Wisma Empat Musim, Jalan Kenangan
Di ruang yang sunyi, aroma teh melati bercampur harum krisan mengisi udara, menenangkan sekaligus mengisi keheningan yang menyelimuti. Xue Xue duduk diam, matanya menatap kosong pada meja di depannya, seolah terhanyut dalam pikirannya yang dalam.Angin musim gugur yang lembut menyusup melalui jendela, membawa dedaunan kering yang jatuh perlahan di atas lantai kayu yang berderit halus. Ujung lengan hanfu-nya yang putih lembut berpadu biru muda tersentuh angin, tetapi tubuhnya tetap tak bergeming, seolah angin pun tak bisa menyentuh kegelisahan dalam hatinya.Di sebelahnya, seorang murid wanita muda, A Yao, berdiri dengan tegang, memegang teko perak berukir. Setiap gerakannya sangat hati-hati, seolah takut suara air teh yang mengalir ke dalam cangkir akan mengganggu ketenangan Xue Xue. Suasana masih tetap hening, hanya ada suara tetesan teh yang tenang, menyatu dengan hembusan angin yang menggerakkan tirai tipis di jendela.Beberapa hari berlalu sejak insiden di turnamen bela diri yang berakhir dengan kekacauan. Dalam upaya memperbaiki citra dan menenangkan suasana, Tuan Wu Zhengting menawarkan kompensasi yang mencolok bagi empat petarung di babak final. Tak hanya itu, ia juga meminta maaf secara langsung kepada seluruh peserta, tamu, dan penonton, suatu tindakan yang tak diduga banyak orang.Tak lama setelah itu, Tuan Wu menggelar festival musim gugur yang meriah di pusat kota Chunyu, terbuka untuk semua orang yang kebetulan berada di sana. Kemeriahan festival ini berhasil mengalihkan perhatian publik dari insiden sebelumnya.Sikap ramah Tuan Wu dan kesediaannya mengakui bahwa dirinya pun tertipu membuat banyak pihak enggan memperpanjang masalah. Bahkan, ia dengan bijaksana untuk tidak menyalahkan pihak-pihak terkait seperti Sekte Pedang Langit dan Biro Kupu-kupu Emas. Akibatnya, suasana kembali damai dalam waktu singkat. Kisah peti mati giok lavender, yang sebelumnya menjadi sumber
Suasana di dalam kereta yang ditumpangi Chu Wang dan Kasim Zheng terasa hening. Seolah angin malam yang dingin sengaja menghindari celah-celah jendela tertutup rapat. Aroma kayu cendana samar-samar tercium, mengisi ruang yang sempit namun mewah itu. Junjie duduk dengan tenang, berhadapan dengan Chu Wang. Untuk pertama kalinya, ia bertemu kembali dengan teman masa kecilnya yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri kiri, pilihan Kaisar. Meski usia mereka tak terpaut jauh, dunia politik telah menjauhkan mereka dalam cara yang tak terucapkan. Dulu, mereka berdua belajar bersama di bawah asuhan Grand Tutor Liu, mempelajari seni pemerintahan dan strategi militer. Hari itu, meski bisa disebut sebuah reuni, pertemuan mereka dibayangi ketegangan. Situasi di Kota Chunyu yang mencekam membuat kepercayaan menjadi barang langka. Setiap orang, tanpa kecuali, saling mengawasi satu sama lain. Wajah Chu Wang yang tenang namun serius memecah keheningan.
