan Junjie pun segera mengangkat kaki mereka dari air, mengeringkannya dengan tergesa-gesa sebelum mengenakan kembali sepatu bot.Tiba-tiba, desingan anak-anak panah memecah ketenangan. Kali ini, serangkaian anak panah meluncur deras ke arah mereka. Ren Hui bereaksi secepat kilat, mengeluarkan payung di punggungnya dan membukanya dengan gerakan gesit. Payung itu berputar, mematahkan setiap anak panah yang mengarah padanya dan Junjie.Gerakannya begitu lincah dan anggun, membuat para prajurit di sekitarnya tertegun. Mereka menatap pemandangan itu dengan kekaguman, bahkan sempat lupa dengan ancaman yang baru saja melintas.Ren Hui tersenyum canggung sambil menggaruk kepalanya. "Maaf, kam
Ren Hui dan Junjie berdiri di tepi oasis, menatap kagum pada pemandangan yang tersaji di depan mereka. Air jernih yang memantulkan sinar matahari senja berkilauan seperti hamparan emas dan merah delima. Oasis di kota Hóngshā ini sungguh terlihat seperti permata yang berkilauan di tengah gurun pasir merah yang luas dan gersang."Indah sekali, bak bunga mawar merah keemasan," gumam Ren Hui, suaranya hampir tenggelam dalam lembutnya hembusan angin senja. Matanya memancarkan kekaguman yang tulus.Junjie menoleh, memperhatikan Ren Hui yang berdiri di sampingnya. Meski panorama oasis begitu menakjubkan, pikirannya lebih terpaku pada sosok pria itu. Ren Hui, dengan jubah putih yang berkibar tertiup angin, rambut hitamnya yang tergerai, dan senyum yang terpancar alami, terlihat seperti bagian dari pemandangan itu sendiri—indah dan tak tergantikan."Aku tak menyangka ada sedikit kehidupan di tempat segersang ini," ujar Ren Hui, matanya menyapu area oasis yang mulai