Meng Yi bergerak secepat kilat, pedangnya melesat tajam, menangkis kipas putih yang hampir menebas leher Tuan Wu Zhengting. Suara denting logam terdengar jelas, menggetarkan udara di sekitarnya. Senjata lipat itu berputar kembali ke tangan pemiliknya, seakan tertarik oleh kekuatan tak terlihat. Namun, tak ada waktu bagi Meng Yi untuk bernapas lega.
"Prajurit! Kepung dia!" teriaknya, suaranya tegas menggema di tengah hiruk-pikuk. Mata Meng Yi bersinar tajam, penuh kewaspadaan, menyapu medan yang semakin dipenuhi prajurit yang berdatangan.Di panggung kehormatan, Kasim Zheng memberi isyarat cepat kepada penjaga kekaisaran. "Lindungi Putri Tian Xing Hui," bisiknya dengan nada penuh tekanan.Meskipun hatinya yakin sosok-sosok misterius itu tak berniat melukai sang Putri, kehati-hatiannya, yang sudah terpatri sejak lama, tak bisa ia abaikan. Matanya melirik Chu Wang yang duduk di sebelahnya, Perdana Menteri muda yang dikenal tenang dalam segala situasi. Chu WRen Hui berjalan terhuyung-huyung di bawah deretan pohon-pohon wisteria tua. Setiap langkahnya terasa berat, tubuhnya seperti tertusuk ribuan jarum. Dadanya sesak, dan pandangannya perlahan mengabur. Dia tahu, tenaga dalam yang digunakannya telah memaksa racun bunga biru tujuh rupa untuk kembali bereaksi. Racun yang selama ini ditahannya, kini mulai mendominasi.Dia berhenti sejenak, bertumpu pada batang pohon wisteria yang kokoh. Mengangkat kepalanya, matanya menatap langit malam yang mulai pudar. Kilauan pelangi yang sempat menyala terang kini perlahan hilang, meninggalkan sisa-sisa warna yang perlahan memudar. Kelopak-kelopak bunga masih berjatuhan, meski tidak sederas sebelumnya. Setiap kelopak seakan membawa serpihan kenangan yang tak pernah kembali.Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya yang pucat. Ren Hui berbisik pelan, "Aku tak menyesal... menghibur Kota Chunyu. Meski kini tubuhku semakin melemah ..." Bisikannya terbawa angin, lenyap bersama sisa-sisa ma
Di pinggiran Kota Chunyu, di tepi Sungai Empat Musim yang tenang membelah kota, berdirilah Kuil Bulan Perak. Kuil tua namun megah ini tampak anggun, tenggelam dalam keheningan malam. Cahaya lembut bulan purnama menggantung di langit, memeluk bangunan itu dengan sinarnya yang perak. Hawa malam terasa sejuk, menelusup perlahan melalui celah-celah dinding, membawa aroma khas musim gugur yang tenang.Di teras kamar pribadinya, Chu Wang berdiri diam. Sosoknya tegap, sementara matanya memandang jauh ke arah bulan yang menggantung tinggi. Tangannya tersilang di belakang punggung, postur tubuhnya mencerminkan ketenangan seorang pemimpin yang bijak.Di belakangnya, Kasim Zheng berdiri dalam diam penuh hormat. Wajahnya tunduk dalam-dalam, seolah menjadi bagian dari bayang-bayang malam yang menyelimuti perdana menteri muda itu. Suasana hening di antara mereka, hanya angin malam yang menggesek dedaunan pepohonan.Namun, keheningan itu perlahan pecah oleh suara Chu Wan
Manor Wu, pusat kota Chunyu, tampak sunyi. Di dalam aula besar yang mewah, Wu Zhengting duduk dengan anggun di atas kursi tinggi berukir. Jari-jarinya yang ramping dengan lembut memegang cangkir teh porselen giok. Tatapannya, meski terlihat tenang, menancap tajam pada lantai dingin di depannya.Di hadapannya, beberapa bawahan berlutut dalam ketakutan yang terpendam, kepala mereka tertunduk dalam-dalam, seolah takut menatap penguasa Kota Chunyu itu. Turnamen bela diri yang awalnya dimaksudkan untuk menjadi panggung kejayaan kota Chunyu justru berakhir dalam kekacauan memalukan. Di depan pejabat penting seperti Perdana Menteri kiri Chu Wang dan Kasim Zheng, serta para tamu kehormatan, insiden itu telah mencoreng nama baik Chunyu. Kabar tentang peristiwa ini akan segera mencapai telinga kaisar di ibu kota, dan Tuan Wu tahu benar bahwa ini bisa memicu masalah politik besar. Kesalahan ini berbahaya.Meski begitu, Tuan Wu tetap menampilkan ketenangan yang luar
Wisma Empat Musim, Jalan KenanganDi ruang yang sunyi, aroma teh melati bercampur harum krisan mengisi udara, menenangkan sekaligus mengisi keheningan yang menyelimuti. Xue Xue duduk diam, matanya menatap kosong pada meja di depannya, seolah terhanyut dalam pikirannya yang dalam. Angin musim gugur yang lembut menyusup melalui jendela, membawa dedaunan kering yang jatuh perlahan di atas lantai kayu yang berderit halus. Ujung lengan hanfu-nya yang putih lembut berpadu biru muda tersentuh angin, tetapi tubuhnya tetap tak bergeming, seolah angin pun tak bisa menyentuh kegelisahan dalam hatinya.Di sebelahnya, seorang murid wanita muda, A Yao, berdiri dengan tegang, memegang teko perak berukir. Setiap gerakannya sangat hati-hati, seolah takut suara air teh yang mengalir ke dalam cangkir akan mengganggu ketenangan Xue Xue. Suasana masih tetap hening, hanya ada suara tetesan teh yang tenang, menyatu dengan hembusan angin yang menggerakkan tirai tipis di jendela.
