Keesokan paginya, seperti yang telah direncanakan, Ren Hui bersiap meninggalkan Hutan Bambu Emas Berbisik. Cahaya fajar yang menyelip di antara daun bambu berlapis salju, membentuk bayang-bayang halus di tumpukan tipis salju yang melapisi tanah, sementara suara angin berdesir bak bisikan-bisikan halus para peri. Sejak dini hari, dia sibuk menyiapkan segala sesuatu dengan teliti. Perbekalan, menurutnya, adalah hal yang paling penting.
Selama musim gugur yang lalu, Ren Hui sudah mengantisipasi hari ini. Dia telah membeli arang untuk perapian, bahan makanan yang cukup untuk beberapa minggu, selimut tebal, mantel berlapis, serta pakaian musim dingin yang hangat. Rumah berodanya pun tak luput dari perhatian—diperbaiki agar lebih hangat menghadapi musim dingin yang mulai menggigit.Semua itu dibiayai oleh uang yang diterimanya dari Song Mingyu, setelah pemuda itu memenangkan turnamen bela diri yang digelar beberapa saat lalu dan berakhir ricuh. Ren Hui menerima hadiah iKediaman Pinus Hijau, Kota LingyunMusim dingin mulai menyelimuti Kota Lingyun dengan tenang. Butiran salju turun perlahan, menghiasi kediaman nan asri yang berdiri di atas tanah tinggi. Di dalam salah satu ruangan, Song Mingyu duduk di depan jendela, tatapannya menerawang jauh, memandangi dunia yang serba putih. Udara dingin tak mampu menembus jubah tebalnya, tetapi kehampaan di dalam hatinya terasa lebih beku daripada angin luar."Hari-hariku di sini begitu membosankan," gumamnya lirih, tangannya bermain-main dengan secarik kertas yang berisi kabar dari Junjie.Beberapa hari yang lalu, surat itu datang, membawa angin segar di tengah kebosanannya. Junjie memintanya untuk terus melatih jurus yang pernah diajarkannya. Namun, yang membuat Song Mingyu semakin tertarik adalah kabar bahwa Junjie dan Ren Hui kini tengah dalam perjalanan menuju Kota Yinyue. Kata Junjie, jika Mingyu hendak menyusul, dia harus segera berangkat ke sana."Yinyue?" Song Mingy
Musim dingin menyelimuti Paviliun Pinus Hijau. Butiran salju halus turun perlahan, menari-nari mengikuti arah angin yang menderu lembut di antara pepohonan pinus yang berjajar kokoh. Atap paviliun tertutupi lapisan salju tipis, menciptakan suasana damai yang menyiratkan kedalaman sunyi pada sore itu.Di dalam ruang utama, Nyonya Su Yang duduk anggun di kursinya. Jubah beludru biru tua yang ia kenakan dihiasi sulaman bunga lotus perak, bersinar lembut di bawah cahaya redup matahari sore. Di sampingnya, putranya, Song Mingyu, berdiri diam dengan sikap penuh hormat. Di hadapan mereka, Kasim Han, utusan dari istana, menundukkan kepala dalam-dalam. Namun, baik Nyonya Su Yang maupun Song Mingyu segera menyadari bahwa Kasim Han tidak datang sendirian. Di belakangnya, sekelompok penjaga kekaisaran dan beberapa pelayan berdiri dalam diam, terlihat lelah akibat perjalanan jauh yang mereka tempuh.“Kami memohon bantuan, Nyonya Su Yang,” Kasim Han memecah keheningan