Malam itu, bulan tampak malu-malu, tersembunyi di balik selimut awan kelabu. Ren Hui melangkah perlahan, nyaris tanpa suara di atas rumput yang basah oleh embun. Setiap hembusan angin malam membawa aroma segar daun bambu, membelai wajahnya dan menggoyangkan ujung jubahnya dengan lembut, seakan menyambut kehadirannya di dalam keheningan.Saat ia mendekati rumah beroda itu, sinar lilin samar yang menerobos dari celah-celah jendela memberi pertanda bahwa seseorang masih terjaga. Di tengah keheningan, terdengar suara halus air yang mendidih, seolah ikut menjaga malam yang sunyi.Pintu terbuka perlahan, dan di dalam, Ren Hui mendapati Yingying, berdiri di depan tungku, merebus ramuan obat. Seperti biasanya, kesibukan sehari-harinya.“Yingying,” panggil Ren Hui lembut. Yingying menoleh, tersenyum tipis. “Kau akhirnya kembali. Aku sudah menunggumu,” jawabnya, lembut namun dingin. Ren Hui mendekat, matanya tertuju pada uap yang berputar keluar dari panci
Di dalam rumah beroda berdinding kayu tua, aroma rempah-rempah obat dan teh herbal bercampur di udara, menciptakan wewangian pahit yang menenangkan. Lentera yang tergantung berayun pelan, membentuk bayangan redup di dinding. Ren Hui duduk berhadapan dengan Chu Wang, di antara mereka asap teh tipis bergelung naik, mengisi udara dengan aroma dedaunan teh kering yang baru diseduh. Di sisi lain ruangan, Kasim Zheng berdiri cemas, mengawasi Yingying yang dengan hati-hati menyuapi Junjie, atau Pangeran Yongle, obat herbal dari mangkuk kayu.Dia tampak pucat, racun bunga salju yang bersarang di tubuhnya membuat penyakit dinginnya kambuh. Setiap hembusan napasnya terlihat, seolah musim dingin telah menyergap seluruh nadinya, meninggalkan jejak beku yang tak bisa ia hindari. Mantel tebal dan selimut beludru yang membungkusnya tak mampu menahan serbuan dingin yang merasuki sumsum tulangnya.“Kau tidak perlu khawatir, Kasim Zheng,” kata Yingying, suaranya
Putri Tian Xing Hui menatap ke dalam kegelapan hutan bambu yang semakin pekat di sekelilingnya. Langit senja telah lama berubah menjadi bayang-bayang kelam, dan hawa dingin yang menusuk mulai meresap ke setiap pori kulitnya. Dia sudah menunggu terlalu lama. Chu Wang dan Kasim Zheng belum juga kembali, dan perasaan cemas perlahan mengikat hatinya. Dengan napas tertahan, dia akhirnya memutuskan untuk menyusul mereka, ditemani oleh beberapa prajurit setia.Saat tiba di depan rumah beroda yang ditunjukkan salah seorang prajurit, Putri Tian Xing Hui langsung menerobos masuk. Aroma kayu lembap dan asap tipis bercampur di udara, menyapa indra penciumannya yang peka. Kasim Zheng menyambutnya dengan cepat, tetapi perhatian Tian Xing Hui segera tertuju pada sosok di sudut ruangan, terbaring tak berdaya di atas dipan sederhana.“Dia…” bibirnya bergetar, suara itu hampir tak terdengar.Tanpa berpikir panjang, dia berlari mendekat, berlutut di samping tempat
Musim gugur telah berlalu, meninggalkan jejak dinginnya di udara. Musim dingin datang menjelang. Di Hutan Bambu Emas Berbisik, pagi itu diwarnai keheningan ketika salju pertama turun.Setiap serpihan jatuh dengan lembut, membalut daun-daun bambudengan lapisan putih tipis yang bersinar samar di bawah sinar matahari yang redup. Udara semakin mendingin dan terasa sepi, seolah-olah alam enggan menyambut kedatangan musim baru.Di dalam rumah beroda yang hangat, Ren Hui dan Junjie duduk bersama, menikmati pemandangan salju yang turun untuk pertama kalinya di tahun ini . Ren Hui menghela napas, menceritakan kedatangan Putri Tian Xing Hui beberapa waktu lalu. Wajahnya terlihat sedikit cemas saat berbicara, terutama ketika dia mengutarakan kekhawatirannya akan kondisi Junjie.Junjie, dengan senyuman getir di wajahnya, merespons, “Gadis itu sudah dewasa sekarang. Dia bukan lagi bocah cilik yang bisa aku tipu begitu saja.” Ada nada getir dalam suaranya, namun juga ra
