Share

Nona Xue Xue

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-05 07:00:58

Wisma Empat Musim, Jalan Kenangan

Di ruang yang sunyi, aroma teh melati bercampur harum krisan mengisi udara, menenangkan sekaligus mengisi keheningan yang menyelimuti. Xue Xue duduk diam, matanya menatap kosong pada meja di depannya, seolah terhanyut dalam pikirannya yang dalam.

Angin musim gugur yang lembut menyusup melalui jendela, membawa dedaunan kering yang jatuh perlahan di atas lantai kayu yang berderit halus. Ujung lengan hanfu-nya yang putih lembut berpadu biru muda tersentuh angin, tetapi tubuhnya tetap tak bergeming, seolah angin pun tak bisa menyentuh kegelisahan dalam hatinya.

Di sebelahnya, seorang murid wanita muda, A Yao, berdiri dengan tegang, memegang teko perak berukir. Setiap gerakannya sangat hati-hati, seolah takut suara air teh yang mengalir ke dalam cangkir akan mengganggu ketenangan Xue Xue. Suasana masih tetap hening, hanya ada suara tetesan teh yang tenang, menyatu dengan hembusan angin yang menggerakkan tirai tipis di jendela.
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kawan Lama

    Beberapa hari berlalu sejak insiden di turnamen bela diri yang berakhir dengan kekacauan. Dalam upaya memperbaiki citra dan menenangkan suasana, Tuan Wu Zhengting menawarkan kompensasi yang mencolok bagi empat petarung di babak final. Tak hanya itu, ia juga meminta maaf secara langsung kepada seluruh peserta, tamu, dan penonton, suatu tindakan yang tak diduga banyak orang.Tak lama setelah itu, Tuan Wu menggelar festival musim gugur yang meriah di pusat kota Chunyu, terbuka untuk semua orang yang kebetulan berada di sana. Kemeriahan festival ini berhasil mengalihkan perhatian publik dari insiden sebelumnya.Sikap ramah Tuan Wu dan kesediaannya mengakui bahwa dirinya pun tertipu membuat banyak pihak enggan memperpanjang masalah. Bahkan, ia dengan bijaksana untuk tidak menyalahkan pihak-pihak terkait seperti Sekte Pedang Langit dan Biro Kupu-kupu Emas. Akibatnya, suasana kembali damai dalam waktu singkat. Kisah peti mati giok lavender, yang sebelumnya menjadi sumber

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-05
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Reuni

    Suasana di dalam kereta yang ditumpangi Chu Wang dan Kasim Zheng terasa hening. Seolah angin malam yang dingin sengaja menghindari celah-celah jendela tertutup rapat. Aroma kayu cendana samar-samar tercium, mengisi ruang yang sempit namun mewah itu. Junjie duduk dengan tenang, berhadapan dengan Chu Wang. Untuk pertama kalinya, ia bertemu kembali dengan teman masa kecilnya yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri kiri, pilihan Kaisar. Meski usia mereka tak terpaut jauh, dunia politik telah menjauhkan mereka dalam cara yang tak terucapkan. Dulu, mereka berdua belajar bersama di bawah asuhan Grand Tutor Liu, mempelajari seni pemerintahan dan strategi militer. Hari itu, meski bisa disebut sebuah reuni, pertemuan mereka dibayangi ketegangan. Situasi di Kota Chunyu yang mencekam membuat kepercayaan menjadi barang langka. Setiap orang, tanpa kecuali, saling mengawasi satu sama lain. Wajah Chu Wang yang tenang namun serius memecah keheningan.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-05
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bunga-bunga Yang Punah

    Malam itu, bulan tampak malu-malu, tersembunyi di balik selimut awan kelabu. Ren Hui melangkah perlahan, nyaris tanpa suara di atas rumput yang basah oleh embun. Setiap hembusan angin malam membawa aroma segar daun bambu, membelai wajahnya dan menggoyangkan ujung jubahnya dengan lembut, seakan menyambut kehadirannya di dalam keheningan.Saat ia mendekati rumah beroda itu, sinar lilin samar yang menerobos dari celah-celah jendela memberi pertanda bahwa seseorang masih terjaga. Di tengah keheningan, terdengar suara halus air yang mendidih, seolah ikut menjaga malam yang sunyi.Pintu terbuka perlahan, dan di dalam, Ren Hui mendapati Yingying, berdiri di depan tungku, merebus ramuan obat. Seperti biasanya, kesibukan sehari-harinya.“Yingying,” panggil Ren Hui lembut. Yingying menoleh, tersenyum tipis. “Kau akhirnya kembali. Aku sudah menunggumu,” jawabnya, lembut namun dingin. Ren Hui mendekat, matanya tertuju pada uap yang berputar keluar dari panci

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-06
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ren Hui Dan Chu Wang