Beberapa hari berlalu sejak insiden di turnamen bela diri yang berakhir dengan kekacauan. Dalam upaya memperbaiki citra dan menenangkan suasana, Tuan Wu Zhengting menawarkan kompensasi yang mencolok bagi empat petarung di babak final. Tak hanya itu, ia juga meminta maaf secara langsung kepada seluruh peserta, tamu, dan penonton, suatu tindakan yang tak diduga banyak orang.Tak lama setelah itu, Tuan Wu menggelar festival musim gugur yang meriah di pusat kota Chunyu, terbuka untuk semua orang yang kebetulan berada di sana. Kemeriahan festival ini berhasil mengalihkan perhatian publik dari insiden sebelumnya.Sikap ramah Tuan Wu dan kesediaannya mengakui bahwa dirinya pun tertipu membuat banyak pihak enggan memperpanjang masalah. Bahkan, ia dengan bijaksana untuk tidak menyalahkan pihak-pihak terkait seperti Sekte Pedang Langit dan Biro Kupu-kupu Emas. Akibatnya, suasana kembali damai dalam waktu singkat. Kisah peti mati giok lavender, yang sebelumnya menjadi sumber
Suasana di dalam kereta yang ditumpangi Chu Wang dan Kasim Zheng terasa hening. Seolah angin malam yang dingin sengaja menghindari celah-celah jendela tertutup rapat. Aroma kayu cendana samar-samar tercium, mengisi ruang yang sempit namun mewah itu. Junjie duduk dengan tenang, berhadapan dengan Chu Wang. Untuk pertama kalinya, ia bertemu kembali dengan teman masa kecilnya yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri kiri, pilihan Kaisar. Meski usia mereka tak terpaut jauh, dunia politik telah menjauhkan mereka dalam cara yang tak terucapkan. Dulu, mereka berdua belajar bersama di bawah asuhan Grand Tutor Liu, mempelajari seni pemerintahan dan strategi militer. Hari itu, meski bisa disebut sebuah reuni, pertemuan mereka dibayangi ketegangan. Situasi di Kota Chunyu yang mencekam membuat kepercayaan menjadi barang langka. Setiap orang, tanpa kecuali, saling mengawasi satu sama lain. Wajah Chu Wang yang tenang namun serius memecah keheningan.
Malam itu, bulan tampak malu-malu, tersembunyi di balik selimut awan kelabu. Ren Hui melangkah perlahan, nyaris tanpa suara di atas rumput yang basah oleh embun. Setiap hembusan angin malam membawa aroma segar daun bambu, membelai wajahnya dan menggoyangkan ujung jubahnya dengan lembut, seakan menyambut kehadirannya di dalam keheningan.Saat ia mendekati rumah beroda itu, sinar lilin samar yang menerobos dari celah-celah jendela memberi pertanda bahwa seseorang masih terjaga. Di tengah keheningan, terdengar suara halus air yang mendidih, seolah ikut menjaga malam yang sunyi.Pintu terbuka perlahan, dan di dalam, Ren Hui mendapati Yingying, berdiri di depan tungku, merebus ramuan obat. Seperti biasanya, kesibukan sehari-harinya.“Yingying,” panggil Ren Hui lembut. Yingying menoleh, tersenyum tipis. “Kau akhirnya kembali. Aku sudah menunggumu,” jawabnya, lembut namun dingin. Ren Hui mendekat, matanya tertuju pada uap yang berputar keluar dari panci
Di dalam rumah beroda berdinding kayu tua, aroma rempah-rempah obat dan teh herbal bercampur di udara, menciptakan wewangian pahit yang menenangkan. Lentera yang tergantung berayun pelan, membentuk bayangan redup di dinding. Ren Hui duduk berhadapan dengan Chu Wang, di antara mereka asap teh tipis bergelung naik, mengisi udara dengan aroma dedaunan teh kering yang baru diseduh. Di sisi lain ruangan, Kasim Zheng berdiri cemas, mengawasi Yingying yang dengan hati-hati menyuapi Junjie, atau Pangeran Yongle, obat herbal dari mangkuk kayu.Dia tampak pucat, racun bunga salju yang bersarang di tubuhnya membuat penyakit dinginnya kambuh. Setiap hembusan napasnya terlihat, seolah musim dingin telah menyergap seluruh nadinya, meninggalkan jejak beku yang tak bisa ia hindari. Mantel tebal dan selimut beludru yang membungkusnya tak mampu menahan serbuan dingin yang merasuki sumsum tulangnya.“Kau tidak perlu khawatir, Kasim Zheng,” kata Yingying, suaranya