Keesokan paginya, seperti yang telah direncanakan, Ren Hui bersiap meninggalkan Hutan Bambu Emas Berbisik. Cahaya fajar yang menyelip di antara daun bambu berlapis salju, membentuk bayang-bayang halus di tumpukan tipis salju yang melapisi tanah, sementara suara angin berdesir bak bisikan-bisikan halus para peri. Sejak dini hari, dia sibuk menyiapkan segala sesuatu dengan teliti. Perbekalan, menurutnya, adalah hal yang paling penting.Selama musim gugur yang lalu, Ren Hui sudah mengantisipasi hari ini. Dia telah membeli arang untuk perapian, bahan makanan yang cukup untuk beberapa minggu, selimut tebal, mantel berlapis, serta pakaian musim dingin yang hangat. Rumah berodanya pun tak luput dari perhatian—diperbaiki agar lebih hangat menghadapi musim dingin yang mulai menggigit. Semua itu dibiayai oleh uang yang diterimanya dari Song Mingyu, setelah pemuda itu memenangkan turnamen bela diri yang digelar beberapa saat lalu dan berakhir ricuh. Ren Hui menerima hadiah i
Kediaman Pinus Hijau, Kota LingyunMusim dingin mulai menyelimuti Kota Lingyun dengan tenang. Butiran salju turun perlahan, menghiasi kediaman nan asri yang berdiri di atas tanah tinggi. Di dalam salah satu ruangan, Song Mingyu duduk di depan jendela, tatapannya menerawang jauh, memandangi dunia yang serba putih. Udara dingin tak mampu menembus jubah tebalnya, tetapi kehampaan di dalam hatinya terasa lebih beku daripada angin luar."Hari-hariku di sini begitu membosankan," gumamnya lirih, tangannya bermain-main dengan secarik kertas yang berisi kabar dari Junjie.Beberapa hari yang lalu, surat itu datang, membawa angin segar di tengah kebosanannya. Junjie memintanya untuk terus melatih jurus yang pernah diajarkannya. Namun, yang membuat Song Mingyu semakin tertarik adalah kabar bahwa Junjie dan Ren Hui kini tengah dalam perjalanan menuju Kota Yinyue. Kata Junjie, jika Mingyu hendak menyusul, dia harus segera berangkat ke sana."Yinyue?" Song Mingy
Ren Hui dan Junjie berdiri di hadapan seorang wanita cantik berjubah hitam yang duduk bersandar malas pada kursi panjang beralaskan bantal merah empuk. Meski tirai tipis menghalangi, pemandangan di baliknya tersaji dengan jelas dan nyata. Mata wanita itu tajam, memperhatikan kedua tamunya yang baru datang seolah membaca jiwa mereka. Tudung hitam yang dikenakannya hanya menambah kesan misterius pada dirinya."Jika aku tahu nasib dan takdir di masa depan, tentu aku tidak akan kemari, bukan?" Ren Hui menjawab santai, nada suaranya bercampur antara kelakar dan kejujuran.Tawa renyah yang merdu menggema di tenda yang cukup luas itu. Wanita itu mengubah posisinya, kini duduk tegak dengan sikap yang lebih anggun. Tatapannya tetap tertuju pada mereka, seolah tak ingin melewatkan gerak-gerik sekecil apa pun."Ah, Tuan-tuan! Selamat datang!" Sebuah suara lain memecah suasana. Seorang pemuda berjubah hitam muncul dari sudut tenda, langkahnya tenang, wajahnya ramah. Ia membungkukkan tubuh dengan
Ren Hui dan Junjie melangkah perlahan di antara keramaian pedagang yang berlomba menawarkan dagangan mereka dengan suara lantang. Aroma rempah dan daging panggang bercampur dengan wangi buah-buahan kering yang tertata rapi di atas kain-kain berwarna cerah. Di bawah sinar matahari yang terik, suasana oasis itu terasa begitu hidup, seolah menggambarkan napas pengelana yang datang dan pergi tanpa henti. Junjie menggenggam tali kendali Lobak sementara Ren Hui berjalan di sisinya, matanya sibuk mengamati keadaan sekitar."Meski pasar di pusat kota Hóngshā lebih lengkap, kehadiran para pedagang dan pengelana di sini cukup membantu menghidupkan suasana," ujar Junjie, suaranya rendah meski terdengar sangat jelas, seperti gumaman seorang pemikir yang enggan mengeluarkan tenaga berlebih.Ren Hui mengangguk pelan, menambahkan, "Setidaknya orang-orang di sini tidak perlu bersusah payah pergi ke kota untuk memenuhi kebutuhan mereka. Perjalanan itu cukup jauh dan memakan waktu."Junjie menghela nap