    Di dalam rumah beroda berdinding kayu tua, aroma rempah-rempah obat dan teh herbal bercampur di udara, menciptakan wewangian pahit yang menenangkan. Lentera yang tergantung berayun pelan, membentuk bayangan redup di dinding. Ren Hui duduk berhadapan dengan Chu Wang, di antara mereka asap teh tipis bergelung naik, mengisi udara dengan aroma dedaunan teh kering yang baru diseduh. Di sisi lain ruangan, Kasim Zheng berdiri cemas, mengawasi Yingying yang dengan hati-hati menyuapi Junjie, atau Pangeran Yongle, obat herbal dari mangkuk kayu.Dia tampak pucat, racun bunga salju yang bersarang di tubuhnya membuat penyakit dinginnya kambuh. Setiap hembusan napasnya terlihat, seolah musim dingin telah menyergap seluruh nadinya, meninggalkan jejak beku yang tak bisa ia hindari. Mantel tebal dan selimut beludru yang membungkusnya tak mampu menahan serbuan dingin yang merasuki sumsum tulangnya.“Kau tidak perlu khawatir, Kasim Zheng,” kata Yingying, suaranya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-06
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Dewa Arak

    Putri Tian Xing Hui menatap ke dalam kegelapan hutan bambu yang semakin pekat di sekelilingnya. Langit senja telah lama berubah menjadi bayang-bayang kelam, dan hawa dingin yang menusuk mulai meresap ke setiap pori kulitnya. Dia sudah menunggu terlalu lama. Chu Wang dan Kasim Zheng belum juga kembali, dan perasaan cemas perlahan mengikat hatinya. Dengan napas tertahan, dia akhirnya memutuskan untuk menyusul mereka, ditemani oleh beberapa prajurit setia.Saat tiba di depan rumah beroda yang ditunjukkan salah seorang prajurit, Putri Tian Xing Hui langsung menerobos masuk. Aroma kayu lembap dan asap tipis bercampur di udara, menyapa indra penciumannya yang peka. Kasim Zheng menyambutnya dengan cepat, tetapi perhatian Tian Xing Hui segera tertuju pada sosok di sudut ruangan, terbaring tak berdaya di atas dipan sederhana.“Dia…” bibirnya bergetar, suara itu hampir tak terdengar.Tanpa berpikir panjang, dia berlari mendekat, berlutut di samping tempat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-06
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Salju Pertama Di Musim Dingin

    Musim gugur telah berlalu, meninggalkan jejak dinginnya di udara. Musim dingin datang menjelang. Di Hutan Bambu Emas Berbisik, pagi itu diwarnai keheningan ketika salju pertama turun.Setiap serpihan jatuh dengan lembut, membalut daun-daun bambudengan lapisan putih tipis yang bersinar samar di bawah sinar matahari yang redup. Udara semakin mendingin dan terasa sepi, seolah-olah alam enggan menyambut kedatangan musim baru.Di dalam rumah beroda yang hangat, Ren Hui dan Junjie duduk bersama, menikmati pemandangan salju yang turun untuk pertama kalinya di tahun ini . Ren Hui menghela napas, menceritakan kedatangan Putri Tian Xing Hui beberapa waktu lalu. Wajahnya terlihat sedikit cemas saat berbicara, terutama ketika dia mengutarakan kekhawatirannya akan kondisi Junjie.Junjie, dengan senyuman getir di wajahnya, merespons, “Gadis itu sudah dewasa sekarang. Dia bukan lagi bocah cilik yang bisa aku tipu begitu saja.” Ada nada getir dalam suaranya, namun juga ra

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-07
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Memulai Perjalanan Baru

    Keesokan paginya, seperti yang telah direncanakan, Ren Hui bersiap meninggalkan Hutan Bambu Emas Berbisik. Cahaya fajar yang menyelip di antara daun bambu berlapis salju, membentuk bayang-bayang halus di tumpukan tipis salju yang melapisi tanah, sementara suara angin berdesir bak bisikan-bisikan halus para peri. Sejak dini hari, dia sibuk menyiapkan segala sesuatu dengan teliti. Perbekalan, menurutnya, adalah hal yang paling penting.Selama musim gugur yang lalu, Ren Hui sudah mengantisipasi hari ini. Dia telah membeli arang untuk perapian, bahan makanan yang cukup untuk beberapa minggu, selimut tebal, mantel berlapis, serta pakaian musim dingin yang hangat. Rumah berodanya pun tak luput dari perhatian—diperbaiki agar lebih hangat menghadapi musim dingin yang mulai menggigit. Semua itu dibiayai oleh uang yang diterimanya dari Song Mingyu, setelah pemuda itu memenangkan turnamen bela diri yang digelar beberapa saat lalu dan berakhir ricuh. Ren Hui menerima hadiah i

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-07
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hari-hari Yang Membosankan