Ren Hui mengemudikan rumah berodanya dengan santai, ditemani oleh Baihua, rubah putih setianya yang duduk di samping. Hembusan angin yang membekukan disertai hujan salju yang turun semakin lebat, tak membuat Ren tergesa-gesa memacu empat ekor kudanya. Angin dingin menusuk, memaksa Ren Hui menarik erat mantel tebal yang melindungi tubuhnya.Meskipun tubuhnya sendiri terasa lemah dan digerogoti cuaca yang tak bersahabat, dia lebih mengkhawatirkan kondisi Junjie. Sesekali dia melirik ke dalam rumah beroda, memastikan keadaan sahabatnya. Di dalam, Junjie duduk dengan malas, menopang dagu di atas meja kecil di hadapannya. Tatapannya terpaku pada guci arak api surgawi yang masih mengepul, seolah tak ada hal lain yang menarik di dunia ini. Wajahnya memancarkan kebosanan yang dalam, seakan hari-hari yang mereka lalui tak lagi memiliki warna.Mereka baru saja meninggalkan Kota Chunyu, dan kini perjalanan membawa mereka melintasi pedesaan yang sepi. Di musim dingin
Dini hari, ketika fajar baru menyapa, rumah beroda milik Ren Hui akhirnya tiba di tepi pantai Kota Yuehai. Perjalanan panjang semalaman membuatnya sedikit letih, namun tekad kuat untuk segera mencari bahan-bahan obat bagi Ye Hun dan Junjie menggerakkannya untuk terus maju. Angin laut yang dingin menusuk kulit, tapi Ren Hui tak menggubris. Ia tak ingin membuang waktu.Tiba-tiba, Junjie terbangun, mengusap matanya, dan telinganya menangkap suara debur ombak di kejauhan. Wajahnya yang lelah langsung berubah cerah. "Ren Hui! Aku mendengar ombak!" serunya gembira, bergegas menuju teras rumah beroda. Di sana, ia berdiri sejenak, menarik napas panjang, menghirup udara laut yang segar dan bersih.Ren Hui tersenyum melihat kegembiraan Junjie. "Kau seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat laut," katanya sambil tertawa ringan. "Aku akan menyiapkan sesuatu untuk sarapan. Udara dingin ini cocok untuk menikmati sesuatu yang hangat."Matahari baru saja muncul di
Ren Hui tersenyum, menatap sosok Junjie yang tampak anggun berdiri di teras rumah beroda. Ada keanggunan sejati dalam caranya memandang laut, ketenangan yang tak tergoyahkan oleh deru ombak. "Junjie, ayo turun ke pantai!" serunya, suaranya melayang di atas desiran angin pantai.Junjie, yang sedang memandangi Ren Hui dari kejauhan, sedikit tersentak dari lamunannya. Dia melihat Ren Hui yang melompat lincah ke atas batu karang, melambaikan tangan dengan penuh semangat. Dalam hening sejenak, ia mempertimbangkan ajakan sahabatnya itu, lalu dengan ringan mengangguk, merasa tak ada alasan untuk menolak kebersamaan di pagi yang dingin namun cerah ini.Sebelum turun, Junjie menunduk, mengusap lembut kepala rubah putih milik Ren Hui, Baihua, yang setia duduk di sisinya. "Naiklah, jaga Ye Hun di atas," ucapnya lembut. Baihua, dengan patuh melesat seperti kilat, melesat menuju lantai atas rumah beroda.Setelah menutup pintu rumah beroda dan memastikan semua dalam kea
Aula Pedang, Sekte Pedang Langit, Kota YinyueSalju turun lembut, menutupi setiap inci kediaman luas itu dengan selimut putih yang dingin. Angin musim dingin berhembus pelan, membawa butiran salju yang berputar-putar di udara. Aula Pedang berdiri sunyi, megah dalam kesendiriannya, menjadi saksi bisu atas kenangan-kenangan masa lalu yang perlahan terkubur di bawah lapisan es yang tebal.Di halaman yang pernah dipenuhi semangat para murid, hanya tampak satu-dua bayangan yang terburu-buru masuk ke dalam, menghindari gigitan dingin salju yang tak henti turun. Sekte Pedang Langit, yang dulu berdiri gagah sebagai sekte terbesar dan paling ditakuti di seluruh Kekaisaran Shengguan, kini sunyi, seolah membeku dalam kenangan.Sejak serbuan pasukan penjaga kekaisaran, Sekte Pedang Langit telah kehilangan segalanya. Tragedi yang berakhir dengan dieksekusinya Zhu Zijing, ketua sekte, dan gurunya yang terhormat, Guru Liuxing, adik kaisar sendiri. Kematian mereka memutus