Suasana di Oasis Merah tetap seperti biasanya. Langit biru membentang luas, dengan matahari pagi yang memantulkan kilau keemasan di atas hamparan pasir. Penduduk lokal sibuk dengan rutinitasnya, mengambil air dari sumur, menjajakan barang dagangan, atau berburu di sekitar oasis. Hiruk-pikuk pusat kota Hóngshā terdengar dari kejauhan, menggema di antara deburan angin gurun. Para prajurit Kekaisaran Shenguang terus menjaga ketertiban, berpatroli di sekitar kemah militer dengan disiplin tanpa cela.Namun, di balik kesibukan itu, ada bayang-bayang yang mengintai. Dari kejauhan, serombongan pria berjubah hitam dengan topeng hantu mengawasi Oasis Merah. Mereka berdiri di atas bukit kecil, di bawah naungan bayangan sebuah batu besar. Mata-mata mereka memantulkan ketegangan dan kesungguhan yang mengisyaratkan sesuatu tengah direncanakan."Sama sekali tidak ada pergerakan," gumam salah satu dari mereka. Wajahnya tersembunyi di balik topeng menyeramkan, hanya suaranya yang berat dan tegas terde
Ren Hui meletakkan teko berisi teh yang baru diseduh di atas meja kayu yang terbuat dari pohon pinus berumur ratusan tahun. Aromanya yang harum segera mengisi udara pagi yang sejuk. Suasana di rumah beroda terasa tenang, dengan sinar matahari yang perlahan menyinari ruang tengah. Dia lalu kembali ke dapur dan segera kembali lagi membawa sepiring roti pita, salad kurma dan kacang almond, serta kue kacang hijau yang baru saja dipanggang. Pagi ini, dia memilih sarapan ringan yang menenangkan, terasa seperti pelukan hangat di pagi yang dingin."Junjie, apa semua sudah siap?" Ren Hui bertanya, suaranya lembut namun mengandung ketegasan. Matanya menatap pria itu yang masih duduk dengan tubuh santai di dekat jendela, tatapannya terfokus pada hamparan oasis di kejauhan. "Makanlah!" Tegurnya lagi dengan lembut, seakan mengajak Junjie keluar dari lamunannya.Junjie menoleh, matanya tak berkedip menatap meja di ruang tengah, penuh dengan hidangan yang tak biasa disajikan oleh Ren Hui. Tak biasan
Beberapa hari berlalu dengan tenang di Oasis Merah. Song Mingyu, seperti biasanya, berlatih jurus Pedang Surgawi. Gerakannya ringan, namun penuh kekuatan, seperti angin yang menyapu permukaan oasis. Sesekali, Junjie akan menemani—meski pria pemalas itu lebih sering bersandar di jendela, tenggelam dalam surat-surat dari merpati pos atau sibuk membuka gulungan dokumen serta buku-bukunya.Sedangkan Ren Hui lebih sibuk dengan urusan dagangannya. Aroma manis dan tajam dari berbagai arak yang ia racik memenuhi udara. Ia sering mengunjungi tenda Jenderal Miu Yue untuk mengantarkan arak pesanan sang jenderal atau berjalan-jalan di pusat kota. Kadang ia ditemani Song Mingyu, dan jika Junjie sedang dalam suasana hati yang baik, ia pun akan bergabung, meski langkahnya sering lebih lambat, seperti orang yang enggan bergerak terlalu jauh.Namun, pagi ini, suasana di tenda Jenderal Miu Yue sedikit berbeda. Ren Hui duduk berhadapan dengan sang jenderal, seperti biasa mengantar arak pesanannya."Ehm,