    Kediaman Pinus Hijau, Kota LingyunMusim dingin mulai menyelimuti Kota Lingyun dengan tenang. Butiran salju turun perlahan, menghiasi kediaman nan asri yang berdiri di atas tanah tinggi. Di dalam salah satu ruangan, Song Mingyu duduk di depan jendela, tatapannya menerawang jauh, memandangi dunia yang serba putih. Udara dingin tak mampu menembus jubah tebalnya, tetapi kehampaan di dalam hatinya terasa lebih beku daripada angin luar."Hari-hariku di sini begitu membosankan," gumamnya lirih, tangannya bermain-main dengan secarik kertas yang berisi kabar dari Junjie.Beberapa hari yang lalu, surat itu datang, membawa angin segar di tengah kebosanannya. Junjie memintanya untuk terus melatih jurus yang pernah diajarkannya. Namun, yang membuat Song Mingyu semakin tertarik adalah kabar bahwa Junjie dan Ren Hui kini tengah dalam perjalanan menuju Kota Yinyue. Kata Junjie, jika Mingyu hendak menyusul, dia harus segera berangkat ke sana."Yinyue?" Song Mingy

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-07

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Puncak Báiyuè Shān

    Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Es

    Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Menunggu

    Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Mencari Bunga Es Abadi

    Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tamu

    Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bayangan Hitam di Ujung Senja

    Baihua mendengking lebih keras, ekornya yang lebat melambai gelisah. Rubah putih itu duduk tegak di tengah jalan, tepat di depan Ren Hui, seolah menjadi penghalang agar tuannya tidak melangkah lebih jauh."Ada apa, Baihua?" Ren Hui berjongkok di sisinya, menepuk lembut kepala rubah itu. Bulu putihnya terasa dingin di telapak tangan. "Kalau tidak bergegas, kita akan kemalaman," lanjutnya, mendongak menatap langit. Sinar matahari kian memudar, membiaskan rona jingga samar di cakrawala yang mulai dilingkupi bayangan senja.Baihua kembali mendengking, suaranya menggema lirih di antara desir angin musim dingin. Matanya yang bening berkilau menatap Ren Hui, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Ren Hui hanya tersenyum, mengusap kepala rubah itu dengan lebih lembut, lalu mengangkatnya ke dalam pelukan."Apa kau takut?" bisiknya, suaranya selembut bisikan angin. "Jangan khawatir, bukankah kita selalu bersama? Selamanya?"Rubah itu tidak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Padang Bunga Yang Membeku

    Ren Hui menapaki jalan setapak berbatu dengan hati-hati. Angin dingin berembus perlahan, membawa aroma salju yang menggantung di udara. Di depan, Baihua berlari kecil mendahuluinya, meninggalkan jejak-jejak samar di atas salju tipis yang menutupi bebatuan. Rubah putih itu seharusnya tetap berada di tepi sungai bersama Yingying, tetapi ketika Ren Hui melangkah menyeberangi jembatan kayu tua, Baihua justru menyusulnya tanpa ragu."Baihua, setelah tiba di atas, kau harus kembali ke sungai. Temani Yingying!" seru Ren Hui.Baihua berhenti berlari, mendengking pelan seolah memprotes perintah itu. Ren Hui terkekeh. Sudah terbiasa dengan tingkah rubah putihnya yang keras kepala. Mereka kembali berjalan, melewati jalan setapak yang mulai menanjak. Batu-batu di bawah kaki mereka terasa licin, tersembunyi di balik lapisan es tipis yang nyaris tak terlihat. Ren Hui menghela napas, memusatkan perhatian pada setiap pijakannya."Baihua, tempat ini tidak banyak berubah,"

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Memulai Perjalanan Menuju Kota Es

    Mentari musim dingin baru saja menyembul dari balik awan-awan putih, menyinari lembut permukaan sungai yang mulai membeku. Kabut tipis masih melayang, menyelimuti tanah dengan hawa dingin yang menggigit.Di tepi sungai, Ren Hui duduk santai di atas batang kayu tua, meniup uap tipis dari cangkir teh jahe di tangannya. Aroma hangat jahe bercampur dengan wangi samar goji berry, lavender, madu dan chamomile, menenangkan pikirannya. Baihua, rubah putih berbulu lembut, meringkuk di dekat kakinya. Sesekali mengibaskan ekor, tampak menikmati kedamaian pagi itu.Tak jauh dari tempatnya duduk, sebuah keranjang bambu berisi bekal tertata rapi di atas rerumputan yang mulai tertutup embun beku. Hari ini, dia akan memulai perjalanannya menuju Kota Es, tempat yang hingga kini hanya dianggap legenda oleh penduduk setempat.Suara nyaring memecah ketenangan pagi, menggema di antara dahan pohon yang tertutup salju. "Ren Hui!" Dari teras rumah beroda, Yingying memanggilnya de

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status