Kediaman Bunga Peony, Sekte Pedang Langit, Kota YinyueDi halaman kecil yang tenang, bunga peony bertebaran di tengah salju yang membeku, menciptakan pemandangan yang kontras. Para pelayan tampak sibuk, mondar-mandir membersihkan salju tebal yang menyelimuti jalan setapak. Setiap gerakan mereka seolah harmonis, tak ingin mengganggu keindahan yang sedang dinikmati oleh sang pemilik kediaman.Kediaman Bunga Peony, tempat Nona Xue Xue tinggal. Meski hanya seorang murid luar di Sekte Pedang Langit, sama seperti Ren Jie dan Ye Hun, kehadirannya tak bisa diremehkan. Dalam ketenangan, ia duduk di dekat jendela, menatap serpihan salju yang turun perlahan seperti kristal-kristal mungil dari langit kelabu. Udara dingin yang menyelinap masuk lewat celah-celah jendela tak mampu mengusik ketenangannya. Di luar, samar-samar terdengar suara pelayan yang terus bekerja, sementara di kejauhan, para murid berlatih di aula kecil. Semua itu berlalu di matanya seperti bayangan
Pantai Mutiara Bulan, Kota YuehaiDi bawah langit yang mulai berwarna tembaga, Junjie dan Ren Hui duduk di teras rumah beroda, menatap cakrawala. Gelombang laut menggulung pelan, seolah mengiringi sunyi yang merasuk di antara mereka. Beberapa hari terakhir, hari salju terus mengguyur, membuat mereka lebih banyak berdiam di dalam rumah. Hawa dingin yang menggigit membuat perjalanan keluar nyaris mustahil.Beruntung, satu-dua nelayan masih berani melaut meski hanya sebentar. Cuaca yang tidak menentu membuat mereka khawatir, tapi tetap datang menawarkan hasil tangkapan kepada Ren Hui dan Junjie. Ikan, cumi, dan teripang seringkali menghiasi meja makan mereka.“Kita punya persediaan yang cukup melimpah,” gumam Ren Hui sambil menatap tumpukan teripang yang sudah dikeringkan di teras. Junjie hanya mengangguk, meneguk arak api surgawi yang telah dipanaskan oleh Ren Hui. Cairan panas itu segera menghangatkan tenggorokannya, sedikit mengusir rasa dingin yang mengge
Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"
Junjie dengan tenang mencabut anak panah yang menancap di tanah, di ujung kaki mereka. Jarinya yang ramping memutar anak panah itu, mengamatinya dengan seksama. Sambil memegang anak panah tersebut, dia melambai pada pasukan berkuda yang dipimpin Jenderal Miu."Jenderal Miu! Kami hanya pengelana yang singgah sebentar! Izinkan kami pergi!" serunya dengan penuh percaya diri, suaranya tegas tetapi tidak berlebihan.Namun, kedua pasukan itu bergerak mendekat, mengencangkan formasi hingga ruang gerak semakin sempit. Tatapan penuh curiga mengarah pada Junjie dan Ren Hui, seolah menyiratkan bahwa mereka menyembunyikan sesuatu.Ren Hui menghela napas panjang, sebelum memasang wajah memelas yang sangat meyakinkan. "Aiyo! Kami hanya pedagang arak miskin yang kebetulan lewat. Sungguh sial kami terjebak dalam kekacauan seperti ini!" rengeknya memelas, suaranya terdengar dibuat-buat tetapi mengundang simpati.Beberapa prajurit di sekitar mereka memandang dengan