Suasana malam di Oasis Merah cukup sepi, meskipun nyala lentera dan lampion yang terpasang di setiap tenda dan kereta menambah kilau kemeriahan yang temaram. Namun, sebagian besar penghuni tenda memilih berdiam diri di dalam kediaman mereka masing-masing, membiarkan angin gurun yang menusuk mengguncang ketenangan malam yang sunyi.Angin gurun semakin terasa dingin, menambah kesunyian malam yang hanya dihiasi oleh suara gemerisik pasir dan desiran angin."Jadi, kau bertemu dengannya?" Junjie bertanya pada pemuda yang duduk di hadapannya, suaranya datar, tetapi memancarkan rasa ingin tahu. Song Mingyu hanya mengangguk pelan, bibirnya rapat, tidak ada kata yang keluar.Mereka bertiga duduk di tepi oasis, menikmati makan malam sederhana yang ditemani arak hangat dan pemandangan indah kota Hóngshā yang terlihat jauh di kejauhan. Langit malam tampak begitu cerah, dengan bulan purnama yang menerangi oasis, menciptakan bayangan yang menari-nari di permukaan air ya
Song Mingyu terdiam terpaku. Kakinya terasa berat seperti tertanam di pasir. Napasnya tersendat, dadanya bergemuruh seperti drum perang yang tak pernah berhenti berdetak. Lidahnya kelu, tak tahu harus berkata apa. Sementara itu, wanita bermantel putih melangkah mendekat. Setiap langkahnya terdengar tegas, menciptakan jejak kecil di atas pasir merah yang panas."Jenderal Miu," Ren Hui memecah keheningan. Ia membungkuk sopan, memberikan penghormatan tanpa ragu sedikit pun.Wanita itu mengangguk tipis, rambut panjangnya yang tergerai seperti sutra berkibar-kibar diterpa angin gurun. "Tuan Ren," sapanya dengan nada lembut, tetapi penuh wibawa. "Bisakah Anda mengantarkan beberapa guci arak ke tendaku?"Tidak ada kegugupan dalam suaranya. Kata-katanya seolah tertata sempurna, seperti butiran mutiara yang mengalir dalam kalimat.Ren Hui tersenyum, senyuman cerah yang menular. "Tentu saja. Saya akan mengantarkannya besok pagi," jawabnya dengan riang. Cahaya matahari seakan memantul dari senyu
Ren Hui memimpin jalan memasuki rumah beroda. Udara di dalam terasa leluasa, karena jendela-jendela yang terbuka menghadirkan angin gurun yang sekali-kali berhembus sepoi-sepoi. Namun, kehadiran dua tamu tak terduga seketika mengubah suasana. Junjie dan Song Mingyu, yang tengah duduk santai, seolah kehilangan kata-kata. Meski wajah mereka tetap tenang, mata mereka menyiratkan keterkejutan yang sulit disembunyikan."Junjie! Mingyu! Ada dua nona cantik yang mengunjungi rumah kita dan ingin bertemu dengan seseorang. Mungkin salah satu di antara kalian yang nona-nona ini maksud," ujar Ren Hui sambil melirik sekilas pada dua wanita yang berdiri anggun di sebelahnya. Suaranya ringan, tetapi cukup untuk memecah keheningan yang mendadak menyergap.Wanita bermantel merah tua itu melangkah maju, kemudian berlutut di lantai tanpa ragu sedikit pun, diikuti oleh pelayannya. "Yang Mulia Pangeran Yongle, saya Chao Ping memberi hormat!" ucapnya dengan penuh takzim, kepalanya tertunduk dalam-dalam hin
Wanita cantik itu melangkah mendekati Ren Hui dengan keanggunan yang memikat. Setiap langkahnya terdengar lembut, seperti rintik embun yang menyentuh daun. Mantel merah tua yang dikenakannya tampak kontras dengan pasir merah keemasan menyelimuti gurun luas itu. Di belakangnya, seorang pelayan dengan pakaian sederhana mengikuti dalam sikap penuh hormat, langkahnya nyaris tak bersuara."Tuan Ren, itu jika Anda tidak keberatan." Suaranya terdengar tenang, tetapi ada nada halus yang menandakan kegelisahan. Tatapan matanya sebening embun pagi, berusaha menyembunyikan sesuatu yang belum terungkap.Ren Hui, yang duduk santai di anak tangga rumah berodanya, perlahan bangkit. Ia mengibaskan ujung jubah putihnya, meninggalkan jejak lembut di udara sebelum melangkah turun dengan gerakan tenang tetapi sangat santai. Ia berhenti tepat di hadapan wanita itu, menatapnya sekilas."Apakah kita pernah bertemu sebelumnya, Nona?" tanyanya dengan sopan, sembari menghadirkan se